Fajar Yang Dinanti
Kala itu dunia tengah diliputi kegelapan. Gulita yang di dalamnya terkandung cahaya yang sedang dinanti. Sebuah getaran yang membawa berita gembira tentang seorang nabi baru. Getaran itu terus merambat mengetuk setiap telinga dan relung hati manusia, sampai akhirnya banyak penduduk Mekah yang membincangkan ihwal nabi baru yang sedang ditunggu-tunggu kedatangannya. Mereka saling berkata satu sama lain: “Kalian harus segera menemui nabi itu setelah dia muncul. Bergegaslah kalian temui dia dan berimanlah kepadanya!”[1]
Setiap hati menjadi kecut. Segenap impian bertumpu pada sosoknya: Sang Penutup para Penyelamat. Semua pasangan suami istri mendambakan agar nabi yang dinanti itu berasal dari keturunan mereka, sehingga banyak di antara mereka yang menamai anak mereka dengan “Muhammad.”[2] Tapi sang nabi yang ditunggu kemunculannya itu haruslah berasal dari garis keturunan yang murni seperti emas; dimulai dari Ibrahim as. dan Ismail as. dan berujung pada Abdul Muthallib dan Abdullah. Setiap hati terus menantikan cahaya yang akan menyemburat dari garis nasab itu. Sementara rangkaian peristiwa yang terjadi telah menunjukkan bahwa waktu kelahiran sang Nabi Besar akan segera tiba. Saat-saat fajar merekah akan segera menghapus gelap.
Pada masa itu, manusia sama sekali tidak mampu memberi makna berarti terhadap hidup mereka. Orang-orang kala itu tidak sanggup menentukan tujuan yang akan mereka raih. Singkatnya, tingkah-polah manusia pada saat itu persis seperti yang dikatakan oleh al-Qur`an: “Dan orang-orang yang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun…” (QS al-Nûr (24): 39). Demikian pula halnya perkembangan emosional, pemikiran, dan tatanan sosial yang sama kelamnya: “Atau seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh ombak, yang di atasnya ombak (pula), di atasnya (lagi) awan; gelap gulita yang tindih-bertindih, apabila dia mengeluarkan tangannya, tiadalah dia dapat melihatnya, (dan) barangsiapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah tiadalah dia mempunyai cahaya sedikitpun.” (QS al-Nûr (24): 40).
Masa yang sedang kita bicarakan ini bernama Masa Jahiliah (‘ahd al-jâhiliyyah). Tapi yang dimaksud dengan “al-jâhiliyyah” di sini bukanlah “kebodohan” yang menjadi antonim bagi “pengetahuan”, namun lebih merupakan sebagai sinonim bagi “kekufuran” yang merupakan antonim bagi “iman” atau “keyakinan”.
Saya sama sekali tidak ingin memaparkan di sini, walau sedikit pun, situasi busuk yang terjadi pada Masa Jahiliah ini. Karena saya tidak ingin mengetengahkan ke hadapan Anda, meski hanya sekelumit, sebuah paparan kelam yang menjijikkan. Sebab menurut hemat saya, penjelasan tentang kebatilan pasti akan merusak pikiran. Padahal tindakan merusak pikiran adalah sebuah tindak kejahatan.
Akan tetapi, kita dapat memahami Masa Jahiliah melalui beberapa adat dan tradisi yang berlaku saat itu dengan tujuan agar kita dapat menyadari betapa besarnya karunia yang telah Allah berikan kepada semesta alam serta betapa besarnya rahmat sang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, yang telah mengutus sang Kebanggaan Alam Semesta ke dunia.
Kedatangan Rasulullah Saw. adalah nikmat terbesar yang dianugerahkan Allah kepada alam semesta. Inilah yang ditunjukkan oleh ayat al-Qur`an yang berbunyi: “Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan al-Hikmah…” (QS Ali Imrân (93): 164).
Jadi, silakan Anda lihat betapa besar rahmat, kelembutan, dan kebaikan Allah Swt. ketika Dia mengutus seorang rasul kepada umat manusia yang berasal dari jenis mereka sendiri. Sang Utusan itu dapat merasakan apa yang mereka rasakan; dapat berpikir apa yang mereka pikirkan; menjadi pembimbing dan pemandu di jalan yang dapat menghantarkan mereka kepada Allah.
Jika mereka membutuhkan seorang imam, maka Rasulullah telah menjadi imam bagi mereka. Jika mereka membutuhkan seorang orator, maka beliau telah menjadi sosok orator ulung. Jika mereka membutuhkan seorang pemimpin, maka beliau telah menjadi pemimpin yang mengirimkan beberapa surat kepada para penguasa di kawasan Arab serta menjalin serangkaian perjanjian internasional. Jika mereka membutuhkan seorang panglima perang, maka beliau telah memimpin mereka di garis terdepan peperangan. Bahkan Rasulullah telah menjadi panglima perang paling hebat yang pernah ada.
Ada sebuah kesalahan pada keyakinan orang-orang Nasrani. Mereka meyakini bahwa Allah mengorbankan Isa as. (Yesus) demi menebus “Dosa Asal”[3] manusia. Kaum Nasrani meyakini bahwa Allah –sebagaimana yang mereka nyatakan- telah mengorbankan puteranya, Yesus Kristus, untuk menjadi penebus dosa bagi seluruh umat manusia. Itulah sebabnya –berdasarkan keyakinan yang keliru ini- kemudian Yesus layak disalib di tiang salib. Demikianlah penebusan atas Dosa Asal yang muncul dari Adam as. dan terus diwariskan kepada semua keturunannya. Setiap orang memikul Dosa Asal ini sejak dilahirkan ke dunia. Keyakinan seperti ini tentu salah pada satu sisi dan sesat di sisi yang lain, karena ia dapat ditafsirkan dengan cara yang berbeda-beda kecuali jika memang didapatkan sebuah referensi yang sahih.
Allah telah mengutus ciptaan terbaiknya, Muhammad Saw. sebagai rasul kepada umat manusia dan membuat mereka mencintainya karena Allah memang mengetahui bahwa manusia harus menghadapi berbagai kesulitan. Tujuan dari pengutusan Rasulullah itu adalah agar beliau dapat menyelamatkan manusia dari kesesatan, penyimpangan, dan kelaliman sehingga mereka tidak tersesat jalan untuk kemudian mencapai derajat luhur yang pantas bagi sosok manusia sempurna (al-insân al-kâmil).
Sebagaimana yang dinyatakan oleh seorang penyair sufi Ibrahim Haqi, semua mukmin seyogianya mengenal Allah laksana sebuah harta berharga (kanz) yang bersemayam di dalam hati mereka.
Hati manusia memang dapat menjadi hulu bagi berbagai bentuk “harta berharga”. Oleh sebab itu, Allah, yang tidak mungkin dapat dimuat oleh langit dan bumi, dapat ber-tajalli di dalam hati manusia. Tidak ada satu pun buku, akal, pikiran, filsafat, kefasihan, langit, bumi, dan bahkan semua makhluk di jagad raya yang dapat “melingkupi” Allah Swt. Bahkan tak ada yang mampu untuk mengekspresikan-Nya. Tapi terkadang hati manusia –meski dalam ukuran yang kecil- mampu menjadi interpretator (turjumân) bagi-Nya.
Ya. Rasulullah memang telah diutus kepada umat manusia untuk menjadi pewarta wahyu Allah dan untuk menunjukkan berbagai macam mukjizat kepada mereka, serta untuk mengajarkan kepada manusia siapa sebenarnya Allah.
Dengan keberadaan Rasulullah-lah manusia dapat menyucikan diri dari kekotoran sehingga mereka dapat menjadi suci dan bersih untuk kemudian mereka naik dari martabat dunia-material menuju martabat luhur bagi kehidupan hati-spiritual. Dan memang itulah yang telah terjadi.
Ya. Rasulullah-lah yang mengajarkan “al-kitâb” (Kitab Suci) dan “hikmah” (kebijaksanaan) kepada umat manusia. Di bawah naungan cahaya Kitab Suci dan hikmat kebijaksanaan itu umat manusia akan dapat menemukan hakikat dari kemanusiaannya serta mengarahkan pandangan mereka hanya menuju akhirat untuk kemudian mereka menempuh jalan menuju kehidupan abadi. Dan memang itulah yang telah terjadi.
Di dalam keyakinan kita, ada beberapa hari penting yang mengandung kemuliaan dan berkah tertentu. Sebagian dari hari-hari itu ada yang kita anggap sebagai Hari Raya. Di setiap pekan, kaum mukminin merasakan suka cita hari Jum`at sebagai hari istimewa, dan di setiap tahun kaum mukminin merasakan kegembiraan yang lebih besar ketika tiba Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Idul Adha.
Khusus pada Hari Raya Idul Adha yang dirayakan dalam beberapa hari, kaum muslimin mengingat kembali pengorbanan yang dilakukan oleh Ibrahim as. Pada Hari Raya inilah umat Islam bermunajat kepada Allah dan berdoa dengan setulus hati demi memohon ampunan atas dosa-dosa yang mereka perbuat. Demi mendapatkan ampunan itu, sebagian umat Islam menyambangi Baitullah untuk kemudian menyentuh kain penutupnya. Ketika melakukan wuquf di Arafah, mereka menghadapkan hati mereka kepada Allah dan memohon kepada Allah agar berkenan mengampuni mereka.
Adapun Idul Fitri adalah sebuah Hari Raya penuh berkah yang kaya akan makna. Karena Idul Fitri merupakan wujud ekspresi kegembiraan yang dikecap oleh umat Islam yang hidup di dalam kedekatan dengan ridha Ilahi setelah mereka menunaikan puasa sebulan penuh.
Akan tetapi sebenarnya ada sebuah Hari Raya lain yang dapat dianggap sebagai hari besar bagi seluruh umat manusia; dan bahkan bagi seluruh jagad raya. Hari istimewa itu adalah hari kelahiran Rasulullah Saw. atau yang biasa kita kenal dengan istilah yaum al-mîlâd.[4] Itulah hari ketika Allah menggantungkan lentera “Cahaya Muhammad” (al-Nûr al-Muhammadiy) di atas langit laksana mentari yang bersinar terang.
Ya. Dengan adanya lentera Cahaya Muhammad itulah kegelapan jahiliyah sirna untuk selamanya. Seluruh cahaya semesta berpendar mengikuti geraknya. Cahaya itulah nikmat Allah paling utama dan paling besar yang Dia anugerahkan kepada segenap jin dan manusia.
[1] Al-Sîrah al-Nabawiyyah, Ibnu Hisyam 1/203-204.
[2] Al-Thabaqât al-Kubrâ, Ibnu Sa’d 1/169.
[3] Di kalangan Kristen dosa ini juga dikenal dengan istilah “Dosa Waris”, penerj.
[4] Di Indonesia lebih dikenal dengan istilah “maulid”, penerj.
- Dibuat oleh