Permusuhan Terhadap Kekasih Allah

Permusuhan Terhadap Kekasih Allah

Pertanyaan: Dalam sebuah hadis qudsi Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: ممَنْ عَادٰى لِي وَلِيًّا فَقَدْ اٰذنْتُهُ بِالْحَرْبِ ’Barang siapa memusuhi wali-Ku, sungguh Aku mengumumkan perang kepadanya (HR Imam Bukhâri, no. 6502; Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliyâ‘ , I/34, no. 1). Setelah itu, isi dari hadisnya kemudian membahas bagaimana para hamba mendekati-Nya melalui ibadah fardu dan nafilah.  Bagaimana kita seharusnya memahami deklarasi perang, kualitas pendekatan kita kepada Allah, dan hubungan antara keduanya?[1]

Jawab: Selain hadis ini, dalam beberapa ayat berbeda di Al-Qur’an terdapat pembahasan tentang kekasih-kekasih Allah.  Misalnya dalam surat Yusuf terdapat berita gembira bagi para kekasih Allah: أَلَۤا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati (QS Yunus 10:62). Pada kelanjutan ayatnya terdapat penjelasan: الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa (QS Yunus 10:62). Melalui dua ayat ini, Allah sedang menarik perhatian kita kepada dua karakter penting yang dimiliki oleh para kekasih-Nya. Yaitu iman yang kamil dan takwa.  Pada ayat selanjutnya dibahas: لَهُمُ الْبُشْرَى فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ لَا تَبْدِيلَ لِكَلِمَاتِ اللَّهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ “Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan) di akhirat. Tidak ada perubahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar.” Janji Allah tidak akan pernah berubah. Melalui pernyataan “Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar” ditekankan bahwa para waliullah yang memiliki karakter-karakter tersebut akan mendapatkan ganjaran yang demikian baik.

Ayat إِنَّ وَلِيِّيَ اللَّهُ الَّذِي نَزَّلَ الْكِتَابَ وَهُوَ يَتَوَلَّى الصَّالِحِينَ “Sesungguhnya pelindungku ialah Allah Yang telah menurunkan Al Kitab (Al Quran) dan Dia melindungi orang-orang yang saleh (QS Al A’raf 7:196) menyampaikan bahwasanya hamba-hamba yang saleh adalah para kekasih-Nya. Jadi Allah terlibat dalam setiap aktivitas yang mereka lakukan. Allah mendorong mereka untuk melakukan kebaikan. Dengan ilham, waridat (yaitu ilham, anugerah, dan makna yang datang ke dalam kalbu tanpa keterlibatan iradat maupun ikhtiar dari seorang hamba), dan kemurahan dari-Nya, Dia menerangi jalan para kekasih-Nya. Dalam surat Al Baqarah, ungkapan tersebut bahkan disebutkan lebih umum yaitu bahwasanya Allah adalah wali bagi seluruh orang beriman dan Dia menganugerahi mereka dengan hidayah-Nya: اَللهُ وَلِيُّ الَّذِينَ اٰمَنُوا يُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ “Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman)” (QS Al-Baqarah 2:257). 

Kewalian Objektif dan Kewalian Subjektif

Apabila kita menyimak ayat-ayat mulia tersebut, kewalian yang dibahas di dalam Al-Qur’an bersifat mutlak, umum, dan terbuka bagi siapa saja.  Oleh karena itu, semua orang yang beriman kepada Allah dan mengerjakan amal saleh akan menjadi wali-Nya dan dapat dikatakan memasuki wilayah untuk menjadi kekasih-Nya.  Oleh karena itu, Allah pun akan menolong mereka yang meniti jalan-Nya dan membimbing mereka yang menjadi kekasih-Nya untuk melangkah di jalan yang benar.  Jika kita membahasnya lebih luas lagi, maka barang siapa yang ketika melangkah selalu menggunakan kehendak Allah yang Mahasuci sebagai asas; hanya menjadikan rida-Nya sebagai tujuan; menunjukkan usaha dan upaya melalui sarana terbesar untuk meraih keridaannya yaitu ilayi kalimatullah, maka Allah akan menjadi wali baginya; dan sebagaimana disampaikan dalam ayat Al Qur’an, Allah tidak akan membiarkan mereka sendirian, baik di dunia maupun di akhirat.

Anda dapat menyebut mereka yang memenuhi kriteria Qur’ani yang terbuka bagi siapa saja ini sebagai kewalian objektif. Akan tetapi, selain itu juga ada yang disebut sebagai kewalian dalam istilah makna. Sebenarnya para sufi mengkategorikan kata wali dengan makna tasawuf serta makna lain yang lebih spesifik. Supaya seseorang bisa meraih kewalian dalam makna istilah yang demikian, di depannya terdapat beberapa jalan yang berbeda. Ia, harus melakukan suluk di salah satu jalan tersebut kemudian menyempurnakan langkahnya dengan memenuhi segala rukun dan adab yang diamanatkan olehnya. Seseorang bisa memilih jalan dan mengikuti ushul mana pun, sebagai kelanjutannya ia akan berusaha menuju Allah dengan meniti kehidupan roh dan kalbu melalui ditinggalkannya keinginan-keinginan jasmani. Oleh karena kewalian ini tidak terbuka bagi siapa saja serta membutuhkan mujahadah dan mujadalah yang amat serius terhadap nafsu, maka jenis kewalian ini dapat disebut sebagai kewalian subjektif. 

Menurut pendapat saya, yang dibahas di dalam ayat dan hadis tersebut adalah kewalian objektif yang berlaku secara umum. Oleh karena itu, kewalian jenis ini bisa diraih oleh semua orang. Jadi, selama kaum mukminin senantiasa mengerjakan amal saleh dan menjaga keistikamahannya, maka ia akan meraih kabar gembira yang dibahas dalam ayat dan hadis tersebut. Pada hakikatnya di dalam Al Quran terdapat banyak ayatul karim yang menyampaikan ganjaran bagi orang-orang mukmin yang mengerjakan amal-amal saleh.

Musuh-Musuh Kekasih Allah dan Jawaban dari Allah

Pada hadis tersebut, lafal teks مَنْ عَادٰى لِي وَلِيًّا menyampaikan bahwasanya sosok-sosok wali berkaitan dengan langsung kepada-Nya. Teks ini dapat Anda pahami sebagai berikut: “Barang siapa memusuhi orang-orang yang berada di bawah pengayoman-Ku...” Oleh karena itu, permusuhan yang ditujukan kepada sosok-sosok “wali”, permusuhannya tidaklah terbatas kepada pribadi mereka belaka. Karena mereka berada di bawah pengayoman Allah, maka segala macam permusuhan dan serangan kepada mereka juga berarti serangan dan permusuhan kepada Allah. Dari sisi ini, permusuhan kepada kekasih-kekasih Allah, permusuhan yang dipelihara dan ditujukan kepada pribadi-pribadi yang berada di bawah pengayoman Allah merupakan permusuhan kepada Allah, agama, nabi, dan kitab suci.

Oleh sebab itu, meskipun secara lahiriah mereka hanya memusuhi para waliullah, tetapi secara hakikat mereka merupakan musuh agama sehingga Allah pun mengumumkan perang kepada mereka melalui teks hadis berikutnya: اٰذنْتُهُ بِالْحَرْبِ. Makna dari teks ini adalah: ”Jika bukan sekarang berarti besok, yang pasti suatu saat kehidupan mereka akan Ku-padamkan.” Allah jalla jalaluhu menjawab secara langsung permusuhan yang diarahkan kepada para kekasih-Nya. Hal ini menunjukkan bahwa para kekasih-kekasih ini berada di bawah ikatan Ilahi.  Inayat, riayah (penjagaan atau perlindungan), dan qilaat قلاع  (proteksi) Allah berada di atas mereka.  Oleh karena itu, orang-orang yang berani mengganggu mereka akan berhadapan dengan Allah.

Namun, apabila kita berusaha memahami hukuman dari Allah ini sesuai hawa nafsu pribadi maka artinya kita telah melakukan kesalahan. Hukuman di sini sekali lagi akan muncul sesuai kehendak Allah. Dari sisi ini, kita tidak akan pernah tahu kapan dan seperti apa hukuman yang akan diberikan oleh Allah. Misalnya dalam sebuah hadis Baginda Nabi bersabda: إِنَّ اللَّهَ لَيُمْلِي لِلظَّالِمِ حَتَّى إِذَا أَخَذَهُ لَمْ يُفْلِتْهُ yang artinya “ Allah menangguhkan siksaan kepada orang-orang zalim (supaya mereka berpaling dari kezalimannya). Dan apabila Allah telah menghukumnya, maka Dia tidak akan pernah melepaskannya (HR Bukhari, bab Tafsirus Surah (11) 5; HR Muslim, bab Birru, 61). Kemudian Rasulullah membacakan ayat: وَكَذَلِكَ أَخْذُ رَبِّكَ إِذَا أَخَذَ القُرَى وَهِيَ ظَالِمَةٌ إِنَّ أَخْذَهُ أَلِيمٌ شَدِيدٌ yang artinya: Dan begitulah azab Tuhanmu, apabila Dia mengazab penduduk negeri-negeri yang berbuat zalim. Sesungguhnya azab-Nya itu adalah sangat pedih lagi keras. (QS Hud 11:102).  

Di titik tersebut, Anda dapat membayangkan dampak yang diterima oleh kaum terdahulu sebagaimana dikisahkan oleh Al-Qur’an.  Bagaimana kaum Nabi Nuh, Hud, Saleh, Musa, Syuaib dan Luth dihancurkan dengan azab yang pedih ditampilkan di hadapan mata kita sebagai pelajaran dari Al-Qur’an.      

Tidak ada keraguan bahwasanya terdapat hikmah dari diberikannya tempo waktu sebelum kaum yang zalim dihancurkan.  Ini adalah kesempatan yang diberikan supaya mereka meninggalkan kezaliman-kezaliman yang diperbuatnya.  Kedua, melalui tempo ini Allah mengambil semua alasan dari tangan mereka. Jadi, karena mereka telah diberi kesempatan untuk bertobat dan mengetuk pintu rahmat sekali lagi, maka mereka tidak berhak untuk merasa keberatan di akhirat nanti.

Kita harus memahami hikmah yang berada di balik diberikannya periode waktu kepada orang-orang zalim. Sebaiknya kita juga tidak terburu-buru mengadukan orang-orang zalim kepada Allah atas keburukan yang mereka lakukan. Ya, barangkali Anda tersinggung karena kata-kata yang disampaikan seseorang kepada Anda. Barangkali terdapat perilaku kasar yang memancing emosi Anda. Mungkin mereka menggunjing atau memfitnah Anda atau meletakkan palang untuk menghalangi jalan Anda.  Apabila Anda berharap supaya orang-orang tersebut segera dihukum saat itu juga, maka tidak akan ada manusia yang tersisa di atas permukaan bumi.

Terkait hal ini, Allah telah memperingatkan kaum mukminin: لَيْسَ لَكَ مِنَ الْأَمْرِ شَيْءٌ أَوْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُونَ yang artinya: “Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu apakah Allah menerima taubat mereka, atau mengazab mereka karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zalim (QS Al Imran 2: 128).”  Pada dasarnya ayat ini berbicara kepada Rasulullah sekaligus bertujuan untuk memberi pelajaran kepada umatnya.  Apalagi beliau adalah sosok yang penuh kehati-hatian dan cermat, khususnya dalam menghadapai persoalan seperti ini.

Oleh sebab itu, apabila terdapat seseorang yang memusuhi Anda disebabkan agama yang Anda anut serta jalan hidup yang Anda ambil untuk merepresentasikan agama itu dengan tepat, janganlah Anda terburu-buru mengangkat tangan untuk mengutuknya. Dalam filosofi dan pemahaman kita, terdapat prinsip untuk tidak mengamini setiap kutukan. Terhadap mereka (orang-orang zalim), sebisa mungkin kita mendoakan supaya Allah berkenan memberikan hidayah-Nya dan memperbaiki kondisi mereka. Akan tetapi, jika pintu islah sudah tertutup maka kita serahkan urusan berikutnya kepada Allah. Ya, apabila orang-orang zalim tidak meninggalkan kezalimannya; jika mereka tidak membiarkan kaum muslimin lemah selamat dari siksaan dan kesengsaraan yang mereka timpakan sehingga kaum muslimin tak lagi dapat berdiri dengan tegak, maka di waktu itu kita bisa berdoa: ”Ya Allah, kekanglah tangan dan lengan mereka, bungkamlah mulut mereka, dan cerai-beraikan kekuatan mereka!” Pada dasarnya, doa tersebut memiliki makna: “Ya Allah, jangan biarkan mereka kembali berlaku zalim!” Dengan kata lain, melalui doa tersebut kita meminta supaya Allah menghalangi mereka dari perbuatan fitnah dan hasut.

Sebenarnya bagi para ahli tawakal, ahli tafwidh (yaitu orang yang menyerahkan segala sesuatu kepada Allah dan menerima segala ketentuan dari-Nya dengan lapang dada), dan ahli tsiqoh (dapat dipercaya), berdoa seperti itu pun bisa dikatakan tidak sepenuhnya tepat apabila dipandang dari segi kedekatan hubungan mereka dengan Allah. Akan tetapi, tak boleh dilupakan bahwa setiap orang memiliki batas ketahanannya masing-masing. Kemudian, selain memiliki perasaan dan paradigmanya sendiri, mempertimbangkan pandangan umum dari orang-orang yang berada di lingkungan sekitarnya juga dapat mendorong seseorang untuk berdoa seperti itu kepada Allah. Ya, kondisi seperti jatuhnya orang-orang sekitar ke dalam permasalahan yang serius, lalu saat nyawanya sedang terancam kemudian membuatnya tidak mampu memanjatkan doa secara tepat telah membuat beberapa orang yang memahami kondisi tersebut segera bertawajuh kepada Allah dan menjadi penerjemah bagi perasaan orang-orang yang terzalimi itu.

Ketika membahas pernyataan perang dari Allah dan seberapa pedih hukuman Allah kepada orang-orang zalim itu dapat dipahami dalam bentuk yang berbeda-beda. Hal ini karena seperti yang terlihat pada ayat-ayat yang membahas penghancuran beberapa kaum terdapat pendekatan tarbiah yang berbeda-beda. Menyamakan hukuman Allah dengan hukum manusia, misalnya kesalahan dengan besaran tertentu akan mendapatkan hukuman dengan skala tertentu, merupakan tindakan yang tidak tepat.  Adalah sebuah hal yang pasti bahwasanya akal manusia tidak mampu memikirkan pekerjaan-pekerjaan ilahi semacam itu dengan sempurna.  Oleh karena itu, kita harus mengetahui bahwasanya hukuman dan azab pun akan muncul sesuai hikmah dan maslahat dari sisi Allah.   

Dari hal tersebut, maka terkadang hukuman yang datang bisa saja hanya berupa tamparan kasih sayang. Karena bagi beberapa orang tamparan kasih sayang saja sudah cukup untuk mengambil pelajaran. Akan tetapi, dibutuhkan tamparan yang lebih keras supaya sebagian orang lagi dapat mengembalikan fungsi akalnya. Oleh karena itu, kepada mereka diberikan hukuman dan musibah yang lebih berat. Beberapa orang dapat diberi tamparan kemurkaan, beberapa orang diberi tamparan untuk disingkirkan (dengan hukuman yang keras dan bermakna), beberapa diberi tamparan berupa dimusnahkan dari muka bumi. Ya, hukuman yang datang kadang ringan, kadang pula berat. Terkadang Allah mengambil semua kemampuan yang dimiliki oleh orang yang zalim sehingga dengan demikian patahlah sayap kekuasaannya. Terkadang sesuai firman-Nya: إِنْ يَشَأْ يُذْهِبْكُمْ وَيَأْتِ بِخَلْقٍ جَدِيدٍ yang artinya “Jika Dia menghendaki, niscaya Dia memusnahkan kamu dan mendatangkan makhluk yang baru (untuk menggantikan kamu) (QS Fatir 25:16; QS Ibrahim 14:19)” Dia akan melenyapkan mereka dari muka bumi secara sekaligus dan menggantikan mereka dengan kaum baru yang akan memimpin nasib masyarakat berikutnya. Ya, apa pun yang dikehendaki Allah jalla jalaluhu, itulah yang akan terjadi. 

Perhatikanlah Dirimu Sendiri!

Pada dasarnya semua permasalahan yang dibahas tadi tidak berhubungan dengan kita secara langsung. Hukuman bagi orang-orang zalim merupakan wilayah Allah. Tugas kita adalah bagaimana bisa menjadi kekasih Allah, mencari jalan untuk bisa masuk ke dalam perlindungan-Nya, serta memperhatikan apakah kita sudah melangkah di garis yang benar atau tidak. Apakah sifat-sifat yang kita miliki sudah pantas untuk mendapatkan ganjaran serta kabar gembira yang dibahas dalam ayat-ayat tersebut.  Apakah iman kita sudah kokoh? Apakah kita berada di dalam wilayah takwa? Seberapa sensitif kita dalam mempraktikkan perintah-perintah agama pada kehidupan sehari-hari? Apakah kita sudah bisa membaca perintah-perintah takwini dengan benar dan mengerjakannya dalam keseharian? Dengan memperhatikan sikap dan perilaku kita, apakah kita telah berhasil menemukan penyebab sebenarnya dari bencana-bencana yang kita hadapi?

Doa Nabi Ya’kub dalam ayat: إِنَّمَۤا أَشْكُو بَثِّي وَحُزْنِۤي إِلَى اللّٰه  “Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku (QS Yusuf 12:86)” dan doa Nabi Muhammad ketika kembali dari Thaif: اَللّٰهُمَّ إِلَيْكَ أَشْكُو ضَعْفَ قُوَّتِي وَهَوَانِي عَلَى النَّاسِ “Ya Allah, kepada-Mu aku mengadukan kelemahanku, kekurangan daya upayaku di hadapan manusia (Ibn Sa’d, at-Tabakâtü’l-kübrâ 1/211-212; Ibn Hisyam, as-Sîratü’n-nabawiyyah 2/266-269)” menunjukkan pentingnya evaluasi diri sendiri. 

Di Thaif, pertama-tama mereka mengucapkan kata-kata tidak pantas kepada Rasulullah. Kemudian mereka lanjutkan dengan melempari/menyuruh (anak-anak) untuk melempari sosok beliau yang mulia. Demikian parahnya, kaki beliau yang mulia pun dipenuhi oleh darah.  Namun, daripada menghiraukan apa yang dilakukan orang-orang musyrik tersebut kepadanya, beliau lebih memilih mengadukan kelemahannya kepada Allah. Sebenarnya beliau sekali-kali bukanlah orang yang lemah lagi rendah, apalagi lesu dan papa, sungguh jauh dari sosok aslinya. Apabila ada seseorang yang menisbatkan kata-kata tersebut kepada Rasulullah, sesungguhnya dia telah keluar dari agama. Oleh karena kita, kita harus memandang doa beliau tersebut dari sisi kedekatan hubungannya dengan Allah. Beliau melalui ufuknya sendiri bisa saja merintih dengan kata-kata yang demikian di hadapan Tuhannya.  Namun, sungguh salah apabila dari peristiwa tersebut kemudian kita memandang beliau sebagai sosok yang lemah.

Setelah mengucapkan kalimat tersebut, beliau melanjutkan doanya: إِنْ لَمْ يَكُنْ بِكَ غَضَبٌ عَلَيَّ فَلَا أُبَالِي “Asalkan Engkau tidak murka kepadaku, aku tidak peduli sebab sungguh luas kenikmatan yang Engkau limpahkan kepadaku”. Melalui kalimat tersebut, beliau mengadukan kondisinya kepada Sang Pencipta melalui ufuk tafwidh (yaitu menyerahkan segala sesuatu kepada Allah dan menerima segala ketentuan dari-Nya dengan lapang dada) dan tsiqoh (dapat dipercaya) sekaligus memberikan pelajaran penting bagi kita.

Oleh karena sebab-sebab tersebut, maka ketika kepala kita terbentur oleh sesuatu, tatkala apa yang kita pijak mulai retak, di saat masa depan kita terputus, di masa di mana jalan-jalan dirusak atau pun jembatan-jembatan penghubung runtuh, hal pertama yang harus kita kerjakan adalah melihat diri sendiri serta mengontrol sekali lagi posisi kita sebenarnya sedang ada di mana.  Daripada sibuk mengevaluasi orang lain, sebaiknya kita pikirkan diri sendiri dalam-dalam. Untuk bisa meraih perlindungan ilahi, kita harus mengecek apakah kita sudah memiliki perlengkapan yang diperlukan. Apabila hasil pengecekan menunjukkan adanya kekurangan, maka kita harus menyibukkan diri untuk melengkapinya.  Ketika menghadapi beragam masalah, kita harus menyungkurkan kepala kita sejajar dengan tanah serta memposisikan diri dalam tadharru’ (Tadharru' adalah suatu perasaan yang menjadikan kita merasa sangat fakir, sangat tak berdaya, dan sangat membutuhkan Allah, suatu perasaan yang merendahkan diri, dan merasa bahwa dirinya sangat tak berdaya tanpa rahmat dan pertolongan Allah) dan memohon di hadapan Allah.  Hal tersebut merupakan ungkapan kesetiaan dan loyalitas kita kepada Allah serta betapa kita hanya bersandar dan percaya kepada-Nya. Apabila Anda memperhatikan doa-doa para tokoh agung yang terdapat pada kitab doa Al Qulubud Dariah, akan terlihat bahwa mereka juga meniti jalan yang sama. Dari doa-doa tersebut Anda akan melihat betapa mereka senantiasa mengevaluasi diri mereka sendiri.

Di lanjutan hadis tersebut terdapat ungkapan yang menunjukkan jalan bagaimana kaum mukmin mendekatkan diri kepada Allah, meraih kewalian, dan di waktu yang sama melindungi diri dari keburukan orang-orang yang memusuhi kita:  Hamba-Ku tidak berdekat-dekat, taqarrub, kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku sukai melebihi apa yang telah aku fardhukan kepadanya. Tak henti-hentinya hamba-Ku mendekat-dekat kepada-Ku dengan melaksanakan kesunahan-kesunahan sampai Aku mencintainya. Apabila Aku telah mencintainya maka Akulah pendengarannya yang dengannya ia mendengar. Akulah penglihatannya yang dengannya ia melihat. Akulah tangannya yang dengannya ia menggenggam. Akulah kakinya yang dengannya ia melangkah.  Dan jika ia meminta kepada-Ku, Aku akan memberinya. Jika ia meminta perlindungan kepada-Ku, Aku akan melindunginya. 

Kesimpulannya, apabila orang-orang mukmin melaksanakan kewajibannya, menjadi hamba Allah yang setia, serta mengerjakan segala sesuatu yang diperintahkan supaya ia bisa menjadi kekasih-Nya, maka cepat atau lambat Allah akan memusnahkan orang-orang yang memusuhi mereka.  Sejarah pun penuh dengan contoh-contoh nyata.  Bahkan kaum mukminin yang kamil apabila memperhatikan dengan detail peristiwa apa saja yang terjadi dalam kehidupan, mereka akan menyaksikan dengan jelas bahwa tidak ada satu orang pun yang dibiarkan dengan keburukannya serta bagaimana mereka kemudian menerima balasan dari setiap perbuatan buruknya.


[1] Diterjemahkan dari artikel: https://fgulen.com/tr/eserleri/kirik-testi/allah-dostlarina-dusmanlik

Pin It
  • Dibuat oleh
Hak Cipta © 2024 Fethullah Gülen Situs Web. Seluruh isi materi yang ada dalam website ini sepenuhnya dilindungi undang-undang.
fgulen.com adalah website resmi Fethullah Gülen Hojaefendi.