"Madrasah Rasulullah" dan Kejeniusan dalam Bidang Ilmu Pengetahuan

"Madrasah Rasulullah" dan Kejeniusan dalam Bidang Ilmu Pengetahuan

Selain membuka pintu lebar-lebar bagi kehadiran sosok-sosok jenius dalam bidang militer dan pemerintahan, "Madrasah Rasulullah" juga selalu membuka ruang seluas-luasnya bagi ilmu pengetahuan. Itulah sebabnya, di dalam "madrasah" ini, Rasulullah berhasil mendidik dan melahirkan begitu banyak ilmuwan, pemikir, ahli hukum, mujtahid, dan mujadid. Tapi tentu tidak mungkin jika di sini kita menyebutkan nama-nama mereka satu persatu yang hidup pada tiga abad pertama setelah masa Khulafâ` al-Râsyidûn.

Agaknya di sini kita cukup melihat perjalanan hidup Abdullah ibn Mas'ud ra. yang merupakan seorang penggembala domba di Mekah tapi kemudian bermetamorfosa menjadi sosok jenius yang terkenal dengan kecerdasannya. Disebabkan Ibnu Mas'ud-lah kota Kufah dapat menjadi pusat ilmu pengetahuan. Di bawah bimbingannya, lahir ratusan cendekiawan yang menguasai ilmu fikih, hadits, dan ilmu kalam semisal Aswad ibn Yazid, Alqamah ibn Qais al-Nakha'i, Ibrahim al-Nakha'i, Hammad ibn Abi Sulaiman, dan Imam Abu Hanifah yang kesemuanya berhutang budi kepada Abdullah ibn Mas'ud. Kalau pun saat ini kita berpura-pura melupakan fakta ini, maka sejarah ilmu pengetahuan tetap akan mencatat nama Ibnu Mas'ud sebagai seorang tokoh besar.

Berikut ini adalah sedikit di antara beberapa ulama terkemuka yang berasal dari "Madrasah Kufah". Tapi saya hanya dapat mengambil beberapa orang ulama untuk setiap bidang ilmu. Sungguh saya memohon maaf yang sebesar-besarnya kepada para ulama besar lain yang –tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada mereka- tidak dapat saya sebutkan di sini disebabkan keterbatasan tempat.

1-Ulama dalam Bidang Fikih

Siapakah gerangan Abu Hanifah?

Abu Hanifah adalah seorang ulama besar yang telah melahirkan Mazhab Hanafi. Semasa hidupnya, Imam Abu Hanifah dikelilingi oleh banyak "murid" yang terdiri dari pada ulama. Pada masa itu ilmu pengetahuan memang disebarluaskan lewat majelis atau halakah dengan cara dikte. Di antara murid Abu Hanifah itulah terdapat Imam Abu Yusuf, seorang ulama yang berjuluk Qadhi al-Qudhât (Qadi Tertinggi). Adapun murid Abu Hanifah yang lain misalnya adalah Imam Muhammad ibn Hasan al-Syaibani, Imam Zufr, dan Imam Waki' yang tidak lain adalah guru dari Imam Syafi'i. Dengan kata lain, sebenarnya kita dapat menyebut Imam Abu Hanifah sebagai Guru Besar (Ustâdz al-Asâtidzah).

Dengan keistimewaan yang dimilikinya itu, maka Imam Abu Hanifah pun seakan terus "berdialog" dengan setiap generasi yang lahir sesudahnya apalagi beliau adalah imam bagi jutaan umat Islam.

Di antara murid Imam Abu Hanifah terdapat Imam al-Sarkhasi yang terkenal dengan kitabnya yang masyhur berjudul al-Mabsûth yang terdiri dari tiga puluh jilid.[1] Konon Imam al-Sarkhasi mendiktekan kitab yang luar biasa ini dari dalam sumur yang menjadi tempat penahanannya. Jadi pada saat itu murid-muridnya duduk mengelilingi sumur yang didiaminya.

Diriwayatkan bahwa suatu kali salah seorang murid Imam al-Sarkhasi berkata kepadanya bahwa Imam Syafii mampu menghafal tiga ratus lembar catatan hadits Rasulullah. Setelah mendengar itu, Imam al-Sarkhasi dengan penuh kerendahan hati berkata: "Kalau begitu dia sudah berhasil menghafalkan hadits sebanyak jumlah yang harus kuzakatkan dari semua hadits yang kuhafal."[2]

Selain Imam Abu Hanifah, Imam Syafi'i juga merupakan sosok jenius yang sangat luar biasa. Sebagaimana demikian pula halnya Imam Malik dan Imam Ahmad ibn Hanbal.

Sekarang mari kita kembali ke pertanyaan awal: Siapakah gerangan Abu Hanifah?

Apakah dia adalah murid dari salah seorang sahabat Rasulullah seperti Ibnu Mas'ud ra.? Apakah dia adalah murid dari salah seorang tabiin seperti Alqamah? Bukan! Imam Abu Hanifah "hanyalah" seorang murid dari murid dari murid sahabat Rasulullah Saw. Memang benar Abu Hanifah adalah murid dari Hammad ibn Sulaiman yang merupakan seorang fakih terkemuka. Tapi Hammad hanyalah murid dari muridnya Rasulullah Saw.

Ya. Ketika alam semesta terbenam dalam gulita berkepanjangan sampai-sampai ia tak mampu lagi berharap akan datangnya cahaya meski hanya secercah sinar fajar kidzib, pada saat itulah sebenarnya ada ratusan "cendekiawan" yang kelak akan menyinari umat manusia dan seantero jagad raya dengan ilmu pengetahuan yang mereka miliki, sedang menimba ilmu di Madrasah Rasulullah Saw.

Hebatnya, jumlah para cendekiawan yang kelak akan menyinari alam semesta dengan ilmu pengetahuan itu amatlah banyak. Jadi jangan pernah Anda membayangkan bahwa pada masa Rasulullah jumlah sahabat yang berotak brilian hanya sedikit. Kalau kita mau menyebutkan satu persatu, tampaknya kita akan dapat mengumpulkan lebih dari lima puluh nama sahabat Rasulullah yang kecerdasannya mengungguli Imam Abu Hanifah pada saat beliau tinggal di Kufah. Tapi kita tentu tidak dapat menganalisa masalah ini dari aspek geografis atau waktu kemunculan masing-masing individu, sebab pada hakikatnya mereka semua –baik para sahabat maupun Imam Abu Hanifah dan para ulama lainnya- adalah "alumni" dari sebuah "madrasah" luar biasa yang didirikan oleh Rasulullah. Disebabkan jasa beliaulah para kader ulama digembleng menjadi juru penerang bagi dunia selama empat belas abad yang insyaallâh akan terus berlanjut hingga Hari Kiamat.

2-Ulama dalam Bidang Tafsir

Bagi umat Islam, ilmu tafsir adalah samudera dalam arti yang sebenarnya. Namun bagi Rasulullah, samudera itu menjadi laksana setetes air yang dari setetes air itulah kita dapat mengetahui samudera Rasulullah Saw. yang tak bertepi.

Dimulai dari Ali ra., Ibnu Abbas ra., dan terus hingga Muhajid, Said ibn Jubair, Ibnu Jarir, Fakhruddin al-Razi, Ibnu Katsir lalu berlanjut para mufasir tingkat dunia yang masih hidup saat ini, pada hakikatnya mereka semua diikat dengan sebuah rantai cahaya yang menyatukan mereka dalam sebuah halakah besar. Ikatan itulah yang kemudian menjadi dalil terbesar yang menunjukkan kebenaran Rasulullah Saw. serta kedudukan beliau sebagai pemimpin para nabi dan umat manusia secara keseluruhan.

Ibnu Jarir misalnya, adalah sosok yang dapat menjadi contoh sosok jenius yang memiliki kecerdasan melebihi rata-rata. Jika Anda menelaah tafsir yang disampaikannya, Anda pasti akan menemukan penjelasan yang disampaikannya mengenai ayat atau hadits tertentu, telah jauh melampaui zamannya sendiri. Ibnu Jarir-lah salah satu mufassir yang dengan gamblang mampu menjelaskan bahwa di awal penciptaan, langit dan bumi menyatu sebelum kemudian dipisahkan oleh peristiwa Dentuman Besar (Big Bang). Bahkan di dalam tafsirnya Ibnu Jarir telah menjelaskan prinsip-prinsip dasar pergerakan angin, proses turunnya hujan, dan berbagai hal lain yang baru dapat dipahami seribu tahun setelah wafatnya.

Dalam sebuah penelitian ilmiah yang dilakukan terhadap riwayat hidup Ibnu Jarir berhasil disimpulkan bahwa ternyata mufassir ulung ini memiliki karya tulis yang jika jumlahnya dibagi untuk mengetahui banyaknya halaman yang dia tulis perhari, maka ditemukan jawaban bahwa Ibnu Jarir menulis lima belas halaman perhari. Jadi, jika Ibnu Jarir tidak boleh kita sebut sebagai sosok "jenius", dengan kata apakah kiranya kita dapat menyebut kehebatannya?

Selain Ibnu Jarir, kita juga mengenal Fakhruddin al-Razi dan Imam Suyuthi yang telah menulis seribu buku setelah sebelumnya dia mempelajari ratusan kitab tafsir. Begitu pula di zaman kita saat ini, umat Islam memiliki sekian banyak ulama tafsir yang begitu cemerlang yang seandainya saja salah satu di antara mereka lahir dari peradaban barat, pasti orang-orang barat akan membuat patungnya untuk disombongkan di hadapan masyarakat dunia.

3-Ulama dalam Bidang Hadits

Dalam peradaban Islam kita mengenal sekian banyak ulama hadits yang menduduki posisi istimewa di hati kita. Imam al-Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam Tirmidzi, Imam Nasai, Imam Ibnu Majah, Imam Ahmad ibn Hanbal, Imam Daru Quthni, Imam Baihaqi, dan Imam Darami adalah para ulama hadits terkemuka yang menjadi imam dalam ilmu hadits. Sedemikian banyaknya jumlah mereka, meski sebenarnya satu orang saja sekaliber mereka sudah cukup bagi seluruh dunia. Tapi sayangnya di sini kita tidak dapat menjelaskan satu persatu tentang mereka sebab bukan itu tujuan ditulisnya buku ini. Di sini, kiranya cukuplah bagi kita untuk sekedar mengetahui bahwa setelah berhasil menghafal enam ratus ribu hadits, Imam al-Bukhari hanya memilih empat ribu saja dari hadits-hadits itu yang dianggapnya pantas untuk dimasukkan dalam kitab al-Shahîh yang disusunnya. Hal ini menunjukkan ketelitian dan kecermatannya dalam memilih kualitas hadits. Syahdan untuk setiap hadits yang akan ditulisnya Imam al-Bukhari selalu melaksanakan shalat dua rakaat.[3] Namun bahkan seorang ulama sehebat itu tidak lebih dari "sekedar" murid dari muridnya Rasulullah Saw.

Pada suatu kali Imam al-Bukhari menempuh perjalanan panjang dan sulit untuk menemui seseorang yang akan dia riwayatkan haditsnya. Tapi setibanya di tujuan, ternyata sang imam melihat orang yang ingin ditemuinya itu membujuk kudanya dengan tempat makanan kosong agar si kuda mau masuk ke kandang karena mengira akan diberi makan. Demi melihat itu, Imam al-Bukhari pun langsung berbalik meninggalkan orang tersebut tanpa berkata sepatah kata pun dan tanpa menanyakan hadits yang telah membuatnya rela menempuh perjalanan panjang yang melelahkan. Ketika seseorang bertanya tentang sikapnya itu, Imam al-Bukhari menjawab: "Sesungguhnya orang yang tega membohongi kuda miliknya sendiri, bisa jadi akan tega membohongiku juga."

Lantas apakah Anda dapat membayangkan betapa telitinya para ulama hadits yang lain dalam mengumpulkan dan menulis hadist yang mereka riwayatkan?

4-Ulama dalam Bidang Ilmu Pengetahuan Umum

Setelah menelaah sekian banyak buku yang ditulis mengenai sejarah ilmu di segala zaman, baik yang kuno maupun yang modern dan baik yang netral maupun yang tidak netral, tampaknya tak ada seorang pun yang tidak memiliki perasaan bangga akan masa lalu umat Islam yang gemilang. Pada zaman keemasannya, umat Islam menulis begitu banyak buku tentang kedokteran, matematika, arsitektur, biologi, dan berbagai ilmu lain yang jumlahnya menyamai tulisan mereka dalam bidang fikih, tafsir, hadits, dan ilmu kalam.

Di zaman keemasan itulah kita mengenal al-Jabir penemu ilmu Aljabar, Ibnu Sina, al-Khawarizmi, al-Zahrawi sang ahli bedah yang buku-bukunya digunakan di barat selama berabad-abad sampai-sampai sebuah jurnal ilmiah menjulukinya sebagai "Ilmuwan yang hidup seribu tahun". Dan masih ada ratusan atau bahkan ribuan cendekiawan muslim yang kesemuanya adalah murid-murid dari Madrasah Muhammad Saw.

Orang mungkin akan bertanya: Kenapa sebagian besar kita tidak mengenal para ilmuwan muslim itu? Salah satu jawaban atas pertanyaan itu adalah karena kita tidak memedulikan mereka. Padahal di barat, para ilmuwan tidak dapat menafikan para ilmuwan muslim tersebut, sebab mereka laksana puncak gunung yang tidak dapat dilihat kecuali setelah seseorang naik ke gunung yang bersangkutan. Sementara orang-orang muslim saat ini merasa nyaman dengan hanya duduk di "kaki gunung" sehingga mereka tidak pernah mampu melihat bagian "puncaknya". Atau para ilmuwan muslim itu dapat pula diumpamakan seperti puncak-puncak gunung yang saling berdekatan satu sama lain sampai-sampai tak ada lembah di antara mereka agar umat yang berada di "lembah" dapat melihat mereka. Itulah sebabnya umat Islam tidak mampu mengikuti jejak pada cendekiawan muslim itu, tidak seperti orang-orang barat yang berhasil mengambil manfaat dari mereka untuk membangun peradaban yang maju. Jadi jelaslah bahwa kesalahan bukan pada prinsip dan ajaran yang dianut umat Islam, melainkan pada pribadi-pribadi yang gemar bernostalgia dengan masa lalu. Meski mereka hidup di tengah lautan, tapi mereka tidak pernah mau tahu seberapa dalam lautan itu. ///

5. Para Pahlawan Spiritual

Derajat kedua dari dimensi Rasulullah Saw. adalah kewalian (al-wilâyah). Dalam ranah kewalian inilah Rasulullah berhasil membuka jalan dan kemudian mengantarkan sekian banyak orang yang hampir mencapai kesempurnaan sebagai manusia, sampai-sampai ada di antara mereka yang berkata: "Seandainya tabir penutup itu tersingkap, maka hal itu tidak akan menambah keyakinanku.”[4] Bahkan ada di antara mereka yang mencapai derajat yang membuat mereka mampu melihat sebagian dari hal-hal gaib. Ada pula dari mereka yang menghabiskan umur mereka untuk mendalami pelbagai rahasia yang terkandung di balik ayat-ayat suci al-Qur`an dan Sunnah hingga akhirnya mereka pun memahami berbagai isyarat dan rahasia yang terkandung di dalamnya. Dalam khazanah literatur Islam kita menemukan buku seperti al-Jaljalûtiyyah, Nahj al-Balâghah, al-Matsnawi, Futûh al-Ghaib, Fushûsh al-Hikam, dan al-Futûhât al-Makkiyyah.

Tahukah Anda bahwa Thomas Alfa Edison pernah berkata: "Saya mempelajari teknik untuk menciptakan listrik dari al-Futûhât al-Makkiyyah karya Muhyiddin Ibnu Arabi."

Di dalam al-Futûhât al-Makkiyyah kita memang dapat menemukan begitu banyak rahasia yang ada di tengah kehidupan kita. Memang harus diakui bahwa masih ada perdebatan mengenai kebenaran fakta bahwa di dalam kitab karya Ibnu Arabi ini terdapat penjelasan tentang ayat-ayat al-Qur`an yang mengarah ke penemuan listrik, elektron, dan lampu pijar. Tapi ternyata objek perdebatan itu tidak pernah jauh dari soal interpretasi terhadap naskah kitab terkenal tersebut.

Secara ringkas dapat dikatakan bahwa untuk mengungkap hal-hal misterius, seseorang dapat menggunakan jalur kewalian dan dapat pula menggunakan jalur eksperimen ilmiah. Jadi jika kita sebagai umat Islam menemukan kenyataan bahwa ternyata dulu kita lemah dalam hal ini sebagaimana halnya pula saat ini, maka semua itu pasti disebabkan kemiskinan tradisi berpikir logis yang kita miliki dan disebabkan kemalasan serta lemahnya tekad yang kita miliki untuk maju.

Tidaklah mudah untuk memahami para cendekiawan besar seperti Ibnu Arabi, Maulana Jalaluddin Rumi, Imam Rabbani, atau Badî' al-Zamân Sa'id Nursi, sebab mereka adalah orang-orang yang melampaui zaman mereka sendiri. Bahkan adalah sulit bagi kita untuk mengerti apa yang sudah berhasil mereka temukan. Kenapa kita tidak kunjung dapat memahami Syekh Naqsyabandi, Ma'ruf al-Karkhi, Abu Hasan Syadzili, Syekh Kailani, atau Syekh Harrani, padahal mereka adalah murid-murid dari Madrasah Rasulullah Saw.? Bukankah mereka hanyalah ngengat yang berseliweran di sekitar cahaya pelita Rasulullah Saw.? Merekalah para pecinta cahaya yang telah mampu melihat Alam Gaib. Imam Suyuthi menyatakan bahwa dirinya telah berkali-kali berjumpa dengan Rasulullah Saw. dalam keadaan jaga, bukan dalam mimpi.[5] Jadi jika "mata fisik" mereka telah terbuka seperti itu, maka dengan ilmu yang mereka pelajari dari Rasulullah Saw., mereka akan terus mengejar cahaya dan tertarik kuat oleh gravitasi Rasulullah Saw.

Kita yang awam, tampaknya cukup untuk tetap berada di "tempat" yang memiliki tiga dimensi ini dan di dalam "waktu" yang merupakan sebuah dimensi relatif. Sementara mereka (para wali), mampu menembus "waktu" dan "tempat" menuju dimensi lain yang tidak kita ketahui. Mereka itulah murid-murid Rasulullah Saw. yang sampai insyaallâh kapan pun orang-orang seperti mereka akan terus ada.

Tapi saya menyadari bahwa perkara kewalian bukanlah sesuatu yang saya ketahui dengan baik. Saya tidak lebih hanyalah sekedar orang yang sangat mengagumi para waliyullah tapi tak pernah mampu mencapai derajat mereka meski hanya "sebatas mata kaki". Insyaallâh, jika Allah menghendaki akan ada semakin banyak mata umat Islam yang terbuka atas segala bentuk realitas sehingga ketika itu terjadi, para pemilik "mata" itu akan membenarkan apa yang saya jelaskan di atas.

Rasulullah Muhammad Saw. adalah seorang mursyid besar yang murid-muridnya telah mengguli semua arwah di Alam Roh sebagaimana mereka semua juga jauh lebih unggul daripada semua orang yang saat ini mengaku sebagai mursyid. Jika semua berjalan sebagaimana mestinya, maka mulai saat ini mereka dapat berkata: "Masa depan dunia ada di tangan kami."

Ya. Ibnu Arabi adalah salah satu sosok yang mampu menyihir masyarakat barat, sampai-sampai ada ribuan orang Jerman yang menemukan kebenaran lewat cahaya dipancarkan Ibnu Arabi dan orang-orang semacam dia. Jika Abdul Qadir al-Kailani, Jalaluddin Rumi, Imam Rabbani, atau Sa'id Nursi mampu menggerakkan hati manusia agar menghadap ke arah Rasulullah Saw., maka kita harus menyadari bahwa keistimewaan seperti itu muncul berkat adanya kekuatan kudus yang mereka dapatkan dari mursyid mereka: Rasulullah Saw.!

Contoh lain...

Jalaluddin Rumi adalah sosok waliyullah yang telah mencapai puncak, meski sebagian orang enggan mengakui hal itu. Dia adalah salah satu di antara sekian banyak "raksasa" yang hatinya telah terbuka untuk berhubungan dengan Alam Tak Terbatas (al-'Âlam al-Lânihâiy) sehingga pikiran mereka dapat mengembara di Alam Malakut. Dia adalah contoh manusia yang memiliki kerinduan dan cinta Ilahi serta sekaligus menjadi contoh keikhlasan sejati dan peng-fana-an diri. Dia adalah salah seorang manusia yang mampu menemukan jalan menuju hakikat mutlak untuk kemudian menunjukkan jalan tersebut kepada umat manusia melalui pelbagai perumpamaan dan cerita. Dia adalah juga sosok yang pandai bertutur dan ahli retorika sehingga dengan "tongkat" yang dimilikinya, Jalaluddin Rumi mampu menyihir hati manusia agar mau terbuka bagi kebenaran.

7. Para Ahli Retorika

Rasulullah adalah "Sultan Para Ahli Bahasa" baik bagi bangsa Arab maupun non-Arab. Terdapat bukti yang banyaknya seisi dunia yang membenarkan pernyataan ini. Mulai dari Hassan ibn Tsabit, sampai Ka'b ibn Malik, Abdullah ibn Rawahah, dan Ka'b ibn Zuhair ibn Abi Salma. Mulai dari Labid sampai Khansa` binti Zuhairah dan terus berlanjut hingga para pujangga pada masa Umawiyyah, Abbasiyyah, dan Seljuk; para pujangga besar di msa itu semuanya mengakui bahwa Rasulullah adalah berada di puncak kefasihan bahasa sehingga mereka tidak pernah sungkan untuk menggunakan sabda atau gaya bahasa Rasulullah sebagai penghias kalimat-kalimat yang mereka gubah tanpa sedikit pun mengurangi rasa hormat mereka terhadap beliau.

Kita dapat menemukan contoh yang sangat jelas mengenai hal ini dari para pujangga Iran. Haidar Bammad pernah mengutip pernyataan Goethe,[6] seorang penyair asal Jerman: "Dalam sejarah Islam, khususnya pada masa kekuasaan Dinasti Abbasiyyah, Dinasti Seljuk, dan di kawasan Iran, kita banyak menemukan penyair-penyair besar di Iran. Tapi di antara sekian banyak pujangga besar itu, Dunia Islam hanya memberi perhatian besar terhadap empat atau lima orang penyair saja."

Goethe, yang dengan karyanya berjudul Faust telah dianggap sebagai tokoh yang membuka era baru dalam kesustraan Jerman, melanjutkan: "Di negara ini ada banyak pujangga. Tapi Dunia Islam hanya memberi perhatian pada lima orang pujangga saja, yaitu: Maulana Jalaluddin Rumi, Hafizh, al-Firdausi, al-Anwari, dan Nizhami. Sementara yang lain dinafikan dan tidak dianggap sebagai pujangga. Padahal di antara sekian banyak pujangga yang mereka nafikan dan tidak mereka anggap sebagai sastrawan itu terdapat orang-orang yang saya sendiri mendambakan kalau saja saya dapat menjadi murid mereka."

Anda tidak perlu terkejut ketika membaca pernyataan Goethe ini. Sebab memang itulah kenyataannya. Jadi yang harus kita lakukan sekarang adalah melihat lagi siapa saja pujangga yang selama ini kita puji-puji setinggi langit dan siapa saja di antara mereka yang kita lupakan. Jika kita tidak tahu, maka segeralah untuk mencari tahu. Tidak ada seorang pun di antara sekian banyak pujangga barat yang tidak mengikuti jejak Hafizh al-Syirazi.[7] Padahal sastra masa Ottoman banyak dipengaruhi oleh pribadi, semangat, dan dunia Hafizh.

Ya. Semua sastrawan baik yang berasal dari Iran, Arab, Turki, maupun yang berasal dari belahan dunia lainnya, semuanya adalah murid-murid dari Madrasah Rasulullah Saw. sebab dari beliaulah mereka menggali makna.

Pembaca yang budiman, sebenarnya masih ada begitu banyak hal lain di seputar kehidupan Rasulullah yang ingin dan sudah saya niatkan untuk saya sampaikan di sini. Tapi tampaknya saya harus menghentikan pembahasan ini sampai di sini agar tulisan ini tidak terlalu bertele-tele. Salah satu topik yang belum sempat saya bahas di bagian ini adalah kemampuan Rasulullah dalam bidang militer.


[1] Sebenarnya jumlah tiga puluh jilid ini adalah bagian yang masih terlestarikan hingga saat ini dari empat puluh jilid lengkapnya, penerj-

[2] Ushûl al-Sarkhasi, al-Sarkhasi 1/5.

[3] Hady al-Sârî, Ibnu Hajah al-Asqalani, hlm. 9.

[4] Al-Asrâr al-Marfû’ah, Ali al-Qari, hlm. 193.

[5] Jâmi' Karâmât al-Auliyâ`, al-Nabhani 2/158.

[6] Johann Wolfgang von Goethe (lahir 28 Agustus 1749 – meninggal 22 Maret 1832 pada umur 82 tahun) adalah novelis, sastrawan, humanis, ilmuwan, dan filsuf Jerman.

[7]Khwaja Syamsuddin Muhammad Hafizh al-Syirazi (1325/1326 – 1389/1390) yang di barat dikenal dengan nama "Hafez", adalah seorang sufi dan penyair Persia.

Pin It
  • Dibuat oleh
Hak Cipta © 2024 Fethullah Gülen Situs Web. Seluruh isi materi yang ada dalam website ini sepenuhnya dilindungi undang-undang.
fgulen.com adalah website resmi Fethullah Gülen Hojaefendi.