Beberapa Pertimbangan terkait Etika Media-2

Manipulasi Media[1]

Pada masa ini, media menjadi sebuah alat yang begitu kuat dan berpengaruh  dalam memengaruhi manusia. Dalam hal ini, seluruh tingkatan masyarakat juga memainkan peranan penting.


Masyarakat secara umum belum berada pada level untuk dapat membaca peristiwa-peristiwa yang terjadi dengan benar. Mereka pun tidak dapat menggunakan bahasa ilmu sosial guna melakukan analisis terhadap hal tersebut dengan tepat. Mereka tidak memahami hukum takwini (penciptaan) dengan baik sehingga masing-masing dari mereka tidak memiliki kapasitas untuk dapat mengungkap makna-makna penting dari setiap peristiwa. Oleh karena itu, mereka mudah sekali untuk dipermainkan. Apalagi jika media memanfaatkan psikologi massa[2] dan menyalahgunakan perasaan masyarakat, maka mereka akan dengan mudah menjadikan penontonnya sebagai “gembalaan” dan memanipulasinya. Terlebih bilamana hal-hal suci seperti tanah air, bangsa, bendera, dan agama dikutip dalam pembicaraan yang membahas urgensi penjagaannya, maka di sanalah fungsi dari akal dan logika akan digantikan oleh perasaan-perasaan kepahlawanan dan epos belaka. Oleh karena itu, ketika orasi-orasi seperti, “Tanah air kita dijajah, mengapa kamu hanya berdiam diri!”  dilontarkan kepada masyarakat, maka mereka akan dengan sangat mudah digiring pada kepentingan yang diinginkan.

 

Jika kita melihat fakta tersebut, kita akan  memahami bahwasanya dalam beberapa kondisi, media dapat menjadi unsur yang sangat menakutkan, menghancurkan, dan merusak.  

Peristiwa-peristiwa yang terjadi di Turki merupakan contoh yang paling jelas.  Kekuatan yang menguasai media mengambinghitamkan orang-orang yang diinginkan dengan beragam kebohongan dan fitnah serta menampilkan mereka layaknya musuh kepada para pembacanya.

 

Anda akan tetap dianggap sebagai “orang yang kotor” hingga Anda mampu menghapus dan membersihkan lumpur yang dilemparkan kepada Anda. Dengan demikian orang-orang akan tetap menempuh jarak tertentu di jalan yang salah hingga kalian dapat memperbaiki dan meluruskan masalahnya. Saya tidak tahu apakah hal itu bisa dikatakan sebagai menempuh jarak di jalan yang salah atau terjerumus ke dasar jurang. Akan tetapi, karena hakikat telah diputarbalikkan, yang lurus diperlihatkan sebagai hal yang melenceng dan yang melenceng dianggap sebagai hal yang lurus, maka masyarakat sudah pasti teperdaya. 

 

Dari sudut pandang ini, kita benar-benar membutuhkan orang-orang budiman yang mencintai tanah air, bangsa, dan agamanya untuk mengatakan hal yang sebenarnya terjadi; untuk menjadi contoh dalam berpikir, menyuarakan, dan mengungkapkan hakikat secara benar di hadapan perkataan dan pemikiran yang melenceng.

Karena pertimbangan-pertimbangan baik yang disiarkan oleh beberapa wadah seperti koran, majalah, televisi, dan internet akan mendorong masyarakat untuk berhati-hati dan bertafakur serta membantu mereka untuk melihat kebenaran. Suara dan napas yang dapat mengutarakan kebenaran sangatlah dibutuhkan, khususnya pada masa di mana media memutarbalikkan fakta serta mengganti subjek dan objek seperti contoh berikut ini, “Mereka mencuri kambing Pak Ustaz,” menjadi, “Pak Ustaz mencuri kambing mereka.”

 

Selain itu, keberadaan lembaga media yang menjadi representasi akhlak mulia dan kebenaran akan mendorong lembaga-lembaga media lain untuk lebih berhati-hati. Keberadaan media yang jujur akan membuat media lain tidak mudah merilis berita-berita yang mereka ketahui tidak benar dan terdistorsi. Hal ini karena mereka merasa takut jika nanti kebohongannya akan terungkap.

 

Oleh karena itu, daripada menghabiskan energi untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan media saat ini, lebih baik kita berusaha melakukan segala sesuatu dengan benar dan fokus pada pekerjaan kita.


Kita harus berusaha menyampaikan kebenaran kepada orang-orang dengan beragam cara. Kita juga harus berusaha menyampaikan suara dan hembusan napas kita pada media sosial yang sering digunakan banyak orang untuk berinteraksi. Sehingga ketika menekan tautan internet, orang-orang tidak hanya menjumpai kebohongan-kebohongan dan fitnah-fitnah belaka. Mereka juga perlu memiliki kesempatan untuk melihat kebenaran yang sesungguhnya. Ke mana pun mereka melihat, apa pun yang mereka buka dan baca, kita perlu menyediakan perspektif alternatif yang dapat memperbaiki pemikiran dan membuka mata mereka saat membacanya.

Menghapuskan Opini-Opini yang Keliru

Di Turki, sejak masa Tanzimat[3] hingga masa sekarang, saya merasa sebagian pihak yang memiliki kekuatan, telah menekan kalangan religius karena merasa telah mendapatkan mandat dari negara atau merasa bahwa kondisilah yang menyebabkan mereka harus mengambil langkah demikian. Mereka menyerang karena alasan-alasan yang tidak masuk akal. Mereka bertindak keras dan ekstrem dalam menghadapi hak dan permohonan yang paling fitri sekalipun. Mereka tidak hanya mengabaikan prinsip-prinsip akhlak dan agama, aturan demokratis dan hak asasi manusia pun mereka campakkan. Mereka menjadikan hal-hal sepele sekalipun sebagai alasan untuk bertikai. Oleh karena itu, orang-orang beragama merasa bahwa diri mereka selalu ditindas. Hal tersebut tercermin dalam pemikiran, sikap, dan perilaku mereka.  Mereka pun selalu merasa terancam. Perasaan dalam dirinya selalu diliputi kekhawatiran seperti, “Apakah kita bisa mengungkapkan pendapat? Apa dampak yang akan terjadi jika kita mengungkapkan pendapat?” Oleh karena itu, di masyarakat lahir orang-orang yang satu sama lain terasing dan tidak memahami bahasa dan gestur di antara mereka. Masyarakat terbelah pada kubu-kubu yang terminologi, gaya, uslub bicara, dan nilai-nilainya berbeda.

 

Dari sudut pandang ini, pertama-tama mereka hanya fokus pada orangnya, bukan pada ide dan pemikiran yang dipaparkan. Mereka melihatnya bukan karena keindahan dan manfaatnya. Meskipun kalian merancang sebuah proyek yang berguna demi kebaikan bangsa dan negara, kendati kalian telah memaparkan pemikiran yang sangat bernilai sekalipun, keputusan yang diambil tidaklah berdasar pada seberapa bagus ide dan presentasi tersebut, melainkan berdasar pada penilaian kelompok orang yang dominan terhadap pribadi orang-orang yang mengungkapkan ide-ide tersebut.   Apabila ada salah satu pihak yang melabeli kalian sebagai “si anu” atau “si itu” dan memandang kalian dari sudut pandang tersebut, maka mereka akan menilai setiap gerakan sesuai dengan pandangan itu. Meskipun kalian dapat membangun anak tangga untuk bisa mengantarkan masyarakat ke surga dan membantu separuh badan mereka masuk ke dalamnya, mereka tetap akan berusaha mencari kesalahan sehingga membuatnya tidak terselamatkan dari kekangan rasa curiga.

 

Pertama-tama, kita semua harus menyadari kenyataan ini. Jika hingga saat ini beberapa pihak tertentu berupaya memberikan kesalahpahaman tentang diri kalian, bahkan telah menutup semua pintu husnuzannya, maka mereka sama sekali tidak akan menerima kalian jika tidak sepemikiran dengan mereka dan tidak akan pernah senang dengan setiap perbuatan kalian. Meskipun demikian, tidak ada hal lain yang dapat dilakukan selain menjelaskan siapa diri kita melalui beragam cara. Dalam hal ini, kita perlu memikirkan banyak alternatif, menemukan jalan yang baru, dan sebisa mungkin mendapatkan tempat untuk mengenalkan diri kita dengan sebaik-baiknya di platform-platform yang biasa mereka baca, mereka dengar, dan mereka tonton.

 

Kita tidak boleh berputus asa. Apabila kita dapat melakukan kewajiban tanpa melakukan kesalahan dalam hal penggunaan metode, maka seiring berjalannya waktu kita akan menyaksikan  orang-orang mulai mengenal kita secara benar dan mengubah perspektifnya. Pada kenyataannya betapa sering kita jumpai orang-orang yang datang menghampiri dan mengatakan, “Ternyata kami telah salah menilai kalian dan belum mengenal kalian dengan baik”, kemudian meminta maaf atas sikap yang telah mereka lakukan. Akan tetapi, kita tidak boleh lupa bahwasanya amatlah sulit menafikan pandangan yang kurang sesuai terhadap kita dan telah lama terpatri di kepalanya untuk kemudian berharap mereka dapat berlapang dada menyadari kesalahannya. Jangan sampai lupa juga bahwa tidak mungkin menjelaskan sesuatu kepada orang-orang hanya dengan satu atau dua kali penyampaian saja. Kita harus tetap dengan sabar dan gigih menjelaskannya. Apa pun yang terjadi jangan sampai lupa bahwa Allah ta’ala telah menciptakan manusia dengan kemuliaan serta meletakkan perasaan adil dalam memandang sesama pada egonya. Sebagaimana keadilan merupakan sebagian dari agama[4], ia juga merupakan fitrah dari manusia.  

 

Dari segi ini, mungkin suatu hari fitrah itu akan datang dalam sanubarinya sehingga ia pun terselamatkan dari pandangan yang keliru. Sebenarnya terdapat beberapa langkah-langkah strategis yang dapat ditempuh. Akan tetapi, saya tidak yakin bahwa ia telah digunakan dengan baik.

Kehalusan dan Kelemahlembutan

Perasaan dan pemikiran kita sering kali dibentuk oleh kultur tempat kita tumbuh. Karena kita berada di antara orang-orang yang saling bertikai dan bertengkar, kita pun masuk ke jalan mereka dan bersikap seperti mereka. Si fulan mengatakan sesuatu, kita pun mengatakan sesuatu untuk membalasnya. Sebagaimana mereka menghina diri kita, sayangnya tak jauh beda dengannya kita pun menghina mereka. Akan tetapi, jika masing-masing diri ataupun kelompok melanjutkan gesekan, ketegangan, cemoohan, dan saling menyikut, itu berarti kita telah menjadikan orang-orang semakin jauh dari diri kita.

 

Ya, kebenaran haruslah disampaikan. Hakikat kebenaran tak boleh dikorbankan atas nama apa pun. Kebenaran haruslah dijunjung tinggi dan terkait hal ini tak boleh ada kompromi. Akan tetapi, sebagaimana mengagungkan nilai kebenaran itu merupakan hal yang penting, upaya mengajak orang-orang untuk menerima hal tersebut serta metode dan tata cara yang akan diambil pun merupakan hal penting lain yang harus diperhatikan. harus diperhatikan. Selain kita harus berdiri teguh demi nilai-nilai yang kita yakini dan bergerak setulus hati, akal dan logika pun jangan sampai diabaikan. Kita harus mempertimbangkan perasaan lawan bicara dan memperkirakan sejak dini reaksi apa yang akan muncul dari perkataan yang akan dikatakan dan tulisan yang akan ditulis.

 

Apabila kita menggunakan media semata-mata hanya untuk menyenangkan hati kita, membalaskan dendam kepada orang-orang yang telah menindas kita, membalas lemparan batu mereka dengan lemparan serupa, maka kita tidak akan pernah meraih kemajuan apa pun. Berdiri tegak melindungi kedaulatan negara dalam menghadapi musuh adalah sikap yang layak dipuji. Sikap yang sebaliknya adalah tanda kelemahan. Akan tetapi, dalam menjelaskan nilai yang diyakini, terlebih pada periode di mana pedang materi telah disarungkan (yaitu masa di mana penaklukan tidak lagi dilakukan dengan kekuatan fisik, penerj.), kita perlu bersandar pada kemanusiaan dan sikap welas asih. Penyelesaian masalah harus dilakukan melalui mekanisme hati nurani. Seorang manusia seharusnya tahu kapan ia perlu menahan dirinya. Ia tidak harus memberikan tanggapan demi membalas kata-kata dari lawan bicaranya. Ia harus menjauhi sikap emosional dan ceroboh.

 

Bagaimanapun orang lain bersikap, tidak seharusnya kita membalas serangan mereka dengan serangan yang sama; menanggapi emosi mereka dengan emosi yang sama; dan menyikapi luapan amarah mereka dengan luapan yang sama.


Kita harus teguh dengan nilai-nilai yang kita yakini, tetapi jangan sampai berakhir dengan situasi saling menantang satu sama lain. Kita harus bersikap lemah lembut kepada orang-orang yang telah menyerang kita sampai mereka menyerah dari apa yang telah mereka usahakan sehingga mereka pun menyesalinya dan bahkan malu karena telah melakukannya. Kita harus berpikir sebelum berbicara dan menulis. Mari bergerak dengan sistematika yang demikian. Kita harus menimbang segala sesuatu minimal sepuluh kali sebelum melakukan setiap urusan. Selebihnya, mari kita selesaikan permasalahan melalui jalan musyawarah dan kesadaran kolektif. Apabila kita tetap menerima hasil negatif meski telah melakukan semua ini, maka kita bisa berkata “Apa boleh buat, takdirnya memang seperti ini”.

Mengelola Agenda

Sayangnya kita lebih banyak menyikapi agenda-agenda yang telah ditentukan orang lain. Kita selalu berada pada posisi bertahan. Kita banyak menghabiskan energi untuk membalas argumen mereka. Kita harus melepaskan diri kita dari kondisi ini dan berhenti mengikuti agenda orang lain. Kita harus menentukan agenda kita sendiri.  Akan tetapi, menentukan agenda bukanlah hal yang mudah dan sederhana. Sebelum diterbitkan, dampak apa yang akan terjadi dengan agenda tersebut perlu diperhitungkan dengan baik. Komentar, saran, dan kritik apa saja yang akan dilontarkan sehubungan dengan masalah yang akan dipaparkan perlu dipertimbangkan dengan matang dan di waktu yang sama bagaimana mereka akan menanggapi semua hal ini pun perlu ditentukan lebih dalam.

 

Terkadang Anda mengajukan sebuah agenda dan mengumpulkan opini publik. Akan tetapi, Anda akan kewalahan karena argumen yang disiapkan lemah dan jawaban alternatif yang akan diberikan juga belum siap. Dengan kata lain, ketika Anda mencoba menyampaikan suatu agenda, karena jawaban dan argumen tidak memadai Anda justru kemudian menyerah kalah. Ketika berusaha mengelola agenda, hendaknya langkah yang diambil jangan sampai memberikan kesempatan bagi orang lain yang menjadi oposisi kemudian menyerang kita. 

 

Saat menentukan agenda, isu-isu yang mayoritas orang akan mengatakan "ya" dan akan bermanfaat bagi kepentingan negara harus diangkat dan dinegosiasikan. Ia harus disokong oleh nilai-nilai bersama yang dianut oleh semua lapisan masyarakat. Untuk bisa meraihnya, kita harus mengenal masyarakat dengan sangat baik. Dengan demikian, pemikiran dan perasaan masyarakat dapat diperhitungkan. Agenda-agenda yang akan menimbulkan keragu-raguan, kesalahpahaman, dan ketegangan di masyarakat harus dihindari. Ibarat penyajian makanan yang memiliki tata cara dan tahapannya sendiri, demikian juga dengan cita-cita agung dan nilai-nilai mulia yang hendak disuguhkan kepada masyarakat, ia harus dihidangkan sesuai tata cara yang berlaku.

[1] https://fgulen.com/tr/eserleri/kirik-testi/medya-etigine-dair-bazi-mulahazalar-2

[2] Psikologi massa adalah cabang psikologi yang berhubungan dengan proses perilaku dan pemikiran baik dari anggota massa maupun massa itu sendiri. Ia berkembang pada pertengahan abad ke-19. Psikologi massa seringkali dipengaruhi oleh hilangnya tanggung jawab seseorang dan pandangan akan perilaku universal yang besaran intensitasnya bertambah sesuai dengan jumlah massa. Perilaku massa turut serta dalam menentukan kadar stress individu. Masyarakat memiliki pengaruh yang cukup besar bagi perkembangan tiap-tiap anggotanya. Pengaruh yang diberikan masyarakat terhadap perilaku anggota-anggotanya di antaranya berupa tekanan, harapan, penilaian, dan dukungan, penerj.

[3] Tanzimat secara literal berarti reorganisasi. Ia dinisbatkan kepada periode reformasi Kesultanan Usmani yang bermula pada 1839 M hingga dimulainya Era Konstitusional Pertama pada tahun 1876 M. Reformasi ini bertujuan mengintegraasikan orang-orang non Turki ke dalam masyarakat Usmani melalui peningkatan hak mereka sebagai warga negara dan memberikan kesetaraan peran dalam struktur pemerintahan Usmani, penerj.

[4]  Ammar berkata, "Ada tiga perkara yang barangsiapa dapat mengumpulkan ketiga hal itu dalam dirinya, maka ia telah dapat mengumpulkan keimanan secara sempurna. Yaitu, memperlakukan orang lain sebagaimana engkau suka dirimu diperlakukan oleh orang lain (adil dalam memandang dan memperlakukan sesama), memberi salam terhadap setiap orang (yang engkau kenal maupun yang tidak engkau kenal), dan mengeluarkan infak di jalan Allah, meskipun hanya sedikit." (HR Bukhari No. 19). Keterangan hadis dikutip dari https://sorularlaislamiyet.com/insaf-dinin-yarisidir-diye-bir-hadis-var-mi, penerj.