Pesan Fethullah Gülen Hojaefendi pada Malam Lailatulqadar

Kita tidak ingin bulan Ramadan yang penuh dengan maghfirah ini pergi meninggalkan kita. Namun, sebagaimana segala sesuatu yang datang nantinya akan pergi, Ramadan datang di tengah-tengah kita sebagai tamu yang membawa kebahagiaan. Selang beberapa waktu kemudian, layaknya seorang tamu ia pun akan pamit.  

 Sudah lama kita tidak merasakan bulan Ramadan dengan segala keagungannya di hati ini. Kita tidak bisa merasakan nikmatnya buka puasa, berkahnya sahur, dan semangat salat tarawih dalam takaran keindahan yang pantas. Karena dalam beberapa tahun terakhir hari-hari yang kita lewati adalah ayyamun nahisat[1], hari-hari yang penuh dengan kemalangan yang rentan disinggahi oleh beragam keburukan. Malam semakin kelam karena rintihan orang-orang yang tertindas. Badai yang menyemburkan udara dingin menusuk hati terus berhembus kencang. Jiwa-jiwa yang kelam nan terkunci pada perusakan terus melakukan penghancuran  tanpa sedikitpun mengurangi lajunya.

 Dengan menyalakan api fitnah mereka berusaha memadamkan harapan-harapan orang-orang yang beriman. Kezaliman, tirani, konspirasi, dan tekanan-tekanan batin terjadi di mana-mana. Korban kezaliman dan ketidakadilan yang bermunculan di penjara, rumah tahanan, di tengah perjalanan menuju negeri pengungsian, dan di tempat-tempat hijrah amat memilukan hati. Setiap hari berita pahit, kematian, dan perpisahan begitu menusuk, rasanya seperti dada yang tertikam tombak.

 Di sisi lain, sebagian orang memilih untuk tak bersikap dan tak berbicara. Mereka menyaksikan semua yang terjadi seperti orang yang sedang menonton film belaka. Begitu banyaknya korban-korban kezaliman dan ketidakadilan, tetapi tak ada satu suara pun yang meratapinya. Mereka melakukan kezaliman sembari menunjukkan bahwa orang-orang yang dizalimi ini sebagai pihak yang bersalah. Mereka adalah gambaran umum mutaghalib (pemberontak), tidak berperasaan, tak tahu diatur, dan provokator di tanah air kita... Mereka adalah orang yang pandai memanipulasi; penipu yang menganggap pencurian sebagai kepandaian; dan para oportunis yang mencari manfaat dari para penipu... Dan betapa banyak organisasi anonim terlaknat yang mengambil peran di dalamnya!

 Meskipun demikian, menghadapi peristiwa-peristiwa paling kufur di periode-periode paling berbahaya kami selalu percaya bahwa hari-hari yang dijanjikan Sang Ilahi akan lahir; kami selalu percaya bahwa “tangan-tangan” penuh rahmat akan memakmurkan tidak hanya dunia, melainkan juga akhirat. Kami mempercayainya sembari menggantungkan diri kepada tawakal, taslim, dan tafwidh[2]. Apalagi pada hari sebaik malam lailatulqadar yang mampu membuihkan banyak rasa yang diamanahkan oleh waktu. Dengan mengetahui keagungan nilainya, jiwa-jiwa bercahaya yang mampu memanfaatkan dengan baik kesempatan tersebut diharapkan mampu melembutkan kemungkinan terjadinya kiamat berdarah dan perilaku paling brutal sekalipun hingga akhirnya ia berubah menjadi selembut sutra.  

 Lailatulqadar adalah malam yang dirayakan para malaikat. Ia adalah malam di mana kubah langit dibangun. Para sultan alam maknawi hilir mudik di malam tersebut.  Pada malam ini, malaikat turun satu demi satu. Sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala di akhirat nanti akan bermuamalah dengan sifat qudrat dibandingkan hikmah, pada malam lailatulqadar ini pun sifat qudrat akan lebih dominan dibandingkan dengan hikmah-Nya. Mereka yang mengetahui nilai dari malam ini akan mendapatkan waridat ilahi[3] yang melimpah. Mereka memanfaatkan kesempatan sesuai kadar kemuliaannya; merintih dan bermunajat untuk orang-orang yang mengalami kezaliman dan ketidakadilan, bersujud hingga lupa mengangkat kepala, berdoa hingga tangan kesemutan, serta bersimpuh hingga pangkal paha melukat.   Mereka yang bisa menunaikan hak malam ini sesuai dengan takaran kemuliaannya, berkat anugerah dan kemurahan dari Allah duka citanya akan sirna di waktu yang tak lama, kesedihan akan berubah menjadi kelezatan; usaha yang tak berbuah pun berubah menjadi “alhamdulillah”; peristiwa-peristiwa di sekitar kita akan mulai bermekaran dengan kebahagiaan yang dijanjikan.

 Jika demikian, mari menyambut Lailatulqadar sebagai kesempatan emas seraya menengadahkan tangan ke haribaan-Nya dan berseru: “Duhai Jawaban bagi mereka yang tak berdaya! Pada hari-hari yang kelam di mana seluruh sebab diam membisu, situasi sosial kemasyarakatan dalam kondisi yang keruh, suara gaduh orang-orang zalim terdengar di mana-mana, serta rintihan putus asa mereka yang tak berdaya hanya bisa hilir mudik kesana kemari tanpa solusi, kami mohon kirimkanlah secercah cahaya-Mu kepada mereka yang sedang menderita karena penindasan. Dengan qudrat-Mu yang tak terbatas percikkanlah tetesan air di atas api kezaliman dan ketidakadilan.. Padamkanlah bara api yang dinyalakan setan, dan ikatlah tulang punggung iblis dengan rantai yang tak mungkin untuk diurainya..”

 Manfaatkanlah malam ini dengan membaca Al-Qur’an, mendirikan salat, serta melantunkan istigfar, doa, wirid dan zikir. Penuhilah hak dari malam ini.

 Duhai al Maula al Muta’ali, anugerahilah kami kemampuan untuk memahami keagungan malam ini, memaksimalkan berkah di dalamnya, serta antarkan kami menuju hari raya yang hakiki di mana kami berhasil meraih ampunan-Mu.

 

[1] Istilah ayyamun nahisat terdapat pada QS al Fusshilat ayat 16. Dikatakan: Fa arsalnā 'alaihim rīḥan ṣarṣaran fī ayyāmin naḥisāt… yang artinya “maka Kami meniupkan angin yang amat gemuruh kepada mereka dalam beberapa hari yang sial…”, penerj.

[2] Tafwidh adalah satu jenis kepasrahan yang lebih tinggi dan paling tinggi, pasrahnya orang khawash al-khawash. Pada kepasrahan di level tafwidh, yang bersangkutan betul-betul pasrah secara total dan karena itu Allah-lah yang Maha proaktif, penerj.

[3] Waridat Ilahiyat adalah karunia Allah subhanahu wa ta’ala yang dikhususkan bagi hamba yang senantiasa menepati waktu-waktu yang telah dibiasakan melaksanakan beberapa macam ibadah dengan tetap dan tekun