Para Pewaris Bumi

Para Pewaris Bumi

Bumi selalu berputar tanpa henti. Seiring dengan rotasinya di garis orbit, bumi selalu setia dengan ketentuan yang telah ditetapkan untuknya. Tapi apakah para pewaris bumi[1] telah siap mengembalikan kekayaan yang selama ini hilang? Apakah mereka siap merebut kejayaan yang telah direnggut dari tangan mereka?

Kita tentu menyadari bahwa kebenaran sejati adalah satu hal, sedangkan kebenaran yang terealisasi dalam kehidupan adalah hal lain yang berbeda. Ketika kebenaran sejati belum terealisasi dengan segala nilai intrinsik yang terkandung padanya, maka ia hanya menjadi mimpi kosong setelah sebelumnya pernah diterapkan oleh satu umat atau komunitas tertentu. Sementara itu dalam kehidupan nyata, "kebenaran" akan selalu berada di tangan umat yang secara relatif paling unggul dalam "kebenaran". Itulah yang akan terjadi, sampai kebenaran sejati kembali ke tangan pada "pemiliknya" yang sah.

Allah s.w.t. menyatakan di dalam al-Qur`an: "Dan sungguh telah Kami tulis di dalam Zabur sesudah (Kami tulis dalam) Lauh Mahfuzh, bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hamba-Ku yang saleh." (QS al-Anbiyâ` [21]: 105). Tidak ada seorang pun di antara kita yang boleh meragukan janji Allah ini. Hari yang dijanjikan itu pasti datang, sebab itulah janji-Nya yang pasti benar.

Kelak, para pewaris bumi itu tidak hanya akan mewarisi bumi. Sebab siapapun yang mewarisi serta menguasai bumi, pasti akan juga menguasai seluruh jagad raya. Jadi, mereka juga akan menguasai seluruh semesta. Namun harus diingat bahwa karena kekuasaan yang akan dimiliki para pewaris bumi itu hanya terjadi disebabkan adanya mandat "khilafah", maka mereka harus mampu merealisasikan semua perintah yang diinginkan oleh sang Penguasa langit dan bumi. Bahkan kita dapat menyatakan bahwa semua harapan dan janji Allah itu hanya akan terwujud sesuai dengan pencapaian mereka dalam memenuhi perintah-Nya.

Jadi, kalau pun ternyata Allah sang Mâlik al-Mulk al-Haqq masih belum berkenan menyerahkan mandat kepada mereka yang mengaku sebagai pewaris bumi yang sah, maka hal itu sebenarnya terjadi karena mereka memang belum cukup pantas untuk menerima anugerah tersebut. Jika itu yang terjadi, maka satu-satunya tindakan yang harus mereka lakukan adalah berusaha mendekatkan diri kepada Allah dengan lebih sungguh-sungguh.

Seperti dinyatakan dalam ayat di atas, Allah s.w.t. akan mewariskan bumi kepada hamba-hamba-Nya yang saleh., sebab merekalah para hamba Allah yang mampu merepresentasikan spirit Muhammad dan akhlak qur`ani yang luhur. Merekalah orang-orang yang selalu giat membangun keutuhan dan persatuan; sangat memahami zaman yang mereka hadapi; selalu menjadikan ilmu dan pengetahuan sebagai senjata; serta setia menjaga keseimbangan antara dunia dan akhirat. Singkatnya, janji Allah itu kelak hanya akan diberikan kepada para pendekar rohani yang selalu berjalan pada garis orbit kenabian Rasulullah s.a.w.

Itulah Sunnatullah... "...Maka sekali-kali kamu tidak akan mendapat penggantian bagi sunnah Allah, dan sekali-kali tidak (pula) akan menemui penyimpangan bagi sunnah Allah itu." (QS Fâthir [35]: 43). Sunnatullah adalah sebuah "sunnah" atau aturan yang tetap, sebuah hukum yang sejalan dengan fitrah (syarî'ah fithriyyah), dan tidak akan pernah berubah.

Maka dari itu, sudah seyogianya jika segenap pewaris bumi memulai langkah mereka dengan berusaha sekuat tenaga untuk melakukan amal saleh, yaitu dalam bentuk penerapan agama sebagaimana yang diajarkan oleh al-Qur`an dan Sunnah serta menjadikan Islam sebagai satu-satunya jalan hidup. Selain itu, tentu saja mereka juga harus menguasai ilmu pengetahuan yang berkembang di zaman yang mereka hadapi.

Kita harus selalu ingat bahwa semua komunitas yang tidak memedulikan hukum yang sejalan dengan fitrah (syarî'ah fithriyyah) yang muncul dari sifat "Mahakuasa" dan "Mahaberkehendak" yang Allah miliki, serta tidak memedulikan hukum-hukum ilahi yang muncul dari sifat "Mahaberfirman", sementara komunitas tersebut sedang mengalami perubahan internal dalam kehidupan mentalnya, maka pastilah mereka akan tersesat pada kehinaan, meski mungkin hari ini mereka terlihat menonjol.

Itulah kenyataan sejarah, sebab sejarah memang mirip sebuah kompleks pemakaman yang menjadi tempat persemayaman berbagai macam bangsa yang telah punah. Allah sendiri telah menyatakan: "Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri..." (QS al-Ra'd [13]: 11).

Erosi spiritualitas dan moral yang terjadi di dalam diri sebuah masyarakat, pasti akan menyebabkan terputusnya anugerah Ilahi dari masyarakat tersebut. Ayat suci ini telah mengingatkan kita pada sebuah kaidah penting yang berhubungan dengan kejayaan dan keterpurukan atau kemuliaan dan kehinaan sebuah bangsa. Kehampaan seperti inilah yang tengah dihadapi masyarakat muslim saat ini.

Kehampaan ini tentu dapat kita sebut sebagai sebuah "erosi" atau pengikisan yang menimpa umat Islam secara keseluruhan pada aspek batin dan spiritualitas mereka. Selain itu mereka juga mengalami keterbelakangan pada aspek internal. Tentu saja bagi kita menjadi tidaklah penting apakah keterpurukan itu terjadi disebabkan adanya faktor eksternal yang berlangsung selama satu dua abad terakhir, ataupun karena kebodohan dan kelemahan kita sendiri sebagai sebuah umat. Sebab yang memang terjadi adalah umat Islam telah "berdarah-darah" selama beberapa abad terakhir. Dapat kita lihat dengan jelas bahwa umat Islam tidak memedulikan lagi potensi kekuatan mereka yang dulu pernah membuat mereka mampu berdiri tegak sebagai para pewaris bumi yang sejati.

Mari kita merenung lebih jauh. Apakah kita berani menyatakan bahwa orang-orang yang mengklaim sebagai representasi Islam pada masa-masa paling sulit dalam sejarah umat ini adalah orang-orang yang memiliki kedalaman batin dan spiritualitas yang setara dengan kualitas generasi awal umat Islam?!

Apakah kita bersedia bersaksi bahwa umat Islam di masa sulit itu adalah orang-orang yang selalu berusaha sekuat tenaga menjaga kesinambungan sistem kehidupan yang dulu diwujudkan oleh para sahabat Rasulullah?!

Berapa banyak wajah semringah yang dapat kita temukan dari mereka yang hidup di masa sulit itu?!

Berapa banyak di antara mereka yang lebih memilih mati daripada harus menjalani hidup hina seperti yang disebutkan dalam sebuah ungkapan: "Pilihannya hanya dua: negara berjaya atau mati dikerubungi burung gagak!"[2]?!

Berapa banyak jiwa-jiwa cemerlang yang tidak pernah sudi menyerah di hadapan musuh atau meninggalkan jalan yang lurus?!

Sungguh kelemahan umat Islam dalam tata pemerintahan, khususnya para pejabat di masa-masa sulit itu yang benar-benar telah menjadi luka dalam hati kita semua. Pada masa itu kita harus mengakui bahwa umat Islam telah gagal untuk menyelamatkan diri dari kungkungan kekuatan lain. Padahal al-Qur`an telah mengharamkan kita untuk hidup di bawah kungkungan umat lain.

Apakah kita akan memungkiri bahwa umat Islam memang pernah terhina di bawah cengkeraman orang-orang zalim yang menjajah kita?!

Apakah kita mampu meyakini bahwa kita –sebagai kaum pewaris bumi- sanggup menyambut seruan al-Qur`an untuk mempersiapkan dengan baik diri kita sebelum menghadapi musuh yang akan merusak agama, tempat tinggal, dan pemikiran kita?!

Mari kita ingat sebuah sumpah yang Allah nyatakan di dalam al-Qur`an mengenai kuda-kuda perang yang dipersiapkan untuk bertempur. Bukankah Dia telah berfirman: "Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi..." (QS al-Anfâl [8]: 60).

Kita harus mengakui bahwa kita memang telah melakukan kesalahan besar yang tidak akan diampuni oleh sejarah: kita telah mengorbankan agama kita demi mengejar dunia, hanya karena kita terlalu tamak terhadap kehidupan duniawi. Bahkan pada saat itu kita mabuk oleh pemahaman yang mengatakan bahwa dunia jauh lebih utama dibandingkan agama. Maka tiba-tiba kita pun mendapati diri kita terkurung dalam penjara "larangan-larangan". Agama terlepas dari tangan, dunia pun tak berhasil diraih.

Sejak saat itu, dunia pun tenggelam dalam kehampaan yang fatal: manusia menolak sebuah warisan berharga yang telah mendatangkan berkah bagi semesta selama seribu tahun!

Sejak saat itu pelbagai bangsa di dunia hidup berlandaskan ideologi artifisial. Beberapa negara besar memang muncul, tapi semuanya dibangun di atas pondasi ringkih yang amat rapuh. Alur sejarah manusia, bangsa, dan budaya berjalan menuju kehinaan dan kepalsuan. Nasib umat Islam jatuh ke tangan musuh bebuyutan mereka. Berbagai paham sesat menyebar luas tak terbendung. Bahkan kita melihat begitu banyak puja-puji yang dilantunkan untuk mengelu-elukan kesesatan itu. Komunisme merasuki umat seperti setan, untuk merusak moral serta membuat sengsara kaum lemah yang tertindas.

Terkadang kita mendapati orang-orang yang mengidap penyakit kufur sehingga selalu ragu terhadap segala hal, termasuk terhadap diri mereka sendiri, menjadikan ideologi politis sebagai senjata mereka. Dengan mengandalkan tokoh-tokoh pemikir sesat yang memiliki posisi kuat, mereka melakukan serangan terhadap agama sambil menebarkan keraguan terhadap hal-hal yang selama ini dianggap sakral. Di sini saya ingin mengingatkan Anda pada suatu masa ketika orang-orang sesat memuntahkan kedengkian serta kebencian mereka ke arah umat beragama. Dengan sekuat tenaga mereka berjuang mati-matian untuk meredam dakwah Islam. Semua itu terjadi ketika paham komunisme dan sosialisme berkibar di mana-mana dengan dukungan berbagai regim dan pemerintah yang tidak jelas dasarnya.

Betapa indahnya bait-bait syair yang digubah oleh seorang penyair nasionalis yang mendambakan kemerdekaan bagi bangsanya. Syair gubahannya yang saya kutip di bawah ini kemudian menjadi legenda yang menuturkan kebangkitan sebuah bangsa. Dalam syairnya, sang penyair menggambarkan perlawanan terhadap kekuatan jahat yang berusaha menghancurkan Islam.

Rasa malu telah terkelupas dari jiwa manusia
Kehinaan membanjiri pelosok sahara dan desa
Berapa banyak wajah jelek sembunyi di balik tabir kasa
Tak ada kejujuran. Janji jadi bualan. Amanat dianggap mainan.
Dusta dianggap biasa. Pengkhiatan merebak di mana-mana.
Kebenaran enyah tak bersisa. Akal sehat pergi tanpa kata.
Tuhan, betapa menakutkan perubahan ini!
Agama hilang. Iman melayang.
Agama jatuh. Iman pun runtuh.[3]

Dari puisi ini penyair menggambarkan sebuah kondisi rusak parah yang dilihatnya. Namun segala ketidakjelasan yang telah berlangsung bertahun-tahun ini, tidak akan pernah mampu merasuki semua umat Islam secara keseluruhan, serta tidak akan pernah bisa memadamkan nyala api ajaran Islam yang cemerlang dan kekal. Meski selalu berusaha ditumpas oleh kejahatan, ajaran Islam yang sejati selalu menjadi bara yang menyala di balik sekam kegelapan. Bara itulah yang kelak akan kembali menyalakan api kebenaran yang menerangi jagad raya. Tapi dengan perawatan dan pengayoman yang baik, bara api itu akan bersinar semakin terang hingga sinarnya mampu mencapai sebuah generasi yang mampu menyelesaikan tugas mereka untuk menebarkan cahaya ke seluruh dunia.

Kita tentu dapat menyatakan bahwa masa-masa ketersesatan yang kita alami adalah serupa dengan azab yang sangat berat kita lewati. Oleh sebab itu mari kita berusaha sekali lagi untuk mengukuhkan diri bahwa kitalah para pewaris bumi yang sejati dengan ajaran Islam yang kita yakini. Apa yang ada di tangan kita, sebagaimana sudah "dari sananya", lebih dari cukup baik dari aspek moral maupun material. Apalagi kemudian gerakan ini didukung dengan persatuan hamba-hamba Allah yang saleh, yaitu mereka yang tulus serta jernih segenap perasaan, pikiran, dan cita-citanya. Merekalah orang-orang yang selalu teguh berjuang li i'lâi kalimatillâh, teratur dalam hidup, percaya diri, berkepribadian solid, sanggup menghadapi pelbagai guncangan, serta mampu menyelaraskan antara potensi akal dan spiritual.

Mari kita bersama-sama melanjutkan perjuangan ini untuk meraih kembali semua yang hilang dari tangan kita. Semoga Allah meridhai segala amal ibadah kita.

[1] Lihat ayat: "Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi," (QS al-Qashash [28]: 5)
[2] Ungkapan ini adalah sebuah pepatah Turki yang menunjukkan keberanian seseorang untuk mengorbankan nyawanya demi nilai-nilai luhur yang dibelanya
[3] Dinukil dari antologi puisi berjudul al-Shafahât karya penyair Muhammed Akif Ersoy (1873-1936), hlm. 420. Akif adalah penulis syair lagu kebangsaan Turki.