Tarbiah Rasulullah dan Kepemimpinan Beliau dalam Keluarga
Rasulullah adalah manusia yang paling sempurna dalam menunjukkan sifat Allah "al-Rabb" di bumi. Beliaulah sosok yang paling berhasil mengejawantahkan salah satu nama di antara al-asmâ` al-husnâ ini di dunia, bahkan jika dibandingkan dengan para rasul yang lain sekali pun. Penyebabnya adalah karena Rasulullah memiliki fitrah yang istimewa. Dengan kemampuan Rasulullah dalam merefleksikan nama Allah "al-Rabb" itulah kemudian para sahabat yang menerima tarbiah (al-tarbiyyah) secara langsung dari beliau mampu menjadi manusia-manusia yang paling unggul setelah para nabi dan rasul. Itulah sebabnya kita tidak dapat menemukan manusia lain –selain para nabi dan rasul- yang lebih pantas untuk kita jadikan teladan dibandingkan Abu Bakar r.a., Umar ibn Khaththab r.a., Utsman ibn Affan r.a., atau Ali ibn Abi Thalib r.a.
Namun tampaknya bukan hanya keempat sahabat ini saja yang tidak akan dapat kita tandingi, sebab mungkin semua sahabat Rasulullah tidak akan pernah dapat kita tandingi keistimewaannya, karena mereka semua telah dididik langsung oleh Rasulullah Saw. Meskipun kita juga tidak boleh memungkiri bahwa ada orang-orang setelah generasi sahabat yang hidup di dalam atmosfer tarbiah yang sama dengan yang ada pada masa Rasulullah. Orang-orang itulah yang menjadi permata ratna mutu manikam pada generasi Islam selanjutnya, sehingga kita pantas saja mengatakan bahwa mereka –secara tidak langsung- telah dididik oleh Rasulullah Saw. dan menjadi kebanggaan bagi umat manusia.
Orang-orang yang sulit dicari tandingannya itu adalah para tokoh besar seperti Fudhail ibn Iyadh, Bisyr al-Hafi, Abu Yazid al-Busthami, Junaid al-Baghdadi, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi'i, Imam Malik, Imam Ahmad ibn Hanbal, Imam Rabbani, Imam al-Ghazali, Maulana Jaluddin al-Rumi, Syaikh al-Kilani, Abu Hasan al-Syadzili, Bahauddin al-Naqsyabandi, Ahmad al-Rifa'i, Badi' al-Zaman Sa'id Nursi, dan sebagainya.
Mereka itulah orang-orang yang tumbuh dalam tarbiah ala Rasulullah Saw. Dan itulah sebabnya Rasulullah pernah menyatakan dalam sebuah hadits indah yang –sayangnya- berstatus dhaif dari segi sanadnya: "Para ulama di kalangan umatku adalah seperti nabi-nabi Bani Israel."[1]
Setelah Rasulullah sang Penutup Para Nabi wafat, memang tidak mungkin muncul nabi baru atau muncul seseorang yang dapat menduduki derajat setara nabi. Akan tetapi, tentu ada ruang-ruang tertentu dalam penghambaan diri di hadapan Allah di mana manusia biasa dapat "berlomba" dengan para nabi. Para tokoh yang namanya disebutkan di atas itulah –dan sebenarnya masih ada beberapa nama lain yang dapat disertakan- yang tampaknya sangat pantas untuk ikut dalam "perlombaan" tersebut. Merekalah para ulama yang menjadi kebanggaan kita semua, karena seandainya orang-orang biasa seperti kita diminta untuk menjadi seperti mereka, maka tampaknya kita harus meminta para malaikat turun ke bumi sebab hanya para malaikatlah yang dapat mengimbangi kualitas para ulama besar tersebut.
Terakhir, perkenankan saya untuk mengingatkan bahwa hanya Rasulullah-lah yang pantas kita jadikan sebagai pendidik utama. Hanya dengan menisbahkan diri kepada beliaulah buah tarbiah sehebat ini dapat kita raih. Buah tarbiah yang takkan habis dan terus muncul hingga Hari Kiamat. Setelah masa-masa paceklik yang sekarang sedang kita alami ini, siapakah yang tahu kalau ternyata nanti muncul manusia-manusia agung di antara para ulama kita? Merekalah tumpuan harapan kita semua, dan sampai saat ini saya sendiri selalu menunggu kemunculan mereka.
Sebelum kita membahas prinsip-prinsip tarbiah secara umum, berikut ini saya ketengahkan beberapa prinsip tarbiah khusus dalam keluarga. Ingat, Rasulullah adalah juga seorang kepala keluarga. Di dalam kediaman beliau ada banyak anak-anak, dan beliau juga memiliki beberapa istri dan cucu.
a-Nabi Saw. sebagai Kepala Keluarga
Tidak perlu diragukan lagi, keluarga Rasulullah Saw. adalah keluarga yang paling utama, paling bahagia, dan paling mendatangkan berkah di tengah sejarah umat manusia. Dari keluarga inilah kebahagiaan seluruh umat manusia akan terus mengalir jingga akhir zaman.
Tapi Anda tidak perlu terkejut jika saya katakan bahwa keluarga Rasulullah adalah keluarga yang sangat miskin materi. Tak jarang, selama berhari-hari tak ada asap yang mengepul dari dapur keluarga ini sebab mereka tidak memiliki apa-apa untuk dimasak, hatta sekedar sepotong roti kering.[2]
Demikian pula dengan tempat tinggal para istri Rasulullah. Sebenarnya yang disebut "tempat tinggal" untuk mereka itu hanyalah sebuah bilik kecil yang lebih pantas disebut dangau atau gubuk. Tapi meski harus menjalani kehidupan seperti itu, para istri Rasulullah tak pernah rela jika mereka harus menukar sedetik saja dari waktu mereka bersama Rasulullah dengan dunia seisinya. Mereka adalah para istri yang merasa sangat beruntung nasibnya, sangat tenteram jiwanya, dan sangat bahagia hidupnya.
Bukan hanya miskin materi, Rasulullah juga harus mengalami kematian semua anak lelakinya pada usia belia. Bahkan Sayyidah Fathimah r.a. putri beliau, harus menjalani kehidupan yang susah dari segi materi. Rupanya Rasulullah tak pernah memberi kehidupan yang berlebihan kepada Fathimah, meski sebenarnya Fathimah adalah putri yang sangat dicintainya. Demikian pula halnya dengan para istri Rasulullah. Para wanita yang menjadi ibu bagi umat Islam itu menjalani kehidupan yang sangat bersahaja meski sebenarnya posisi mereka selalu istimewa di sisi Rasulullah Saw. dan seluruh umat Islam.
Beberapa saat sepeninggal Rasulullah, Fathimah r.a. terus dirundung duka, sehingga matanya tak pernah kering dari air mata.[3] Untungnya kepedihan yang dirasakan Fathimah itu tidak berlangsung berlarut-larut, sebab hanya sekitar enam bulan setelah kepergian ayahandanya, Sayyidah Fathimah r.a. menyusul Rasulullah Saw. berpulang ke rahmatullah.[4]
Tak seorang anak pun yang memiliki cinta kepada ayahnya sebesar cinta yang dimiliki Fathimah terhadap Rasulullah Saw. Dan begitu pula tak ada seorang ayah pun yang memiliki cinta kepada putrinya sebesar cinta yang dimiliki Rasulullah Saw. terhadap Fathimah r.a. Meski tentu saja cinta ayah dan anak ini selalu sejalan dengan syariat Allah. Demikian pula halnya dengan hubungan Rasulullah Saw. dengan istri-istri beliau. Tak ada istri yang cintanya sebesar cinta para Ummahât al-Mukminîn terhadap Rasulullah Saw., sebagaimana juga tidak ada cinta suami yang begitu besar terhadap istri sebesar cinta Rasulullah kepada para istri beliau.
Namun tentu saja cinta sebesar itu tidak mungkin terwujud begitu saja tanpa alasan atau sebab yang jelas. Adalah tabiah yang diterapkan Rasulullah-lah yang menjadi mata air terbitnya cinta yang begitu besar di dalam keluarga beliau. Bahkan dari keluarga suci itu, kemudian energi cinta tersebut memancar ke sekelilingnya dan bahkan mencapai seluruh alam semesta. Tak pelak, kepiawaian Rasulullah dalam mendidik anggota keluarga beliau ini tentu menjadi satu sisi lain yang menunjukkan sifat fathanah yang beliau miliki.
Silakan Anda renungkan betapa di saat wafatnya Rasulullah Saw. tidak pernah mewariskan satu rumah pun untuk istri-istri beliau setelah seumur hidup beliau melewati hari-hari bersama mereka di dalam bilik-bilik kecil yang lebih tepat disebut gubuk. Hanya bilik-bilik kecil itulah yang beliau wariskan kepada para Ummahât al-Mukminîn: wanita-wanita mulia yang menjadi ibu bagi kita semua.
Dalam keadaan miskin materi seperti itulah Rasulullah meninggalkan mereka tanpa ada seorang pun dari mereka yang mengeluh disebabkan keadaan tersebut. Meski pun pernah suatu kali sempat terbersit di benak satu dua orang istri Rasulullah untuk mengeluh, tapi ayat al-Qur`an yang diturunkan Allah langsung menghapus kesedihan itu dari hati mereka.[5]
Sepeninggal Rasulullah, Abu Bakar r.a. berijtihad untuk menetapkan uang tunjangan bagi para Ummahât al-Mukminîn yang diambil dari Baitul Mal. Tapi jumlah tunjangan itu sangat kecil, karena nilainya lebih kecil dibandingkan santunan yang diterima sahabat lain dan jauh lebih kecil dibandingkan jumlah yang diterima kaum muslim awal.
Barulah pada masa kekhalifahan Umar ibn Khaththab r.a., jumlah tunjangan bagi Ummahât al-Mukminîn dinaikkan sehingga sama dengan jumlah yang diterima kaum muslim awal. Alasan Umar berijtihad untuk melakukan itu adalah karena para Ummahât al-Mukminîn dianggap setara dengan para sahabat utama sebab mereka adalah orang-orang yang paling dekat dengan Rasulullah Saw. dan mereka adalah ibu bagi seluruh umat Islam sampai Hari Kiamat.
Tapi kita tidak akan membahas lebih lanjut topik tentang tunjangan yang diterima para Ummahât al-Mukminîn karena hal itu tidak menjadi objek bahasan kita. Yang ingin saya tunjukkan dari penjelasan di atas sebenarnya adalah ketinggian derajat yang dicapai para Ummahât al-Mukminîn berkat tarbiah yang dilakukan Rasulullah Saw.
Seperti apakah kiranya kedahsyatan tabiah Rasulullah sehingga mampu menembus hati istri-istri beliau sehingga mereka tidak memikirkan selain Rasulullah? Padahal beliau tidak banyak menghabiskan waktu bersama mereka. Apalagi mereka tidak mendapatkan harta apa-apa dari Rasulullah kecuali hanya gubuk kecil.
Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa Rasulullah pasti memiliki daya tarik tertentu. Daya tarik yang mampu menarik hati orang-orang di sekeliling beliau. Daya tarik yang memang menjadi bekal bagi Rasulullah untuk menyebarkan risalah yang beliau emban.
Berkenaan dengan jumlah istri Rasulullah yang lebih dari empat orang, saya akan membahas hal itu di bagian mendatang. Tapi satu yang pasti, tindakan Rasulullah menikah dengan beberapa wanita adalah salah satu bukti kebenaran risalah beliau. Sampai di sini cukuplah kita untuk menyatakan bahwa keluarga Rasulullah Saw. adalah keluarga yang penuh berkah karena keluarga beliau telah bermetamorfosa menjadi tempat pendidikan dan pengajaran berbagai masalah yang berkaitan dengan wanita.
Dari hubungan pribadi antarsesama anggota keluarga inilah penyelesaian terhadap berbagai masalah rumah tangga ditemukan untuk kemudian mengalir ke tangan umat Islam. Setidaknya sembilan puluh persen dari seluruh hukum yang berhubungan dengan kehidupan rumah tangga yang sampai ke tangan kita bersumber dari para istri Rasulullah Saw. Itulah sebabnya menjadi sangat penting artinya bagi hukum Islam keberadaan beberapa wanita yang berasal dari berbagai latar belakang di dalam keluarga Rasulullah agar hukum agama yang berhubungan dengan wanita dan keluarga tidak hilang. Itulah sebabnya Rasulullah "terpaksa" menikah dengan beberapa istri sekaligus setelah sebelumnya selama puluhan tahun beliau hanya menikahi satu istri. Apalagi saat Rasulullah melakukan poligami, usia beliau telah menginjak lima puluh tiga tahun.
Ya. Pasti ada alasan yang sangat darurat bagi keberadaan beberapa istri sekaligus dalam rumah tangga Rasulullah. Salah satunya adalah karena hanya kaum laki-laki yang selalu menimba ilmu dari Rasulullah ketika beliau melangsungkan majelis di Masjid Nabawi. Jika ada salah seorang sahabat yang tidak sempat menghadiri majelis beliau, maka dengan mudah sahabat tersebut bertanya kepada sahabat yang hadir. Tapi tidak demikian dengan kaum wanita. Mereka tidak memiliki kesempatan seluas yang dimiliki para lelaki untuk dapat mendengar berbagai ajaran yang disampaikan Rasulullah.
Kalau kondisinya seperti itu, lantas siapa yang dapat menyampaikan hukum agama kepada mereka? Apalagi jika hukum tersebut berhubungan langsung dengan soal-soal kewanitaan. Siapakah yang bisa menyampaikan kepada umat Islam apa yang dilakukan Rasulullah di dalam kamar tidur beliau? Apakah satu orang wanita saja akan cukup untuk memahami dan kemudian menyampaikan hukum-hukum yang berkenaan dengan wanita secara sempurna kepada umat Islam? Padahal sebagai wanita, seorang istri Rasul juga akan menghadapi berbagai macam halangan untuk berinteraksi dengan orang lain.
Tentu saja tidaklah mungkin jika satu orang wanita saja akan cukup untuk menyampaikan perkara-perkara hukum yang penting kepada kaum muslimat. Itulah sebabnya, di sekeliling Rasulullah harus ada beberapa wanita yang dekat dengan beliau. Mereka itulah yang "bertugas" memperhatikan semua tindakan Rasulullah Saw. yang memiliki nilai syariat untuk kemudian menyampaikannya kepada umat Islam. Jadi, praktik poligami yang dilakukan Rasulullah semata-mata adalah tuntutan syariat yang tidak bisa ditolak dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan hasrat biologis beliau. Kalau bukan karena alasan misi beliau sebagai rasul, tidaklah mungkin Rasulullah mau memikul beban berat beristri lebih dari satu.
Selain berperan sebagai penyambung hubungan antara Rasulullah dengan kabilah mereka masing-masing, istri-istri Rasulullah juga memegang peran penting untuk menjaga ratusan atau bahkan ribuan hadits Rasulullah Saw. Saat ini saya dapat menyatakan dengan tegas bahwa sesungguhnya dunia wanita muslimah berhutang banyak kepada istri-istri Rasulullah. Seandainya saja para istri Rasulullah itu tidak pernah ada, maka pastilah wanita muslimah saat ini akan kehilangan sebagian besar hak mereka.
Sebagaimana yang telah disebutkan di atas, tidaklah mungkin Rasulullah melakukan poligami untuk melampiaskan birahi. Sebab benar-benar tidak masuk akal jika seorang laki-laki yang telah berusia lima puluh tiga tahun dan tinggal di negeri panas seperti semenanjung Arab, merasa perlu menikah dengan beberapa orang wanita sekaligus. Rasulullah juga tidak mungkin berpoligami demi memenuhi hasrat biologis beliau semata, karena beliau menjalani kehidupan sebagai orang miskin yang sengsara. Bahkan para istri Rasulullah yang telah mengetahui hal itu, tapi mereka tetap rela menjadi istri beliau. Rasulullah sangat adil memperlakukan mereka. Dalam giliran bermalam, tak ada satu pun istri beliau yang mendapat jatah lebih dari semalam dalam sepekan. Tapi waktu yang sedikit itu rupanya telah cukup bagi mereka untuk mengetahui bahwa Rasulullah adalah sosok yang berwajah tampan dan cerah sebagaimana pula beliau adalah sosok yang sangat lembut dalam mempergauli istri.
Mungkin Anda bertanya: apakah istri-istri Rasulullah itu tidak pernah marah atau kesal disebabkan ketiadaan makanan yang terkadang terjadi berhari-hari, atau disebabkan kekurangan pakaian yang mereka alami?
Semua orang yang pernah membaca literatur sirah Rasulullah pasti mengetahui bahwa semua istri Rasulullah selalu rela menjalani hidup dengan Rasulullah walau dengan kondisi sepahit apapun juga.
Dengan segala wibawa dan perbawa yang beliau miliki, Rasulullah adalah sosok yang sangat lembut dan penuh perhatian terhadap istri-istri beliau. Dalam hubungannya dengan para istri, seakan-akan ada tirai tipis dalam kehidupan Rasulullah. Tirai itu muncul disebabkan hubungan beliau dengan Allah dan atmosfer yang tercipta dari hubungan itu dalam posisi beliau sebagai nabi. Apalagi di saat yang sama, walau bagaimanapun juga istri-istri Rasulullah adalah bagian dari umat beliau. Rasulullah tentu tidak dapat mengisi ruang dalam hatinya yang hanya layak untuk menjadi "tempat persemayaman" Allah dan menggantikan posisi-Nya dengan istri-istri beliau. Bahkan kalau pun Rasulullah sangat sempurna dalam mempergauli istri-istrinya, namun mereka tetap tidak akan pernah menggantikan Allah di hatinya.
Rasulullah Saw. menikahi Saudah binti Zam'ah di Mekah. Atau dengan kata lain, Saudah adalah istri kedua beliau. Tapi karena sesuatu hal, suatu ketika Rasulullah berniat menceraikan Saudah. Ketika mendengar berita itu, Saudah pun terkejut bukan kepalang dan langsung mengirim orang untuk menyampaikan pesannya kepada Rasulullah. Saudah berpesan: "Wahai Rasulullah, aku sama sekali tidak menginginkan dunia. Yang kuinginkan hanyalah kelak aku dibangkitkan di Hari Kiamat di antara istri-istrimu sehingga aku dapat memiliki pahala seperti yang mereka miliki." Selain menyampaikan pesan itu, Saudah juga menyerahkan hari gilirannya kepada Aisyah r.a.[6]
Rasulullah pun mengabulkan permintaan Saudah r.a. dan mengurungkan niat beliau untuk menceraikannya. Seperti itulah kedudukan Rasulullah di hati istri-istri beliau. Kalau saja Rasulullah sampai hati menceraikan salah seorang istri beliau, saya yakin istri yang beliau ceraikan itu akan terus menanti permaafan Rasulullah hingga akhir hayatnya.
Ketika Hafshah sempat mengeluh kepada Rasulullah Saw., beliau membalas keluhan itu dengan berkata: "Kalau dia mau, aku bersedia menceraikannya." Sepotong kalimat yang diucapkan Rasulullah itu pun kontan mengubah Hafshah r.a. seratus delapan puluh derajat. Beberapa orang utusan dari keluarga Hafshah r.a. berdatangan menemui Rasulullah untuk memohon agar beliau tidak melanjutkan niat untuk menceraikan wanita itu. Bahkan para utusan itu menyatakan bahwa Hafshah r.a. adalah wanita yang salehah dan taat beribadah. Rasulullah pun mengabulkan permintaan keluarga Hafshah r.a. dan mengizinkan wanita salehah itu untuk tetap menjadi salah satu di antara istri-istri beliau.[7]
Demikianlah, para istri Rasulullah memang menganggap perceraian dengan Rasulullah sebagai musibah yang lebih menyakitkan daripada kematian. Perasaan seperti ini dirasakan oleh semua istri Rasulullah Saw. tanpa kecuali. Hal itu dapat terjadi karena Rasulullah telah mengambil tempat khusus di dalam hati mereka yang tidak mungkin digantikan dengan siapapun juga. Bagi mereka, Rasulullah telah menjadi belahan jiwa sehingga mereka merasa tidak dapat hidup tanpa beliau. Rasulullah melewati hari-hari bersama mereka dengan menjalani sebuah kehidupan yang fitri, suci, dan apa adanya dalam kehangatan akhlak yang lembut, santun, dan tidak dibuat-buat. Bahkan para istri Rasulullah meyakini bahwa hidup tanpa Rasulullah adalah bagaikan hidup tanpa udara yang akan membuat dada mereka sesak sulit bernapas.
Anda mungkin menganggap saya berlebihan dalam melukiskan posisi Rasulullah Saw. di mata para istri beliau. Tapi semua pernyataan saya di atas ternyata benar-benar terbukti setelah Rasulullah wafat.
Peristiwa mangkatnya Rasulullah Saw. adalah peristiwa paling memilukan bagi para istri beliau. Tampak jelas di mata para sahabat betapa para Ummahât al-Mukminîn itu mendadak menjadi seperti anak-anak ayam yang kehilangan induknya. Abu Bakar r.a. dan Umar r.a. yang menyadari betul akan hal itu terkadang menyambangi mereka untuk melipur lara. Tapi setiap kali Abu Bakar dan Umar mendatangi salah seorang Ummahât al-Mukminîn, yang mereka lihat adalah seorang wanita yang tenggelam dalam tangis duka, sehingga alih-alih menghibur, kedua sahabat karib Rasulullah itu justru lebih sering ikut menangis bersama Umm al-Mukminîn yang mereka datangi.
Tapi tenyata bukan hanya satu dua hari atau satu dua pekan para Ummahât al-Mukminîn meratapi kepergian Rasulullah Saw.; mereka terus berduka hingga ajal tiba. Jejak wafatnya Rasulullah tak kunjung menghilang dari kedalaman hati istri-istri beliau. Meski sebagian besar istri Rasulullah sebenarnya tidak pernah melewati banyak waktu bersama beliau, namun Rasulullah telah menjadi mata air bagi kehidupan mereka. Poin inilah yang ingin saya tunjukkan kepada Anda, yaitu bahwa sebagai seorang kepala keluarga, Rasulullah juga telah menunjukkan bukti bahwa beliau memang benar-benar seorang utusan Allah.
Rasulullah melewati tahun-tahun terakhir beliau di Madinah bersama sembilan orang istri yang mendampingi beliau. Dalam rumah tangga yang luar biasa itu, Rasulullah mampu mengatur semua istrinya sedemikian rupa sehingga tidak pernah ada pertikaian serius di antara istri-istri beliau. Rasulullah adalah seorang kepala rumah tangga yang lembut dan begitu dicintai oleh semua anggota keluarga.
Beberapa hari sebelum berpulang ke rahmatullah, Rasulullah berkhutbah di hadapan umat Islam yang sebagian isinya berbunyi: "Sesungguhnya Allah telah mempersilakan seorang hamba untuk memilih antara dunia dan apa yang ada di sisi-Nya. Maka si hamba itu memilih apa yang ada di sisi-Nya."
Ketika mendengar kalimat itu, Abu Bakar r.a. yang memang memiliki kecerdasan di atas rata-rata, langsung menangis tersedu-sedu.[8] Rupanya sahabat karib Rasulullah itu mengetahui bahwa hamba yang disebut-sebut Rasulullah itu sebenarnya tidak lain adalah Rasulullah sendiri.
Dan ternyata memang itulah yang terjadi...
Setelah khutbah itu, sakit yang diderita Rasulullah semakin parah. Kekasih Allah itu mulai merasakan nyeri yang luar biasa di kepalanya. Meski di tengah sakit itu Rasulullah tetap menunjukkan kelembutan beliau dengan meminta izin kepada mereka untuk menetap di kediaman Aisyah r.a. karena beliau tidak sanggup lagi mendatangi mereka seperti biasa. Setelah para Ummahât al-Mukminîn memberi izin kepada beliau untuk menetap di kediaman Aisyah, baru Rasulullah Saw. menghabiskan hari-hari terakhirnya bersama istri beliau yang adalah juga putri dari sahabat karibnya itu.[9]
Ya. Seperti itulah keteguhan Rasulullah dalam menjaga perasaan dan hak istri-istri beliau, termasuk pada saat-saat tersulit dalam kehidupan beliau. Seperti itulah sosok Rasulullah yang santun dan berakhlak sempurna.
b-Nilai-nilai Luhur yang Diajarkan Rasulullah kepada Istri-istri Beliau
Tidak ada manusia lain dalam sejarah manusia yang dapat menandingi keberhasilan Rasulullah dalam menanamkan nilai-nilai luhur kepada istri-istri beliau. Jika pada suatu malam Rasulullah ingin menyambangi salah seorang Ummahât al-Mukminîn untuk menanyakan sesuatu, beliau selalu terlebih dulu mendatangi semua istri beliau sehingga tidak ada pembedaan antara mereka dan masing-masing istri merasa bahwa mereka memiliki tempat istimewa di hati beliau. Tidak pernah sekalipun Rasulullah membebani istri-istrinya dengan sesuatu yang di luar kemampuan mereka, dan setiap kali Rasulullah membagikan sesuatu, maka beliau akan melakukannya dengan sangat adil. Tapi meski telah bersikap adil, beliau selalu berdoa kepada Allah: "Wahai Allah, inilah yang dapat kubagikan kepada istri-istriku dari apa yang kumiliki. Maka janganlah kau mencerca diriku disebabkan apa yang Kau miliki dan tidak kumiliki."[10]
Betapa indahnya kelembutan Rasulullah ini...
Sekarang saya ingin bertanya apakah Anda pernah bersikap seperti Rasulullah ketika Anda berinteraksi dengan anak-anak anda?
Perkenankan saya untuk menjawab pertanyaan itu dengan "tidak". Sebab kita adalah orang-orang yang mengira bahwa jika kita dapat bersikap serius setiap saat, maka itu menunjukkan keteguhan pendirian kita. Atau bahkan jangan-jangan kita justru selalu bersikap bangga dengan semua yang kita lakukan itu, padahal dulu Rasulullah selalu memohon ampun kepada Allah jika terbersit sesaat saja perasaan di dalam benak beliau untuk lebih mencintai salah satu di antara istri-istri beliau.
Cinta Rasulullah yang amat besar itulah yang kemudian merasuk ke dalam hati para Ummahât al-Mukminîn, sehingga membuat perpisahan dengan Rasulullah menjadi terasa begitu menyakitkan menyayat kalbu. Seandainya saja Islam tidak melarang tindakan bunuh diri, bisa jadi para istri Rasulullah akan melakukan hal itu. Karena setelah kepergian Rasulullah, dunia di mata para Ummahât al-Mukminîn hanya menjadi tempat bersemayamnya segala nestapa dan duka lara.
Selain bersikap lembut dan santun terhadap istri-istrinya, Rasulullah juga selalu bersikap santun kepada semua wanita lainnya. Rasulullah bahkan selalu berpesan kepada umat Islam untuk memperlakukan wanita dengan baik sebagaimana yang telah beliau lakukan di sepanjang hidup beliau. Sikap seperti inilah yang termaktub dalam sebuah hadits riwayat Imam al-Bukhari sebagai berikut:
Diriwayatkan dari Muhammad ibn Sa'd, dari ayahnya yang bernama Sa'd ibn Abi Waqqash r.a., dia menuturkan:
Pada suatu ketika Umar ibn Khaththab r.a. datang memohon izin menghadap Rasulullah Saw. Kebetulan pada saat itu Rasulullah tengah bersama beberapa orang wanita Quraisy yang bertanya mengenai berbagai macam persoalan. Suara para wanita itu begitu riuh hingga menenggelamkan suara Rasulullah. Ketika Umar datang, para wanita itu pun buru-buru beringsut ke balik tabir sehingga membuat Rasulullah tertawa. Demi melihat sang Rasul tertawa, Umar yang baru masuk langsung berkata: "Allah telah membuatmu tertawa wahai Rasulullah, tapi demi ayah ibuku kenapa kau tertawa seperti itu?"
Rasulullah menjawab: "Aku terkejut karena begitu mendengar suaramu, para wanita yang semula berada di depanku itu langsung beringsut ke balik tabir."
Umar pun menyahut: "Padahal engkau jauh lebih harus mereka segani wahai Rasulullah."
Lalu Umar mengarahkan pandangannya ke arah tirai seraya berkata: "Hai wanita-wanita yang telah menjadi musuh bagi dirinya sendiri, kenapa kalian segan padaku sementara kalian tidak segan kepada Rasulullah?"
Wanita-wanita itu menjawab: "Karena perangaimu jauh lebih kasar dibandingkan Rasulullah!"[11]
Sebenarnya, Umar ibn Khaththab r.a. bukankah sosok yang kasar, sebab semenjak masuk Islam Umar dikenal sangat santun terhadap wanita. Hanya saja, karena pada saat itu Umar disandingkan dengan Rasulullah yang memiliki kesantunan sempurna, maka Umar menjadi terkesan kasar. Hal ini serupa dengan seandainya Nabi Yusuf as. disandingkan dengan seorang pemuda tampan; pastilah ketampanan pemuda itu akan menjadi terlihat jelek. Jadi ucapan para wanita yang menyatakan bahwa Umar berperangai kasar menjadi relatif sebab tidaklah mungkin ada orang yang dapat dibandingkan dengan Rasulullah sang Insan Kamil. Pada saat itu para wanita tersebut sedang berbincang dengan Rasulullah yang berperangai lembut, tapi tiba-tiba saja Umar muncul. Tentu saja hal itu akan membuat Umar menjadi terkesan kasar. Padahal di masa mendatang, setelah Umar ditunjuk sebagai khalifah, dia selalu menjadi teladan yang menggantikan posisi Rasulullah sebagai pemimpin umat. Umar menjadi sosok pencari kebenaran yang tangguh sehingga dia menjadi laksana pedang yang dengan tegas mampu membedakan antara yang hak dan yang batil. Ketegasan Umar yang telah membuatnya pantas menjabat sebagai khalifah itulah yang rupanya dilihat oleh sementara orang sebagai bentuk perangai kasar.
c-Musyawarah Rasulullah dengan Para Ummahât al-Mukminîn
Semasa hidupnya, Rasulullah biasa berbincang dengan para istri beliau. Bahkan terkadang beliau membahas berbagai persoalan penting dengan mereka. Padahal sebenarnya Rasulullah tidak perlu bertukar pikiran dengan para Ummahât al-Mukminîn, sebab beliau adalah seorang nabi yang menerima wahyu. Tapi rupanya dengan apa yang dilakukannya itu Rasulullah hendak memberi pelajaran kepada umat Islam tentang posisi penting yang dimiliki kaum wanita. Hal ini tentu berkebalikan dengan tradisi jahiliah yang sangat merendahkan wanita, dan Rasulullah memulai semua itu dari rumah beliau sendiri.
Perjanjian Hudaibiyah benar-benar terasa menyakitkan bagi kaum muslimin, sampai-sampai tak ada seorang pun sahabat yang bersedia bangkit dari tempat mereka. Pada saat itu, Rasulullah s.a.w memerintahkan bagi sahabat yang telah berniat untuk umrah agar segera menyembelih hewan kurban yang mereka bawa dan kemudian keluar dari ihram. Tapi rupanya para sahabat sengaja menunda-nunda untuk melaksanakan perintah Rasulullah itu dengan harapan semoga keputusan Rasulullah dapat berubah.
Karena melihat tak seorang sahabat pun yang bergerak dari tempatnya, Rasulullah mengulangi lagi perintah beliau untuk kedua kalinya. Tapi lagi-lagi para sahabat tetap diam di tempat mereka masing-masing. Apa yang dilakukan para sahabat itu bukan pembangkangan terhadap perintah Rasulullah, melainkan sekedar menunjukkan harapan mereka agar ada perubahan yang terjadi. Menurut dugaan mereka, hasil perjanjian Hudaibiyah yang mengharuskan kaum muslim mengurungkan niat mereka berumrah akan dapat berubah sebelum hasil perjanjian tersebut benar-benar dilaksanakan.
Ketika melihat para sahabat enggan memenuhi perintahnya, Rasulullah pun akhirnya masuk ke dalam tenda beliau dan meminta saran kepada Ummul Mukminîn Umm Salamah r.a. yang dikenal cerdas. Maka Umm Salamah pun menyampaikan pendapatnya demi menghormati Rasulullah yang telah meminta saran darinya. Padahal Umm Salamah tentu tahu Rasulullah sebenarnya tidak membutuhkan saran apa-apa dari orang lain. Yang dilakukan Rasulullah pada saat itu adalah untuk memberi pelajaran kepada umat Islam bahwa seorang suami tidak dilarang untuk meminta saran kepada istrinya dalam hal-hal tertentu.
Umm Salamah r.a. berkata: "Wahai Nabiyullah! Apakah menyukai itu. Sebaiknya kau keluar dan jangan kau bicara pada siapapun tapi langsung kau sembelih saja hewan kurbanmu. Setelah itu panggillah orang yang biasa mencukur rambutmu dan bercukurlah."
Dan ternyata memang itulah yang telah dipikirkan Rasulullah. Beliau langsung mengambil pisau, menyembelih kurban yang beliau bawa, dan memangkas rambut. Dan persis seperti yang dikatakan oleh Umm Salamah, para sahabat yang melihat apa yang dilakukan Rasulullah itu langsung bangkit dari tempat mereka untuk menyembelih kurban dan kemudian saling bercukur satu sama lain.[12] Akhirnya para sahabat menyadari bahwa keputusan yang telah dibuat Rasulullah sudah bulat dan tidak dapat diubah lagi.
Sekarang izinkan saya bertanya: Apakah ada di antara Anda yang memperlakukan istri seperti Rasulullah memperlakukan istri-istri beliau? Apakah ada kepala negara yang meminta saran kepada istrinya dalam urusan kenegaraan yang penting? Berapa banyak kepala keluarga yang menjadikan musyawarah dengan istri sebagai prinsip dalam berumah tangga?
Dan masih ada sederet pertanyaan lain yang dapat kita temukan untuk kemudian kita sampaikan kepada semua lapisan masyarakat. Ada baiknya penjelasan ini didengar oleh sementara kalangan yang memiliki pemikiran keliru karena menganggap bahwa Islam mengekang kebebasan wanita. Selain Islam, apakah ada agama yang begitu menghormati kaum wanita?
Sebagaimana semua perkara baik lainnya, prinsip musyawarah juga telah diletakkan Rasulullah di dalam rumah beliau sendiri. Rasulullah tak segan untuk bermusyawarah dengan para Ummahât al-Mukminîn. Tampaknya kita belum bisa mencapai derajat setinggi Rasulullah karena kita belum mengetahui bagaimana membuka pintu rahasia yang satu ini. Bahkan mungkin kita belum bisa mengetuk pintu rahasia itu.
Hingga saat ini, kaum wanita masih menjadi warga kelas dua, Tak terkecuali di antara kalangan yang menyatakan diri sebagai pembela hak-hak wanita. Sementara umat Islam selalu memandang wanita sebagai separuh bagian dari satu kesatuan. Wanitalah setengah bagian yang akan membuat setengah bagian lain tidak akan berguna jika ia tak ada. Ketika kedua setengah bagian itu berpadu, barulah umat manusia yang utuh dapat terbentuk. Tanpa adanya salah satu dari kedua setengah bagian itu, maka umat manusia pasti tidak akan pernah ada. Bahkan para nabi dan bangsa-bangsa di dunia tidak akan pernah ada.
Demikianlah Rasulullah selalu bersikap lembut terhadap para wanita. Terdapat begitu banyak sabda beliau yang menyerukan hal itu. Dalam salah satu haditsnya Rasulullah bersabda: "Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya. Yang paling baik di antara kalian adalah yang paling sikapnya terhadap wanita."[13]
Singkatnya, perjuangan pembelaan terhadap hak kaum perempuan –jika memang benar demikian- yang terjadi dalam sejarah manusia telah dimulai dari masa Rasulullah Saw.
d-Peristiwa Takhyîr
Yang dimaksud peristiwa Takhyîr (pemilihan) adalah peristiwa ketika Rasulullah Saw. memberi kesempatan kepada para Ummahât al-Mukminîn untuk memilih apakah mereka bersedia terus hidup bersama Rasulullah atau tidak. Meski ada beberapa hal yang melatarbelakangi terjadinya peristiwa ini, namun kita dapat menyimpulkan secara singkat bahwa peristiwa ini sebenarnya merupakan perintah Allah Swt. Sebuah ayat al-Qur`an membicarakan masalah ini secara khusus: "Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu: 'Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan kepada kalian mut`ah dan aku ceraikan kalian dengan cara yang baik. Dan jika kamu sekalian menghendaki (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya serta (kesenangan) di negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik di antaramu pahala yang besar." (QS al-Ahzâb [33]: 28-29).
Semuanya bermula ketika beberapa Ummahât al-Mukminîn meminta tambahan nafkah dari Rasulullah Saw. Rupanya para istri Rasulullah itu berpikir kenapa mereka tidak boleh sedikit menikmati kesejahteraan seperti yang dirasakan umat Islam lainnya. Apakah tidak boleh jika mereka mendapatkan jatah sepotong roti kering setiap hari atau mendapatkan pakaian yang lebih layak pakai?
Meskipun sebenarnya apa yang diminta para Ummahât al-Mukminîn itu sangat wajar dan halal, tapi rupanya mereka lupa bahwa mereka adalah anggota keluarga dari sebuah rumah tangga yang akan dikenang sampai Hari Kiamat dan akan dijadikan teladan bagi seluruh umat Islam di sepanjang sejarah. Itulah sebabnya, mereka tidak boleh melakukan hal-hal yang sebenarnya wajar bagi muslimah lain. Para Ummahât al-Mukminîn adalah wanita-wanita paling dekat di sisi Rasulullah, maka beberapa hal tertentu yang dianggap baik ketika dilakukan orang lain dapat menjadi buruk ketika mereka lakukan.
Disebabkan permintaan itu, Rasulullah pun menanggapi hal itu dengan serius. Beliau menjatuhkan hukuman i'tizal (pisah ranjang) terhadap istri-istri beliau dan beliau bersumpah tidak akan mencampuri mereka selalu satu bulan dan beliau menyepi di beranda rumah.
Berita tentang apa yang dilakukan Rasulullah pun menyebar dengan sangat cepat. Tiba-tiba saja umat Islam berduka. Beberapa orang sahabat berduyun-duyun mendatangi Masjid Nabawi sambil menangis. Para sahabat memang selalu menangis ketika Rasulullah dirundung masalah. Sekecil apapun kesulitan yang terjadi di tengah keluarga Rasulullah yang sampai ke telinga para sahabat, mereka pasti akan meratapinya sebagai musibah bagi umat Islam.
Itulah yang terjadi pada saat itu. Dalam sejarah Islam, peristiwa ini juga dikenal dengan sebutan peristiwa al-Îlâ` disebabkan apa yang dilakukan Rasulullah Saw. Ada pula orang-orang yang memandang peristiwa ini dari sisi yang lain.
Tersebutlah Abu Bakar r.a. dan Umar ibn Khaththab r.a. ikut tersedot ke dalam pusaran peristiwa ini, sebab mereka berdua memiliki putri yang dinikahi Rasulullah Saw. Itulah sebabnya, ketika mereka mendengar apa yang terjadi, keduanya buru-buru mendatangi Masjid Nabawi untuk bergabung dengan para sahabat yang lain.
Sebenarnya ketika Abu Bakar dan Umar ibn Khaththab baru tiba di Masjid Nabawi mereka sempat memohon izin untuk menemui Rasulullah. Tapi rupanya beliau tidak berkenan mengizinkan keduanya menghadap, sehingaa akhirnya Abu Bakar dan Umar pun ikut bergabung dengan para sahabat lain.
Namun setelah beberapa saat menunggu di dalam masjid, Abu Bakar dan Umar ibn Khaththab kembali meminta izin untuk menghadap Rasulullah. Setelah tiga kali Abu Bakar dan Umar memohon untuk menghadap, barulah Rasulullah mengizinkan mereka untuk masuk ke tempat beliau. Nyaris saja kedua sahabat itu mencengkeram putri mereka masing-masing seandainya Rasulullah tidak bersabda: "Seperti yang kalian lihat, para wanita yang ada di sekelilingku itu meminta tambahan nafkah dariku."[14] Sementara al-Qur`an telah menyatakan: "Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain..." (QS al-Ahzâb [33]: 32).
Kaum muslim yang lain mungkin cukup dan akan selamat dunia akhirat jika sudah menunaikan kewajiban. Tapi tidak demikian dengan mereka yang berada di pusat orbit umat Islam; mereka yang mengetahui begitu banyak rahasia yang harus mereka tebus dengan pengorbanan agar bagian poros umat tidak lemah.
Adalah benar jika dikatakan bahwa para Ummahât al-Mukminîn memiliki banyak segi positif dalam hidup mereka. Tapi semua itu tentu dibarengi dengan tanggung jawab yang berat. Rasulullah sengaja membentuk mereka agar dapat menjadi suri teladan bagi umat dan agar mereka tidak terkena apa yang dinyatakan di dalam ayat: "...Kamu telah menghabiskan rezkimu yang baik dalam kehidupan duniawimu..." (QS al-Ahqâf [46]: 20). Rasulullah selalu berupaya menyelamatkan istri-istri beliau dari ketergelinciran seperti yang disebutkan dalam ayat ini. Dalam rumah tangga Rasulullah kehidupan terasa begitu sulit jika dilihat dari sisi tertentu. Disebabkan kesulitan itulah terkadang ada tuntutan yang tercetus begitu saja. Padahal posisi para Ummahât al-Mukminîn tidaklah sama dengan para wanita muslimah lainnya, sebab kedudukan sebagai istri Rasulullah memang mengandung tanggung jawab yang tidak ringan. Para istri Rasulullah tidak dapat tertawa semudah para muslimah biasa, sebagaimana mereka juga tidak dapat makan seperti para muslimah yang lain. Hal seperti itu tentu sangat wajar dijalani oleh para istri Rasulullah, sebab bukankah kita tahu bahwa di antara para ahli zuhud ada di antara mereka yang nyaris tidak pernah tertawa sepanjang tahun? Bahkan ada di antara mereka yang sama sekali tidak pernah merasakan kenyang seumur hidup?
Salah seorang sahabat Fudhail ibn Iyadh berkata: "Selama tiga puluh tahun aku bergaul dengan Fudhail ibn Iyadh, tak pernah sekali pun aku melihatnya tertawa atau tersenyum kecuali hanya pada hari ketika putranya yang bernama Ali wafat. Ketika aku bertanya kepadanya tentang hal itu, ia menjawab: 'Sesungguhnya Allah menyukai sesuatu. Maka aku tentu menyukai sesuatu yang disukai Allah itu'."[15]
Jadi jika seorang ulama besar saja berperilaku seperti itu, maka adalah wajar jika para Ummahât al-Mukminîn memiliki perilaku yang berbeda dengan orang kebanyakan.
Tidaklah mudah untuk dapat mencapai derajat atau martabat kelayakan bersahabat dengan Rasulullah s.a..w. baik di dunia maupun di akhirat. Itulah sebabnya, para istri Rasulullah –sebagaimana yang dinyatakan oleh ayat al-Qur`an- harus melewati sekian banyak ujian yang berat.
Rasulullah mempersilakan mereka untuk memilih apakah mereka bersedia menjalani hidup bersama beliau dalam kemelaratan dan kesulitan materi, ataukah mereka memilih berpisah dari beliau untuk menikmati gemerlap kehidupan dunia. Seandainya mereka memilih dunia, Rasulullah bersedia memberi mereka kesenangan dunia dan kemudian menceraikan mereka. Tapi jika mereka memilih Allah dan rasul-Nya, maka mereka harus rela menjalani hidup bersama Rasulullah dengan keadaan yang seperti apapun juga. Rumah tangga Rasulullah adalah sebuah rumah tangga yang istimewa, maka tentu amatlah wajar jika para penghuninya adalah pribadi-pribadi yang juga istimewa.
Pada peristiwa itu, wanita pertama yang diajak bicara oleh Rasulullah Saw. adalah Aisyah r.a. Beliau bersabda: "Wahai Aisyah, aku akan mengingatkanmu tentang sesuatu, tapi jangan kau terburu-buru menanggapinya sebelum kau meminta saran kepada terlebih dulu kepada kedua orang tuamu."
Rasulullah kemudian merapalkan ayat al-Qur`an yang berbunyi: "Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu: 'Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan kepada kalian mut`ah dan aku ceraikan kalian dengan cara yang baik. Dan jika kamu sekalian menghendaki (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya serta (kesenangan) di negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik di antaramu pahala yang besar." (QS al-Ahzâb [33]: 28-29).
Setelah mendengar pertanyaan Rasulullah itu, Aisyah pun menyahut: "Apakah untuk urusan seperti ini aku harus bertanya kepada kedua orang tuaku? Aku tentu saja menginginkan Allah, Rasulullah, dan akhirat."
Ketika meriwayatkan hadits ini Aisyah r.a. berkata: "Kemudian para istri Rasulullah yang lain juga melakukan seperti yang kulakukan."[16]
Demikianlah akhirnya semua jawaban yang diberikan para Ummahât al-Mukminîn sama dengan jawaban Aisyah r.a. Bagaimana tidak?! Sementara jiwa dan raga mereka semua telah berkelindan dengan Rasulullah Saw. Para wanita istimewa itu tak mungkin memiliki jawaban lain. Bahkan seandainya pun Rasulullah memerintahkan agar mereka semua berpuasa seumur hidup, pastilah mereka takkan ragu untuk memenuhi perintah itu dan melaksanakannya dengan senang hati.
Di antara istri-istri Rasulullah Saw. ada beberapa wanita yang semula hidup bergelimang harta. Shafiyah r.a. adalah salah satu di antaranya. Pernikahan Shafiyah dengan Rasulullah bermula ketika Shafiyah yang merupakan anak dan juga istri dari dua orang pembesar Khaibar ditinggal mati oleh ayah dan suaminya dalam Perang Khaibar. Seusia perang, Shafiyah pun berstatus budak tawanan perang. Tentu saja, kehidupan sebagai tawanan terasa amat sulit baginya yang biasa hidup senang. Dan tidak diragukan lagi, bagi Shafiyah Rasulullah adalah manusia yang paling dibenci olehnya. Tapi kebencian Shafiyah itu tiba-tiba hilang begitu saja ketika dia melihat langsung rupa dan perangai Rasulullah Saw.[17]
Ya. Di dalam keluarga besar Rasulullah memang ada beberapa wanita yang memiliki latar belakang seperti Shafiyah r.a. Mereka rela menjalani kehidupan di sebuah rumah tangga yang tidak pernah memberi kesempatan bagi perut mereka untuk kenyang, setelah sebelumnya mereka hidup dalam kesenangan. Wanita seperti Shafiyah rela bergabung dengan para Ummahât al-Mukminîn untuk menjalani kehidupan bersama Rasulullah dengan segala bentuk kefakiran yang menghimpit. Tapi rupanya akhlak Rasulullah telah membuat mereka rela menjalani cobaan seberat apapun juga, dan bahkan membuat mereka menjadikan hidup bersama Rasulullah sebagai tujuan hidup mereka.
Shafiyah r.a. tumbuh sebagai seorang wanita Yahudi. Pada suatu hari, dua orang istri Rasulullah memanggilnya dengan panggilan yang bernada menghina: "Hai anak Yahudi!" Shafiyah pun langsung mengadukan peristiwa itu kepada Rasulullah Saw.
Dengan tenang Rasulullah melipur hati Shafiyah r.a. dengan berkata: "Kenapa kau tidak menyahut kepada mereka berdua: 'Bagaimana mungkin kalian lebih baik dibandingkan aku sementara suamiku adalah Muhammad, ayahku adalah Harun, dan pamanku adalah Musa?"[18]
Setelah mendengar ucapan Rasulullah, Shafiyah pun beranjak meninggalkan beliau dengan hati senang dan mata berbinar-binar. Semua itu dapat terjadi karena dia memiliki suami Muhammad Saw. Entah berapa kali Rasulullah menghibur Shafiyah seperti itu.
Terakhir, saya ingin menyatakan bahwa Rasulullah adalah suri teladan terbaik bagi semua kepala keluarga. Sikap dan perlakuan Rasulullah terhadap istri-istri beliau yang begitu santun dan indah, serta kecintaan para Ummahât al-Mukminîn yang begitu besar terhadap beliau, sudah lebih dari cukup untuk menunjukkan bahwa beliau memang teladan paling sempurna bagi kita. Rasulullah selalu menjadi orang yang paling dicintai istri-istrinya dan sekaligus menjadi guru bagi akal mereka serta menjadi murabbi bagi jiwa mereka. Hebatnya, ketika Rasulullah memainkan peran sebagai kepala keluarga yang sempurna di rumah, tidak sedikit pun beliau melalaikan kewajiban beliau sebagai kepala negara. Tentu saja hal ini menjadi bukti kebenaran nubuwwah yang beliau emban. Seandainya saja tidak pernah ada bukti lain yang menunjukkan kebenaran beliau sebagai nabi, maka kesempurnaan Rasulullah sebagai kepala keluarga tampaknya sudah lebih dari cukup untuk menjadi bukti yang meyakinkan kita.
[1] Kasyf al-Khafâ`, al-Ajaluni 2/64; al-Fawâid al-Majmû'ah, al-Syaukani, hlm. 286.
[2] Al-Bukhari, al-Hibah, 1; al-Riqâq, 17; Muslim, al-Zuhd, 28.
[3] Lihat: al-Bukhari, al-Maghâzî, 83; Ibnu Majah, al-Janâiz, 65; al-Darami, al-Muqaddimah, 14.
[4] Al-Bukhari, Fardh al-Khams, 1; Muslim, al-Jihâd, 52; Majma' al-Zawâid, al-Haitsami 9/211; al-Thabaqât al-Kubrâ, Ibnu Sa'd 8/29; al-Ishâbah, Ibnu Hajar 4/379.
[5] Lihat ayat: "Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu: 'Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan kepada kalian mut`ah dan aku ceraikan kalian dengan cara yang baik. Tapi jika kamu sekalian menghendaki (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya serta (kesenangan) di negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik di antara kalian pahala yang besar." (QS al-Ahzâb [33]: 28-29).
[6] Al-Bukhari, al-Nikâh, 98; Majma' al-Zawâid, al-Haitsami 9/246.
[7] Abu Daud, al-Thalâq, 38; al-Nasai, al-Thalâq, 76; Ibnu Majah, al-Thalâq, 1; al-Darami, al-Thalâq, 2; Majma' al-Zawâid, al-Haitsami 9/244.
[8] Al-Bukhari, al-Shalâh, 80; Fadhâil Ashhâb al-Nabiy, 3; Muslim, Fadhâil al-Shahâbah, 2.
[9] Al-Bukhari, al-Wudhû`, 4, al-Adzân, 9; Muslim, al-Shalâh, 91-92.
[10] Al-Nasai, 'Isyrat al-Nisâ`, 2; Abu Daud, al-Nikâh, 37, 38; al-Tirmidzi, al-Nikâh, 42; al-Thabaqât al-Kubrâ, Ibnu Sa'd 2/231.
[11] Al-Bukhari, al-Adab, 68; Muslim, Fadhâil al-Shahâbah, 22.
[12] Al-Bukhari, al-Syurûth, 15.
[13] Al-Tirmidzi, al-Radhâ', 11; Abu Daud, al-Sunnah, 15; al-Darami, al-Riqâq, 74.
[14] Al-Musnad, Imam Ahmad 3/328.
[15] Hilyat al-Auliyâ`, Abu Na'im 8/100.
[16] Al-Bukhari, al-Mazhâlim, 24; Muslim, al-Thalâq, 22, 35.
[17] Al-Thabaqât al-Kubrâ, Ibnu Sa'd 2/108.
[18] Al-Tirmidzi, al-Manâqib, 63.
- Dibuat oleh