Sifat Kebapakan pada Diri Rasulullah Saw

Sifat Kebapakan pada Diri Rasulullah Saw

Rasulullah Saw. adalah puncak dari semua aspek dan sendi kehidupan. Ketika seseorang ingin meneliti tentang Rasulullah, maka janganlah ia melakukan hal itu dengan membandingkan Rasulullah dengan manusia lain atau dengan para tokoh di masa beliau. Tapi yang harus ia lakukan adalah meneliti kepribadian Rasulullah di puncak ketinggian dengan cara "menerbangkan" imajinasinya setinggi mungkin agar ia tidak salah dalam menarik kesimpulan mengenai kebesaran dan kehebatan Rasulullah Saw.

Ya. Siapapun yang ingin meneliti pribadi Rasulullah, hendaknya meneliti pribadi beliau dari ketinggian cakrawala beliau sendiri, bukan dari kedangkalan manusia biasa seperti kita. Hal ini harus dipahami karena Allah telah menganugerahi Rasulullah berbagai pencapaian tertinggi dalam segala bidang.

Rasulullah hidup laksana matahari yang bersinar benderang sebelum akhirnya terbenam menjelang malam. Umat manusia tidak akan pernah menemukan sosok lain yang setara dengan Muhammad Saw. di sepanjang sejarah peradaban. Selain kita sekarang, hal seperti itu dulu juga dirasakan oleh orang-orang terdekat beliau. Ada banyak orang di zaman Rasulullah tidak merasakan kepergian beliau, kecuali setelah muncul perasaan mencekam yang menerkam hati mereka sepeninggal beliau. Hal ini serupa dengan bunga yang menggantungkan hidupnya pada sinar matahari yang tidak menyadari bahwa matahari telah terbenam kecuali setelah matahari benar-benar terbenam dan dirinya terbenam dalam gulita. Ketika gelap datang, mereka pun merasakan takut yang mencekam. Tapi apa mau dikata. Semuanya telah berlalu.

Adalah wajar jika jumlah orang yang memahami dan mengerti tentang Rasulullah dari kalangan umat Islam terus bertambah dari hari ke hari. Setelah empat belas abad berlalu, kita semua masih memanggil "ibu" terhadap Khadijah r.a., Aisyah r.a., Umm Salamah r.a., dan Hafshah r.a. Bahkan kita semua merasakan kenikmatan panggilan itu jauh melebihi ketika kita berbicara dengan ibu kandung kita sendiri. Tidak diragukan bahwa rasa nikmat seperti ini yang dirasakan pada masa Rasulullah pasti jauh lebih dalam, lebih hangat, dan lebih ikhlas, sebab semuanya adalah demi Rasulullah Saw.

Itulah sebabnya kita ketahui bahwa setiap kali Abu Bakar r.a. berbicara dengan putrinya, Aisyah r.a. dia selalu memanggil Aisyah dengan ucapan: "Wahai ibuku." Karena ayat suci al-Qur`an menyatakan: "... dan istri-istrinya dalah ibu mereka..." (QS al-Ahzâb [33]: 6). Ya. Abu Bakar r.a. memang memanggil Aisyah yang dibesarkannya sendiri dengan panggilan "Wahai ibuku."

Namun segala perasaan cinta dan penghormatan yang mengelilingi para Ummahât al-Mukminîn itu rupanya tetap tidak dapat menghilangkan kesedihan yang mereka rasakan ketika harus berpisah dengan Rasulullah Saw. Bahkan masa-masa menyenangkan bagi umat Islam setelah mereka berhasil menudukkan sekian banyak daerah taklukan juga tidak mampu menghilangkan duka mendalam yang bersemayam di dalam hati mereka. Nestapa yang mereka rasakan sepeninggal Rasulullah itu terus berkelanjutan sampai para Ummahât al-Mukminîn itu wafat.

Selain menjadi suami teladan bagi istri-istrinya, Rasulullah juga menjadi ayah teladan bagi anak-anaknya. Dan beliau adalah juga seorang kakek teladan yang tidak akan ditemukan tandingannya.

Rasulullah selalu mempergauli anak-anak dan cucu-cucu beliau dengan kelembutan yang luar biasa. Sambil mencurahkan cinta kepada mereka, Rasulullah tidak pernah lupa untuk mengarahkan mereka ke jalan akhirat dan keluhuran yang agung. Beliau sangat gemar memeluk mereka erat-erat, tersenyum, dan berkelakar dengan mereka. Namun bersamaan dengan itu beliau juga tidak pernah lupa untuk memperhatikan urusan akhirat bagi mereka. Hal ini dapat kita lihat dengan sangat jelas. Rasulullah adalah sosok yang penuh perbawa dan wibawa pada hal-hal yang berhubungan dengan hubungan antara manusia dengan sang Pencipta.

Di satu sisi Rasulullah selalu memberi kebebasan bagi keluarga beliau sembari mengarahkan mereka ke jalan yang tepat, tapi di sisi lain beliau tidak pernah mentolerir segala bentuk perilaku buruk dan ketidakpedulian. Rasulullah selalu mencurahkan segenap kemampuan beliau untuk menghindarkan mereka dari akhlak tercela sambil terus menunjukkan keluhuran dan alam akhirat yang kekal. Di tengah tarbiah yang beliau lakukan itulah Rasulullah selalu mengingatkan mereka agar jangan sampai terperosok pada sikap berlebihan dan sikap meremehkan. Di tengah tarbiah yang beliau lakukan itulah Rasulullah selalu memilih jalan tengah yang terbaik bagi mereka. Semua yang dilakukan Rasulullah terhadap anak-anak dan cucu-cucu beliau sekali lagi ikut menunjukkan sifat fathanah yang beliau miliki.

a-Kecintaan Rasulullah terhadap Anak-anak dan Cucu-cucu Beliau

Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits yang berasal dari Anas ibn Malik r.a. yang pernah menjadi pelayan Rasulullah selama sepuluh tahun, dia berkata: "Tak pernah ketemukan seorang pun yang lebih menyayangi keluarga dibandingkan Rasulullah."[1]

Ya. Rasulullah memang selalu bersikap lembut dan penuh kasih sayang dengan tingkat ketulusan yang tinggi sehingga tidak ada seorang pun yang mampu menandingi beliau baik dalam hal kepemimpinan dalam keluarga maupun dalam posisi beliau sebagai seorang ayah.

Seandainya pernyataan ini hanya muncul dari saya sebagai pribadi, maka mungkin saja efeknya akan terbatas. Tapi selain saya, masih ada jutaan pengikut Rasulullah yang merasakan sendiri kasih sayang Rasulullah di dalam diri mereka sampai-sampai membuat mereka tidak tega membunuh seekor semut.

Jutaan umat itulah yang mengakui bahwa tidak ada seorang pun yang mampu menandingi kasih sayang Rasulullah. Adalah benar jika dikatakan bahwa Rasulullah adalah manusia seperti manusia yang lain. Tapi Allah telah memberi ilham kepada beliau serta menganugerahkan ketajaman pandangan terhadap segala sesuatu sehingga ikatan yang terjalain antara beliau dengan umat manusia semakin kuat. Itulah sebabnya Rasulullah memiliki perasaan yang kuat dan perhatian yang sangat besar terhadap anggota keluarganya dan semua manusia pada umumnya.

Semua anak laki-laki Rasulullah wafat di saat beliau masih hidup.[2] Termasuk anak laki-laki dari Ummul Mukminin Mariyah al-Qibthiyyah r.a. juga wafat dalam usia yang masih amat belia. Di sela-sela kesibukannya, Rasulullah selalu menyempatkan diri untuk mendatangi tempat penyusuan anak lelaki beliau untuk kemudian menggendong dan menciuminya untuk menunjukkan kecintaan yang besar kepadanya.[3]

Ketika Ibrahim ibn Muhammad wafat, Rasulullah Saw. menggendong sendiri jenazahnya dengan air mata menggenang di matanya. Pada saat itulah Rasulullah berkata kepada para sahabat yang merasa aneh dengan sikap beliau: "Sesungguhnya mata dapat mengalirkan air mata dan hati dapat bersedih. Kami tidak mengatakan apa-apa selain yang diridhai Tuhan kami. Sesungguhnya kami bersedih karena berpisah denganmu wahai Ibrahim."

Di dalam hadits lain dikatakan bahwa Rasulullah bersabda: "Sesungguhnya Allah tidak pernah mengazab disebabkan air mata dan tidak pula disebabkan kesedihan hati; tapi Dia akan mengazab disebabkan ini." Rasulullah mengatakan itu sambil menunjuk ke arah lidah beliau.[4]

Sekali lagi saya ingin mengulangi bahwa Rasulullah adalah manusia yang sangat penyayang dan berperasaan lembut. Suatu ketika Hasan r.a. dan Husein r.a. menunggangi punggung Rasulullah yang merangkak seperti kuda. Apakah Anda pernah membayangkan manusia semulia Rasulullah membiarkan cucunya naik ke punggung dan menjadikan kakeknya seperti kuda di depan orang banyak?

Namun dengan tindakannya itu, Rasulullah seakan-akan ingin mengumumkan kepada dunia bahwa Hasan r.a. dan Husein r.a. akan menjadi sosok-sosok istimewa di masa mendatang. Ketika Rasulullah sedang ditunggangi oleh kedua cucu beliau itu, masuklah Umar ibn Khaththab r.a. yang langsung berkata kepada Hasan dan Husein: "Betapa bagusnya kuda yang di bawah kalian itu." Tapi Rasulullah menukas: "Betapa bagusnya kedua penunggang kuda ini."[5]

Pada saat itu, mungkin saja Hasan dan Husein telah memahami ucapan Rasulullah dan mungkin saja tidak. Tapi seperti itulah pujian Rasulullah kepada kedua cucu beliau itu.

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa suatu ketika di saat Hasan r.a. sedang naik di bahu Rasulullah, seorang sahabat berkata: "Hai bocah, betapa bagusnya kendaraan yang kau naiki itu." Tapi Rasulullah menukas: "Betapa bagusnya pengendara ini."[6]

Ya. Sejak Hasan dan Husein masih sangat belia Rasulullah telah menunjukkan perhatian khusus kepada kedua imam dari kalangan Ahlul Bait ini. Mereka berdualah yang kelak menjadi dua pribadi mulia dan penuh karamah karena mereka adalah ayah bagi para waliyullah yang akan terus muncul sampai Hari Kiamat. Itulah sebabnya Rasulullah berkenan menggendong mereka di atas bahu beliau. Tentu saja, semua Ahlul Bait dan para waliyullah ikut mendapatkan perhatian Rasulullah ini.

Diriwayatkan dari Jabir r.a., dia berkata: Suatu ketika aku menemui Rasulullah. Ternyata beliau sedang merangkak dengan kedua tangan dan kaki sementara di punggung beliau naik Hasan dan Husein. Saat itu Rasulullah bersabda: "Sebaik-baik unta adalah unta kalian ini, dan sebaik-baik penunggang adalah kalian berdua."[7]

Demikianlah posisi para anak dan cucu Rasulullah di mata beliau. Cinta Rasulullah yang mendalam telah merasuk ke dalam hati mereka dan menjadi cinta yang menembus batas hubungan antara seorang ayah dengan anaknya atau seorang kakek dengan cucunya.

Sebagaimana dalam semua hal lainnya. Rasulullah juga menempuh jalan tengah dalam mendidik keluarga beliau. Rasulullah sangat mencintai semua anak dan cucu beliau. Bahkan Rasulullah selalu berusaha membuat mereka menyadari cinta beliau yang besar itu, meski tentu saja beliau tidak pernah membiarkan cinta itu untuk disalahgunakan. Tapi memang tidak pernah ada di antara keluarga Rasulullah yang  menyalahgunakan cinta beliau yang besar kepada mereka. Ketika seorang anak atau cucu Rasululah melakukan kesalahan secara tidak sengaja, maka yang akan kita lihat dari Rasulullah adalah sikap kasih sayang yang mendalam. Dengan sikap yang penuh kehangatan Rausulullah selalu berusaha mencegah mereka dari hal-hal syubhat. Misalnya, ketika Hasan r.a. mengulurkan tangannya untuk meraih kurma sedekah, Rasulullah buru-buru melepaskan kurma tersebut dari tangan Hasan r.a. seraya berkata: "Tidakkah kau tahu bahwa sedekah tidak halal bagi keluarga Muhammad?"[8]

Sejak anak-anak dan cucu-cucu beliau masih kecil, Rasulullah telah membesarkan mereka dengan menjauhi segala hal yang haram dan mengajarkan mereka untuk peka terhadap larangan. Pendidikan seperti itulah yang menjadi teladan terbaik bagaimana mendidik anak sejak dini. Dalam banyak riwayat kita temukan keterangan betapa ketika memasuki kota Madinah, Rasulullah sangat sering berkendara bersama anak-anak.[9] Selain terkenal dengan cintanya yang dalam kepada anak-anak dan cucu-cucunya, Rasulullah memang dikenal pula sangat mencintai anak-anak pada umumnya, baik mereka yang bertetangga dengan beliau maupun yang tidak.

Rasulullah juga dikenal tidak hanya mencintai cucu-cucu beliau yang laki-laki, namun juga memperlakukan cucu perempuannya dengan sikap yang sama. Rasulullah begitu mencintai Umamah, cucu perempuannya, sebagaiman beliau mencintai Hasan dan Husein. Rasulullah sering terlihat keluar rumah sambil menggendong Umamah. Bahkan di saat shalat, Rasulullah pernah beberapa kali menggendong Umamah. Ketika Rasulullah rukuk, Umamah diletakkan di lantai; dan ketika beliau bangkit, Umamah digendongnya kembali.[10]

Anda mungkin akan menganggap cinta Rasulullah terhadap Umamah yang setara dengan cinta beliau kepada Hasan dan Husein adalah sesuatu yang biasa saja. Tapi ingatkah Anda bahwa Rasulullah melakukan itu di hadapan sebuah masyarakat yang hanya beberapa tahun sebelumnya menganggap tindakan mengubur anak perempuan hidup-hidup sebagai hal yang biasa.

b-Cinta Rasulullah kepada Fathimah r.a.

Di dalam Islam, tidak ada pengistimewaan bagi laki-laki di atas perempuan. Prinsip itulah yang ditunjukkan langsung oleh Rasulullah Saw. Setiap kali Fathimah r.a. –putri Rasulullah yang adalah ibunda seluruh Ahlul Bait sampai Hari Kiamat- mendatangi Rasulullah, beliau selalu bangkit untuk menyambutnya lalu menggamit lengannya sembari mempersilakannya duduk di samping beliau. Dengan hangat Rasulullah akan bertanya soal ini itu kepada Fathimah, dan ketika putri beliau itu mohon diri, Rasulullah akan bangkit mengantar kepergiannya dengan santun dan lembut.[11]

Arkian pada suatu ketika Ali ibn Abi Thalib r.a. berniat menikahi putri Abu Jahal yang sudah masuk Islam seperti saudara lelakinya yang bernama Ikrimah. Hanya saja, tampaknya pernikahan tersebut bakal menyakiti Fathimah r.a. Pada saat itu, Ali sama sekali tidak menyangka bahwa Fathimah akan berkeberatan dengan rencananya menikahi putri Abu Jahal. Tapi ternyata, ketika Fathimah r.a. menghadap Rasulullah dengan wajah muram untuk menyampaikan apa yang terjadi, Rasulullah langsung menuju mimbar Masjid Nabawi dan kemudian berkhutbah: "Sesungguhnya Bani Hisyam ibn Mughirah telah memohon izin kepadaku untuk menikahkan putri mereka dengan Ali ibn Abi Thalib. Tapi aku tidak mengizinkan mereka, lalu aku tidak mengizinkan mereka, lalu aku tidak mengizinkan mereka. Kecuali jika Ali ibn Abi Thalib mau menceraikan putriku dan menikahi putri mereka. Sesungguhnya putriku adalah bagian dari diriku. Semua yang menyenangkannya, pasti menyenangkan aku; dan semua yang menyakitkan baginya, pasti menyakitkan aku."[12]

Pada saat itu, Ali ibn Abi Thalib yang ikut mendengarkan khutbah Rasulullah tersebut langsung mengurungkan niatnya menikahi putri Abu Jahal dan kemudian menemui Fathimah.[13]

Tidak diragukan lagi, Ali ibn Abi Thalib r.a. pasti sangat menghargai putri Rasulullah Saw., dan Fathimah mengerti betul akan sikap suaminya itu sehingga ia pun sangat mencintai Ali melebihi cintanya kepada dirinya sendiri. Fathimah r.a. yang lembut itu memang seakan-akan hidup hanya untuk menjadi benih persemaian bagi para wali dan orang-orang suci. Perhatian putri Rasulullah ini begitu besar terhadap ayahnya itu dan dakwah yang beliau jalankan. Ketika ayahnya mengabarinya –di hari-hari terakhir beliau- bahwa beliau akan segera meninggal dunia, Fathimah pun langsung tenggelam dalam deraian air mata. Barulah setelah Rasulullah mengabarinya bahwa dia akan menjadi anggota keluarga yang paling dulu menyusul ke alam baka, Fathimah tersenyum gembira.[14]

Ya. Ayahanda Fathimah r.a. memang sangat mencintainya dan selalu mencurahkan kasih sayang kepadanya. Tapi walau sebesar apapun kecintaan Rasulullah padanya, beliau tetap mampu menjaga keseimbangan cinta beliau kepada Fathimah. Tujuan Rasulullah bersikap seperti itu adalah karena beliau ingin menuntun Fathimah ke sebuah tempat yang menjadi tempat kembali semua arwah manusia. Di tempat itulah kelak pertemanan yang sejati dan kekal akan terwujud. Rasulullah hidup bersama Fathimah tidak lebih dari lima belas tahun, dan Fathimah akhirnya wafat hanya enam bulan setelah wafatnya Rasulullah Saw. dalam usia dua puluh lima tahun.[15]

c-Rasulullah Mempersiapkan Anak-anak Beliau untuk Kehidupan Akhirat

Rasulullah adalah sosok yang selalu mengutamakan kehidupan kekal di akhirat. Dengan kata lain, Rasulullah adalah pribadi yang selalu mengejar apa yang diinginkan fitrah beliau manusia yang juga telah Allah berikan kepada kita semua.

Ya. Manusia memang diciptakan untuk hidup abadi. Manusia tidak dapat dipuaskan dengan apapun selain dengan sebuah kehidupan kekal dan dengan pemilik kehidupan yang kekal seperti itu. Itulah sebabnya, manusia tidak akan menuntut yang selain itu. Baik disadari oleh manusia maupun tidak, sebenarnya yang diinginkan manusia hanyalah kehidupan abadi. Ketika manusia diberi anugerah yang berlimpah, ia tetap tidak akan merasa puas kecuali jika ia diberi sebuah kehidupan yang kekal. Manusia bersikap seperti itu disebabkan karena ia memiliki cita-cita yang tidak ada ujungnya, sebagaimana ia juga memiliki keinginan yang tidak ada batasnya.

Naluri manusia yang seperti itulah yang telah membuat semua nabi dan rasul selalu menyampaikan janji akan adanya kehidupan kekal di akhirat. Inilah pula alasan mengapa Rasulullah yang sebenarnya telah mempersembahkan ketenangan dan ketenteraman hidup di dunia bagi umat manusia, beliau juga tidak pernah mengabaikan betapa pentingnya persiapan untuk menyongsong kebahagiaan yang kekal dan ketenteraman yang sejati.

Kita dapat melihat hal ini secara lebih jelas dari peristiwa berikut ini:

Suatu ketika Rasulullah Saw. melihat di leher Fathimah r.a. melinkar seuntai kalung emas. Rasulullah pun berkata: "Wahai Fathimah! Apakah kau senang jika orang-orang berkata bahwa putri Rasulullah sedang memegang sebuah kalung dari api neraka?" setelah berkata seperti itu, Rasulullah langsung pergi meninggalkan Fathimah tanpa duduk sama sekali. Ya. Di satu sisi Rasulullah memang sangat menyayangi Fathimah, tapi di sisi yang lain beliau juga tak pernah berhenti menyiapkan putri beliau itu untuk kehidupan akhirat yang kekal serta mengarahkannya ke jalan Allah Swt.

Setelah mendengar ucapan Rasulullah itu, Fathimah pun langsung membawa kalung ems itu ke pasar dan menjualnya. Uang hasil penjualan itu lalu dia gunakan untuk memerdekakan seorang budak. Ketika hal itu sampai di telinga Rasulullah, beliau pun bersabda: "Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan Fathimah dari api neraka."[16]

Sebenarnya, tindakan Fathimah menggunakan perhiasan yang terbuat dari emas sama sekali bukanlah sesuatu yang haram hukumnya. Tapi rupanya Rasulullah ingin menjaga agar Fathimah tetap berada di lingkaran para muqarrabûn. Itulah sebabnya beliau memperingatkan Fathimah sedemikian keras agar putri beliau itu kembali ke landasan takwa dan kedekatan dengan Allah. Di sisi lain, Rasulullah juga mengingatkan Fathimah untuk jangan terlalu ambil peduli dengan kehidupan dunia. Tapi yang terpenting dari peristiwa ini adalah bahwa Rasulullah sangat menginginkan agar Fathimah menjadi teladan bagi umat dengan posisinya sebagi ibu bagi para Ahlul Bait.

Ya. Tentu saja tidaklah mudah untuk menjadi ibu bagi Hasan, Husein, dan para ahli ibadah terkemuka yang lahir kemudian semisal Imam Zainal Abidin yang mereka semua menjadi lentera hidayah bagi umat manusia. Bahkan bukan hanya sampai di situ, Rasulullah juga ternyata telah menyiapkan Fathimah bukan sekedar untuk menjadi ibu bagi Ahlul Bait saja, melainkan juga menjadi ibu bagi tokoh-tokoh besar semisal Syaikh al-Kilani, Muhammad Bahauddin Naqsyabandi, Ahmad Rifa'i, Abu Hasan Syadzili, dan sebagainya. Seakan-akan Rasulullah berkata kepada Fathimah: "Wahai putriku, jadilah kau pengantin di dalam sebuah rumah yang darinya akan muncul rantai emas berupa keturunan yang diberkahi. Oleh sebab itu tanggalkanlah rantai emas itu dan jadilah kau ibu bagi rantai emas keturunan ini." Rantai emas bagi para penempuh jalan luhur (tarekat) semisal tarekat Naqsyabandiyyah, Rifa'iyyah, Syadziliyyah, dan sebagainya.

Ya. Tidaklah mudah untuk menjadi ibu bagi para wali, orang-orang suci, dan muqarrabûn. Itulah sebabnya, Rasulullah Saw. sangat sensitif dan hati-hati pada masalah ini terhadap keluarga beliau. Dengan apa yang dilakukan Rasulullah ini –di samping kasih sayang beliau terhadap mereka-, beliau ingin mengarahkan pandangan mereka ke alam akhirat serta menutup semua pintu keburukan, dosa, dan keburukan walau sekecil apapun juga agar mereka berkonsentrasi pada akhirat. Seakan-akan Rasulullah berkata kepada mereka: "Allah harus menjadi satu-satunya tujuan kalian." Dari umat beliaulah kemudian muncul seorang penyair yang berkata:

Inilah surga yang mereka bilang
Beberapa istana... Beberapa bidadari
Silakan Kau berikan kepada yang mau
Karena aku... hanya Kau yang kumau.

Dan ternyata memang itulah yang terjadi, keluarga Rasulullah menghabiskan umur mereka di dalam naungan kehidupan akhirat. Itulah sebabnya Rasulullah Saw. selalu menjauhkan orang-orang yang beliau cintai –sebagai konsekuensi dari cinta beliau- dari kotoran dunia serta selalu berusaha menyucikan mereka dari noda. Rasulullah juga selalu mengarahkan pandangan dan perhatian mereka ke Alam Luhur serta menyiapkan mereka untuk menemani beliau di sana, karena "seseorang akan bersama orang yang dicintainya."[17]

Jika Anda mencintai Muhammad, pasti Anda akan menempuh jalan beliau. Jika Anda menempu jalan beliau, pasti Anda akan bersama beliau di akhirat. Demikianlah adanya. Di samping cintanya yang besar terhadap keluarganya, Rasulullah juga selalu mempersiapkan mereka agar dapat menemani beliau di akhirat.

Ya. Cinta memang ada, kasih sayang pun ada, tapi tak ada alasan untuk bersikap lamban dalam urusan akhirat. Inilah jalan yang lurus itu. Jalan tengah yang menjadi jalan paling utama dan paling lempang. Jalan yang di depannya Rasulullah Saw. berada.

Salah satu sisi lain dari sistem tabiah Rasulullah Saw. dapat kita temukan dari sebuah hadits yang diriwayatkan Imam al-Bukhari dan Imam Muslim berikut ini:

Diriwayatkan dari Ali ibn Abi Thalib r.a. bahwa suatu ketika Fathimah r.a. mengeluhkan kapal bekas alat penggiling gandum di tangannya. Pada saat itu Rasulullah menerima kedatangan beberapa budak. Fathimah lalu mendatangi Rasulullah, tapi tidak menemukan beliau dan hanya bertemu Aisyah. Fathimah menyampaikan kepada Aisyah tentang keperluannya. Ketika Rasulullah datang, Aisyah menyampaikan kepada beliau tentang kedatangan Fathimah.

Fathimah r.a. berkata: "Rasulullah lalu mendatangi kami, dan saat itu kami sudah bersiap-siap untuk tidur. Aku berniat bangkit tapi beliau bersabda: 'Tetaplah di tempat kalian'. Beliau lalu duduk di antara kami berdua sampai-sampai dapat kurasakan dingin kaki beliau di dadaku. Rasulullah lalu bersabda: 'Bagaimana jika kuajarkan kepada kalian sesuatu yang lebih baik daripada apa yang kalian minta: jika kalian sudah bersiap untuk tidur, bertakbirlah tiga puluh empat kali, bertasbihlah tiga puluh tiga kali, dan bertahmidlah tiga puluh tiga kali. Semua itu jauh lebih baik bagi kalian dibandingkan seorang budak."[18]

Dengan tindakannya itu seakan-akan Rasulullah berkata kepada Fathimah r.a.:

"Aku ingin mengarahkan pandanganmu ke Alam Akhirat, agar kau dapat mencapainya dan bersamaku di alam itu. Di depanmu ada dua jalan: yang pertama adalah dengan tidak bersikap malas dalam melaksanakan kewajiban ibadah di depan Tuhanmu; dan kedua adalah dengan menunaikan kewajibanmu terhadap suami. Seandainya kau memiliki pembantu yang melayani kebutuhan suamimu yang sebenarnya menjadi kewajibanmu, maka itu akan menjadi sebuah kekurangan bagimu. Padahal kau harus memiliki dua sayap. Oleh sebab itu, kau harus mencari tahu apa yang dapat menjadikan manusia sebagai hamba yang kamil bagi Allah dan bagaimana seorang insan kamil selalu menunaikan semua kewajibannya tanpa kurang sesuatu apapun. Jadilah kau hamba yang kamil bagi Allah. Tunaikanlah semua kewajiban ibadah di hadapan-Nya. Jadilah insan kamil dengan menunaikan semua kewajibanmu di depan suamimu, Ali ibn Abi Thalib, yang di dalam sulbinya terkandung benih para muqarrabûn yang dianggap sebagai 'keluarga Allah' sampai Hari Kiamat. Lakukanlah semua ini agar kau dapat masuk surga yang menjadi tempat segala kebaikan dan menjadi persemayaman para insan kamil."

Sungguh saya tak dapat menahan hati untuk menyampaikan keistimewaan Ali ibn Abi Thalib r.a. sebagai berikut:

Rasulullah telah menikahkan Ali dengan putri beliau tanpa ragu karena beliau menganggap bahwa Ali memang pantas menjadi suami Fathimah dan menjadi menantu beliau. Karena Ali adalah sang Sultan Para Wali dan dia diciptakan untuk menjadi ayah bagi para waliyullah. Diriwayatkan dalam sebuah hadits dha'if bahwa Rasulullah bersabda: "Sesungguhnya Allah telah menjadikan keturunan setiap nabi di dalam sulbi mereka. Tapi Allah telah menjadikan keturunanku di dalam sulbi Ali ibn Abi Thalib."[19]

Dengan sabda itu seakan-akan Rasulullah berkata kepada Imam Ali ibn Abi Thalib r.a.: "Kau akan melanjutkan keturunanku. Jadi orang-orang yang akan memetik 'buah itu' akan selalu mengingatmu dalam kalangan Alul Bait ketika mereka mengingatku."

Itulah sebabnya, jika kita melihat dari sisi ini kita akan dapat mengetahui bahwa siapa yang mematuhi Ali r.a., berarti dia telah mematuhi Rasulullah; dan siapa yang mematuhi Rasulullah, berarti dia telah mematuhi Allah. Rasulullah Saw. juga pernah menjelaskan tentang hak suami secara umum dalam sabda beliau: "Seandainya aku boleh memerintahkan manusia untuk bersujud kepada manusia, pasti aku akan memerintahkan para istri untuk bersujud kepada suami-suami mereka disebabkan hak yang telah Allah berikan kepada para suami."[20]

Seandainya sujud kepada manusia seperti yang dikatakan Rasulullah itu dibolehkan, pastilah Ali yang akan menjadi orang pertama yang berhak atas itu. Jadi jika Fathimah memiliki seorang pembantu, maka berarti hal itu telah mematahkan satu sayap yang dimilikinya. Padahal dengan satu sayap, Fathimah pasti tidak akan dapat terbang untuk bergabung bersama Hasan r.a., Husein r.a., Syaikh al-Kilani, para quthb, dan para mujtahid yang akan terus muncul sampai Hari Kiamat. Itulah sebabnya menjadi sangat penting bagi Rasulullah untuk memutus segala bentuk perhatian Fathimah dari dunia dan mengarahkan pandangannya hanya ke akhirat.

Pada hakikatnya semua yang dilakukan Rasulullah adalah "perbuatan" Allah, dan dengan cara seperti itulah pula Rasulullah "dibesarkan" oleh Allah. Semenjak lahir, Rasulullah tidak pernah melihat ayah yang dapat dijadikan sandaran. Ketika beliau menginjak usia enam tahun, giliran sang ibu yang menjadi sandaran terakhirnya pun mangkat. Sejak usia dini itulah Allah telah menggembleng Rasulullah menuju jalan tauhid dan rahasia keesaan Allah. Memang benar jika Anda katakan bahwa setelah ibunda Aminah wafat, Muhammad kecil diasuh oleh kakeknya, Abdul Muthallib. Tapi apa yang terjadi pada diri Rasulullah pada saat itu sebenarnya tidak lain adalah "campur tangan" Allah dalam kehidupan seorang calon nabi. Sebab dari Abdul Muthallib kakeknya, Muhammad kecil nyaris tidak mendapatkan apa-apa. Bahkan setelah kemudian Abu Thalib membesarkan Rasulullah, yang dilakukan Abu Thalib tidak lebih dari sekedar tindakan seorang paman yang harus merawat keponakannya yang yatim piatu.

Tapi jika kita tilik dari aspek ukhrawi, barulah kita dapat menemukan hikmah di balik pengasuhan Abu Thalib terhadap Rasulullah, yaitu kenyataan bahwa Abu Thalib adalah ayah dari Ali ibn Abi Thalib r.a. Disebabkan kedekatan Abu Thalib dengan Rasulullah, kelak di kemudian hari Rasulullah-lah yang mendidik Abi ibn Abi Thalib sehingga membuatnya layak menjadi ksatria yang selakigus berjuluk Sultan Para Aulia.[21]

Demikianlah yang Allah lakukan terhadap Rasulullah s.aw. Allah telah merancang dengan rapi semua perangkat yang membuat Rasulullah –sejak dini- hanya menghadapkan dirinya kepada Allah semata sehingga pada dirinyalah terkuak tabir ayat yang berbunyi: "...Wahai Tuhan kami, hanya kepada Engkaulah kami bertawakkal dan hanya kepada Engkaulah kami bertaubat dan hanya kepada Engkaulah kami kembali." (QS al-Mumtahanah [60]: 4), sehingga Rasulullah hanya percaya dan bertawakal kepada Allah Swt.

d-Atmosfer Tarbiah Rasulullah di Rumah Beliau

Atmosfer yang terbangun di dalam kediaman Rasulullah yang mulia adalah ketakwaan dan rasa takut (khasyyah) kepada Allah Saw. Atmosfer itulah yang selalu mengisi hari-hari di kediaman Rasulullah. Siapapun yang pernah menyaksikan kedalaman tatapan mata Rasulullah pasti akan menemukan di dalamnya hasrat yang kuat untuk masuk surga dan rasa takut yang luar biasa terhadap neraka. Siapapun yang pernah melihat shalatnya Rasulullah pasti akan melihat terkadang beliau gemetar di saat shalat disebabkan rasa takut dan sekaligus cinta kepada Allah. Itulah pemandangan yang biasa terlihat di kediaman Rasulullah yang mulia. Siapapun yang melihat keluarga Rasulullah pasti akan langsung ingat Allah.

Imam al-Nasai meriwayatkan hadis berikut ini dari Mutharrif dari ayahnya yang berkata: "Suatu ketika aku mendatangi Rasulullah yang ternyata sedang shalat. Pada saat itu kudengar suara mendesis dari tubuh Rasulullah seperti desis kuali mendidih."[22] Yang dimaksud "suara kuali mendidih" di sini adalah isak tangis Rasulullah Saw.

Rasulullah memang sering menangis di saat shalat ketika beliau menghadapkan segenap jiwa raganya kepada Allah. Betapa seringnya Aisyah r.a. kehilangan Rasulullah Saw. dan setelah mencari ke sana ke mari ternyata beliau sedang tenggelam dalam sujud di hadapan Allah.[23]

Tentu saja apa yang dilakukan Rasulullah itu langsung berpengaruh terhadap anggota keluarga beliau. Kekhusyukan, ketakwaan, dan rasa takut kepada Allah yang ditunjukkan Rasulullah itu lalu mengalir kepada para istri dan anak-anak beliau. Hal seperti itu wajar terjadi karena Rasulullah adalah sosok yang hidup dengan apa yang beliau katakan dan selalu mengatakan apa-apa yang beliau lakukan dalam kehidupan. Tidak ada seorang pun yang mampu mempengaruhi orang lain dengan perilaku yang sesuai dengan pikirannya selain Rasulullah Saw. di dalam kehidupan rumah tangga beliau. Seandainya ilmu yang dihasilkan oleh semua ahli psikologi dan ahli pendidikan dari semua cabang ilmu pendidikan dikumpulkan, lalu digunakan untuk melakukan seperti yang dilakukan Rasulullah, pastilah upaya itu akan gagal.

Ya. Rasulullah memang selalu berhasil menggunakan tindakan dan perilaku beliau untuk menyampaikan berbagai hal yang memang ingin beliau sampaikan kepada umat manusia. Dengan cara itulah Rasulullah mengajarkan kepada umat tentang hakikat rasa takut kepada Allah, bagaimana cara sujud yang khusyuk, bagaimana sikap rukuk yang benar, bagaimana duduk tahiyyat, bagaimana cara berdoa di malam hari, dan sebagainya yang semua itu beliau lakukan di rumah beliau

Ketika bertemu dengan para sahabat, barulah Rasulullah menyampaikan wejangan tentang bagaimana cara bertindak yang benar, bagaimana cara mendidik anak, bagaimana membentuk diri menjadi cermin kebenaran dalam segala hal, dan seterusnya. Semua kata dan kalimat yang Rasulullah ucapkan selalu berterima dengan sempurna, baik di dalam rumah beliau sendiri maupun di hadapan para sahabat. Semua sabda Rasulullah itu merasuk ke dalam hati untuk kemudian menyatu dengan jiwa mereka.

Tapi di atas itu semua, kita harus selalu ingat bahwa Rasulullah adalah seorang ayah dan kakek yang sempurna tiada bandingnya. Mungkin Anda akan menganggap bahwa menjadi ayah atau kakek yang baik bagi keluarga adalah sesuatu yang biasa saja jika dilihat dari aspek sosial kemasyarakatan. Padahal untuk membentuk diri menjadi ayah atau kakek seperti Rasulullah amatlah sukar.

[1] Muslim, al-Fadhâil, 63; al-Musnad, Imam Ahmad 3/112.
[2] Al-Bidâyah wa al-Nihâyah, Ibnu Katsir 5/328.
[3] Muslim, al-Fadhâil, 63; Majma' al-Zawâid, al-Haitsami 9/161.
[4] Al-Bukhari, al-Janâiz, 44, 45; Muslim, al-Fadhâil, 62, 63, al-Janâiz, 12; Ibnu Majah, al-Janâiz, 53; al-Musnad, Imam Ahmad 3/193; Abu Daud, al-Janâiz, 24.
[5] Majma' al-Zawâid, al-Haitsami 9/182.
[6] Kanz al-'Ummâl, al-Hindi 13/650.
[7] Majma' al-Zawâid, al-Haitsami 9/182.
[8] Al-Bukhari, al-Zakâh, 7; Muslim, al-Zakâh, 161; al-Musnad, Imam Ahmad, 2/279.
[9] Lihat: Hayât al-Shahâbah, al-Kandahlawi 2/688-689.
[10] Al-Bukhari, al-Adab, 18; Muslim, al-Masâjid, 41-43.
[11] Muslim, Fadhâil al-Shahâbah, 98; al-Bukhari, al-Manâqib, 25; Majma' al-Zawâid, al-Haitsami 9/203.
[12] Al-Bukhari, Fadhâil Ashhâb al-Nabiy, 16; Muslim, Fadhâil al-Shahâbah, 93.
[13] Al-Bukhari, Fadhâil Ashhâb al-Nabiy, 16; Muslim, Fadhâil al-Shahâbah, 93.
[14] Muslim, Fadhâil al-Shahâbah, 98, 99; al-Bukhari al-Manâqib, 25.
[15] Al-Bukhari, Fardh al-Khams, 1; Muslim, al-Jihâd, 52; Majma' al-Zawâid, al-Haitsami 9/211; al-Thabaqât al-Kubrâ, Ibnu Sa'd 8/29, al-Ishâbah, Ibnu Hajar, 4/379.
[16] Al-Nasai, al-Zînah, 39; al-Musnad, Imam Ahmad 5/278.
[17] Al-Bukhari, al-Adab, 96; Muslim, al-Birr, 165.
[18] Al-Bukhari, Fadhâil al-Ashâb al-Nabiy, 9; Muslim, al-Dzikr, 80, 81; Abu Daud, al-Adab, 100.
[19] Majma' al-Zawâid, al-Haitsami 9/172; Faidh al-Qadîr, al-Manawi 2/223; Târîkh Baghdâd, al-Baghdadi 1/317.
[20] Abu Daud, al-Nikâh, 41; al-Darami, al-Shalâh, 159.
[21] Lihat: al-Sîrah al-Nabawiyyah, Ibnu Hisyam 1/262.
[22] Al-Nasai, al-Sahw, 18; Abu Daud, al-Shalâh, 107; al-Musnad, Imam Ahmad 4/25-26.
[23] Muslim, al-Shalâh, 221; al-Nasai, 'Isyrah al-Nisâ`, 4.