Menghargai Pendapat

Satu Doa Empat Pokok

Pertanyaan: Sebuah hadist yang Nabi kita Muhammad (Shallallahu Alaihi Wasallam) sering kali mengulanginya:

اَللّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالتُّقَى وَالْعَفَافَ وَالْغِنَى

“Ya Allah, berikanlah kepadaku hidayah, taqwa, iffah (kesucian), dan kekayaan."[1] Berkenankah anda menjelaskan empat titik pokok yang ada di dalam doa tersebut?

Jawaban: Pertama-tama yang ingin saya ungkapkan adalah bahwa setiap titik khusus yang ada di dalam doa ini, merupakan sifat penting milik para Nabi. Bahkan bisa dikatakan bahwasanya semua sifat-sifat ini adalah sifat yang tidak mungkin terpisah dari mereka. Sebagaimana mereka yang dari segala sisi merupakan pedoman untuk seluruh mukmin, dan juga merupakan para pahlawan irsyad dan tabligh untuk menjelaskan hak dan hakikat kepada para manusia, mereka mewajibkan diri mereka untuk bergerak sebagaimana layaknya sifat-sifat mulia ini, selain lidah mereka, hal (keadaan), sikap, dan perilaku mereka pun harus mengucapkan,

 اَللّٰهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالتُّقَى وَالْعَفَافَ وَالْغِنَى .

Hidayah

Hidayah adalah hal pertama yang diminta dalam doa dan dzikirnya Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam. Hidayah memiliki makna melihat yang benar, mendengar yang benar, menemukan yang benar, dan berada selalu dalam kebenaran. Dalam hal ini, ketika Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam menempatkan hidayah sebagai hal pertama dalam doa, menyimpulkan bahwa hal ini sangatlah penting. Karena tanpa hidayah, seorang manusia tidaklah mungkin melihat kebenaran, tidaklah mungkin dapat merencanakan kehidupannya yang hakiki. Ketika hal ini tidak ada, maka tidak mungkin taqwa, iffah (kesucian), dan kekayaan itu dibahas. Untuk mendapatkan tiga permintaan setelahnya yang di dalam doa tersebut, dari segi apapun berhubungan dengan hidayah.

Sumber "hidayah" yang merupakan awal dan inti dari segala sesuatu, pertama adalah Al-Qur'anul Karim, kemudian perkataan, perbuatan, dan perilaku Rasulullah (Shallallahu Alaihi Wasallam) yang mencakup sebagai Sunnatus Shalihah. Dalam surat al-Baqarah ayat kedua,

 ذ ‌ٰلِكَ ٱلْكِتَـٰبُ لَا رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ هُدًى لِّلْمُتَّقِينَ

dengan pernyataan bahwa, "Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya" maka bagi mereka yang bertakwa, ini adalah sebuah sumber sebuah hidayah.   Setelah  pokok-pokok khusus orang bertakwa dalam ayat ketiga dan keempat disebutkan, lalu dalam ayat kelima,

أُولَـٰئِكَ عَلَىٰ هُدًى مِّن رَّبِّهِمْ

dengan firman yang artinya, "merekalah orang-orang yang mendapatkan hidayah dan menemukan jalan kebenaran dari Tuhan mereka", maka penekanan terhadap hidayah kembali diulangi. Di samping hal itu, di sini telah disebutkan bahwasanya menjadi orang bertakwa adalah syarat dasar yang disimpulkan dengan kebenaran Al-Qur'anul Karim, juga merupakan hal yang patut diperhatikan dari sisi yang menunjukkan adanya hubungan antara hidayah dan takwa.

Sebagaimana yang telah kami ungkapkan sebelumnya, hidayah merupakan karakter dasar yang tampak sejak para Nabi lahir. Karena Allah Ta'ala tidak akan memberikan kesempatan kepada sebagian orang yang tak tahu diri, dengan menemuan alasan di dalam perilaku orang-orang mulia yang telah dikirim dengan sebuah misi yang sangat penting nantinya. Dalam hal ini, sebagaimana perkataan-perkataan yang merupakan sebuah fitnah dari Bani İsrail terhadap Nabi Daud Alaihissalam dan Nabi Sulaiman Alaihissalam, maka perkataan yang diucapkan terhadap para Nabi seperti Nabi Nuh Alaihissalam dan Nabi Hud Alaihissalam pun tidak lain juga merupakan fitnah dari masing-masing kaum mereka. Sama halnya perkataan buruk yang dikatakan berkenaan dengan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam yang di luar ruang hidayah, pun merupakan sebuah fitnah besar yang menjelaskan bahwa diri mereka sama sekali tidak tahu diri, juga merupakan sebuah fitnah besar yang menggoncangkan Arsy.

Sampai disini saya ingin menyampaikan kesalahan sebuah komentar yang diutarakan oleh sebagian para teolog berkenaan dengan ayat,

  وَوَجَدَكَ ضَالًّا فَهَدَى (QS Ad-Dhuha, 93/7).

Mereka menjelaskan ayat ini dengan, "Allah telah menemukanmu di dalam kesesatan dan memberikanmu hidayah," kata ضَالًّا yang tercantum di sini diartikan dengan makna berlawanan dengan hidayah. Dari sini, mereka mengklaim bahwa Rasulullah Muhammad Mustafa Shallallahu Alaihi Wasallam hingga waktu dimana beliau dimuliakan dengan cahaya kenabian dan cakrawala beliau mendapat penerangan -Hasya wa kalla- beliau hidup dalam kesesatan. Sebenarnya, seorang manusia yang mengklaim sebuah kesesatan seperti ini kepada beliau, -semoga Allah memberikan hidayah- maka artinya dia sendiri yang berada di dalam kesesatan.

Karena Al-Qur'anul Karim, dalam surat An-Najm berfirman,

 مَا ضَلَّ صَاحِبُكُمْ وَمَا غَوَى

"Kawanmu (Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam), sama sekali tidak pernah jatuh dalam kesesatan, sama sekali pernah keliru dan berlebihan." (QS An-Najm, 53/2). Kata kerja,

 مَا ضَلَّ

yang ada dalam ayat tersebut dan menjelaskan bahwa Rasulullah tidak jatuh dalam kesesatan, berasal dari sigah madhi (masa lampau), maka dari situ bisa dikatakan bahwa setiap detik-detik kehidupan beliau selalu berada dalam hidayah.

Maka dari itu, untuk bisa memperdalam ayat yang tampak kontradiksi satu sama lain ini, kita perlu juga melihat makna lain dari kata "dhalalah". Salah satu makna dhalalah adalah, "keluar dari jalan yang benar", meskipun bermakna menyimpang, makna yang lain dari itu adalah, "tidak dapat menentukan mana jalan yang benar di hadapan jalan-jalan yang berbenda dan dalam hal ini merasakan keragu-raguan". Jadi kata "sesat" yang harus difahami dalam hal klaim terhadap yang tujukan kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam adalah makna yang kedua. Beliau Shallallahu Alaihi Wasallam hingga waktu dimana sampainya cahaya samawi, telah merasakan keragu-raguan di hadapan jalan-jalan yang berbeda, telah berusaha dengan sungguh-sungguh demi menemukan jalan yang benar, dengan hal ini maka telah menjadi penghalang yang sangat penting untuk masa depan beliau.

Selain itu, mungkin yang dimaksudkan dari ayat,

وَوَجَدَكَ ضَالًّا فَهَدَى

adalah keraguan, perasaan sempit, dan keadaan tak sadar ketika Beliau Shallallahu Alaihi Wasallam sedang mendapatkan wahyu. Karena Beliau Shallallahu Alaihi Wasallam ketika berhadap-hadapan dengan sebuah kejutan samawi seperti ini, mungkin telah merasa sok yang sangat serius, beliau tidak mengetahui apa yang harusnya dilakukan. Meskipun begitu Beliau pergi mendatangi İbunda Khadijah yang merupakan seorang wanita yang luar biasa cerdik, selalu seimbang, dan tenang, lalu menumpahkan semuanya kepadanya. Dia pun pertama-tama mengevaluasi Rasulullah dengan karakter belaiu pada umumnya, dia mengutarakan akhlak beliau yang mulia, lalu mengatakan bahwa Allah tidak akan meninggalkan beliau sendirian, setelah itu dia membawa beliau Shallallahu Alaihi Wasallam kepada Waraqah ibnu Naufal yang merupakan paman dan seorang ulama Kristen.

Dengan demikian kita dapat memahami makna dari ayat dalam surat ad-Dhuha ini sebagai berikut: "Kau dalam periode waktu tertentu tidak tahu apa itu surga, apa itu neraka. Kau bergerak di hadapan keadaan orang-orang pada umumnya, namun kau tak tahu hal apa yang harus kau kerjakan. Bahkan meskipun kau memahami beberapa hal dengan beberapa makna yang telah dikatakan dan dianugerahkan kepadamu dari hal yang tersisa dari agama Nabi İbrahim, kaupun tidak dapat memberikan keputusan yang pasti dalam segala hal dengan benar. Allah telah menghilangkan keragu-raguan dan kebingunganmu dengan wahyu samawi yang dikirimkan kepadamu dan telah menunjukkanmu jalan yang benar."

Satu pokok khusus lain yang perlu diperhatikan berkenaan dengan sifat hidayah para Nabi adalah sebagai berikut: Dalam surat asy-Syura

 وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ ,

"Kau telah benar-benar menunjukkan jalan kebenaran kepada orang-orang." (QS Asy-Syura, 42/52) dengan firman ini maka dalam waktu yang sama, Allah telah menjelaskan bahwa Rasulullah yang berada dalam hidayah juga merupakan petunjuk dalam hal ini. Para Nabi yang berada dalam hidayah, dengan izin Allah, pada waktu yang sama pun mengajak orang-orang menuju hidayah, dalam hal ini mereka akan menjadi pedoman dan penunjuk jalan bagi orang-orang, membuka jalan di hadapan mereka dan mengenalkan mereka dengan hidayah. Dalam kerangka dakwah dan jihad jika kita ungkapkan dalam lingkup arti umum, mereka akan menghancurkan penghalang-penghalang antara manusia dan Allah, lalu mempertemukan hati mereka dengan Allah. Tentu saja pencerminan cahaya İlahi di dalam hati orang-orang yang mendengarkan merupakan sebuah ijraat subhaniyyah milik Allah.

Takwa

"Takwa" yang merupakan pokok khusus kedua yang telah disebutkan dalam doa Rasulullah (Shallallahu Alaihi Wasallam ) bisa kita artikan sebagai, "usaha untuk menjauhkan diri dari kemarahan dan adzab Allah dengan menunaikan perintah-perintah-Nya dan meninggalkan hal-hal haram dan dosa-dosa besar." Setelah itu, sebagaimana derajat-derajat yang ada di dalam hidayah, maka di dalam takwa pun ada tingkatan-tingkatan. Pertama, tempat yang dimasuki dengan menjalakan hal-hal yang fardhu dan menjauhi hal-hal haram dan dosa besar adalah koridor dari takwa. Kemudian setelah itu dengan menjauhi hal-hal yang meragukan dan tidak terjatuh dalam sisi haram, maka itu merupakan langkah maju tuk masuk ke dalam pintu takwa. Setelah itu, dengan meninggalkan pemahaman "meragukan" atas sebagian yang mubah (dibolehan) maka telah sampai pada tingkatan takwa yang sebenarnya. Selain itu, perlu diingat juga bahwa takwa dalam makna sempurna hanya bisa didapatan dengan menjalankan prinsip-prinsip syariah secara sempurna, bersamaan dengan itu perlu juga menyesuaikannya dengan kaidah syariah yang fitri, di mana Allah telah menciptakannya di dalam alam semesta.

Penyimpulan seorang mukmin dengan sempurna yang menggunakan hidayah dan al-Qur'an serta sunnah yang disebut sebagai petunjuk hidayah, berhubungan erat dengan takwa di dalam tingkatan ini.  Dari sudut ini hidayah dan takwa dipandang hampir seperti saudara kembar. Sebagaimana pencapaian kepada takwa yang berhubungan dengan hidayah, maka untuk memahami dengan benar sistem yang telah diletakkan oleh al-Qur'an dan sunnah, juga dalam memahami ruh, ketinggian, dan keagungannya, kemungkinan bisa dicapai dengan mendalami takwa itu sendiri.

İffah (Kesucian)

Sedangkan iffah yang telah disebutkan sebagai pokok ketiga di dalam doa adalah, kehidupan sensitif dalam hal menjaga kehormatan manusia, menggunakan matanya dengan baik, menjaga telinganya, menggunakan lidahnya pada tempatnya, tidak membuka tangan (memohon pertolongan) kepada siapapun , yang akhirnya berusaha untuk selalu dalam keadaan malu dan adab di setiap waktu. Jika setiap individu itu suci, maka masyarakat seluruhnya akan suci. Jika tidak, maka sebuah masyarakat yang terdiri dari individu-individu pendosa tidak akan pernah menjadi suci. Sedangkan masyarakat yang telah kehilangan kesucian, akan menunjukkan bermacam-macam kerusakan seperti pencurian, perampokan, penyuapan, kebohongan, dan  penyelundupan. Orang-orang kecil akan mulai melakukan pencurian dan korupsi dalam bentuk kecil, begitu pula orang besar dalam bentuk besar.

Dalam satu ayat al-Qur'anul Karim,

  يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُمْ بِسِيمَاهُمْ لَا يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا 

dengan firman para pahlawan kesucian dijelasan, "Selain mereka bergerak dengan kehati-hatian dalam hal kesucian, mereka tidak mengetahui keadaan mereka yang sebenarnya, mereka mengira bahwa diri mereka adalah orang kaya. Wahai Rasulullah! Kau mengenali mereka dengan melihat sifat-sifatnya. Mereka tidak akan meminta-minta kepada masyarakatnya secara tanpa malu."(Surat al-Baqarah, 2/273) menjelaskan bahwa meskipun mereka lapar dan haus, tidak memiliki tempat tinggal, meski begitu mereka tidak melakukan takaffuf dan tasaul (meminta-minta/mengemis), mereka adalah orang-orang yang benar-benar perlu dihormati. Namun, kita juga harus mengatakan bahwa Islam, membolehkan orang-orang yang membutuhkan untuk meminta sesuatu dengan cara meluruskan pinggang mereka (tanpa membungkuk).

Kekayaan

Pokok khusus keempat yang ada dalam doa Rasulullah adalah kekayaan, inipun memiliki dua makna. Yang pertama adalah kekayaan hati, istighna; kedua adalah kaya dalam bentuk materi dengan mendapatkannya dari yang halal. Meminta kedua hal ini tidakllah apa-apa. Karena ketika kenikmatan dunia digunakan dengan sebenarnya, maka bisa jadi menjadi faktor penting yang mendukung keimanan dan ketaatan dalam ibadah. Tetapi ketika mengharapkan kekayaan materi maka harus memperhatikan dengan sangat perkara halalnya, dalam hal memberikan hak daripada kekayaan yang seperti ini tidak boleh jatuh pada kepelitan, tidak membiarkan hati tertutupi dengan harta kekayaan, tidak boleh lupa bahwa harta dan kekayaanna adalah pemberian Allah, jangan sampai tergelinding dalam jurang dimana Karun telah terjerumus ke dalamnya dengan melihat harta miliknya dan berkata, "Sesungguhnya aku telah mendapatkan semua ini dengan ilmu yang ada padaku." (QS. Qassas, 28/78)

Ketika titik-titik penting ini diperhatikan, maka memohon kekayaan dari Allah Ta'ala adalah hal yang diperbolehkan. selain itu, dalam doa Rasulullah (Shallallahu Alaihi Wasallam), di samping sebagian pokok-pokok tersebut juga memohon perlindungan kepada Allah dari kelaparan dan kefakiran.[2] Karena orang yang tidak memahami situasi yang seperti ini akan mengadu dengan keadaannya atau jatuh mengemis.

Dari segi ini bisa dikatakan bahwasanya di hadapan permohonan untuk kaya, tidak ada perilaku yang dilarang atau negatif oleh Agama İslam. Mungkin permasalahan yang perlu dipertimbangkan disini adalah, tidak menumpuk harta, tidak menyimpan uang dan harta untuk masa depan dan kekayaan pribadi.  Karena orang-orang yang menumpuk harta dan tidak berinfak al-Qur'an telah menjelaskan akibat buruk mereka:

  وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ

"Mereka yang mengumpulkan emas dan perak dan tidak menginfakkannya di jalan Allah, maka bagi mereka adzab yang sangat pedih!" (Surat at-Taubat, 9/34) İya, orang yang menjadikan harta sebagai harta karun, menyimpan sebanyak-banyaknya, bahkan dengan menggunakan kesempatan lalu memainkan ekonomi pada waktunya, maka orang-orang yang melakukan semua itu tanpa ada rasa takut kepada Allah dan tidak memikirkan akhirat, mereka diberikan kabar gembira dengan sebuah adzab yang akan membakar diri mereka. Sebenarnya jika manusia menggunkan kekayaan yang ada di tangannya dengan benar, maka mungkin dia akan mendapatkan kabar gembira yang sebenarnya. Tapi karena mereka menggunakan kekayaan mereka di tempat yang salah, mereka merubah sendiri kabar gembira mereka dengan adzab yang sangat pedih.

Sedangkan pada ayat berikutnya telah dikabarkan secara rinci adzab yang menyiksa mereka di neraka:

 يَوْمَ يُحْمَى عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَى بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ هٰذَا مَا كَنَزْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ فَذُوقُوا مَا كُنْتُمْ تَكْنِزُونَ

"Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: 'İnilah harta benda (emas dan perak) mu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri. Maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu!" (Surat at-Taubat, 9/35)

Sedangkan kekayaan yang disimpan untuk dihabiskan di jalan Allah berbeda dengan tumpukan harta yang seperti ini. İya, kekayaan yang didapat dengan niat baik seperti menggunakannya di jalan i'lai kalimatullah, membuka sekolah-sekolah, universitas-universitas di tempat yang berbeda-beda di segala penjuru, memperdengarkan nilai-nilai kita kepada para manusia, maka harus dievaluasi secara berbeda. Bahkan orang-orang untuk mewujudkan tujuan hayalan seperti ini dianjurkan untuk menjadi kaya.

Suci dan müstağni dengan berkat Allah Subhanahu Wa Ta’ala  memberikan hidup untuk mendapatkan keuntungan, Al-Quran Karim 's perintah juga dapat dilindungi hak cipta dan Tewfik. Sebagai contoh dalam ayat,

 وَابْتَغِ فِيمَا اٰتٰيكَ اللهُ الدَّارَ الْاٰخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا

"Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari kenikmatan (duniawai)!" (Surat al-Qassas, 28/77) diisyaratkan bahwa di samping akhirat dunia pun perlu diperhatikan.

Tapi di samping semua itu yang merupakan pokok penting yang asli adalah manusia yang menjadi mustaghni dalam dirinya sendiri. Para Nabi selalu hidup dengan perasaan istighna yang seperti ini. Mereka tida mengharapkan balasan atas kewajiban tabligh yang mereka lakukan, mereka tidak memohon sesuatu apapun dari orang-orang. Mereka, demi menyampaikan pesan-pesan kepada kaum mereka, telah menghadapai permasalahan dan ujian yang berpuluh-puluh, namun atas semua itu mereka tidak memohon upah dan balasan dari siapapun. Karena mereka, telah menghubungkan semua harapan balasan kepada Allah. (Surat asy-Syuara, 26/109, 127, 145) Oleh karena itu, bisa kita bilang bawa dinamika yang paling penting dan membekas yang telah mereka gunakan terhadap kaum mereka adalah istighna. Karena sikap yang seperti ini sangat dapat meyakinkan di mata para pendengar mereka. Jadi, dalam balasan kewajiban yang telah dilakukan oleh seseorang, tidak boleh masuk ke dalam harapan balasan duniawi, tidak boleh memintan seperti kedudukan dan jabatan, ketika dia menunggu balasannya dari Allah maka itu adalah sebuah kedalaman lain dari kaya (kekayaan hati).

Bersamaan dengan itu, semua orang harus ridho dengan takdir yang telah diberikan oleh Allah dan dalam hal materi, tidak pernah boleh menunjukkan ambisi dalam permasalahan keduniawian. Karena beberapa orang yang bernasib sebagaimana Allah takdirkan, kefakirannya mungkin adalah yang terbaik. Siapa yang tahu oleh karena kelemahan mereka terhadap kekayaan, mungkin kekayaan yang didapat membuat diri mereka terjungkir ke dalam jahannam sebagaimana Qarun. Dari sudut pandang ini pun kita harus selalu menunjukkan keridhaan kepada takdir Allah yang berhubungan dengan diri kita.



[1] Muslim, dzikr 72; Tirmidzi, Da'awat 74; İbnu Majah, Doa 2.

[2] Abu Daud, witr 32; Nasai, istiadzah 19, 20

Pin It
  • Dibuat oleh
Hak Cipta © 2024 Fethullah Gülen Situs Web. Seluruh isi materi yang ada dalam website ini sepenuhnya dilindungi undang-undang.
fgulen.com adalah website resmi Fethullah Gülen Hojaefendi.