Mengapa segala sesuatu bergantung pada kematian?

Mengapa segala sesuatu bergantung pada kematian? Kelangsungan hidup hewan, misalnya, bergantung pada matinya tumbuhan dan kelangsungan hidup manusia bergantung pada matinya hewan.

Di antara sifat Sang Pencipta yang menggenggam segala sesuatu ialah bahwa Dia menciptakan entitas paling indah dari bahan paling sederhana dan paling hina. Dia terus memperbarui segala sesuatu tanpa melampaui batas sekaligus mengarahkannya menuju kesempurnaan. Karena itu, di seluruh pelosok alam ini terdapat kondisi terbit setelah terbenam, sama seperti silih bergantinya malam dan siang di dunia kita ini. Terang memberikan tempatnya kepada kegelapan lalu gelap memberikan tempatnya kepada terang. Begitulah muncul tumbuhan baru dan kesegaran dalam sebuah sistem yang mencengangkan akal, misalnya hubungan matahari dengan bumi dan hubungan kehidupan dengan kematian.

Sekarang, marilah sejenak kita berbicara tentang persoalan ini. Namun, sebelum itu kita harus mengenal kematian terlebih dahulu. Kematian bukanlah akhir alami segala sesuatu dan juga bukan ketiadaan abadi. Namun, ia adalah pergantian tempat, pergantian kondisi, dan pergantian dimensi, serta akhir dari beban tugas menuju istirahat dan rahmat. Bahkan, dilihat dari beberapa sisi, ia adalah kembalinya segala sesuatu kepada asalnya, intinya, dan hakikatnya. Karena itu, kematian adalah daya tarik yang menarik kehidupan serta merupakan kegembiraan pertemuan dengan para kekasih dan teman. Ia merupakan nikmat besar karena menjadi sarana menuju kehidupan abadi.

Karena itu, kaum materialis yang tidak mengetahui hakikat kematian senantiasa menggambarkan kematian dengan gambaran menakutkan serta menyenandungkan ratapan kesedihan di sekitar kematian. Kondisi orang-orang malang yang tidak memahami hakikat kematian memang demikian sejak dulu hingga saat ini.

Benar bahwa kematian sebagai bentuk perpisahan merupakan tragedi yang menyedihkan dalam pandangan akal dan dalam tingkat perasaan manusiawi. Karena itu, sebagaimana pengaruh dan akibat kematian tidak dapat diingkari, membungkam suara hati juga tidak mungkin, terutama bagi mereka yang memiliki hati halus dan jiwa sensitif. Kematian bagi mereka—meskipun bersifat sementara—menimbulkan guncangan yang hebat. Oleh sebab itu, keyakinan akan adanya kebangkitan setelah kematian bagi mereka ibarat pemberian kedudukan raja bagi si pemintaminta yang fakir atau anugerah kehidupan abadi bagi orang yang divonis hukuman mati. Dengan kata lain, keyakinan tersebut dapat menghapus bekas-bekas kesedihan mereka sekaligus mendatangkan kegembiraan besar bagi mereka.

Karena itu, kematian bagi orang yang mengenal hakikatnya hanyalah pergantian tempat dan pengembaraan menuju alam tempat ia bisa bertemu dengan 99 persen teman dan kekasihnya. Sementara itu, kematian bagi orang yang tidak mengenal hakikatnya dan hanya melihat wajah luarnya yang menakutkan tampak sebagai tukang cambuk, tiang gantungan, sumur yang tak berdasar, dan ruang yang sangat gelap.

Adapun mereka yang memosisikan kematian sebagai awal keabadian, setiap kali angin kematian berhembus menerpa mereka, musim semi surga tampak di hadapan mereka. Adapun apabila lintasan kematian terbayang pada orang kafir yang tak mampu melihat indahnya akidah ini, ia takut terhadap kematian sama seperti takutnya akan dilempar ke Neraka Jahanam. Bisa jadi penderitaannya agak sedikit berkurang kalau hanya terbatas pada dirinya, namun ia semakin menderita dengan penderitaan setiap orang yang gembira atas kegembiraannya dan sakit atas sakitnya. Ia memikul semua penderitaan itu dalam jiwanya. Orang mukmin melihat keterlepasan dan keterbebasan dari kesulitan dan kerisauan dunia pada kematian segala sesuatu. Ia merasa bahwa semua akan abadi dalam bentuk idealnya di alam lain serta akan mendapatkan wujudnya yang lebih mulia.

Ya. Kematian tidak lain adalah mekarnya tunas dalam wujud abadi. Kematian adalah pembebasan dari segala kesulitan dunia. Karena itu, ia merupakan nikmat besar dan hadiah Ilahi yang sangat berharga. Karena semua kesempurnaan dan ketinggian, atau dengan kata lain, semua nikmat selalu melewati penyucian dan pembersihan serta berbagai tempat yang memberinya bentuk istimewa, demikian pula seluruh entitas naik menuju kemuliaan lewat peleburan dan penyucian tersebut. Emas dan biji besi, misalnya, tidak akan sampai kepada wujud aslinya kecuali setelah dilebur, yaitu setelah melewati semacam kematian. Jika tidak melewati proses tersebut, tentu keduanya hanya tampak seperti tanah dan batu, berbeda dari hakikat aslinya.

Ketika kita menganalogikan segala hal lain dengan emas dan besi, kita melihat bahwa segala sesuatu memiliki titik terbenam, titik lebur, serta tampilan yang menyiratkan ketiadaan dan kefanaan. Akan tetapi, sebenarnya ia hanyalah perpindahan dari satu kondisi kepada kondisi lain yang lebih tinggi dan mulia.

Ketika segala sesuatu dengan penuh kerinduan bersegera menuju kematian, seperti partikel-partikel udara, atom air, bagian-bagian rumput, pohon, hingga sel-sel makhluk hidup, sesungguhnya ia bersegera menuju kesempurnaan yang telah ditentukan untuknya. Ketika oksigen menyatu dengan hidrogen, keduanya kehilangan karakteristik sebelumnya. Dengan kata lain, mereka mati, namun membentuk sesuatu yang paling dibutuhkan dalam hidup, yaitu air. Artinya, kedua unsur tersebut bangkit kembali dalam tingkat yang lebih tinggi.

Karena itu, kita menyebut kelenyapan, perubahan tempat, dan perubahan kondisi dengan kematian. Kita tidak menyebutnya dengan ketiadaan. Bagaimana kita akan mengatakan demikian, sementara setiap peristiwa yang terjadi di alam, dari partikel atom terkecil hingga benda langit terbesar, juga setiap perubahan, penyatuan, dan keterpisahan, semuanya menuju bentuk yang lebih baik dan lebih indah. Yang bisa dikatakan di sini adalah bahwa semua entitas berada dalam pengembaraan dan tamasya. Sama sekali kita tidak bisa mengatakan bahwa ia berjalan menuju ketiadaan.

Dari sisi lain, kematian—oleh Sang Maha Penguasa—dianggap sebagai perubahan dan peralihan tugas. Setiap entitas diberi tugas untuk tampil secara khusus di hadapan Sang Pencipta Yang telah menjadikannya. Ketika kesempatannya untuk tampil telah selesai, ia harus pergi meninggalkan pentas untuk kemudian diserahkan kepada orang lain agar semuanya tidak berjalan hanya dengan satu bentuk serta agar pentas menjadi hidup dan penuh vitalitas dengan kehadiran kader baru yang bagus. Demikianlah semua entitas tampil di atas pentas kehidupan, memainkan perannya, menyampaikan sepatah kata yang harus disampaikannya, lalu bersembunyi di balik layar agar orang lain mendapatkan kesempatan tampil guna memainkan peran mereka dan memperdengarkan suara mereka pula. Ya. Siapa yang datang akan pergi dan siapa yang tiba akan berlalu. Begitulah perubahan terjadi serta vitalitas dan semangat terwujud dalam nuansa datang dan pergi, terbit dan terbenam.

Dari sisi lain lagi, kematian berisi nasihat tak bersuara tapi memberikan pengaruh mendalam yang menunjukkan bahwa entitas apa pun tidak berdiri sendiri, tetapi, seperti beberapa lampu yang terang dan padam secara silih berganti, semuanya mengarah kepada mentari abadi yang tak pernah padam, mengarah kepada jalan kedamaian dan kebahagiaan hati yang merintih karena takut punah dan fana, yakni menoleh ke belakang. Ketika itu, dalam hati kita muncul perasaan untuk mencari sang kekasih yang tidak pernah pergi dan tidak pernah menghilang. Munculnya perasaan ini dalam hati kita merupakan tahapan pertama untuk sampai kepada keabadian di alam kesadaran dan emosi kita. Begitulah kematian, ibarat tangga atau lift yang mengangkat dan membawa manusia ke tahapan pertama tersebut.

Karena itu, alih-alih melihat kematian sebagai pedang yang memotong dan melemparkan entitas kepada kefanaan dan ketiadaan, adalah lebih baik melihatnya sebagai tangan yang mengobati dan melakukan operasi bedah. Bahkan, melihat kefanaan sebagai sesuatu yang asli adalah keliru dan salah dilihat dari beberapa aspek, karena tidak ada ketiadaan mutlak. Bahkan, segala sesuatu yang menghilang dari ruang sempit penglihatan kita eksistensinya tetap ada dalam wujud ide dan pengetahuan yang terdapat dalam benak kita, dalam Lauh Mahfuz, dalam ilmu- Nya yang meliputi segala sesuatu, serta di alam supranatural. Seolah-olah segala sesuatu adalah benih yang terbelah lalu mekar menumbuhkan bunga kemudian layu tetapi wujud dan substansinya tetap ada dalam bentuk ribuan bulir dan tunas. Sekarang mari kita kembali kepada pertanyaan di atas dari sisi lain.

Apakah yang terjadi seandainya segala sesuatu bergantung pada kehidupan sebagai ganti dari kebergantungan mereka pada kematian? Artinya, seandainya segala sesuatu tidak fana dan semua entitas terus terombang-ambing dalam lautan wujud, sementara semua entitas itu bekerja dari satu sisi, apakah yang terjadi jika demikian kondisinya? Di samping beberapa hal yang telah disebutkan di atas telah cukup membuat kita menerima bahwa kematian merupakan salah satu bentuk rahmat dan hikmah-Nya, kita juga bisa mengatakan bahwa jika kematian tidak dianggap sebagai rahmat, kekekalan menyeluruh dan tidak matinya segala sesuatu dalam kehidupan ini adalah musibah menakutkan dan kesia-siaan yang, seandainya bisa digambarkan secara tepat, pasti seluruh manusia menangis hebat dibuatnya. Bukan karena kematian, tapi justru karena tidak ada kematian.

Coba renungkan sejenak dan bayangkan tidak ada satu pun makhluk yang mati. Dalam kondisi demikian, manusia sendiri—bahkan yang hidup di masa-masa awal—dan seekor lalat pun tidak bisa mencari tempat untuk hidup. Semut dan tumbuhan menjalar pun sudah cukup menguasai seluruh dunia dalam satu masa saja jika keduanya tidak mengalami kematian. Tidak satu jengkal pun dari permukaan bumi ini yang tersisa. Dan, pasti ketinggian semut dan tumbuhan menjalar itu mencapai ratusan meter di atas permukaan bumi. Karena itu, ketika engkau membayangkan pemandangan yang menakutkan ini, engkau bisa memahami betapa kematian merupakan rahmat.

Apakah kita bisa menyaksikan pemandangan indah nan menarik yang menghiasi alam dalam kondisi demikian? Keindahan seperti apa yang bisa kita saksikan dalam kondisi alam dipenuhi semut dan tumbuhan menjalar? Di bumi yang penuh dengan jejak penciptaan, seni, dan keindahan yang menakjubkan ini, bisakah kita menyaksikan keindahan tersebut? Atau yang bisa disaksikan hanyalah semut dan tumbuhan menjalar? Apakah manusia, yang alam ini diciptakan dan ditundukkan untuknya, bisa hidup dalam lingkungan yang buruk semacam itu? Tentu saja tidak bisa. Sebaliknya, yang bisa dilakukan makhluk terendah sekalipun adalah lari dari tempat sampah itu.

Dari sisi lain, dalam pengaturan alam ini terdapat hikmah menakjubkan bahwa engkau tidak menemukan satu atom pun yang melebihi batas atau sia-sia. Pemilik hikmah mutlak (Allah) telah menciptakan makhluk paling mulia dan paling indah dari unsur terendah. Karena itu, sama sekali tidak mungkin Dia berlaku berlebihan dalam sesuatu. Dia akan membuat sisa-sisa dan reruntuhan menjadi bernilai di tempat lain dan akan menciptakan alam baru. Dia akan memfungsikan semua ruh yang diangkat kepada-Nya, terutama ruh manusia, dalam bentuknya yang terbaik sekaligus menciptakan berbagai makhluk yang bagus dan baru darinya. Jika tidak, membiarkan makhluk yang telah Dia muliakan serta menjadi manifestasi penghormatan, nikmat, penciptaan, dan kreasi-Nya tidaklah sesuai dengan hikmah-Nya yang tak terhingga.

Karena itu, sebagai kesimpulan, kita bisa mengatakan bahwa orang yang memiliki akal sempurna dan hati yang bisa merasakan keindahan dapat melihat bahwa segala sesuatu berada pada posisinya yang tepat dari sisi penyusunan dan pengaturan sampai-sampai akal tercengang dan takjub oleh berbagai ekpresi keindahan. Dengan kata lain, segala sesuatu senantiasa berubah dari satu kondisi kepada kondisi lain yang lebih tinggi, mulai dari gerakan atom, pertumbuhan rumput dan tanaman, mengalirnya air sungai ke laut, menguapnya air sekaligus membentuk awan lalu bagaimana ia turun ke bumi dalam bentuk hujan, dan seterusnya. Artinya, kita melihat segala sesuatu berubah dari satu kondisi kepada kondisi lain yang lebih baik dan lebih mulia. Sungguh tepat apa yang dikatakan seorang penyair ketika ia menggubah:

Sungguh menakjubkan alam yang mengguncang akal dan pikiran ini
Berbagai mukjizat kekuasaan-Nya tampak di hadapan mataku
Permukaan langit yang Allah tebarkan tidak lain adalah tanda-tanda samawi
Semuanya adalah cahaya yang terbungkus aneka warna
Rumput, laut, gunung, dan fajar musim semi
Siapa yang lahir di sini pasti menjadi penyair
.

Pin It
  • Dibuat oleh
Hak Cipta © 2024 Fethullah Gülen Situs Web. Seluruh isi materi yang ada dalam website ini sepenuhnya dilindungi undang-undang.
fgulen.com adalah website resmi Fethullah Gülen Hojaefendi.