Masa Kegelapan
Yang dimaksud dengan ‘masa kegelapan’ adalah setiap masa ketika ajaran tauhid mengalami guncangan. Definisi ini diambil karena ketika keimanan kepada Allah –yang menjadi cahaya bagi langit dan bumi- tidak dapat merasuk ke dalam setiap hati manusia, niscaya kegelapan akan menguasai jiwa mereka sehingga hati manusia akan menghitam. Tentu saja, hati yang kelam seperti itu takkan mampu memandang jernih apapun juga. Hati yang gelap akan lamur dan takkan bisa melihat jelas sehingga membuat setiap orang yang memilikinya akan hidup bagaikan kelelawar di tengah dunia yang gulita.
Pada masa ketika semua pondasi keberagamaan goyah seperti sekarang ini dan semua agama samawi mulai disimpangkan oleh para pemeluknya, hanya tersisa sedikit orang yang masih mengesakan Allah Swt. dan beriman kepada-Nya. Itupun tanpa mereka mengerti tentang sifat dan nama-nama baik (al-asmâ` al-husnâ) yang dimiliki Allah Swt., sehingga hal itu membuat mereka tidak mengetahui cara menunaikan ibadah di hadapan Allah Swt.
1-Penglihatan Orang-orang Buta
Pada masa jahiliyah, orang-orang musyrik menyembah patung dan berhala yang mereka letakkan di Ka’bah. Mereka bangga dengan penyembahan seperti itu karena mereka menemukan kesenangan di dalamnya. Sementara itu, beberapa di antara mereka yang memiliki sedikit ilmu berdalih bahwa mereka menyembah berhala demi mendekatkan diri kepada Allah Swt.
Al-Qur`an mengabadikan ucapan mereka dalam ayat yang berbunyi: “…Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya…” (QS al-Zumar (39): 3).
Demikianlah. Pada masa jahiliyah, naluri untuk beribadah yang bersemayam di dalam fitrah maunsia sebagai amanat Tuhan telah dikhianati dan disalahgunakan. Bagaimana mungkin manusia yang mulia menyembah batu, pohon, abu, matahari, bulan, atau bintang? Bahkan ada di antara kaum jahiliyah yang menyembah makanan yang mereka buat sendiri dari bahan manisan dan keju, yang setelah disembah, tuhan itupun dimakan oleh para penyembahnya!
Al-Qur`an menuturkan perilaku dan jalan pemikiran yang aneh ini dalam ayat: “Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfa`atan, dan mereka berkata: ‘Mereka itu adalah pemberi syafa`at kepada kami di sisi Allah’. Katakanlah: ‘Apakah kamu mengabarkan kepada Allah apa yang tidak diketahui-Nya baik di langit dan tidak (pula) di bumi?’ Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka mempersekutukan (itu).” (QS Yunus (10): 18).
Allah berfirman: “Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): ‘Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya’. Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar.” (QS al-Zumar (39): 3).
Tapi ada satu alasan lagi yang sering dilontarkan kaum jahiliyah untuk membela keyakinan mereka yang sesat, yaitu dengan menyatakan bahwa mereka begitu saja mewarisi keyakinan itu dari nenek moyang mereka: “Dan apabila dikatakan kepada mereka: ‘Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,’ mereka menjawab: ‘(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami.’ (Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?” (QS. Al-Baqarah (2): 170).
2-Para ‘Kuntum Bunga’ yang Dikubur Hidup-hidup
Salah satu kebusukan masa jahiliyah yang disebutkan oleh al-Qur`an adalah yang dinyatakan dalam ayat: “Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” (QS al-Nahl (16): 58-59).
Ya. Pada masa jahiliyah, setiap kali seorang ayah diberitahu tentang kelahiran seorang anak perempuan, ia akan langsung memberengut dengan wajah merah-padam disebabkan malu tak terkira yang tidak akan bisa ditutupi dari orang banyak. Sedemikian buruknya berita kelahiran seorang bayi perempuan pada masa itu, sampai-sampai seorang ayah akan memilih untuk bunuh diri daripada harus memikul aib. Ketika seorang ayah mendapatkan bayi perempuan, maka ia harus memilih satu di antara dua pilihan yang sama-sama sulit: membiarkan anak perempuannya hidup sambil terus hidup dengan arang mencoreng wajahnya, ataukah dia akan membersihkan aib itu dengan menguburkan anaknya hidup-hidup?!
Separah itulah tingkat kehinaan kaum wanita pada masa jahiliyah. Dan perlakuan buruk terhadap wanita pada masa itu bukan hanya terjadi di kalangan Arab jahiliyah, melainkan juga terjadi di kekaisaran Romawi dan Persia. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa apa yang kemudian dilakukan Islam yang mengubah kedudukan wanita di kalangan Arab jahiliyah, adalah sesuatu yang luar biasa bagi semua wanita di seluruh dunia.
Ya. Al-Qur`an adalah pihak pertama yang berdiri tegak melawan kebuasan peradaban jahiliyah dengan mengharamkan tindakan pembunuhan terhadap bayi perempuan walau apapun dalih yang digunakan. Al-Qur`an berkata: “…dan janganlah kalian membunuh anak-anak kalian karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rezeki kepada kalian dan kepada mereka…” (QS al-An’âm (6): 151).
Lewat ayat itu seakan Allah berfirman kepada masyarakat jahiliyah: “Kenapa kalian membunuh anak-anak kalian sendiri?! Padahal Akulah yang akan memberi rezeki kepada kalian dan mereka… Tidakkah kalian melihat bahwa seluruh permukaan bumi dipenuhi dengan hidangan yang dapat kalian santap? Tidakkah kalian melihat langit terus bergerak untuk melayani kalian, dengan awan yang berarak menurunkan hujan dan salju sebagai sumber kehidupan? Lihatlah berjuta ragam tanaman yang tumbuh di bumi. Siapakah kiranya yang menumbuhkan semua itu selain Aku?! Jika kalian telah melihat semua itu, maka naluri durjana macam apakah kiranya yang telah membuat kalian takut tak kebagian rezeki sehingga kalian sampai hati membunuh anak-anak kalian sendiri?!”
Anda tentu tidak boleh lupa bahwa orang-orang yang telah melakukan kejahatan seperti ini tentu tidak akan diajak bicara oleh Allah, sebab Allah hanya akan berbicara dengan para bayi yang telah dibunuh oleh para orang tua mereka tentang apa yang mereka alami di dunia. Ketika itu terjadi, maka setiap pelaku kezaliman akan menerima ganjaran atas perbuatan keji yang mereka lakukan. Demikianlah yang difirmankan Allah dalam ayat: “Dan apabila lautan dipanaskan, dan apabila ruh-ruh dipertemukan (dengan tubuh), apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya,” (QS al-Takwîr [81]: 6-8). Sungguh sebuah ayat yang akan membuat bulu kuduk kita merinding jika kita membayangkan betapa kejamnya manusia pada masa jahiliyah.
Suatu ketika seorang sahabat mendatangi majelis Rasulullah Saw. lalu menyampaikan peristiwa pembunuhan bayi yang dilakukannya sendiri di masa jahiliyah. Sahabat itu berkata: “Wahai Rasulullah, dulu kami adalah orang-orang jahiliyah penyembah berhala. Kami biasa membunuh anak-anak perempuan kami. Dulu aku pernah mempunyai seorang putri yang selalu menurut kepadaku. Setiap kali aku mengajaknya pergi, dia selalu menyambut ajakanku dengan senang hati. Sampai suatu hari aku mengajaknya pergi ke suatu tempat. Ketika aku tiba di sebuah sumur yang terletak tak jauh dari tempat tinggalku, aku pun merenggut lengannya dan kemudian kumasukkan dia ke dalam sumur. Ucapan terakhir yang kudengar darinya adalah ratapan “Oh ayah… oh ayah…!”
Setelah mendengar cerita itu, wajah Rasulullah pun mendadak muram. Air mata beliau menetes satu-satu. Seorang sahabat sontak berseru ke arah si sahabat yang baru usai bercerita: “Kau telah membuat Rasulullah bersedih!”
Namun Rasulullah menukas: “Biarkan! Sungguh dia sedang bertanya tentang sesuatu yang membuatnya gundah.” Lalu beliau berujar: “Ulangi lagi ceritamu.”
Sang sahabat pun mengulangi ceritanya dan sekali lagi Rasulullah menangis sampai-sampai jenggot beliau basah oleh air mata. Beliau lalu bersabda: “Sungguh Allah telah mengenyahkan perbuatan jahiliyah dan Dia telah mengubah kelakuanmu.”[1]
Rupanya, Rasulullah sengaja meminta sahabat beliau itu mengulangi ceritanya untuk menegaskan kepada para sahabat beliau yang lain tentang betapa ternyata Islam telah mengubah mereka semua. Kala itu beliau seolah berkata: “Sebiadab itulah kalian sebelum memeluk agama Islam… Aku sengaja meminta sahabatku ini untuk mengulangi ceritanya untuk mengingatkan kalian akan nilai-nilai perikemanusiaan yang telah diajarkan Islam kepada kalian.”
Dari contoh kejadian memilukan di atas, Anda tentu kini dapat mengerti betapa parahnya kondisi kehidupan umat manusia pada masa jahiliyah. Sebuah masa ketika kekejaman menjadi kebiasaan. Entah berapa ribu lubang yang digali dari hari ke hari di tengah sahara Arabia untuk digunakan sebagai kuburan bayi-bayi tak berdosa. Ya. Masa jahiliyah adalah masa ketika kekejaman manusia jauh mengalahkan binatang buas. Pada masa itu, manusia yang merupakan makhluk tak bertaring dan tak bercakar telah berubah menjadi pemangsa yang kekejiannya mengalahkan semua jenis binatang buas. Umat manusia tenggelam dalam kubangan krisis moral yang parah, tanpa ada satu pun yang mampu mengatasinya.
Di tengah masa-masa kelam seperti itulah Muhammad muda membenamkan diri dalam khusyuk munajat di gua Hira` yang terletak di lereng sebuah gunung yang kelak akan dikenal dengan nama Jabal Nûr: Gunung Cahaya. Di tempat itulah Rasulullah beruzlah dari kegaduhan masyarakat jahiliyah guna menajamkan mata batin agar mampu melihat fajar moral kemanusiaan kembali menyingsing di ufuk peradaban…
Di tengah uzlah, sang pemuda berhati bersih itu seringkali berlama-lama menyungkurkan dahinya di lantai gua demi memohon kepada Allah agar segera menyelamatkan umat manusia dengan mengutus seorang Juru Selamat.
Dalam penjelasan yang dituturkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim mengenai periode ini di kedua kitab shahih yang mereka susun, kita dapat menemukan kata tahannuts. Sebuah kata yang mengindikasikan kondisi uzlah yang dilakukan Rasulullah ketika menyerahkan segenap jiwa-raga beliau untuk beribadah kepada Allah Swt.
Ya. Pada masa itu Muhammad Saw. sangat gemar menyepi di Gua Hira` selama berhari-hari tanpa pernah pulang ke rumah kecuali setelah bekalnya habis. Setelah pulang dan mengambil bekal, beliau pun kembali beruzlah.[2] Di tengah kesendirian itu Muhammad terus merenungkan tentang arti keberadaan semesta dan hakikat yang ada di baliknya. Beliau bertafakur memikirkan penciptaan dan tujuan seperti apa kiranya yang diinginkan dari semuanya. Meski tentu saja, saat itu sang calon Utusan Allah itu juga terus suntuk memikirkan kekejaman yang dilakukan umat manusia. Kekejaman yang membuat hatinya serasa tersayat sembilu…
3-Nilai-nilai Kemanusiaan yang Rusak
Singkat kata dapat dinyatakan bahwa pada masa jahiliyah umat manusia tenggelam dalam liang kezaliman yang kelam. Nilai-nilai moral kemanusiaan mengalami kerusakan. Semuanya benar-benar telah terbalik seratus delapan puluh derajat. Kebaikan telah dianggap sebagai aib, sementara kehinaan disanjung setinggi langit. Kebiadaban dipuja-puji, sementara kesantunan dicaci habis-habisan. Para serigala mengaku sebagai penggembala, sementara domba-domba yang lemah ditindas tak berdaya oleh para penggembala gadungan tanpa ada seorang pun yang mampu menolong. Perbuatan bejat dan perzinaan merajalela. Arak dan judi menjadi kebanggaan. Monopoli perekonomian dianggap lumrah, sementara para lintah darat yang menghisap darah kaum miskin dianggap sebagai pengusaha-pengusaha paling brilian.
Di tengah kubangan seperti itu tentu saja dibutuhkan sosok pribadi petah lidah serta berlisan tajam yang akan mampu berteriak di depan segala bentuk kerusakan moral: “Hentikan!”
Pada saat itu, kebutuhan akan munculnya seorang Juru Selamat benar-benar mendesak hingga mencapai tingkat yang mampu mengguncang tahta Ilahi. Dan Allah yang Mahakuasa pun akhirnya menjawab dengan mengutus seorang rasul yang kelak menjadi kebanggaan bagi seluruh umat manusia. Sosok pribadi yang kedatangannya akan mengubah segalanya dan menjadi pengibar panji-panji revolusi teragung yang pernah ada dalam sejarah manusia.
Sungguh tepat kiranya jika Ahmad Syauqi, sang Jenderal para Pujangga, menyatakan:
Sang Petunjuk telah lahir dan semesta gemerlaplah
Bibir sang waktu mendadak tersenyum dan bermadah
Setelah seluruh jagad raya tenggelam dalam kegelapan, tiba-tiba saja ia tersenyum gembira menyambut cahaya yang dibawa Muhammad Saw. sang Utusan Allah. Bertahun kemudian, penduduk Madinah riang menyambut kedatangan beliau dengan syair pujian:
Telah terbit purnama di atas kita
Dari arah Tsaniyatul Wada’
Kita semua harus bersyukur
Selama ada yang berdoa kepada Allah[3]
4-Sosok yang Disiapkan Allah
Tak dapat dipungkiri, seluruh riwayat hidup Rasulullah Saw. sejak masa kanak-kanak, remaja, hingga akhirnya dewasa, merupakan rangkaian anak tangga bagi kenabian beliau. Fakta itu tampak begitu jelas hingga membuat semua orang yang kenal dekat dengan Rasulullah langsung beriman dengan ajaran yang beliau emban ketika beliau menyatakan diri sebagai rasul.
Muhammad, sosok jujur yang tak pernah sekalipun berdusta itu tiba-tiba berbicara tentang Allah ta’ala dan menyatakan bahwa dirinya adalah utusan-Nya. Jadi, bagaimana mungkin seseorang yang sama sekali tidak pernah berbohong meski sekecil apapun akan bisa berbohong mengenai sebuah perkara besar dan agung seperti itu?[4] Tentu takkan mungkin! Demikianlah pikiran yang terlintas di benak kaum kafir kala itu, sehingga walaupun tidak semua orang yang mengenal Rasulullah langsung beriman kepada ajaran beliau, akan tetapi banyak orang musyrik yang semula bersikap keras kepala berbalik beriman kepada Rasulullah Saw.
Adalah benar jika dikatakan bahwa masa yang dilalui Rasulullah adalah masa jahiliyah, akan tetapi gaya hidup jahiliyah sama sekali tidak pernah menyentuh pribadi beliau. Sejak awal, Muhammad tak pernah bertingkah layaknya seorang jahiliyah. Beliau adalah sosok yang terpercaya dan semua orang di Mekah mengakui kredibilitas beliau sebagai al-Amîn (yang terpercaya). Bahkan sedemikian hebatnya pengakuan masyarakat Mekah pada saat itu kepada kejujuran Muhammad bahkan orang sampai berkata: “Kalau engkau ingin berpergian lalu kau ingin menitipkan istrimu kepada orang lain. Maka kau tak perlu ragu untuk menitipkan istrimu kepada Muhammad al-Amîn. Karena Muhammad pasti takkan pernah mau melirik istrimu itu sama sekali. Kalau kau ingin menitipkan hartamu kepada orang lain. Maka kau tak perlu ragu untuk menitipkannya kepada Muhammad. Karena dia takkan lalai menjaga semua barang yang kau titipkan padanya itu walau sekecil apapun. Jika kau ingin mencari ilmu yang benar-benar meyakinkan, maka segeralah kau menyambangi sang al-Shâdiq al-Amîn (yang jujur dan terpercaya), karena dia akan menjelaskan segalanya dengan sebenar-benarnya sebab dia tak pernah sedikitpun berdusta di sepanjang hidupnya.”
Mungkin Anda mempertanyakan keterangan di atas. Tapi mari saya tunjukkan sebuah hadits yang menceritakan ketika pada suatu hari Rasulullah naik ke bukit Shafa lalu beliau berseru: “Apakah seandainya aku mengatakan kepada kalian bahwa sebentar lagi akan ada seekor kuda yang muncul dari lereng bukit ini kalian akan mempercayaiku?” Pada saat itu kaum Quraisy kontan menjawab: “Kami tak pernah sekalipun mendapatimu berbohong!” Tak terkecuali para gembong Quraisy semacam Utbah ibn Rabi’ah, Walid ibn Mughirah, dan bahkan Abu Jahal sendiri termasuk orang-orang yang mengakui kejujuran Muhammad Saw.,[5] sehingga dapat dikatakan bahwa semua kaum Quraisy mengakui kejujuran dan kelurusan pribadi Muhammad Saw.
Muhammad telah ditinggal mati ayahnya ketika ia masih berada dalam kandungan. Pada usia enam tahun, Muhammad kecil ditinggal mati oleh ibundanya sehingga ia pun diasuh oleh kakeknya, Abdul Muthallib. Pada usia delapan tahun, kakeknya juga meninggal dunia. Demikianlah seakan takdir telah sedemikian rupa mengarahkan Muhammad untuk menjauh dari ketergantungan terhadap manusia dan hanya menyerahkan dirinya kepada Allah semata. Setiap kali ada tangan yang menjulur untuk menolongnya, tiba-tiba saja sang penolong itu pergi untuk selamanya. Demikianlah takdir membuat Muhammad selalu berada di bawah perlindungan langsung dari Allah Swt. dengan cahaya tauhid dan rahasia keesaan-Nya. Sejak belia, Muhammad terus ditempa untuk selalu berucap “hasbiyallâh…” (cukup Allah saja bagiku) secara lahir dan batin. Sebab adalah penting baginya untuk kehilangan arti dari semua penolong selain Allah, dan ternyata memang itulah yang terjadi pada kehidupan Muhammad.
Muhammad dilahirkan dari seorang ayah bernama “Abdullâh” dan ibu bernama “Âminah”. Tentu saja hal ini bukanlah kebetulan, melainkan sebuah takdir ilahi yang telah digariskan. Ibunda Muhammad memiliki nama yang mengandung arti “aman” (al-amn) dan “amanah” (al-amânah), sementara sang ayah memiliki nama yang mengandung arti penghambaan diri (al-‘ubûdiyyah) kepada Allah. Sungguh fakta ini menunjukkan bahwa jauh sejak sebelum kelahirannya, Muhammad telah disiapkan Allah. Sebelum diangkat menjadi rasul, sang al-Amîn (yang terpercaya) harus hidup di dalam atmosfer ‘ubûdiyyah (penghambaan diri) kepada Allah.
Muhammad tumbuh besar sebagai seorang yatim. Padahal di depannya telah menanti tanggung jawab amat berat dan penting sehingga pribadi Muhammad memang harus disiapkan sejak dini. Sejak muda, Muhammad telah dibentuk menjadi pribadi yang berhasil mencapai puncak tawakal kepada Allah dan siap menyongsong semua aral yang melintang.
Allah seperti sengaja menghalangi Muhammad dari kekayaan materi yang dapat menumbuhkan sikap gegabah dan sombong. Tapi Dia juga sengaja menghindarkan Muhammad dari kemelaratan yang mencekik agar ia tidak tumbuh menjadi pribadi minder yang rendah diri. Allah benar-benar membentuk Muhammad menjadi sosok lurus yang berada di garis tengah kehidupan, jauh dari sikap berlebihan dan meremehkan (ifrâth wa tafrîth).
Amatlah penting bagi seorang pemimpin untuk mampu melewati masa-masa sulit. Seseorang yang memahami arti hidup sebagai anak yatim, pasti akan mengetahui cara untuk menjadi ayah yang penyayang bagi umatnya. Seorang pemimpin juga harus pernah merasakan pahitnya kemiskinan agar ia mampu merasakan getirnya kehidupan rakyat jelata yang dipimpinnya.
Demikianlah seterusnya sehingga sikap suka membantu anak-anak yatim dan kaum miskin sembari terus peduli akan penderitaan yang mereka alami benar-benar menjadi akhlak yang dimiliki Muhammad Saw. sejak beliau belum diangkat sebagai nabi. Karena sejak kecil beliau terus menghirup dan meresapi semua yang telah disiapkan Allah itu. Dan ketika “buah” itu akhirnya masak, Rasulullah sama sekali tidak tercerabut dari budi pekerti luhur yang telah menyatu dengan pribadi beliau. Di sepanjang hidupnya, tak pernah sekali pun Rasulullah menghardik anak yatim atau mengusir seorang pengemis. Hal itu terjadi disebabkan apa yang telah diajarkan Allah kepadanya seperti yang dinyatakan dalam firman-Nya: “Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan. Adapun terhadap anak yatim maka janganlah kamu berlaku sewenang-wenang. Dan terhadap orang yang minta-minta maka janganlah kamu menghardiknya. Dan terhadap nikmat Tuhanmu maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur).” (QS al-Dhuhâ [93]: 6-11).
Terus terang, setiap kali saya membaca ayat ini, yang terbersit di dalam benak saya adalah keingin untuk menyatakan kepada Rasulullah tentang keyatiman saya sebab beliau kelak akan menjadi pemberi syafaat bagi kita semua. Sungguh saya yang telah kehilangan kedua orang tua saya sejak berpuluh tahun lalu, ingin berkata kepada beliau: “Wahai Rasulullah, akupun seorang yatim. Kini aku mengetuk di pintumu, maka tolong jangan kau usir aku dari hadapanmu dan jangan kau halangi aku dari syafaatmu.”
5-Muhammad, Cahaya yang Dinanti
Adalah Abdul Muthallib, kakek Muhammad Saw. yang telah mengetahui cahaya kenabian cucunya sejak lama. Bagi Abdul Muthallib, hari-hari yang dilewatinya bersama Muhammad adalah hari-hari keberuntungan yang penuh berkah. Saban kali ia mendatangi majelis agung para tokoh puak Quraisy, Muhammad kecil tak pernah lupa diajak serta. Seperti telah melihat tanda sang Juru Selamat, Abdul Muthallib selalu begitu menghormati Muhammad karena dia melihat ada yang istimewa dari tatapan mata cucunya tercinta yang tak pernah ia temukan pada orang lain.
Apalagi Abdul Muthallib pernah mendengar cerita kuno yang bersumber dari Luay –salah seorang leluhurnya- tentang kemunculan seorang nabi dari garis keturunannya. Dengan adanya nubuat itu, Abdul Muthallib pun mulai berharap cemas kalau-kalau ternyata Muhammad –cucu kandungnya sendiri- adalah sang nabi yang dijanjikan itu.
Tampaknya itulah sebabnya mengapa Abdul Muthallib begitu mencintai Muhammad. Dan tampaknya itulah yang menyebabkan Abdul Muthallib menangis sesenggukan ketika menghadapi sakaratul maut. Bukan karena ia tak sanggup menahan perih nyawanya dicabut, melainkan karena ia menyadari bahwa sebentar lagi ia takkan lagi bisa memeluk Muhammad.[6]
Abdul Muthallib, lelaki tua yang tak gentar menghadapi pasukan Abrahah itu mendadak tak malu menangis tersedu-sedu. Jagoan Quraisy yang tak surut menantang musuh di perang Fijar yang berlangsung bertahun-tahun itu tiba-tiba merengek seperti anak kecil karena tak sanggup berpisah dengan cucu kesayangannya. Demikianlah kisah pengasuhan Abdul Muthallib atas Muhammad berakhir menjelang kematiannya untuk kemudian pengasuhan Muhammda beralih ke tangan pamannya yang bernama Abu Thalib.
6-Pengasuhan yang Luar Biasa
Rasulullah Saw. berada di bawah perlindungan Abu Thalib selama hampir empat puluh tahun. Abu Thalib memiliki seorang anak bernama Ali ra. Kelak di kemudian hari, Ali karamallâhu wajhah inilah yang meneruskan nasab Rasulullah Saw. Tidak seperti nabi-nabi lain, Rasulullah memang diriwayatkan pernah menyatakan langsung ihwal kelanjutan nasab beliau dari garis Ali ibn Abi Thalib.[7]
Ali ibn Abi Thalib-lah yang melanjutkan perwalian (al-wilâyah) Rasulullah Saw., sehingga dia sering dianggap sebagai Pemimpin para Wali (Amîr al-Auliyâ`). Sampai kiamat tiba, semua penempuh jalan kebenaran pasti akan menyebut nama Ali dengan penuh penghormatan dan sikap takzim. Ali yang berjuluk al-Murtadhâ, al-Fâris al-Mighwâr, al-Haidar al-Karâr, yang sekaligus adalah menantu Rasulullah Saw. seakan merupakan hadiah yang diberikan Allah kepada Abu Thalib sebagai balasan atas semua yang dilakukannya terhadap Rasulullah Saw. Meski tentu saja Abu Thalib dan Abdul Muthallib tidak lebih sekedar aspek lahiriah dari pelindungan terhadap Rasulullah, sebab Allah-lah yang sebenarnya selalu menjadi pelindung dan penolong bagi beliau.
Seiring dengan pribadi istimewa yang dimilikinya terus tumbuh dewasa menuju derajat kenabian, Muhammad juga menyiapkan masyarakatnya untuk menerimanya dengan tanda-tanda kenabian yang semakin jelas dari hari ke hari, sehingga Muhammad pun menjadi buah bibir serta dihormati kaumnya.
[1] Al-Dârâmi, al-Muqaddimah, 1.
[2] Al-Bukhari, Bad` al-Wahy, 3; Muslim, al-Îmân, 252.
[3] Al-Bidâyah wa al-Nihâyah, Ibnu Katsir, 3/241; Dalâ`il al-Nubuwwah, al-Baihaqi 2/507.
[4] Lihat: al-Bukhari, Bad` al-Wahy, 3, 6; Muslim, al-Jihâd, 74.
[5] Al-Bukhari, Tafsîr Sûrah 111: 1-3; Muslim, al-Îmân, 355.
[6] Al-Sîrah al-Nabawiyyah, Ibnu Hisyam, 1/178; al-Thabaqât al-Kubrâ, Ibnu Sa’d, 1/118.
[7] Sebuah hadits berbunyi: “Sesungguhnya Allah telah menjadikan keturunan setiap nabi dari sulbi mereka masing-masing, tapi Allah telah menjdikan keturunanku dari sulbi Ali ibn Abi Thalib.” Lihat: Majma’ al-Zawâ`id, al-Haitsami 9/172; Faidh al-Qadîr, al-Manawi 2/223; Târîkh Baghdâd, al-Baghdadi 1/317.
- Dibuat oleh