Yang Dapat Diraih dengan Kemurahan Hati

Yang Dapat Diraih dengan Kemurahan Hati

Pertanyaan: Dikatakan bahwa ‘Rasulullah mempergunakan sifat karim (murah hati) yang dimilikinya dengan begitu cerdas, sehingga tak sedikit pun dari jejak kedermawanan itu menguap sia-sia, bahkan ia kembali kepada Islam sebagai sebuah kekuatan yang besar’. Apakah Anda dapat menjelaskan hal ini? [1]

Jawaban: Sifat karim (murah hati) merupakan sebuah kedalaman dan keluhuran yang dimiliki oleh sosok yang menjadi kebanggan umat manusia, Baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebenarnya sifat apapun yang ada pada diri Beliau, setiap usahanya pasti dilipatgandakan dan akan kembali kepada dirinya karena kepiawaian beliau dalam mempergunakannya. Sifat Karim dapat juga disebut dengan sakhi, kedermawanan, dan kemurahan hati. Meski masing-masing dari sifat ini memiliki sedikit perbedaan nuansa makna, namun ketiganya tetap mengisyaratkan poin yang sama. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berakhlak dengan akhlak Allah dan mampu menggunakan akhlak Ilahi ini dengan amat baik. Sedemikian baik dalam menggunakannya, sehingga tak sedikit pun yang beliau sia-siakan. Allah pun lalu melipatgandakan buah-buah berakhlak dengan akhlak Ilahi ini dengan mengembalikan semua ganjaran kepadanya.

Ya, sebagai syarat untuk menjadi sosok kebanggaan bagi umat manusia, perwujudan, serta manifestasinya, Rasulullah telah mengevaluasi hal-hal ini sedemikian rupa untuk menjadi lebih terdepan, bahkan dari malaikat sekalipun. Sebenarnya hal ini juga berlaku bagi siapapun. Yakni, segala sesuatu yang didermakan di jalan Allah subhanahu wa ta’ala akan kembali kepada kita dalam bentuk yang berlipat ganda. Banyak sekali ayat Al-Qur’an yang  secara gamblang mengungkap kenyataan ini: مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا Barangsiapa melakukan amal kebaikan, maka baginya digandakan sepuluh kali lipatnya..” (QS. Al-An’am [6]: 160).

Ya, jika seseorang melakukan satu kebaikan saja, Allah akan melipatgandakannya menjadi sepuluh kali lipat dan mengembalikan lagi kepadanya. Ini merupakan rahmat Ilahi yang paling kecil derajatnya. Allah dapat melipatgandakannya menjadi seratus bahkan seribu, tergantung pada kedalaman keikhlasan setiap individu, terkadang bisa juga dilipatgandakan menjadi ribuan pahala, berdasarkan kedalaman dan ketaatan ibadah yang dicapai orang tersebut. Bahkan dikarenakan keistimewaan yang dimiliki oleh hari-hari tertentu, sifat itsar (mendahulukan orang lain) atau ketulusan pada dirinya, ataupun kedekatannya dengan Allah, maka Zat Yang Maha Kuasa pun menganugerahinya dengan balasan satu juta kali lipat dari amal ibadahnya.

Pada intinya, keadaan semacam ini berlaku bagi semua orang. Akan tetapi, kemampuan untuk mengevaluasi potensi kekuatan semacam ini dan kemampuan untuk mempergunakannya hingga pada tingkatan tertingginya hanyalah kemampuan yang dimiliki oleh Rasulullah semata. Bahkan para nabi lainnya (al-Anbiya’ al-‘Idzam), para waliullah (al-Auliya’ al-Kiram), dan orang-orang bertakwa (al-Ashfiya' al-Fikham) - kebesaran dan keluhuran mereka semua tak diragukan lagi - tetapi tak satupun dari mereka yang berada di tingkatan itu, yang mampu mengevaluasi anugerah yang Allah berikan kepada mereka sebagaimana dilakukan oleh Rasulullah. Oleh karenanya, mereka pun tidak mendapatkan balasan yang sepadan pada takaran tersebut.

Kata karim, karamah, dan ikram berasal dari akar kata yang sama (bahasa Arab). Sifat karim (murah hati) memiliki arti terpaut/terikatnya seseorang pada kedermawanan atau juga bermakna diselimutinya seseorang oleh perasaan untuk selalu berbuat baik kepada sesama. Perasaan ini -sedikit-banyak pada takaran tertentu- ada pada diri setiap orang. Sebagian orang menumpulkan seluruh per asaan ini, sementara sebagian lainnya justru terus-menerus melatih dan mengembangkannya sepanjang hidup sehingga jalan kedermawanan pun terbuka lebar bagi mereka. Dengan demikian, mereka hidup sebagai pribadi kesatria yang senantiasa menebarkan mutiara kedermawanan ke berbagai penjuru tanpa tersesat dan menyimpang ke kiri maupun kanan jalan.

Karunia pertama yang diberikan Allah kepada Nabi Muhammad, Sosok Kebanggaan Bagi Kemanusiaan, yang digunakan dalam mengemban tugas dan misinya menjadi sangatlah besar. Bukankah kita menyebutnya sebagai sosok yang ditunggu-tunggu? Sesuai dengan keagungan misinya, maka diri Beliau pun dilengkapi dengan benih-benih karakter yang dapat memikul tugas dan tanggung jawab berat ini. Namun, setelah itu Beliau menyibak benih-benih karakter yang ditempatkan Allah pada dirinya ini dan mampu melejitkannya menuju batas yang diharapkan.

Kita tidak dapat mempertanyakan mengapa Allah melakukan suatu hal. Ya, kita tidak dapat mengatakan kepada-Nya ‘’Mengapa Ia melakukan ini atau itu?". Namun, kita tetap memiliki perspektif umum terkait hal ini, yakni: Sedari awal Allah menganugerahkan kepada seseorang sebuah kebesaran yang melampaui semua orang dan segala hal sembari mempertimbangkannya dengan ilmu-Nya yang melingkupi segala hal, bahwa di masa depan orang itu akan melakukannya seraya mengerahkan keseluruhan iradahnya. Rasulullah, yang merupakan sosok kebanggaan bagi kemanusiaan, memanfaatkan semua kenikmatan dan kebaikan dari Allah subhanahu wa ta’ala ini, baik untuk kehidupan pribadinya sendiri maupun bagi kehidupan islami seluruh umatnya.

Sifat karim (murah hati) merupakan salah satu dari perasaan-perasaan tersebut. Pada dirinya, hal ini memiliki arti suka melakukan kebajikan, serta merupakan bakat dan potensi untuk terbuka pada karomah. Begitulah, semakin Beliau memberi, Allah pun semakin memberikan anugerah-Nya kepada beliau. Akan tetapi, karena hal-hal luar biasa yang terjadi di seputar platform kenabian dan berhubungan dengan bukti  yang membenarkan kenabiannya, maka dalam hal ini kita menyebutnya sebagai mukjizat. Mukjizat berarti suatu hal luar biasa yang dianugerahkan Allah, terjadi melalui tangan para nabi dan berfungsi untuk membuktikan kebenaran kerasulan atau kenabian mereka. Pada saat yang sama, esensi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sangatlah terbuka bagi hal ini.

Maka sifat karim (murah hati) sejatinya adalah perkara yang dengan sendirinya disenangi. Bahkan kita mencintai seseorang karena kemurahan hati yang dimilikinya. Ada sebuah ungkapan indah yang diriwayatkan sebagai sebuah hadis, meskipun ia bukanlah hadis, "Manusia adalah hamba bagi kebaikan". Dengan kata lain, kebaikan merupakan hal yang sangat dinamis, sehingga dengannya banyak sekali pekerjaan-pekerjaan penting yang dapat ditunaikan dan kesulitan-kesulitan yang dapat terselesaikan.

Sifat karim, pada takaran tertentu, telah ada pada diri orang-orang Arab di masa lalu. Bahkan puisi-puisi Jahiliah di periode-periode awal berkutat seputar dua motif/topik penting yaitu sifat karim dan keberanian. Ya, hampir syair-syair semua orang/penyair, mulai dari Umruul Qais hingga Tarafa, berpusat pada dua tema ini (jika sekiranya puisi-puisi yang disandarkan pada nama mereka adalah memang benar milik mereka). Jika kita membahas permasalahan ini dari perspektif Badiuzzaman Said Nursi, maka dapat dikatakan bahwa jejak agama Nabi Ibrahim pada masa lalu sebenarnya dipraktikkan dengan bentuk ini. Dikisahkan tentang kedermawanan Nabi Ibrahim dalam hikayah berikut ini:

Pada beragam sumber dikisahkan tentang banyaknya hewan gembalaan Nabi Ibrahim ‘alaihi salam. Saking banyaknya penggembala, domba, dan (mohon maaf jika kalimat saya kurang berkenan) anjing-anjing yang menjaga gembalaannya, sehingga dengan semua kekayaan ini Nabi Ibrahim pun dianggap sebagai salah satu orang terkaya pada masanya. Beberapa malaikat yang - jika cerita ini benar - merasa kesulitan untuk memahami bagaimana Nabi Ibrahim dapat menggabungkan antara berbagai kenikmatan yang diperolehnya ini dengan posisinya sebagai seorang nabi. Maka sebagaimana para malaikat mempertanyakan tentang penciptaan Nabi Adam (dengan tujuan mendapat penjelasan), mereka pun mempertanyakan tentang kondisi Nabi Ibrahim ini dengan berkata: "Bagaimana cara dia menyeimbangkan antara kekayaan yang dimilikinya dengan tugas kenabian yang mulia?"

Allah pun menawarkan kepada mereka untuk pergi dan menanyakannya secara langsung pada Nabi Ibrahim, "Pergi dan tanyakanlah sendiri!". Malaikat-malaikat itu pun pergi kepada Nabi Ibrahim ‘alaihi salam seraya mengungkapkan makrifat mereka sembari mengucapkan: سُبُّوحٌ قُدُّوسٌ رَبُّ اْلمَلٰئِكَةِ وَالرُّوح

Masing-masing dari kata-kata ini adalah kata-kata pilihan terbaik untuk memuliakan dan menyucikan Allah. Sebagaimana kata-kata yang digunakan dalam syair akan dapat dimengerti oleh "pujangga" dan "ahli balaghah" yang membuat mereka berkata, “Betapa puitisnya kata-kata tersebut, ia amatlah sesuai dengan melodi syairnya.” Demikianlah, kecermatan pada kata-kata yang diucapkan atas nama Zat Yang Maha Tinggi itu pun akan bisa dipahami oleh pribadi-pribadi istimewa sebagaimana Nabi Ibrahim ‘alaihi salam yang  telah mencapai derajat makrifat Zat Yang Maha Tinggi dan yang hatinya terbuka bagi pekerjaan ini. Ketika mendengar tasbih ini terucap dari para malaikat, Beliau begitu terpesona dan meminta untuk diulanginya, "Aduhai, betapa indahnya! Kumohon ucapkan sekali lagi apa yang tadi Anda katakan, sebagai balasannya seperempat dari kawanan domba yang ada di hadapanku ini akan menjadi milik Anda." Ketika telah disebutkan lagi, Beliau pun berkata, "Setengahnya (dari kawanan dombaku) lagi adalah milik Anda".  Saat mereka menyebutkannya sekali lagi, maka Nabi Ibrahim pun berkata, "Bersama dengan seluruh gembalaanku, aku rela menjadi budakmu". Pada saat kekayaan terkait erat dengan perasaan-perasaan seperti ini, jangankan menjadi lawan bagi dakwah kenabian, ia justru akan menjadi akhir penting bagi dakwah kenabian tersebut.

Pada suatu masa, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan ibunda kita, Khadijah radiallahu ‘anha, pernah mencapai kekayaan seperti ini. Namun, baru menginjak tahun ke-2 atau ke-3 kenabian, hampir tidak dapat ditemukan makanan di rumah mereka. Kekayaan melimpah itu menguap dan habis di jalan dakwah kenabian. Ia habis untuk jamuan makan, untuk mengambil atau melunakkan hati si polan dan si polan, atau untuk menurunkan ketegangan pada situasi tertentu. Maka dengan cara inilah kekayaan melimpah itu dihabiskan. Harta melimpah itu benar-benar habis sehabis-habisnya, sehingga 5-6 tahun kemudian Nabi Muhammad, Sosok Kebanggaan Kemanusiaan, mulai sering mengikatkan batu di perutnya demi menahan rasa lapar.

Kami ingin menyajikan analisis pada bagian ini sebagai berikut:

Kedermawanan yang merupakan peninggalan dari Nabi Ibrahim ‘alaihi salam bukanlah sesuatu yang asing bagi orang-orang Mekkah. Setiap orang memilikinya sesuai kondisinya masing-masing. Namun, tetap saja tidak ada seorang pun yang mampu menyaingi sifat karim yang dimiliki Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, bahkan sebelum Beliau diangkat menjadi Nabi sekalipun. Karena Rasulullah merupakan buah terakhir dan terbesar dari silsilah Nabi Ibrahim ‘alaihi salam. Seolah Beliau mewarisi seluruh sifat karim Nabi Ibrahim ‘alaihi salam tersebut. Apalagi setelah masa kenabiannya, sifat karim ini semakin bertambah sedemikian rupa, hingga Rasulullah pun terbentuk menjadi sosok yang sangat dermawan dan murah hati. Terutama pada bulan suci Ramadan, oleh Ibunda Aisyah radiallahu ‘anha Beliau diibaratkan laksana angin yang bertiup dengan penuh rahmat, apapun yang ada di tangannya akan dibagikan kepada sekelilingnya.

Bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, menunaikan misi mulia yang diamanahkan kepadanya telah menjadi cita-cita agung, bahkan menjadi semangat baginya. Begitu menggeloranya hingga Ia merasa seperti akan mati saat tak mampu menjalankannya. Sehingga dalam hal ini Allah jalla jalalahu meluruskannya dengan firman-Nya: فَلَعَلَّكَ بَاخِعٌ نَفْسَكَ Maka barangkali kamu akan membunuh dirimu sendiri karena bersedih hati setelah mereka berpaling.” (QS. Al-Kahfi [18]: 6)

Ayat ini menjadi pelurus dan penghibur baginya.

Dari sisi ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu menggunakan apapun yang Allah berikan kepadanya di jalan dakwah kebenaran. Yakni, apapun yang Allah berikan, semuanya kembali digunakannya demi menghidupkan agama Allah. Misalnya, Allah menganugerahkannya keberanian yang luar biasa. Dengan keberanian ini, Beliau pun mematahkan berbagai serangan lawan yang perlu ditangkis dan dilawan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengambil manfaat dari asma Allah Al-Jawwad (Zat Yang Murah Hati) pada tingkatan yang sangat tinggi. Akan tetapi Beliau tidak menggunakan segala fasilitas yang didapat secara sembrono tak tentu arah. Sebaliknya, Beliau mempertimbangkannya dengan penuh kehati-hatian dan menggunakannya di jalan kebenaran. Semua yang Beliau infakkan persis seperti benih-benih yang dihamburkan ke atas permukaan tanah. Setiap biji yang dihamburkan akan berubah menjadi tangkai bulir yang berbuah.

Dengan cara ini, Sosok Kebanggaan Bagi Kemanusiaan SAW selalu memanfaatkan segala hakikat yang dikumpulkan Allah subhanahu wa ta’ala pada inti kemuhammadiyahannya. Misalnya, pada saat Beliau masih berusia dua puluh lima tahun, Allah memberikannya sebuah kesempatan untuk masuk dalam dunia perniagaan dan menjadi mitra kerja Sayidah Khadijah. Hanya dalam waktu yang sangat singkat, Rasulullah meraup kekayaan yang cukup banyak. Akan tetapi, hanya beberapa tahun saja setelah turunnya wahyu, Beliau menghabiskan dan menginfakkan seluruh kekayaannya di jalan itu. Tak pelak bahwa Beliau menasarufkan semua hartanya dengan cara yang amatlah tepat dan cermat, sehingga sangat banyak orang yang hatinya tertarik pada Islam dan rahasia dari kalimat “manusia adalah hamba bagi kebaikan” pun tampak ke permukaan dengan amat jelas.

Tampak begitu jelas, sehingga mereka yang tidak memahami kebesaran dan kebajikannya, yang tak dapat melihat bagaimana Beliau amatlah dapat dipercaya pada amanah yang diberikan kepadanya, yang menutup matanya dari kesetiaannya, tentu akan bertekuk lutut pada kemurahan hati yang dimilikinya. Rasulullah senantiasa berada dalam keadaan ini hingga akhir hayatnya. (Karakteristik Rasulullah ini dapat dibaca secara lebih jelas di buku ‘Cahaya Abadi: Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, Kebanggaan Umat Manusia’ yang telah diterbitkan). Ihwal Rasulullah yang seperti ini lalu mendatangkan keyakinan pada diri orang-orang yang hidup pada masa itu bahwa ‘’Hanya manusia yang memiliki keyakinan penuh pada Allah saja lah yang mampu begitu dermawan seperti ini. Oleh karena itu, orang ini pastilah seorang Nabi.’

Ya, dengan kedermawannya yang luar biasa ini lah Rasulullah berhasil masuk dan merebut banyak hati satu per satu, yang tak bisa didapatkan dengan kesetiaan, kesetiakawanan, keamanahan, dan rasa aman yang dimilikinya. Ya, setiap orang mengambil manfaatnya dari sisi kebesarannya yang berbeda-beda, keagungan Rasulullah tertutupi di bawah sisi itu, dan Beliau pun diterima dengannya. Betapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangatlah piawai dalam memanfaatkan dan menggunakan kedermawanan ini, hingga tidak hanya tujuh ataupun tujuh puluh, bahkan setiap bulir kekayaannya menghasilkan tujuh puluh ribu bulir-bulir ibarat tangkai yang terus-menerus tumbuh dan berkembang. Rasulullah telah menghitung dan mempertimbangkan setiap permasalahan dengan penuh perencanaan, dan Beliau pun menasarufkan seluruh kekayaannya bagai benih yang dihamburkan ke atas tanah. Lalu, dengan pemeliharaan dan kemurahan-Nya, setelah masa tertentu benih-benih tersebut tumbuh menjadi tunas yang mengeluarkan putik-putiknya, memekarkan bunga-bunga indahnya, dan kemudian menjadikan seluruh penjuru penuh dengan musim semi yang menawan.

Pada masa sekarang ini, hal yang sama juga berlaku bagi insan kesatria penuh pengorbanan yang merajut hidupnya dengan cita-cita untuk menghidupkan sesamanya. Karena manusia-manusia masa sekarang ini juga memiliki misi penting dalam hidupnya yang istilahnya disebut “pewaris dakwah kenabian”. Dapat dikatakan bahwa para pewaris bumi saat ini juga merupakan para pewaris tugas-tugas dakwah kenabian.

Sebagaimana Rasulullah menghidupkan kedermawanan pada masanya dan melejit pada titik tertingginya, maka begitu pula dengan para representasi dakwah kenabian pada masa kini, mereka juga harus melakukan hal yang sama. 

Sebagaimana yang dilakukan oleh sosok panutan kita, yaitu Rasulullah, Beliau menggunakan seluruh karunia yang diberikan Allah jalla jalalahu kepadanya bagi jalan dakwah, taklim, tarbiah, dan dakwah luhurnya tanpa menyia-nyiakan hal serenik apapun. Kita juga bisa melakukan hal yang sama. Dengannya, kita dapat mempercepat pertumbuhan-pertumbuhan positif yang bisa diraih atas nama agama kita. Ya, hasil yang telah dan akan diberikan oleh kedermawanan kita sangatlah berharga, setimpal dengan berbagai pengorbanan yang dilakukan, dan juga sangatlah penting bagi masa depan bangsa ini.


[1] Diterjemahkan dari artikel: https://fgulen.com/tr/eserleri/prizma/keremin-kazandirdiklari

Pin It
  • Dibuat oleh
Hak Cipta © 2024 Fethullah Gülen Situs Web. Seluruh isi materi yang ada dalam website ini sepenuhnya dilindungi undang-undang.
fgulen.com adalah website resmi Fethullah Gülen Hojaefendi.