Musibah, Jalan Menuju Tauhid yang Sejati

Musibah, Jalan Menuju Tauhid yang Sejati

Pertanyaan: Apakah bala’ dan musibah yang dihadapi memiliki peran dalam mengantarkan kita menuju tauhid yang sejati?[1]

Jawaban: Tauhid hakiki adalah kemampuan menyaksikan sifat kudrat dan iradat-Nya dalam setiap peristiwa yang terjadi. Ia juga berarti kemampuan seseorang untuk secara iradi melepaskan diri dari segala sebab yang meliputinya dengan segala kemegahan, padahal ia hidup di dalam dunia sebab, tetapi kemudian mampu untuk berseru “Allaaah!”. Mayoritas mereka yang mampu meraih perspektif seperti ini adalah para sosok agung yang merupakan pahlawan kalbu dan jiwa. Mereka melipatgandakan usaha pengasingan diri dan karena mereka tidak melihat dirinya sebagai sesuatu maka mereka pun selalu menengadahkan diri hanya kepada-Nya. Mereka fokus untuk melihat apa yang perlu dilihat saja. Mereka tidak menyaksikan sebab-sebab sebagai wajah dari setiap peristiwa, melainkan hanya melihat Sang Musabbibul Asbab, Sang Pencipta segala sebab.

Orientasi Jabiri Lutfi[2] Menuju Tauhid

Penjelasan detailnya kurang lebih sebagai berikut: tauhid sejati adalah bagaimana seorang manusia tak goyah ketika hidup dalam rangkaian sebab demi sebab yang bisa membuat kepala ini jungkir balik dan pandangan menjadi kabur. Dalam kondisi yang demikian, ia bisa tetap menjadi layaknya jarum kompas di mana ia selalu bisa menunjuki Allah jalla jalaluhu sebagai Sang Musabbibul Asbab. Sayangnya, meraih cakrawala untuk selalu menunjuk kepada-Nya layaknya kompas yang tak pernah salah menunjuki arah dalam kehidupan nyata sangatlah sulit. Akan tetapi, sebagaimana disampaikan dalam ayat:

أَمَّنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ

“Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan (QS An Naml 27:62),” manusia akan mengarahkan wajahnya kepada Allah ketika bala dan musibah menimpa, di saat semua sebab terdiam dan membisu serta semua dahan tempat berpegangan terlepas dari genggaman tangan. Demikianlah, orang-orang yang lengan dan sayapnya patah serta tidak bisa melakukan apa-apa lagi kemudian menyadari bahwa hanya Zat yang Mahakuasa dan Berkuasa tanpa batas yang dapat membantu mereka. Mereka pun bertawajuh kepada-Nya dengan penuh konsentrasi. Ya, di masa ketika rantai sebab-akibat diam membisu; ketika manusia menyimak suara hati nuraninya, mereka akan dapat merasakan bahwa manifestasi rahmat-Nya yang luar biasa tengah menyelimuti dan melindungi mereka dari terpaan masalah. Pada masa yang demikian, seseorang akan menyadari bahwasanya sebab demi sebab hanyalah tabir belaka. Dia kemudian akan memahami adanya Kekuatan dan Kehendak Mutlak di balik tabir tersebut. Itulah yang disebut sebagai jendela menuju tauhid yang sejati.

Rahasia Ahadiyyah yang Muncul di dalam Cahaya Tauhid

Dalam hal ini, kisah Nabi Yunus bin Matta a.s. merupakan contoh yang baik untuk membantu kita memahami konsep ini. Sebagaimana diketahui, ketika semua sebab terdiam dan membisu, Nabi Yunus a.s. di dalam perut ikan kemudian bertawajuh kepada Allah dan beliau menyucikan-Nya dengan doanya yang terkenal: لَا إِلٰهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ ”Tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim”. Doa dan tawajuhnya ini pun menjadi sarana keselamatan baginya. Ustaz Badiuzzaman menjelaskan peristiwa ini dengan luar biasa dalam karyanya, al Lama'at.  Faktanya, meskipun sebagian orang melihat penjelasan beliau tentang masalah ini sebagai sesuatu yang sederhana karena mungkin sudah sering dan terbiasa mendengarnya, pada kenyataannya penjelasan tersebut sangatlah mendalam dari segi kebenaran tauhid dan prinsip-prinsip iman.

Nabi Yunus a.s. menumpahkan isi hati dan menjelaskan kondisinya kepada Allah Swt. Dia memutuskan untuk naik kapal, pergi meninggalkan kota Niniwe dan umatnya tanpa menunggu turunnya perintah dari Allah.  Ketika bencana menimpanya, beliau segera melakukan muhasabah secara mendalam dan berpikir bahwa musibah itu terjadi karena kesalahannya sendiri. Beliau kemudian mengetuk pintu kasih-Nya. Ketika rangkaian sebab diam membisu, hanya Allah saja yang bisa menyelamatkannya dari gelapnya malam, dinginnya laut, dan mencekamnya situasi di dalam perut ikan. Seiring dengan tobat dan doanya ini, berkat rahasia ahadiyyah bermakna tawajuh khusus dari Sang Haq dalam balutan cahaya tauhid, maka kegelapan yang meliputi lenyap, pengaruh dari rantai sebab dan akibat sirna, Nabi Yunus a.s pun terdampar di pantai keselamatan.

Sebagai seorang nabi, Nabi Yunus a.s. mungkin telah menerima pesan khusus dari Allah SWT tentang apa yang harus dia lakukan dalam menghadapi musibah seperti itu. Apa yang beliau alami adalah mukjizat. Orang biasa tidak akan mungkin bisa bertahan hidup di dalam perut ikan karena fitrah manusia tidak diciptakan untuk bisa hidup di lingkungan yang tidak memiliki oksigen. Akan tetapi, atas berkat wahyu dari Allah beliau tidak pernah berputus asa Beliau melakukan tawajuh dengan paripurna. Dengan kesadaran tauhid yang penuh dengan keikhlasan beliau hanya memalingkan wajahnya kepada Allah hingga akhirnya meraih keselamatan.

Melodi Tauhid yang Muncul dari Instrumen Bala dan Musibah

Masing-masing diri kita bisa saja mengalami peristiwa yang sama seperti yang menimpa Nabi Yunus. Tidak hanya pada level individu, tetapi juga pada level keluarga maupun level komunitas masyarakat. Bahkan dalam beberapa kondisi tertentu, seluruh anggota masyarakat tanpa kecuali bisa jatuh dalam kondisi tak bisa melakukan apa-apa lagi. Mereka hanya bisa menggeliat tanpa bisa menghindari ataupun menyelamatkan diri darinya. Yang terpenting adalah melewati segala permasalahan dengan rasa penasaran dan keinginan untuk menyelidiki hikmahnya. Membaca dan mengevaluasi setiap peristiwa merupakan penerang jalan menuju tauhid sejati di bawah cahaya beragam musibah. Allah Swt adalah Zat yang suci dan bersih dari melakukan pekerjaan yang sia-sia. Dia bisa saja menciptakan kondisi di mana hamba-hamba-Nya tak bisa berbuat apa-apa supaya mereka meraih beberapa pelajaran. Apabila umat manusia menyadari hakikat ini lalu menghadapi segala macam persoalan yang dihadapi dengan penuh rida serta memalingkan wajah hanya kepada-Nya, maka kehidupannya di dunia akan sejahtera dan di akhirat nanti ia akan dibangkitkan sebagai golongan orang yang beruntung. Segala permasalahan yang dihadapi selama hidup di dunia akan diganti dengan yang lebih baik untuk kehidupan akhirat. Di akhirat, tetes air dibalas dengan lautan, sedangkan sebiji atom akan diganti dengan mentari.

Demikianlah, bergulat dengan musibah-musibah akibat langkah atau pikiran yang diambil mungkin secara lahiriah tampak buruk. Namun, melalui ujian-ujian ini bisa jadi sebenarnya Allah Swt. berkehendak supaya hamba-Nya tersebut hanya berpaling kepada-Nya. Keadaan tak berdaya merupakan sebuah peluang di mana pintu kesempatan menuju tauhid sejati sedikit demi sedikit terbuka. Oleh karena itu, bala dan musibah harus dipandang sebagai salah satu bentuk dari anugerah ilahi sedari permulaannya. Kita bisa menyambutnya dengan syair terkenal:

Apabila datang musibah dari Sang Jalal
Ataupun anugerah dari Sang Jamal
Keduanya menenteramkan hati
Apapun yang berasal dari-Mu, baik musibah ataupun anugerah, keduanya wangi.

Demikianlah, setelah menyadari bahwasanya semua bala dan musibah yang datang berasal dari-Nya serta kita mampu menghadapinya dengan penuh rasa rela, baik angin sepoi-sepoi ataupun angin ribut keduanya sama-sama menghadirkan kebaikan.

Supaya permasalahan individu, keluarga, dan masyarakat dapat menjadi sarana kebangkitan dan berpalingnya manusia kepada Allah, setidaknya dibutuhkan tanda-tanda kehidupan dan denyutan jiwa yang mampu menyaksikannya dengan kesadaran seperti itu. Meskipun berada dalam keadaan koma sekalipun, apabila jantung dan otak belum mengalami kematian, masih ada kemungkinan ia kembali sadarkan diri dengan memberinya kejutan listrik. Pada hari ini di negara-negara mayoritas muslim para pasien yang berada dalam kondisi koma atau korban kecelakaan lalu lintas tetapi masih menunjukkan tanda-tanda kehidupan serta jantung dan otaknya belum mengalami kematian mirip dengan kondisi seorang penyintas. Seberapa buruk kondisinya, meski cacat sekalipun, asalkan jantung dan otaknya belum mengalami kematian, ia masih memiliki harapan untuk sadarkan diri. Untuk menyadarkannya dibutuhkan kejutan dalam dosis yang serius.

Sedari dulu hingga sekarang, betapa banyak anak manusia yang kemudian dibangkitkan melalui tambahan inayat dan anugerah-Nya karena mereka kembali bertawajuh kepada-Nya setelah mendapatkan tekanan berupa bala dan musibah.  Demikian juga pada hari ini, Allah Swt bisa saja mengantarkan generasi kita menjadi kandidat bagi kebangkitan yang lahir dari proses seperti itu. Tugas kita adalah membaca hakikat dari setiap bala dan musibah yang terjadi dengan perasaan tak berdaya. Mari kita berpaling kepada-Nya melalui sebuah tawajuh yang sempurna dalam kesadaran akan kepapaan dan kefakiran diri ini.


[1] Diterjemahkan dari artikel: https://fgulen.com/tr/eserleri/kirik-testi/musibetten-hakiki-tevhide-giden-yol

[2] Istilah Jabiri Lutfi mengacu pada rahmat yang diberikan Tuhan Yang Mahakuasa kepada manusia tanpa dicampuri kehendak dan pilihannya. Rahmat tersebut sering muncul secara lahiriah dalam keadaan yang tidak menarik.