Mengapa Mereka Tidak Mau Beriman?

Mengapa Mereka Tidak Mau Beriman?

Meskipun semua orang Yahudi dan Nasrani mengetahui bahwa Muhammad adalah benar-benar Utusan Allah, akan tetapi rupanya kedengkian telah menghalangi mereka untuk beriman kepada beliau dan mengunci mati hati mereka. Sedemikian jelas dan terperincinya pengetahuan yang mereka miliki tentang Rasulullah, sampai-sampai dapat dikatakan bahwa pengetahuan mereka itu cukup dapat membuat mereka beriman kepada Rasulullah walau dengan sekali melihat saja. Hal itu dapat terjadi karena mereka benar-benar mengetahui semua ciri, karakter, dan sifat sang nabi yang dijanjikan.

Al-Qur`an menyatakan fakta ini dalam sebuah ayat yang berbunyi: “Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri Al Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Dan sesungguhnya sebahagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui.” (QS al-Baqarah [2]: 146).

Di dalam ayat ini, Allah sengaja tidak menyebutkan nama sang nabi yang dijanjikan dan hanya menggunakan kata ganti (dhamîr) orang ketiga ‘ـه’ untuk menyatakan bahwa semua Ahlul Kitab telah mengetahui dengan baik sang Nabi Penutup. Itulah sebabnya, ketika Allah menyebut sosok sang nabi dengan kata ganti orang ketiga, kalangan Ahlul Kitab langsung mengetahui bahwa yang dimaksud oleh ayat di atas adalah sang nabi yang namanya telah disebutkan di dalam Taurat dan Injil sebagai Ahmad atau Muhammad Saw. yang telah mereka kenal melebihi anak-anak mereka sendiri.

Diriwayatkan dari Umar ibn Khaththab ra., suatu ketika dia bertanya kepada Abdullah ibn Salam: “Apakah kau mengenal Muhammad seperti kau mengenal anakmu?”

Abdullah ibn Salam menjawab: “Ya, bahkan aku jauh lebih mengenal beliau. Sang Terpercaya turun dari langit menemui sang Terpercaya di bumi dengan penjelasan tentang sifat beliau sehingga akupun mengenal beliau. Sedangkan anakku, aku tak tahu apakah ia benar-benar dari ibunya.”[1]

1-Kecemburuan dan Dengki

Ya. Para Ahlul Kitab memang telah mengenal Rasulullah dengan baik. Akan tetapi kita tahu bahwa keimanan dan pengetahuan adalah dua hal yang berbeda. Mereka mengenal Rasulullah dengan baik tapi tak mau beriman kepada beliau. Rupanya kecemburuan dan rasa dengki telah menjadi dinding pemisah yang menghalangi mereka untuk beriman kepada beliau.

Dan setelah datang kepada mereka Al-Qur`an dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka, padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan Nabi) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang kafir, maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka la`nat Allah-lah atas orang-orang yang ingkar itu.” (QS al-Baqarah [2]: 89).

Ayat di atas menjelaskan kepada kita tentang penyebab keengganan Ahlul Kitab untuk beriman kepada Rasulullah Saw. Ternyata semuanya bermuara pada bahwasannya sang Nabi Penutup bukan berasal dari kalangan Yahudi. Seandainya saja Rasulullah muncul dari kalangan Yahudi, pasti akan lain ceritanya.

Salah satu bukti asumsi ini adalah pernyataan Abdullah ibn Salam ra. sesaat setelah memeluk Islam. Dia berkata kepada Rasulullah Saw.: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kaum Yahudi adalah orang-orang yang paling pendusta. Jika mereka mengetahui keislamanku sebelum kau bertanya kepada mereka, mereka pasti akan menuduhku dengan hal yang buruk.”

Beberapa orang Yahudi datang dan Abdullah pun masuk ke dalam ruangan.

Rasulullah lalu bertanya kepada mereka: “Seperti apakah Abdullah ibn Salam di antara kalian?”

“Dia adalah orang yang paling alim di antara kami,” jawab mereka, “Anak dari orang yang paling alim di antara kami, paling baik di antara kami, dan anak dari orang yang paling baik di antara kami.”

Rasulullah menukas: “Bagaimana jika kalian mengetahui bahwa Abdullah telah masuk Islam?”

“Semoga Allah melindunginya dari hal itu!” sergah mereka. Abdullah ibn Salam pun muncul ke tengah mereka seraya berujar: “Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah Utusan Allah.”

Tiba-tiba saja orang-orang Yahudi itu berseru: “Dia adalah orang yang paling jahat di antara kami dan anak dari orang yang paling jahat di antara kami.” Dan mereka terus menyerang Abdullah ibn Salam.[2]

Peristiwa di atas menjelaskan dengan gamblang betapa ternyata kaum Yahudi sangat mengenal Rasulullah. Tapi sayangnya kedengkian yang mereka miliki telah menghalangi mereka untuk beriman.

Berkenaan dengan topik ini, saya ingin menuturkan kisah Salman al-Farisi ra. sebagai sebuah bukti unik yang perlu Anda ketahui.

Pada mulanya, Salman al-Farisi adalah seorang Majusi. Tapi rupanya ia begitu merindukan agama yang benar. Sampai suatu ketika Salman pun memeluk agama Nasrani dan tinggal di sebuah gereja. Ketika pendeta gereja yang didiami Salman wafat, dia pun bertanya kepada si pendeta agar menitipkannya kepada pendeta lain. Demikianlah hal itu berulang beberapa kali sehingga membuat Salman al-Farisi berpindah dari satu pendeta ke pendeta lain. Sampai akhirnya ketika Salman kembali akan ditinggal mati pendeta yang didampinginya, pendeta itu berkata: “Wahai anakku, demi Allah aku tidak tahu ada orang yang seperti kami ini sehingga dapat kutitipkan engkau padanya. Akan tetapi sebentar lagi akan tiba zaman seorang nabi yang akan diutus dengan agama Ibrahim as. Dia akan muncul dari Arab. Tempat hijrahnya adalah sebuah negeri di antara dua dataran bertanah hitam. Di antara keduanya banyak kurma yang memiliki ciri-ciri menonjol. Dia mau memakan hadiah tapi tidak mau memakan sedekah. Di antara dua bahunya ada Segel Kenabian. Jika kau dapat menemukan negeri itu, maka lakukanlah.”

Salman menuturkan kisahnya:

Setelah pendeta itu wafat, aku pun pindah ke Amuriyah dan menetap beberapa lama di situ. Lalu datanglah serombongan saudagar kabilah Kalb asal Arab. Aku berkata kepada mereka: “Ajaklah aku ke negeri Arab, dan aku akan memberikan sapi dan barang-barangku ini sebagai imbalan.” Orang-orang itu menjawab: “Baiklah.” Aku pun menyerahkan barang-barangku dan mereka mengajakku pergi. Sesampainya aku di Wadil Qura, mereka menzalimi diriku dengan menjualku sebagai budak kepada seorang lelaki Yahudi. Sejak saat itu, aku tinggal bersama si Yahudi itu. Setibanya di tempat tinggal si Yahudi, kulihat banyak pohon kurma sehingga aku pun berharap semoga tempat itu adalah negeri yang disebutkan si pendeta. Tapi aku belum dapat memastikan hal itu. Suatu ketika, di saat aku sedang bersama tuanku, tiba-tiba datanglah salah seorang sepupunya yang berasal dari Bani Quraizhah, Madinah.[3] Aku lalu dijual kepada si sepupu itu yang langsung membawaku ke Madinah. Demi Allah, kulihat kota Madinah persis seperti yang dijelaskan oleh si pendeta. Aku pun tinggal di kota itu. Ternyata tak lama kemudian Rasulullah diangkat menjadi nabi di Mekah tanpa pernah kudengar berita tentang beliau karena aku begitu sibuk melayani tuanku. Beberapa lama kemudian, Rasulullah berhijrah ke Madinah. Pada suatu hari, demi Allah ketika aku sedang berada di atas sebatang pohon kurma sementara tuanku berada di bawah, tiba-tiba tuanku kedatangan seorang sepupunya yang langsung berseru: “Wahai fulan, semoga Allah menghancurkan Bani Qailah! Demi tuhan, sekarang mereka berkumpul di Quba` bersama seorang lelaki yang baru tiba hari ini dari Mekah. Mereka yakin bahwa lelaki itu adalah seorang nabi.”

Salman melanjutkan ceritanya…

Demi mendengar itu, aku pun terkejut sampai-sampai aku nyaris jatuh menimpa tubuh tuanku. Aku buru-buru turun dari pohon kurma seraya berkata kepada sepupu tuanku: “Apa yang tuan katakan tadi?”

Tuanku pun naik darah tindakanku itu dan dia memarahiku habis-habisan. “Apa yang kau lakukan?! Cepat kau lanjutkan pekerjaanmu!”

“Tidak ada apa-apa, Tuan,” jawabku, “Hamba hanya ingin menegaskan apa yang dikatakan sepupu Tuan ini.”

Kebetulan pada saat itu aku memiliki sebungkus makanan. Menjelang petang, kubawa makanan itu menuju Rasulullah Saw. yang masih berada di Quba`. Setibanya di sana, aku langsung menemui beliau lalu berkata: “Aku dengar kau adalah seorang saleh. Di sini kau bersama orang-orang asing yang pasti berkekurangan. Ini kubawakan sedikit makanan sebagai sedekah dariku. Tampaknya kalian sangat layak menerima sedekah ini.”

Aku lalu beringsut sambil terus memperhatikan Rasulullah. Beliau berkata kepada para sahabat yang ada di situ: “Ayo makanlah kalian!” Tapi setelah berkata begitu Rasulullah hanya diam dan sama sekali tidak menyentuh makanan yang kubawa itu. Ketika melihat itu, aku pun bergumam: “Hm, ini tanda pertama.”

Beberapa hari kemudian, aku kembali mengumpulkan sebungkus makanan. Pada saat itu Rasulullah telah tinggal di Madinah. Aku pun kembali mendatangi beliau lalu berkata: “Kulihat kemarin lusa kau enggan memakan sedekahku, oleh sebab itu ini kubawakan makanan lagi sebagai hadiah dan penghormatan dariku untukmu.” Dan ternyata kemudian kulihat Rasulullah menyantap makanan itu bersama para sahabat beliau. Ketika melihat itu, aku pun bergumam: “Hm, ini tanda kedua.”

Selang beberapa lama kemudian, aku mendatangi Rasulullah yang sedang berada di Baqi’ al-Gharqad[4] untuk memakamkan jenazah salah seorang sahabat. Pada saat itu, Rasulullah sedang duduk di tengah para sahabat. Setelah mengucap salam, aku berjalan ke belakang beliau untuk mencari Segel Kenabian (Khâtam al-Nubuwwah) yang dikatakan oleh si pendeta. Ketika melihatku berjalan ke belakangnya, Rasulullah pun menyadari bahwa aku sedang meneliti sesuatu. Tiba-tiba saja beliau menurunkan surban yang menutup punggung beliau sehingga aku melihat dengan jelas Segel Kenabian yang kucari-cari. Kontan aku langsung memeluk Rasulullah sambil menangis. Rasulullah lalu berkata: “Lepaskanlah pelukanmu.” Aku pun mundur selangkah dan duduk di hadapan Rasulullah. Lalu kuceritakan kepada Rasulullah semua kejadian yang telah kulalui. Rasulullah dan para sahabat terheran-heran dengan ceritaku.[5]

2-Rasa Persaingan

Mughirah ibn Syu’bah menuturkan:

Hari pertama aku mengenal Rasulullah adalah ketika aku berjalan bersama Abu Jahal menyusuri sebuah jalan kota Mekah. Pada saat itulah aku bertemu Rasulullah. Kala itu beliau berkata kepada Abu Jahal: “Wahai Abul Hakam, apakah kau mau mengikut jalan Allah dan rasul-Nya? Aku akan mengajakmu ke jalan Allah.”

Abu Jahal menjawab: “Wahai Muhammad, apakah kau mau berhenti menghina tuhan-tuhan kami? Bukankah yang kau inginkan adalah kami bersaksi bahwa kau telah menyampaikan ajaranmu itu? Maka kami bersaksi bahwa kau memang telah menyampaikan ajaranmu. Demi Alah, seandainya aku tahu bahwa apa yang kau katakan itu benar, aku pasti akan mengikutimu.”

Rasulullah pun berlalu meninggalkan kami. Lalu Abu Jahal menoleh ke arahku seraya berkata: “Demi tuhan sebenarnya aku tahu bahwa apa yang dia katakan memang benar. Tapi ada satu hal yang menghalangiku dari mengimani dia, yaitu bahwa duu Bani Qushay berkata: ‘Kami memiliki hak al-hijâbah.’ Kami pun menyahut: ‘Baik!’ Lalu mereka berkata lagi: ‘Kami memiliki hak al-siqâyah.’ Kami pun menyahut: ‘Baik!’ Lalu mereka berkata lagi: ‘Kami memiliki hak al-nadwah.’ Kami pun menyahut: ‘Baik!’ Lalu mereka berkata lagi: ‘Kami memiliki hak al-liwâ`.’ Kami pun menyahut: ‘Baik!’ Lalu mereka memberi makanan sebagaimana kami juga memberikan makanan. Sampai ketika ‘bahu kami bersentuhan’[6], mereka berkata: ‘Dari kami ada seorang nabi.’ Kalau itu maka Demi tuhan aku tidak akan menyetujuinya.”[7]

Di dalam riwayat lain dikatakan bahwa suatu ketika Abu Jahal berkata: “Kami sering berlomba untuk meraih kehormatan dengan Bani Abdu Manaf. Ketika mereka memberikan makanan, kami pun memberikan makanan; ketika mereka memuat barang perniagaan, kami pun memuat barang perniagaan; ketika mereka memberi, kami pun memberi. Sampai ketika ‘bahu kami bersentuhan’ dan kami seperti kuda pacu, mereka berkata: ‘Dari kami ada seorang nabi yang mendapat wahyu dari langit.’ Bagaimana mungkin kami akan mengakui itu? Demi tuhan kami tidak akan pernah mau mendengar atau mempercayainya selamanya!”[8]

Para tokoh Quraisy lalu bertemu dan memutuskan untuk mengutus Utbah ibn Rabi’ah untuk berbicara dengan Rasulullah agar beliau berhenti berdakwah. Utbah adalah salah satu pemimpin Quraisy yang paling utama. Selain itu, dia juga terkenal petah lidah dan kaya raya.

Singkat cerita, Utbah pun menemui Rasulullah Saw. dengan maksud untuk beradu argumentasi. Setibanya di hadapan Rasulullah, Utbah bertanya: “Wahai Muhammad, siapakah yang lebih baik: engkau atau Abdullah?” Rasulullah tidak menjawab. Utbah bertanya lagi: “Siapakah yang lebih baik: engkau atau Abdul Muthallib?” Lagi-lagi Rasulullah tidak menjawab. Tampaknya, diamnya Rasulullah itu adalah jawaban yang paling tepat untuk seorang dungu. Utbah lalu bertanya lagi: “Jika kau menyatakan bahwa mereka lebih baik darimu, maka sungguh mereka telah menyembah semua tuhan yang kusembah. Tapi jika kau menyatakan bahwa kau lebih baik dari mereka, maka lekaslah bicara agar kudengar penjelasanmu.”

Setelah Utbah berhenti berkata-kata, Rasulullah bertanya: “Apakah kau sudah selesai wahai Utbah?”

“Ya,” jawab Utbah.

Rasulullah lalu melafalkan beberapa ayat dari surat Fushshilat: “Hâ Mîm. Diturunkan dari Tuhan Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui, yang membawa berita gembira dan yang membawa peringatan, tetapi kebanyakan mereka berpaling (daripadanya); maka mereka tidak (mau) mendengarkan. Mereka berkata: ‘Hati kami berada dalam tutupan (yang menutupi) apa yang kamu seru kami kepadanya dan di telinga kami ada sumbatan dan antara kami dan kamu ada dinding, maka bekerjalah kamu; sesungguhnya kami bekerja (pula).’ Katakanlah: ‘Bahwasanya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu, diwahyukan kepadaku bahwasanya Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa, maka tetaplah pada jalan yang lurus menuju kepada-Nya dan mohonlah ampun kepada-Nya. Dan kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang mempersekutukan (Nya), (yaitu) orang-orang yang tidak menunaikan zakat dan mereka kafir akan adanya (kehidupan) akhirat. Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh mereka mendapat pahala yang tiada putus-putusnya.’ Katakanlah: ‘Sesungguhnya patutkah kamu kafir kepada Yang menciptakan bumi dalam dua masa dan kamu adakan sekutu-sekutu bagi-Nya? (Yang bersifat) demikian itulah Tuhan semesta alam.’ Dan Dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni) nya dalam empat masa. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya. Kemudian Dia menuju langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi: ‘Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa.’ Keduanya menjawab: ‘Kami datang dengan suka hati.’ Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa dan Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. Jika mereka berpaling maka katakanlah: ‘Aku telah memperingatkan kamu dengan petir, seperti petir yang menimpa kaum `Ad dan kaum Tsamud’.” (QS Fushshilat [41]: 1-31).

Ketika Rasulullah baru sampai ayat ketiga belas, tiba-tiba tubuh Utbah berguncang seperti orang yang terserang demam. Tokoh Quraisy itu mengulurkan tangannya ke mulut Rasulullah seraya berseru: “Diamlah kau Muhammad, demi Tuhan yang kau imani!”

Utbah kemudian beranjak meninggalkan Rasulullah dan menemui para tokoh Quraisy yang telah menunggunya. Ketika melihat Utbah muncul, para tokoh itu saling berbisik: “Sungguh Demi tuhan Abul Walid datang dengan wajah yang sama sekali berbeda dengan wajahnya saat berangkat tadi.”

Mereka lalu mengerumuni Utbah dan bertanya: “Apakah gerangan yang terjadi padamu wahai Abul Walid?”

Utbah menjawab: “Demi tuhan barusan aku mendengar kata-kata yang tak pernah kudengar sebelumnya. Demi tuhan itu sama sekali bukan syair atau mantra. Wahai kaum Quraisy, patuhlah kepadaku dan jadikanlah ketaatan itu demi aku. Biarkanlah dia dengan apa yang dilakukannya itu dan jangan usik dia. Demi tuhan, ucapannya yang kudengar itu mengandung berita besar. Jika orang Arab menyerangnya, maka dia akan mengalahkan mereka semua tanpa bantuan kalian. Jika dia berhasil menaklukkan bangsa Arab, maka kekuasaannya adalah kekuasaan kalian juga serta kemuliannya adalah kemuliaan kalian juga sehinga kalian menjadi manusia paling bahagia dengannya.”

Demi mendengar ucapan Utbah itu, para tokoh Quraisy pun berkata: “Demi tuhan rupanya dia telah menyihirmu dengan ucapannya.”

Utbah menukas: “Inilah pendapatku. Lakukanlah apapun terserah kalian!”[9]

3-Beberapa Sebab Lain

Sikap yang ditunjukkan para tokoh Quraisy seperti tersebut di atas sama sekali bukanlah sikap pribadi yang hanya dilakukan satu atau dua orang, melainkan sebuah sikap kolektif yang umum mereka tunjukkan. Namun selain sikap dengki dan rasa tak mau tersaingi, masih ada beberapa sebab lain yang menghalangi orang-orang Quraisy untuk beriman kepada Rasulullah, misalnya sifat takut, tamak, rakus, dan keras kepala. Ya. Jadi meski mereka mengatahui bahwa Muhammad Saw. memang benar-benar seorang nabi, tapi mereka bersikap kepala batu untuk dapat beriman kepada ajaran beliau. Berkenaan dengan sikap keras seperti inilah al-Qur`an pernah menghibur Rasulullah dengan ayat yang berbunyi: “Sesungguhnya, Kami mengetahui bahwasanya apa yang mereka katakan itu menyedihkan hatimu, (janganlah kamu bersedih hati), karena mereka sebenarnya bukan mendustakan kamu, akan tetapi orang-orang yang zalim itu mengingkari ayat-ayat Allah.” (QS. Al-An’âm [6]: 33).

Lewat ayat ini seakan-akan Allah berkata kepada Rasulullah:

Mereka memang selalu menuduhmu dengan berbagai kebusukan sehingga kau merasa sedih disebabkan hal itu. Tapi janganlah kau bersedih atas apa yang dituduhkan padamu itu karena mereka adalah orang-orang yang kalah oleh nafsu mereka sendiri, terpenjara oleh syahwat, dan tak berdaya melawan musuh. Sebenarnya mereka tidak mendustaimu, sebab mereka tak mungkin mengatakan bahwa kau adalah seorang pendusta. Dulu mereka sudah biasa memanggilmu al-Amîn, yang terpercaya, maka lihatlah betapa dungunya mereka. Karena ternyata mereka telah mendustai diri mereka sendiri. Oleh sebab itu, kau tak perlu bersedih…

Ya. Jika pada saat itu harus ada pihak yang bersedih, maka yang paling layak untuk bersedih adalah orang-orang yang memusuhi sang rasul yang ditangannya tergenggam kebahagiaan dunia dan akhirat, serta orang-orang yang tidak mau membuka hati mereka bagi cahaya yang sebenarnya memarcar tak jauh dari mana mereka berada.

[1] Mukhtashar Tafsîr Ibnu Katsîr, al-Shabuni 1/140; Lihat: al-Durr al-Mantsûr, al-Suyuthi 1/357.
[2] Al-Bukhari, al-Anbiyâ` 1, Manâqib al-Anshâr 51; al-Musnad, Imam Ahmad 3/108, 271, 272.
[3] Saat itu masih bernama Yatsrib, penerj-
[4] Baqi’ al-Gharqad adalah nama sebuah kompleks pemakaman, penerj-
[5] Al-Sîrah al-Nabawiyyah, Ibnu Hisyam 1/228-234.
[6] Yang dimaksud “bahu bersentuhan” (tahâkat al-rukab) adalah kedudukan yang setara, penerj-
[7] Al-Bidâyah wa al-Nihâyah, Ibnu Katsir 3/83; Kanz al-‘Ummâl, al-Hindi 14/39-40.
[8] Al-Bidâyah wa al-Nihâyah, Ibnu Katsir 3/83.
[9] Al-Bidâyah wa al-Nihâyah, Ibnu Katsir 3/81-82; al-Sîrah al-Nabawiyyah, Ibnu Hisyam 1/313.

Pin It
  • Dibuat oleh
Hak Cipta © 2024 Fethullah Gülen Situs Web. Seluruh isi materi yang ada dalam website ini sepenuhnya dilindungi undang-undang.
fgulen.com adalah website resmi Fethullah Gülen Hojaefendi.