Rasulullah Sebagai Pendidik Umat Manusia dan Metode Tarbiah Beliau

Rasulullah Sebagai Pendidik Umat Manusia dan Metode Tarbiah Beliau

Sebelum kita masuk ke dalam penjelasan yang lebih luas berkenaan dengan metode tarbiah Rasulullah Saw., mari kita terlebih dulu menelisik kandungan ayat di bawah ini, sebab mustahil bagi kita untuk dapat mengetahui ketinggian puncak yang telah dicapai Rasulullah dalam mendidik manusia jika kita tidak tahu karakter manusia yang menjadi objek tarbiah beliau.

Ayat itu berbunyi: "Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (al-Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata." (QS al-Jumu'ah [62]: 2).

Beberapa kata yang tercantum dalam ayat ini begitu menarik perhatian. Ayat ini dimulai dengan dhamir[1] "dia" (huwa). Pencantuman kata ganti seperti ini menunjukkan bahwa pada saat itu umat manusia belum mengenal Allah. Manusia di masa itu masih bodoh dan terbelakang sehingga Allah belum "muncul" di dalam hati mereka.

Selain itu ayat ini juga menunjukkan betapa jauhnya manusia pada saat itu dari Allah. Hal ini dapat kita lihat dari penggunaan kata ganti orang ketiga ketika menyebutkan umat manusia. Di dalam ayat ini dinyatakan bahwa manusia dalam kondisi "ummiyyûn", yang secara etimologis bermakna "buta huruf". Kata ini menunjukkan bahwa mereka sama sekali tidak mengenal Kitab Suci, ilmu pengetahuan, Allah, dan Rasulullah.

Kepada umat "buta huruf" yang tidak memiliki harapan itulah Allah mengutus seseorang yang memiliki keteguhan hati, keluhuran jiwa, dan kelapangan dada untuk mendidik mereka agar berubah dari umat yang terbelakang menjadi orang-orang yang mampu memimpin seluruh umat manusia.

Ketika Allah menekankan arti penting dari "pena", "buku", dan "membaca", umat yang akan dididik ini justru jauh dari semua itu. Allah pun kemudian mengirimkan seorang rasul "di antara mereka" (minhum). Adapun yang dimaksud dengan "di antara mereka" di sini adalah bahwa sang Rasul yang diutus Allah itu juga seorang buta huruf yang tidak mampu baca tulis. Tapi hal itu tidak berarti bahwa dia juga bodoh seperti mereka, sebab sang Rasul justru harus seorang buta huruf, sebab Allah sendiri  yang akan menjadi murabbi baginya untuk kemudian Dia mengutusnya kepada umat yang buta huruf itu sebagai guru dan murabbi bagi mereka.

Adapun yang dimaksud dengan "membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka" adalah bahwa sang Rasul kelak akan membacakan ayat-ayat Allah secara sangat jelas ayat demi ayat sembari menjelaskan kepada mereka tentang kandungan ayat-ayat tersebut sehingga mereka dapat diangkat ke derajat kemanusiaan yang sempurna, setelah sebelumnya mereka berada pada kondisi "benar-benar dalam kesesatan yang nyata." Yaitu keadaan mereka sebagai umat yang bodoh dan sesat sebelum datangnya Rasulullah Saw.

Kepada umat yang bodoh dan sesat itulah Allah kemudian mengutus seseorang yang "membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (al-Sunnah);" yaitu seorang nabi yang "ummiy".

Yang dimaksud dengan "mengajarkan Kitab kepada mereka" dalam ayat ini adalah mengajarkan al-Qur`an. Karena sebagai firman Allah, al-Qur`an yang terbukti mampu mengayomi serta mengangkat sebuah umat dari keterbelakangan menuju martabat kemanusiaan yang sejati, pasti akan mampu melakukan hal serupa terhadap umat-umat yang muncul kemudian.

Posisi al-Qur`an tentu jauh berbeda dari berbagai macam ideologi dan paham buatan manusia yang dianggap "baru" dan "brilian". Sejarah membuktikan bahwa semua ideologi tersebut akhirnya lenyap satu demi satu seperti cahaya api dari sekumpulan lilin yang tertiup angin. Setelah semua jalan hidup rekaan manusia sirna, pada saat itulah al-Qur`an yang menjadi satu-satunya sumber cahaya yang tersisa akan berkata kepada seluruh umat manusia "Aku adalah matahari yang tak pernah terbenam." Pada saat itulah panji-panji al-Qur`an akan menjadi satu-satunya pataka yang berkibar untuk dijadikan panutan bagi umat manusia.

Seiring berjalannya waktu, bukti-bukti yang menunjukkan kebenaran pernyataan di atas telah bermunculan. Sebagai contoh, saat ini panji-panji Islam sedang berkibar di Rusia dan China. Jika Anda mendengar perkembangan Islam yang terjadi di kedua wilayah ini selama satu dekade terakhir, saya yakin Anda pasti tidak akan mempercayai apa yang Anda dengar itu. Tapi coba sekarang Anda lihat bagaimana nasib mayoritas pemerintahan diktator dan imperium-imperium lalim yang terpuruk satu persatu. Lalu lihatlah apa yang terjadi pada al-Qur`an yang saat ini kembali bersinar laksana bara api yang kembali mengobarkan nyala dari balik reruntuhan. Lihatlah kebangkitan ajaran tauhid di seluruh penjuru dunia. Ternyata, meski sekuat apapun penindasan dan penjajahan berupaya menindas agama Islam, tapi jalan kebenaran ini tetap bangkit berjaya merebut hati setiap manusia.

Makna lain yang terkandung di dalam ayat ini adalah bahwa Rasulullah Saw. dengan anugerah berupa al-Qur`an yang diajarkan Allah, berhasil mendidik manusia dan membawa mereka ke keluhuran yang sesuai dengan martabat mereka sebagai manusia; atau membimbing mereka ke jalan yang akan mengantarkan mereka ke martabat insan kamil.

Sebagaimana yang telah dialami Rasulullah dalam perjalan Mi'raj, beliau harus membawa umat Islam secara spiritual untuk mengalami "mi'raj" di dalam jiwa mereka masing-masing, termasuk ketika umat Islam sedang tenggelam dalam kesesatan dan menyimpang dari jalan kebenaran. Bukankah jika Allah menghendaki Dia mampu mengubah sebongkah arang menjadi permata dan mengubah debu menjadi emas?!

Itulah yang benar-benar terjadi pada sebagian umat Islam yang memiliki hati sehitam arang tapi kemudian berubah menjadi permata. Itulah sebabnya para keturunan Rasulullah masih terus tampak berkilau hingga sekarang. Semua itu adalah anugerah Allah yang tergenapi melalui kemunculan Rasulullah. Jadi, dapat kita katakan bahwa Rasulullah adalah manusia puncak yang dapat mengantarkan umat manusia ke ketinggian yang sesuai dengan martabat manusia.

Manusia manapun yang berhasil bertakarub kepada Allah dengan menggunakan sayap kewalian atau ketakwaan yang sempurna, pasti akan menemukan energi Rasulullah berpendar kuat di "sekitar" Allah. Siapapun yang menempuh anak-anak tangga menuju Allah, pasti akan dapat melihat jejak yang ditinggalkan Rasulullah Saw.

Adalah keliru jika kita mengira bahwa tarbiah yang dilakukan Rasulullah hanya berkonsentrasi pada praktik penyucian jiwa (tazkiyah al-nafs). Tarbiah Rasulullah selalu muncul dengan bentuk yang sempurna serta mencakup semua elemen dalam diri manusia: akal, roh, dan hati. Hal ini juga dapat kita temukan dalam kandungan ayat-ayat al-Qur`an.

Dalam mendidik umat, pertama-tama Rasulullah berinteraksi dengan akal hingga mencapai batas tertinggi yang mampu dicapai akal yang pada hakikatnya memiliki "dimensi kewahyuan" (al-bu'd al-wahyiy). Setelah itu Rasulullah berinteraksi dengan roh untuk mengangkatnya ke martabat tertinggi yang lebih tinggi dari semua pencapaian yang dapat dicapai oleh seorang murabbi. Setelah kedua tahap itu, barulah Rasulullah berinteraksi dengan hati. Beliau mengajak hati mendatangi berbagai dimensi yang dirindukannya. Selain ketiga elemen tersebut, Rasulullah juga mampu membawa perasaan dan pelbagai lathîfah[2] (esensi batiniah)  lain yang dimiliki manusia ke dimensi luhur yang tak dapat dijangkau oleh imajinasi manusia.

Setelah berhasil menghantarkan roh, akal, dan hati murid-muridnya ke ketinggian, barulah Rasulullah membuka jalan ke arah pengembangan ilmu pengetahuan, ekonomi, sosial, tata negara, sistem militer, dan politik. Dengan risalah yang dibawanya, Rasulullah mampu membentuk para sahabat menjadi pribadi-pribadi yang mumpuni dalam mengatur pemerintahan, ekonomi, politik, dan strategi militer.

Ya. Rasulullah memang diutus dengan membawa sebuah risalah sempurna yang di dalamnya terkandung pedoman ekonomi, tata negara, pengajaran, dan pendidikan. Bahkan di dalam risalah itu juga terkandung semua aturan hukum dan undang-undang terbaik yang dapat diterapkan dalam kehidupan bernegara.

Singkatnya, Rasulullah membawa sebuah risalah yang mengandung semua perangkat vital yang dibutuhkan untuk mencapai kemajuan. Hal ini telah dibuktikan oleh fakta kemajuan Islam di masa Rasulullah hingga berabad-abad berikutnya. Kalau risalah yang dibawa Rasulullah itu salah atau mengandung cacat, pastilah misi kerasulan beliau akan gagal total.

Tapi meski telah berhasil mengemban risalah dengan gemilang, Rasulullah tetap bersabda: "Sesungguhnya perumpamaan antara aku dan para nabi sebelumku adalah seperti seseorang yang membangun sebuah rumah lalu dia memperindah dan menghiasnya tapi meninggalkan satu lubang batu bata di sebuah sudut. Orang-orang lalu datang melihat-lihat rumah itu dan mengaguminya seraya berkata: 'Duhai seandainya batu bata itu dilengkapi!' Akulah batu bata terakhir itu dan aku adalah Nabi Penutup."[3]

Senada dengan sabda Rasulullah itu, al-Qur`an menyatakan: "...hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian..." (QS al-Mâidah [5]: 3). Ayat ini seolah menjawab pertanyaan pada nabi dan orang-orang suci di masa lalu yang bertanya kepada Allah: "Kapankah kiranya bangunan-Mu ini selesai?" Maka Allah menjawab: "Ini, kuurus seorang nabi yang akan menyempurnakan bangunan ini. Sebagaimana Aku telah meridai agama ini untuk kalian, maka agama ini telah kubangun di atas landasan yang diingini umat manusia."

Ya. Rasulullah memang datang untuk menyempurnakan segala kekurangan. Maka bagi orang-orang yang terus berupaya mencari cacat pada risalah Rasulullah Saw., sebaikan mereka segera mencari cacat di dalam otak dan hati mereka sendiri. Rasulullah telah diutus Allah memang untuk menyempurnakan, memperbaiki, dan menuntaskan segala hal. Di tangan beliaulah tergenggam tanggung jawab untuk meluruskan segala yang bengkok, memperbaiki segala yang salah, serta menyempurnakan segala yang masih kurang.  Dan sejarah telah membuktikan bahwa Rasulullah telah berhasil menunaikan tanggung jawab itu.

Berikut ini saya akan sampaikan penjelasan tentang beberapa hal yang dapat kita temukan pada diri seorang murabbi yang baik.

A. Peningkatan Spiritual, Mental, dan Intelektual

Ciri pertama dari seorang murabbi yang baik adalah kemampuan meningkatkan kualitas spiritual, mental, dan intelektual hingga mencapai batas maksimal. Sejarah telah membuktikan bahwa Rasulullah mampu mencapai semua itu serta mengantarkan murid-murid beliau –dengan izin Allah- pada pencapaian serupa.

Di dalam al-Qur`an disebutkan satu jenis nafsu yang bernama "al-nafs al-ammârah". Nafsu jenis inilah yang menghambat kemajuan seorang manusia dan selalu berupaya menghalanginya mencapai keluhuran. Nafsu inilah yang ingin menghilangkan kerinduan manusia kepada Alam Roh dan membuatnya menjadi manusia yang hanya memedulikan kebutuhan jasmaninya semata. Bahkan Nabiyullah Yusuf a.s. pernah berlindung kepada Allah dari nafsu yang satu ini. Allah berfirman: "...sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh (ammârah) kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku..." (QS Yusuf [12]: 53).

Sesuai kodratnya, nafsu manusia memang selalu menyuruh kepada kejahatan. Hanya saja, manusia dapat menyelamatkan diri dari keterperosokan dalam lubang perangkapnya untuk kemudian naik setingkat demi setingkat ke puncak keluhuran. Al-Qur`an menjelaskan tentang pencapaian ini dengan ayat: "Hai jiwa yang tenang (al-nafs al-muthmainnah). Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya." (QS al-Fajr [89]: 27-28).

Selain menyebutkan kedua jenis nafsu tersebut, al-Qur`an juga menyebutkan transformasi yang terjadi pada al-nafs al-ammârah bi-l-sû' (nafsu yang menyuruh kepada kejahatan) menjadi an-nafs al-lawwâmah, yaitu nafsu yang selalu mencela dirinya sendiri. Bahkan disebabkan posisi an-nafs al-lawwâmah yang penting untuk meredam gejolak al-nafs al-ammârah bi-l-sû', Allah sampai merasa perlu untuk bersumpah dengan nafsu jenis ini. Allah berfirman: "Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri)." (QS al-Qiyâmah [75]: 2).

Selain ketiga jenis nafsu di atas, ada pula nafsu yang disebut al-nafs al-shâfiyah (nafsu yang jernih); yaitu nafsu yang dimiliki kalangan muqarrabûn. Orang-orang yang memiliki al-nafs al-shâfiyah ini akan memancarkan kejernihan luar biasa yang mampu membuat semua orang yang melihat mereka akan langsung mengingat Allah s.w.t. Nafsu seperti inilah yang dimiliki Rasulullah Muhammad Saw. Namun selain dimiliki para nabi dan para muqarrabûn, al-nafs al-shâfiyah juga dapat dimiliki manusia biasa sampai tingkatan tertentu sesuai dengan kemampuan dan kesiapan orang yang bersangkutan.

Berkat pertolongan Allah, Rasulullah dapat melakukan tarbiah dan penyucian berkesinambungan terhadap jiwa manusia untuk kemudian mengatarkannya ke batas pencapaian maksimal yang dapat dicapai manusia. Hal ini membuktikan bahwa Rasulullah adalah murabbi yang tak ada bandingannya. Jika kita selisik masa kehidupan Rasulullah, kita pasti akan dapat menemukan bukti bahwa dalam proses tarbiah, beliau sama sekali tidak pernah melakukan kesalahan sekecil apapun.

B. Universalitas Dakwah Rasulullah

Ciri kedua dari seorang murabbi yang baik dapat dilihat dari tingkat universalitas dakwah yang dilakukannya, dan dari kualitas serta kuantitas para pengikutnya. Para mualim dan mursyid hasil didikan Rasulullah telah menyebarkan kebenaran ke berbagai penjuru hingga mencakup daerah amat luas yang terbentang dari Marrakesh (Maroko) sampai sungai Amu Darya (Oxus) di dekat kota Bukhara.

Coba Anda bayangkan bagaimana mungkin di sebuah wilayah amat luas yang terdiri dari begitu banyak kerajaan –pada masa itu- hanya ada Rasulullah sebagai satu-satunya murabbi. Seorang diri beliau menyampaikan sebuah ajaran baru yang mampu mengatasi semua persoalan yang dihadapi oleh pelbagai bangsa dan komunitas yang ada di wilayah yang amat luas tersebut.

Bangsa-bangsa Iran, Turki, China, dan sebagainya, dengan keragaman watak, selera, dan budaya masing-masing, berbondong-bondong menyambut ajaran yang dibawa Rasulullah Saw. Kenyataan ini jelas membuktikan bahwa ajaran yang beliau bawa memang bersifat universal dan berterima di semua suku bangsa. Itulah yang membuat Rasulullah Muhammad Saw. diakui sebagai murabbi paling berpengaruh, paling menonjol, dan paling kredibel di sepanjang sejarah manusia.

Selain dengan melihat luas jangkauan dakwahnya, kualitas seorang murabbi juga dapat diukur dengan meneliti kekuatan pondasi dari ajaran yang dibawa oleh murabbi yang bersangkutan. Sekarang mari kita selisik orang-orang yang telah mengenyam tarbiah Rasulullah berabad-abad lampau. Anda pasti akan menemukan fakta bahwa para malaikat pun iri dengan akhlak yang mereka miliki. Sistem tarbiah yang diwariskan Rasulullah terbukti masih terus mendidik begitu banyak manusia hingga saat ini.

Sekarang mari kita sedikit merenung...

Rasulullah muncul di tengah sebuah bangsa terbelakang yang masih pantas disebut orang-orang liar. Tapi ternyata beliau mampu mendidik bangsa tersebut hingga melahirkan orang-orang yang dari generasi ke generasi menjadi pionir kebaikan bagi umat manusia. Jadi jelas terbukti bahwa risalah yang beliau bawa adalah sebuah risalah yang mampu menyelamatkan umat manusia dengan satu "embusan" saja.

Terus terang saya sebenarnya tidak ingin menunjukkan kepada Anda sebuah potret kebatilan, tapi saya benar-benar tidak mampu menahan hati untuk menunjukkan kepada Anda sebagian bentuk kerusakan yang terjadi di tengah bangsa Arab sebelum Rasulullah diutus menjadi rasul.

Pada masa jahiliah, berbagai bentuk kekejian merajalela di tengah masyarakat Arab sehingga membuat mereka terbiasa minum minuman keras, berjudi, dan berzina secara terang-terangan tanpa menganggap kebejatan moral seperti itu sebagai sebuah aib yang harus ditutupi. Perzinaan menyebar luas hingga dilakukan secara terang-terangan. Rumah-rumah bordil berdiri di mana-mana dengan papan nama di gerbangnya.[4] Perbuatan mesum menyebar luas hingga mencapai tingkat di mana manusia akan malu dengan kemanusiaannya. Sungguh kalau bukan karena malu, saya ingin menyampaikan di sini beberapa bentuk kebejatan lain yang biasa mereka lakukan.

Selain itu, kaum jahiliah adalah orang-orang yang tidak mampu menghadapi masalah besar dan mudah bertikai disebabkan hal-hal remeh. Dengan watak seperti itu, maka hampir mustahil untuk mengumpulkan dan menyatukan hati mereka. Disintegrasi dan permusuhan melanda seluruh semenanjung Arab hingga mencapai tingkat yang sangat sulit dipulihkan.

Singkatnya, pada masa itu segala bentuk kejahatan ada di semenanjung Arab. Tentu saja menjadi amat sulit bagi siapapun untuk menyampaikan kebenaran di tengah orang-orang seperti itu. Tapi ternyata Rasulullah berhasil menghilangkan satu persatu tradisi buruk dari masyarakat Arab. Bahkan kemudian beliau mampu mengubah mereka menjadi masyarakat yang berakhlak luhur serta menjadi guru bagi bangsa-bangsa lain.

Dari sebuah bangsa yang biadab dan terbelakang inilah Rasulullah berhasil melahirkan sebuah bangsa beradab yang pencapaiannya tidak dapat ditandingi oleh bangsa manapun hingga saat ini. Itulah sebabnya Moliere menyatakan: "Mustahil ada komunitas lain yang memiliki kebiadaban separah komunitas Nabi Islam. Mustahil pula untuk memperbaiki komunitas seperti itu dalam waktu singkat tidak lebih dari 23 tahun dan mengangkatnya ke garda terdepan dalam kemanusiaan. Hal ini hanya dapat dilakukan oleh Muhammad."

Seorang cendekiawan barat lainnya menyatakan: "Sejak awal peradaban sampai saat kemunculan Muhammad, umat manusia hanya mampu mencapai kemajuan sebesar 25%. Pada masa kepemimpinan Muhammad, umat manusia berhasil mencapai kemajuan sebesar 50%. Dan sejak Muhammad mangkat sampai saat ini, umat manusia hanya berhasil mencapai kemajuan hanya sebesar 75%, meski mereka telah berusaha keras untuk maju."

Dengan kata lain, pernyataan tulus yang dilontarkan cendekiawan barat ini menunjukkan bahwa hasil yang dicapai para nabi, filsuf, cendekiawan, penguasa, dan politikus di sepanjang sejarah manusia dapat dicapai Rasulullah hanya dalam waktu dua puluh tiga tahun. Bahkan setelah sains dan teknologi mengalami kemajuan pesat selama empat belas abad terakhir, umat manusia hanya mampu mencapai kemajuan sebesar 25% dari masa Rasulullah, sementara yang 25% sisanya baru akan dicapai pada masa yang masih tersisa dari sejarah manusia di dunia.

Seperti itulah kehebatan Muhammad Saw. Itulah persembahan yang diberikan olehnya kepada peradaban manusia yang selalu terpancar dari setiap hati yang hidup. Berkenaan dengan hal ini, Encyclopedia Britannica menyatakan: "Dalam sejarah manusia telah muncul begitu banyak reformis yang di antaranya adalah para nabi yang sebagian berhasil mencapai prestasi tertentu. Tapi sampai saat ini kita tidak dapat menemukan nabi lain yang keberhasilannya melebihi Muhammad."

Wahl menyatakan: "Semua tokoh besar telah meninggalkan banyak pengaruh sepeninggal mereka. Seorang nabi meninggalkan pengaruh, seorang reformis meninggalkan pengaruh, seorang mujadid meninggalkan pengaruh, dan seorang negarawan juga meninggalkan pengaruh sebagaimana halnya Muhammad juga meninggalkan pengaruh kepada generasi setelahnya. Tapi pengaruh yang ditinggalkan Muhammad sedemikian besarnya sampai-sampai setiap kali kita menyebut "pengaruh" yang ditinggalkannya, yang terbayang di benak kita adalah "Muhammad" itu sendiri. Pengaruh yang ditinggalkan Muhammad memang sangat besar dan tidak tertandingi oleh tokoh mana pun juga."

Wahl yang mengeluarkan pernyataan ini adalah seorang cendekiawan terkemuka yang telah banyak mendapatkan penghargaan internasional. Jadi, baik kawan maupun lawan telah mengakui kebesaran Muhammad Saw., sehingga saya benar-benar tidak pernah mengerti kenapa di antara kita sendiri masih ada orang-orang dungu yang tidak mau mengakui kebesaran beliau.

Di dalam al-Qur`an Allah telah menyatakan bahwa Dia: "...mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup..." (QS al-An'âm [6]: 95). Jadi tampaknya Allah telah menganugerahi Rasulullah sebagian dari sifat-Nya yang mengagumkan ini. Seakan-akan Allah telah memberi Rasulullah kemampuan untuk mengubah debu dan bebatuan gurun pasir Arab yang mengerikan, menjadi peradaban yang gemilang. Seakan-akan Allah memberi Rasulullah kemampuan untuk mengubah sebuah masyarakat yang terbelakang dan biadab, menjadi pribadi-pribadi brilian bagai permata. Lihatlah Abu Bakar ra., Umar ibn Khaththab ra., Utsman ibn Affan ra., Ali ibn Abi Thalib ra., Khalid ibn Walid ra., Uqbah ibn Nafi ra., Thariq ibn Ziyad ra., dan para sahabat besar lainnya.

Ketika Rasulullah muncul membawa risalah kenabian dan kemudian menyampaikannya kepada orang-orang yang hidup pada masa itu, ternyata mereka telah siap menerima risalah tersebut dengan potensi hati, jiwa, dan akal. Rasulullah sama sekali tidak pernah menggerus potensi tersebut, bahkan beliau justru mendayagunakan, memotivasi, dan memperkuat potensi-potensi itu untuk kemudian mengubahnya menjadi sebuah energi yang sangat besar.

Sa'id Nursi pernah menjadikan riwayat hidup Umar ibn Khaththab ra. sebagai contoh. Dia membandingkan Umar di saat belum masuk Islam dan sesudah menjadi muslim. Sebelum masuk Islam, Umar ibn Khaththab adalah sosok bengis yang sangat ditakuti. Tapi rupanya di saat yang sama sebenarnya Umar telah memiliki potensi untuk menjadi seorang tokoh besar. Kebiasaan Umar yang sejak masih kecil gemar berlomba dalam segala hal –bahkan dia pernah beberapa kali berhasil merobohkan unta dengan mencengkeram leher binatang tersebut-, merupakan pertanda akan kepribadian Umar yang tegas dan kokoh. Setelah masuk Islam, Umar berubah menjadi pribadi lembut yang tidak tega meski sekedar membunuh seekor semut. Sedemikian besarnya kepekaan Umar terhadap umat Islam yang dipimpinnya setelah dia diangkat menjadi khalifah, sampai-sampai dia berkata: "Demi Allah seandainya ada seekor unta yang mati sia-sia di tepi sungai Eufrat, maka aku benar-benar takut Allah akan meminta pertanggungjawaban atas kejadian itu kepadaku."[5]

Demikianlah pencapaian yang dialami Umar dan para sahabat lainnya yang jauh melampaui manusia  manapun juga. Semua itu terjadi berkat tarbiah yang mereka terima dari Rasulullah s..w.

Ya. Rasulullah memang berhasil mendidik orang-orang terbelakang yang begitu kuat memegang tradisi jahiliah yang busuk. Berikut ini perkenankan saya menyampaikan sebuah contoh kecil yang berhubungan dengan masalah ini.

Saat ini, negara kita telah mengerahkan segenap kemampuan yang dimilikinya untuk melarang rakyat merokok. Tapi ternyata masalah rokok yang "sederhana" ini tidak pernah berhasil dipecahkan di negara ini. Kita dapat dengan mudah melihat jumlah perokok yang terus meningkat di Turki. Bukan hanya negara kita yang tak berdaya menghadapi masalah ini, tapi semua negara di seluruh penjuru dunia juga mengalami masalah yang sama. Padahal entah sudah berapa kali dilangsungkan seminar dan entah sudah berapa banyak tulisan yang dirilis untuk memerangi kebiasaan merokok. Bahkan meskipun ilmu pengetahuan, baik secara umum maupun secara khusus pengetahuan dalam bidang medis, telah menjelaskan bahwa merokok dapat menyebabkan kanker pada organ tenggorokan, paru-paru, dan mulut atas; dan hasil penelitian juga telah menyatakan bahwa jumlah pengidap penyakit-penyakit disebabkan rokok telah mencapai peningkatan sebesar 95%, tapi rupanya semua usaha tersebut hampir tidak berarti apa-apa untuk memerangi kebiasaan merokok pada masyarakat.

Sekarang mari kita bandingkan dengan apa yang terjadi di masa Rasulullah.

Pada masa Rasulullah, masyarakat yang beliau hadapi telah memiliki puluhan macam tradisi dan kebiasaan buruk yang telah berurat berakar di dalam urat nadi mereka sehingga membuatnya jauh lebih sulit untuk dihilangkan dari sekedar kebiasaan merokok. Akan tetapi ternyata hanya dengan sekali "gebrakan", Rasulullah mampu menghilangkan semua tradisi dan adat buruk bangsa Arab. Bahkan kemudian beliau juga mampu mengganti semua kebiasaan buruk tersebut dengan akhlak yang baik dan terpuji sehingga membuat para malaikat iri kepada mereka dan berkata: "Sungguh menakjubkan! Mereka sama sekali bukan malaikat. Tapi mereka lebih baik dari malaikat."

Pada Hari Kebangkitan, ketika cahaya yang dipancarkan oleh orang-orang suci seperti mereka nyaris memadamkan api jahanam, para malaikat pun terkejut dan berkata: "Siapakah gerangan orang-orang itu? Apakah mereka berasal dari kalangan nabi ataukah dari kalangan malaikat?"[6] Mereka bukan nabi dan bukan pula malaikat, melainkan orang-orang dari kalangan umat Muhammad Saw. yang tumbuh di bawah tabiah sang Rasul dan setia berpegang pada prinsip-prinsip yang beliau ajarkan.

Ketika masih belia, Abdullah ibn Mas'ud ra. adalah seorang bocah penggembala yang bekerja menjaga domba milik Uqbah ibn Abi Mu'ith. [7] Tapi kemudian Rasulullah menjadikannya sebagai salah satu sahabat sekaligus murid beliau. Beberapa tahun setelah itu, Abdullah ibn Mas'ud telah berubah menjadi seorang mursyid besar yang pantas untuk kita sebut sebagai perintis Madrasah Kufah (Madrasah al-Kûfah). Dari madrasah inilah kemudian muncul tokoh-tokoh besar seperti Alqamah, Hammad, al-Tsauri, Abu Hanifah, dan lainnya yang masing-masing mereka telah berhasil mencapai puncak keilmuan setelah menimba pengetahuan dari Abdullah ibn Mas'ud ra. yang notabene adalah seorang bocah penggembala domba di masa jahiliah!

Demikianlah Rasulullah berhasil mengubah seorang penggembala domba menjadi sosok jenius yang mengagumkan.

Sejak bertahun-tahun lalu, ada begitu banyak ulama muslim yang menjadi objek penelitian para cendekiawan barat. Bahkan telah banyak buku yang ditulis mengenai penelitian seperti itu.

Salah satu di antara ulama itu adalah Abu Hanifah rahimahullah yang oleh sebagian ilmuwan dinyatakan bahwa Solon dan Hammurabi hanya mampu setara dengan muridnya. Padahal Abu Hanifah adalah murid dari murid dari murid Abdullah ibn Mas'ud, seorang penggembala domba yang menjadi murid Rasulullah Saw.

Dengan penjelasan ini, saya tidak sedang bermaksud merendahkan posisi Imam Abu Hanifah. Hâsyâ lillâh. Tidak! Karena yang saya maksud dengan semua penjelasan ini adalah menunjukkan kepada Anda betapa hebatnya guru-guru Imam Abu Hanifah. Ya. Dengan keunggulan tarbiah Rasulullah Saw. inilah muncul orang-orang besar yang sebelumnya tidak memiliki arti apa-apa. Hingga tingkat tertentu, kita dapat mengatakan bahwa Rasulullah telah berhasil "...mengeluarkan yang hidup dari yang mati..." karena beliau telah berhasil mengubah arang menjadi permata.

Dengan tarbiah yang sama, seorang budak Barbar berhasil menembus benteng Heraklius dan mengubah namanya sehingga dapat berkata kepada orang-orang yang tinggal di negeri-negeri seberang lautan yang belum mereka dengar sebelumnya serta menunjukkan kepada mereka sesuatu yang tak dapat dijangkau akal mereka.

Sebelum mengenal Islam, Eropa sama sekali tidak mengenal konsep syahid ketika seseorang menganggap remeh kehidupan duniawi dan begitu merindukan kematian. Itulah sebabnya Eropa tidak mengerti mengapa Thariq ibn Ziyad bersama dua belas ribu prajurit membakar kapal-kapal yang mereka tumpangi sebelum berperang menghadapi sembilan puluh sampai seratus ribu orang prajurit Spanyol. Dalam peperangan itu, pasukan muslim berhasil melawan musuh yang sekian kali lipat lebih banyak dan membuat para prajurit Spanyol merasa frustasi. Peperangan itu benar-benar membuat Eropa takjub. Bagaimana mungkin seorang panglima perang yang harus menghadapi pasukan musuh yang jumlahnya sembilan kali lipat dari jumlah pasukannya, dapat berkata di hadapan para prajuritnya:

"Wahai kalian semua! Hendak ke mana kalian lari? Lautan di belakang kalian dan musuh di depan kalian. Demi Allah kalian tidak punya apa-apa lagi selain keyakinan dan kesabaran. Sadarilah bahwa kalian di tempat ini lebih sial daripada anak-anak yatim di sebuah jamuan terkutuk."

Sejarah kemudian mencatat bahwa ternyata pertempuran pada saat itu berlangsung hanya beberapa jam saja dengan kemenangan di pihak pasukan Thariq ibn Ziyad. Dengan mudah Thariq menduduki Istana Toledo yang menjadi tempat penyimpanan kekayaan Kerajaan Spanyol.

Jadi silakan Anda lihat sendiri apa yang dilakukan panglima muslim yang sebelumnya adalah seorang budak. Lihatlah Thariq ibn Ziyad agar Anda dapat memahami apa yang telah dilakukan Islam ketika ia berhasil merasuk ke dalam hati seseorang. Setelah pertempuran usai, Thariq lalu meletakkan kakinya di atas peti-peti penyimpanan kekayaan Kerajaan Spanyol seraya berkata kepada dirinya sendiri: "Wahai Thariq! Dulu kau adalah seorang budak, tapi Allah kemudian memerdekakan kamu dan menjadikanmu panglima. Dia memperkenankanmu menaklukkan Andalusia sehingga sekarang kau berada di istana kerajaan ini. Tapi jangan kau lupa suatu saat nanti kau akan menghadap Allah."

Subhanallah! Betapa mendalamnya pemahaman Thariq atas agama yang ia peluk. Yang biasa dilakukan oleh tokoh lain setelah berhasil mencapai puncak adalah menunjukkan kesombongan dan kecongkakan. Bahkan kemudian ia akan terus menyebut-nyebut keberhasilannya di depan banyak orang. Itulah yang biasa terjadi dalam sejarah. Tapi lihatlah apa yang dilakukan Thariq ibn Ziyad. Lihatlah betapa agungnya tarbiah yang ia terima. Tarbiah yang telah mengubahnya dari seorang budak menjadi manusia terhormat dan berakhlak luhur. Tarbiah yang alih-alih membuatnya congkak seperti para panglima perang pada umumnya, tapi justru membuatnya langsung menegur dirinya sendiri setelah berhasil mengalahkan musuh.

Contoh lain dari mereka yang mengecap tarbiah Rasulullah adalah Uqbah ibn Nafi' yang berhasil menaklukkan Afrika dari ujung ke ujung. Ketika sampai di tepian Samudera Atlantik, Uqbah mendudukkan tunggangannya seraya berkata: "Wahai Rabb, seandainya bukan karena lautan ini, aku pasti akan terus mengarungi dataran ini untuk berjihad di jalan-Mu."[8]

Seorang penyair Turki bernama Abdul Haq Hamid yang menukil kata-kata Uqbah dalam sebuah pementasan berjudul "Thâriq Bin Ziyâd" pernah menyatakan: "Sungguh saya tidak tahu apakah kata-kata ini memang ucapan Uqbah ibn Nafi' ataukah kata-kata malaikat dari langit!"[9]

Ya. Itulah ucapan Uqbah ibn Nafi'. Seorang murid dari murid-murid Muhammad Saw.

Rasulullah memang selalu berinteraksi dengan manusia secara utuh, baik dari aspek akal, hati, jiwa, maupun perasaan tanpa sedikit pun mengabaikan salah satu di antaranya. Rasulullah telah berhasil memotivasi keempat potensi yang dimiliki setiap manusia itu sehingga mampu mengubah orang yang sebelumnya biadab menjadi beradab. Rekam jejak keberhasilan Muhammad Saw. dalam mendidik umat manusia ini tentu menjadi bukti lain yang mengukuhkan kebenarannya sebagai seorang Utusan Allah. Kita tidak mungkin dapat mengotak-atik lagi kesimpulan ini, sebab keberhasilan Rasulullah Saw. benar-benar tanpa cela.

C. Gerak dan Amal Perbuatan

Di dalam sebuah hadits, Rasulullah berbicara tentang amal dan perbuatan yang membutuhkan perenungan serius: "Sesungguhnya Allah menyukai hamba yang beriman dan bekerja."[10]

Tentu saja Rasulullah mengeluarkan sabda seperti itu sebab al-Qur`an menyatakan: "Dan katakanlah: 'Bekerjalah kalian, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaan kalian itu'..." (QS al-Taubah [9]: 105). Melalui ayat ini Allah menyampaikan kepada kita bahwa semua amal perbuatan kita akan diukur dengan ukuran tertentu. Kelak di Hari Kiamat, semua amal tersebut akan ditunjukkan di depan orang banyak untuk diteliti apakah amal tersebut memang baik ataukah tidak. Oleh sebab itu, maka setiap orang harus beramal sambil mengingat isi ayat ini.

Rasulullah menyatakan di dalam hadits lain: "Sesungguhnya Allah menyukai jika seorang dari kalian beramal lalu dia berhati-hati dalam amalnya itu."[11] Ayat tersebut di atas adalah salah satu ayat penting yang mendorong kita untuk beramal dan bekerja. Saya bahkan berpendapat bahwa ayat ini layak untuk ditulis di semua sampul buku. Jadi hadits yang berbunyi "Sesungguhnya Allah menyukai hamba yang beriman dan bekerja," sebenarnya menunjuk salah satu dimensi dari amal yang kita lakukan.

Ya. Allah memang menyukai hamba yang beramal, berbuat, dan bekerja dalam berbagai ragam dan bentuknya yang sejalan dengan syariat. Rasulullah Saw. bersabda: "Tidak ada sepotong makanan pun yang dimakan seseorang yang lebih baik daripada makanan yang dihasilkan dari kerja tangannya sendiri. Sesungguhnya nabiyullah Daud makan dari hasil kerja tangannya sendiri."[12]

Rasulullah juga bersabda: "Sungguh jika seorang dari kalian memanggul seikat kayu di punggungnya, maka itu lebih baik daripada dia mengemis kepada orang lain lalu orang itu memberinya atau tidak memberinya."[13]

Kita juga dapat mengutip surat al-Ashr untuk membahas topik ini: "Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran." (QS al-Ashr [103]: 1-3).

Di dalam ayat ini kita dapat melihat keimanan dan amal saleh bersijalin dengan kebenaran, nasehat pada kebenaran, dan nasehat pada kesabaran. Semua hal yang disebutkan dalam ayat ini adalah bentuk-bentuk amal dan gerak. Allah s.w.t. menyukai orang-orang yang melakukan amal perbuatan tersebut. Amal atau perbuatan yang sesuai dengan ajaran Rasulullah dianggap sebagai amal perbuatan yang paling utama dan paling mudah menjangkau keridhaan Allah. Rasulullah sama sekali tidak pernah mengatakan kepada kita untuk  menjadi rahib yang menghabiskan hidup di dalam tempat ibadah, hidup selibat, tidak perlu makan-minum, dan tidak memperhatikan kehidupan dunia; namun beliau memerintahkan agar kita bekerja keras mengolah dunia demi mendapat ridha Allah s.w.t.

Bahkan Rasulullah mengarahkan penyaluran hasrat seksual kita ke arah jalan yang sesuai syariat dengan bersabda: "Nikahilah oleh kalian para perempuan yang dicintai dan banyak anak."[14] Di dalam hadits lain beliau menambahkan: "Menikahlah kalian dan menjadi banyaklah, karena aku akan membanggakan kalian di depan umat-umat lain."[15]

Dengan kata lain, semakin banyak jumlah umat Islam, Rasulullah pun akan semakin senang. Betapa senangnya Rasulullah jika melihat umat Islam dalam jumlah banyak bersujud, rukuk, bertakbir, dan bertahmid dengan khusyuk. Rasulullah sama sekali tidak melarang umat manusia untuk menghilangkan atau menyumbat hasrat seksualnya, dan beliau juga tidak pernah memerintahkan manusia untuk melakukan hal-hal yang dapat menyebabkan tekanan jiwa. Alih-alih melarang penyaluran hasrat seksual, Rasulullah justru mengarahkannya ke jalan yang benar sehingga umat Islam dapat mencapai ridha Allah. Dari sini terbukti bahwa tarbiah Rasulullah memang selalu mengarahkan fitrah dan naluri manusia ke jalan yang sesuai dengan tujuan penciptaan.

D. Perdagangan, Pertanian, dan Jihad

Tidak seorang pun yang mampu menandingi Rasulullah dalam menyikapi segala hal secara seimbang. Dalam sebuah hadits dikatakan bahwa Rasulullah bersabda: "Jika kalian telah berjual-beli dengan al-'înah, mengikuti ekor sapi (sibuk berniaga), rela dengan pertanian, dan kalian tinggalkan jihad, maka niscaya Allah akan menimpakan kehinaan yang takkan dapat kalian singkirkan sampai kalian kembali ke agama kalian."[16]

Yang dimaksud dengan jual-beli dengan al-'înah ialah ketika seseorang membeli suatu barang dari orang lain dengan cara berhutang lalu dia menjual dengan harga yang lebih tinggi. Demikianlah salah satu pengertian jual-beli dengan al-'înah yang dapat saya kutip di sini.

Jual-beli dengan cara seperti ini, baik ia dianggap mengandung riba tersembunyi maupun tidak, tetaplah terlarang oleh syariat. Saya yakin kita tidak dapat mengetahui apa maksud hadits ini kecuali setelah terjadi revolusi industri. Saat ini, kebanyakan kita telah melupakan jihad. Dan ketika kita ingin menggerakkan sektor industri, ternyata kita tidak mampu melakukannya dengan baik sebab saat ini kita mengabaikan sektor pertanian dan peternakan.

Padahal Rasulullah telah memberi tahu kita –sejak empat belas abad yang lampau!- apa yang harus kita lakukan saat ini. Beliau selalu berimbang dalam melakukan hal ini, sebagaimana beliau juga bersikap sama dalam segala hal. Dalam dunia industri, pertanian dan peternakan tetap harus ada. Hadits-hadits Rasulullah sudah sering mengingatkan kita akan hal ini. Tapi rupanya kita tetap melakukan kesalahan karena saat ini kita mengabaikan kedua sektor penting ini.

Selain itu, hadits ini juga menyindir orang-orang yang meninggalkan peradaban untuk tinggal di pelosok gunung demi mewujudkan kehidupan yang tenang seperti yang diimpi-impikan. Hadits ini juga memotivasi para petani dan peternak yang telah kehilangan gairah untuk meneruskan kerja mereka. Jadi, hadits ini sebenarnya mengajarkan kepada kita sebuah pelajaran penting dalam perekonomian.

Setelah menyinggung soal ekonomi, hadits ini lalu berkata kepada kita bahwa jika kita meninggalkan jihad, atau tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk dapat membuat kita pada posisi yang setara dalam hubungan internasional, maka Allah pasti akan menimpakan kehinaan kepada kita. Selama itu terjadi, kita akan selalu berada di bawah penjajahan dan penindasan bangsa lain sampai kita kembali ke jalan Islam yang benar dan hidup dengan cara Islam.

Sebenarnya masih ada banyak hadits lain yang membicarakan masalah ini, tapi saya ingin mencukupkan pembahasan ini sampai di sini. Tapi satu yang patut diingat, yaitu bahwa Rasulullah tidak pernah menafikan segala bentuk potensi, keterampilan, atau perencanaan apapun sebagaimana beliau juga tidak pernah meremehkan pentingnya kekuatan fisik. Rasulullah bersabda: "Seorang mukmin yang kuat, lebih baik dan lebih dicintai Allah dari pada seorang mukmin yang lemah."[17]

Jadi bagi siapapun yang ingin dicintai Allah, hendaklah segera membentuk diri menjadi orang yang berfisik kuat dan bermental kokoh. Jadilah pribadi yang memiliki hati yang tegar selain juga memiliki tubuh yang kuat. Itulah yang diinginkan Rasulullah. Beliau tidak pernah berkata kepada kita: "Berpuasalah kalian agar tubuh kalian lemas!" atau "Singkirkanlah dunia agar kalian mendapat ridha Allah!". Bahkan beliau membenci kehidupan pertapa (rahbâniyyah) yang menjauhi dunia.

E. Beberapa Catatan Seputar Ilmu

Semua yang diajarkan Rasulullah yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan dan daya nalar adalah salah satu bukti universalitas risalah yang beliau bawa. Al-Qur`an memberi perhatian begitu besar terhadap ilmu dan memotivasi manusia untuk menuntut ilmu. Allah berfirman: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" (QS al-Zumar [39]: 9). Dengan ayat  ini al-Qur`an menyatakan bahwa orang yang berilmu lebih tinggi derajatnya dibandingkan orang yang tidak berilmu. Dalam ayat lain dikatakan: "Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya adalah orang-orang yang berilmu (al-'ulamâ`)..." (QS Fâthir [35]: 28).

Orang-orang yang berilmu adalah mereka yang paling dengan pengetahuan akan keagungan Allah. Itulah sebabnya mereka menjadi manusia yang paling takut kepada Allah. Terdapat sebuah qiraat cacat yang dinisbatkan kepada Imam Abu Hanifah yang membaca lafzh al-jalâlah yang bermakna "Sesungguhnya Allah hanya menghormati hambanya yang berilmu.". Tentu saja, penghormatan yang diberikan Allah di sini adalah penghormatan yang sesuai dengan Zat Allah. Tapi seperti yang telah saya katakan bahwa status qiraat ini adalah "cacat" (syâdz)[18] meski dari segi makna kita dapat menggunakan sebagai landasan pemahaman.

Ketika Fakhruddin al-Razi menjelaskan masalah ilmu, dia memberi sebuah catatan kecil yang amat menarik. Al-Razi menyatakan: "Ketiga mazhab fikih dalam Islam, selain mazhab Maliki sepakat menyatakan bahwa hukum anjing adalah najis. Oleh sebab itu, maka anjing adalah najis dalam kondisi apapun dan ia sama sekali tidak boleh ada di dalam rumah. Tapi ketika seekor anjing sudah "berilmu", atau ia sudah diajari untuk berburu atau menggembala domba, maka status hukumnya pun berubah. Daging binatang yang diterkam seekor anjing pemburu adalah halal asalkan bagian yang terkena terkaman anjing itu disingkirkan terlebih dulu. Selain itu, anjing yang telah jinak seperti ini juga boleh berada di dalam rumah."

Dengan kutipannya ini seakan-akan al-Razi berkata kepada kita: "Jika anjing saja dapat berkurang status kenajisannya disebabkan keterampilan berburu yang dipelajarinya, maka bagaimana kira-kira ketinggian derajat yang dicapai seorang manusia yang berilmu?"

Demikianlah pandangan syariat Islam. Inilah risalah yang dibawa Rasulullah Saw. Orang-orang yang tidak mengenal Allah itulah yang disebut orang-orang bodoh (al-juhalâ`), sementara orang-orang yang mengenal Allah itulah yang disebut orang-orang berilmu (al-'ulamâ`). Demikian pula menurut logika syariat, kata "ulamâ`" tidak pernah dipakai untuk menyebut orang-orang yang tidak mengenal Allah dan rasul-Nya. Semua orang yang mengenal Allah dan rasul-Nya itulah yang disebut "ulamâ`" meski mereka tidak memiliki banyak ilmu. Jika kita menganggap bahwa kata "yakhsyâ" (takut) memang dapat bermakna "yahtarim" (menghormati) seperti yang disebutkan dalam qiraat cacat, maka berarti Allah dengan segala pengertian yang sesuai dengan Zat dan sifat-sifat-Nya, akan menghormati orang-orang yang beriman kepada Allah, para nabi, kitab-kitab suci, Hari Akhir, kebangkitan, surga, dan neraka.

Saya akan mengakhiri pembahasan ini dengan mengutip sebuah hadits yang berbunyi: "Bertafakur sesaat lebih baik daripada ibadah satu tahun."[19] Barat tidak pernah menemukan pernyataan seperti ini karena mereka memang tidak pernah mampu mencapai ketinggian seperti ini. Jika Anda bertafakur dan merenung dengan baik dalam satu saat saja, Anda pasti akan dapat menemukan sesuatu yang dapat Anda persembahkan bagi kebaikan umat manusia. Atau jika Anda bertafakur atau merenung dengan baik demi kehidupan spiritual dan demi kemaslahatan kehidupan akhirat Anda, maka sadarilah bahwa tindakan seperti itu mungkin lebih baik daripada ibadah Anda selama satu tahun. Bahkan bisa jadi pahala yang Anda dapat dari perenungan itu lebih banyak dari ibadah Anda selama setahun.

Tapi sayangnya sejak bertahun-tahun kita telah melupakan renungan dan tafakur yang teratur, sebagaimana kita juga telah melupakan ibadah yang bermakna mendalam. Kita telah menjauh dan dijauhkan dari kedua hal itu, meski kita tidak boleh menyalahkan Islam atas semua ini, tetapi kita dapat menyalahkan umat Islam. Rasulullah telah membuka semua pintu dan jendela pemikiran sejak beliau berkata: "Masuklah ke dalamnya dengan sejahtera lagi aman." (QS al-Hijr [15]: 46).

Setiap kali kita terasing dari ilmu, maka kita pun menjadi manusia yang semakin dangkal. Ketika itu terjadi, kita tidak akan mampu lagi untuk menjaga kesetaraan dalam hubungan internasional di depan bangsa barat, sehingga mereka akan mendominasi segalanya dan mendikte bangsa kita. Tapi saya yakin bahwa suatu hari umat sejati ini akan bangkit dan menduduki tempat yang layak di hadapan bangsa-bangsa lain.

Ya. Rasulullah Saw. telah datang dengan risalah yang mengusung akhlak dan tarbiah sebagai misi utama. Tapi keberhasilan Rasulullah Saw. dalam tarbiah yang beliau lakukan lebih disebabkan sikap beliau terhadap kesiapan dan potensi yang dimiliki manusia. Rasulullah tidak pernah menafikan atau menghalangi potensi yang dimiliki manusia, tapi beliau memperlakukan umat manusia seperti apa adanya. Itulah yang menjadi daya tarik Rasulullah bagi banyak orang. Tarbiah yang beliau lakukan menjadi begitu kuat karena tidak pernah mengebiri fitrah manusia atau –apalagi- memusuhi dan melawannya. Semua pengajaran yang Rasulullah sampaikan adalah motivasi bagi umat manusia. Apalagi kita tahu bahwa Rasulullah menerapkan tarbiah yang beliau lakukan di tengah masyarakat yang nyaris tidak mengenal akhlak dan tata krama. Dalam beberapa contoh yang akan saya sampaikan pada bagian selanjutnya, kita akan dapat melihat dengan jelas dari mana Rasulullah mengambil murid-murid beliau dan kemana beliau akan mengantarkan mereka semua.


[1] Dalam bahasa Indonesia, "dhamir" biasa dikenal dengan istilah "kata ganti orang ketiga", meski sebenarnya penyebutan kata "orang" dalam istilah ini sebenarnya kurang tepat, penerj-

[2] Dalam dunia tasawuf, lathîfah (jamak: lathâif) diidentifikasi sebagai "esensi lembut (lathîf) yang ada dalam jiwa manusia". Lihat: Sufi Terminology (Amatullah Amstrong: 1995), penerj-

[3] Al-Bukhari, al-Manâqib, 18; Muslim, al-Fadhâil, 20-23; al-Musnad, Imam Ahmad 2/257, 398.

[4] Al-Bukhari, al-Nikâh, 36; Abu Daud, al-Thalâq, 33.

[5] Târîkh al-Umam wa al-Mulûk, al-Thabari 5/195; Hilyah al-Auliyâ`, Abu Na'im 1/53; al-Thabaqât al-Kubrâ, Ibnu Sa'id 3/305.

[6] Majma' al-Zawâid, al-Haitsami 19/360.

[7] Al-Musnad, Imam Ahmad 1/379; al-Thabaqât al-Kubrâ, Ibnu Sa'd 3/150.

[8] Al-Kâmil fî al-Târîkh, Ibnu Atsir 4/106.

[9] Thâriq, Abdul Haq Hamid Tharkhan (dalam bahasa Turki).

[10] Faidh al-Qadîr, al-Manawi 2/290.

[11] Kanz al-'Ummâl, al-Hindi 3/907.

[12] Al-Bukhari, al-Buyû', 15; Ibnu Majah, al-Tijârât, 1.

[13] Al-Bukhari, al-Zakâh, 50, 53; al-Buyû', 15; al-Tirmidzi, al-Zakâh, 38; al-Nasai, al-Zakâh, 85; al-Musnad, Imam Ahmad 1/134.

[14] Abu Daud, al-Nikâh, 3; al-Nasai, al-Nikâh, 11; al-Musnad, Imam Ahmad 3/158, 245.

[15] Faidh al-Qadîr, al-Manawi 3/269.

[16] Abu Daud, al-Buyû`, 54; al-Musnad, Imam Ahmad 2/84.

[17] Muslim, al-Qadar, 34; Ibnu Majah, al-Muqaddimah, 10.

[18] Al-Jâmi' li Ahkâm al-Qur`ân, al-Qurthubi 14/220; Rûh al-Ma'ânî, al-Alusi 22/191; Tafsîr al-Nasafi, al-Nasafi 3/340; al-Kasysyâf, al-Zamakhsyari 3/308.

[19] Kasyf al-Khafâ`, al-'Ajluni 1/310.