Sebuah Dimensi dan Cakrawala Yang Lain

Sebuah Dimensi dan Cakrawala Yang Lain

Di masa jahiliyah, kaum musyrik benar-benar terperosok dalam kemalangan karena mereka kehilangan nilai dan arti kehidupan. Semua pandangan, perilaku, dan pemikiran kaum musyrik terhadap Rasulullah benar-benar berkebalikan dari yang sebenarnya. Apalagi kita tahu bahwa amatlah keliru jika kita ingin menakar pribadi Rasulullah dengan tolok ukur dan standar manusiawi. Tindakan seperti itu sungguh mustahil, karena Rasulullah adalah sosok yang tak tertandingin atau dapat disaingi oleh siapapun sebab beliau diberi anugerah semangat dan kemampuan istimewa yang benar-benar unik. Beliau diutus ke dunia untuk merombak dan menatanya kembali serta untuk membuka cakrawala baru yang cemerlang bagi umat manusia. Oleh sebab itu, tindakan menakar kepribadian Rasulullah adalah sebuah tindakan yang berada di luar batas kemampuan kita dan tidak akan dapat termuat dalam standar apapun yang kita miliki. Bahkan ketika ada banyak orang yang menjelaskan karakter dan sifat istimewa yang beliau miliki, semua itu takkan pernah mampu menggenapi kepribadian beliau yang sesungguhnya.

Atas dasar kesadaran seperti inilah dulu Hassan ibn Tsabit ra. –yang dikenal sebagai salah seorang sahabat yang paling mengenal Rasulullah- bersyair:

Tak pernah berhasil kupuji Muhammad dengan ucapanku
Karena justru ucapanku jadi terpuji karena Muhammad

Perilaku Rasulullah yang luhur memang hanya dapat diungkap dengan ucapan yang indah dan kalimat-kalimat madah. Hanya saja, ternyata tak ada satu pun ungkapan dapat kita buat yang mampu mengungkapkan keluhuran pribadi beliau. Ketika berbicara tentang al-Qur`an, pujangga besar Farazdaq pernah menyadur syair Hassan ibn Tsabit dengan memberi sedikit perubahan:

Tak pernah berhasil kupuji al-Qur`an dengan ucapanku
Karena justru ucapanku jadi terpuji karena al-Qur`an[1]

Sampai batas tertentu, syair-syair seperti ini memang merupakan hasil dari sebuah perasaan dan pola pikir yang sama. Rupanya para penyair itu menggali inspirasi dari sumber dan mata air yang sama. Mereka lalu mengungkapkannya dengan berbagai bentuk ungkapan sehingga ungkapan yang satu memperindah ungkapan yang lain. Bahkan ketika ada yang mengungkapkannya dalam bentuk syair, tapi mereka semua tetap beredar di pusat orbit yang sama.

Demikianlah pula yang terjadi ketika kita ingin membincangkan atau mengungkapkan betapa besar nikmat yang kita dapat karena kita telah menjadi umat Rasulullah. Atau ketika ingin meluapkan isi hati untuk memuji Allah dan bersyukur pada-Nya, karena Dia telah berkenan memilih kita untuk mendapatkan nikmat-Nya dengan menjadikan umat sang Musthafa Saw.

Sungguh ini adalah sebuah anugerah ilahi, sebab Dia berhak memilih siapa saja yang berhak mendapatkan nikmat-Nya. Padahal kita tahu bahwa nikmat Allah takkan dapat diukur dengan timbangan apapun, sebab nikmat-Nya adalah samudera mahaluas tak bertepi.

Tapi ada satu pertanyaan mengusik yang tak dapat disampingkan untuk saya sampaikan di sini: Apakah kita memiliki hati yang laik bagi Rasulullah sang Penguasa Hati? Apakah beliau bakal betah bersemayam di hati kita? Apakah hati kita selalu terbuka untuk beliau? Apakah kita selalu ingat sang Rasul dalam setiap gerak-gerik kita? Apakah hati kita selalu terpaut pada Rasulullah dalam gerak dan diam kita? Apakah dalam menjalani kehidupan kita sudah berhasil selalu berada di garis-garis yang beliau gariskan?

Jika jawaban atas semua pertanyaan itu adalah ‘YA’, duhai betapa bahagianya kita. Karena berarti dalam semua fantasi dan mimpi-mimpi kita hanya tergambar sosok beliau yang sempurna. Jika itu yang terjadi, maka berarti kita telah masuk para pengikut Muhammad (jamâ’ah muhammadiyyah). Kita akan berakhlak dengan akhlak beliau dan akan berperilaku seperti perilaku beliau. Padahal jamaah mana pun yang berhasil menghias diri dengan akhlak Rasulullah, pasti akan menjadi kekuatan keseimbangan bagi alam semesta. Sungguh saya yakin bahwa pasti ada satu sebab mengapa kita tidak kunjung berhasil mencapai keseimbangan seperti itu, yaitu karena kita tidak kunjung berhasil mencapai kondisi diri yang membuat kita pantas untuk menerima Spirit Muhammad (al-Rûh al-Muhammadiyyah).

Ingatlah bahwa Muhammad adalah manusia yang diciptakan langsung di ‘hadapan’ Allah. Kelahiran beliau sebagai manusia saja sudah cukup untuk membuat kita amat bahagia, karena sebenarnya ketujuh tingkat firdaus telah lama menantikan kehadiran beliau. Jadi wajarlah jika salah satu tugas terpenting kita di dunia adalah memahami sifat luhur Rasulullah sebagaimana yang seharusnya. Manusia takkan pernah dapat mencapai kesempurnaan hakiki tanpa memahami dan mengikuti ajaran beliau. Sebenarnya saya telah membulatkan tekad untuk melakukan semua ini, hanya saja saya sadar bahwa saya bukanlah orang yang menguasai masalah ini. Oleh sebab itu, impian saya hanya satu, yaitu terus berusaha memahami pribadi Rasulullah dan kemudian menjelaskannya kepada sebanyak mungkin orang. Tapi di atas semua yang saya miliki berkenaan dengan masalah ini, yang saya punya hanyalah sepotong niat yang tulus. Itu saja.

Sudah sejak lama saya selalu berharap untuk dapat memposisikan diri di sisi Rasulullah sebagai Qithmir si anjing, sebab saya sungguh bahagia dengan posisi itu. Hanya sayangnya seiring waktu berlalu, sedikit demi sedikit saya mulai kehilangan impian itu. Setelah itu saya bermimpi andai saja saya diciptakan sebagai sehelai rambut yang melekat di tubuh Rasulullah sehingga saya dapat terus dekat dengan sosok yang menjadi cermin kelembutan Ilahi. Tapi sekali lagi seiring berjalannya waktu, dan dengan semakin bertambahnya pengetahuan saya tentang Rasulullah, saya kembali menyadari bahwa saya tak pantas untuk mendapatkan kedudukan mulia seperti itu. Oleh sebab itu, kini saya benar-benar berharap agar dapat menjadi salah satu pengikut Rasulullah. Karena saya tahu bahwa Allah tidak akan melarang umat Muhammad untuk mendapatkan syafaat dari sang Nabi. Duhai seandainya saja kelak baginda Rasul berkenan mengakui saya sebagai pengikut beliau dan berkata: “Mereka adalah orang-orang yang tidak akan sengsara siapapun ikut duduk bersama mereka.”[2]

Ya. Saya telah membulatkan tekad untuk menyampaikan penjelasan tentang sosok agung ini. Betapa bahagia seandainya saya dapat menuangkan secawan cinta kepada Rasulullah ke dalam hati generasi ini! Tapi apa daya. Dalam urusan seperti ini, saya benar-benar laksana seekor semut yang berniat naik haji. Dengan kaki yang lemah, tampaknya saya memang takkan mampu menempuh perjalanan panjang menuju Mekah. Tapi biarlah. Kalaupun saya harus mati di tengah jalan, roh saya akan tenang karena saya mati di tengah jalan menuju Baitullah. Sungguh saya benar-benar berharap agar saya mati dalam perjalanan ini.

Muhammad adalah manusia yang memiliki dimensi berbeda dari manusia biasa. Oleh sebab itu, salah satu kewajiban yang harus kita tunaikan adalah menjaga keseimbangan diri di saat mengarungi gelombang samudera kehidupan. Ketika itu telah berhasil dilakukan, maka dimulailah rangkaian interaksi dengan Rasulullah yang gamblang dan tajam. Segala perintah hanya datang dari Rasulullah karena beliau memang satu-satuya pemimpin kita. Masyarakat yang beliau pimpin adalah masyarakat yang memiliki arti yang dalam dan tujuan yang luhur, serta selalu dinaungi oleh para malaikat sehingga kehebatannya takkan dapat dilukiskan dengan kata-kata.

Sementara orang mungkin akan berkata bahwa pernyataan ini tidak objektif sehingga patut disayangkan. Tapi apakah pendapat seperti itu pantas kita dengar, sementara setiap hari selalu saja ada pemuda-pemuda yang tercerahkan oleh nilai-nilai ajaran Muhammad Saw.?!  Apakah pendapat seperti itu pantas kita pedulikan, padahal ada sebagian umat Islam –yaitu para sahabat- yang telah berinteraksi langsung dengan Rasulullah tanpa penghalang di dunia nyata?!

Ingat, roh dan semangat Rasulullah selalu menemani kita semua. Bahkan sebagian orang menyatakan bahwa beliau menemani kita secara fisik. Imam Suyuthi misalnya, menyatakan bahwa beberapa beliau bertemu dan berbincang dengan Rasulullah Saw.

Ya. Beliau memang tidak pernah mati dalam pengertian seperti yang kita ketahui selama ini. Yang terjadi pada diri Rasulullah hanyalah perpindahan dimensi. Jadi amatlah keliru jika kita menganggap bahwa Rasulullah telah mati seperti matinya manusia biasa. Padahal al-Qur`an menyatakan dengan tegas bahwa kita dilarang mengatakan para syuhada, yang notabene berada dua tingkat di bawah para nabi, telah wafat. Jadi, bagaimana mungkin kita dapat mengatakan bahwa Rasulullah sudah ‘mati’ dalam pengertian yang biasa?

Ya. Yang dapat kita katakan adalah bahwa Rasulullah hanya pindah ke dimensi lain. Sehingga dengan begitu, orang-orang yang memiliki ketajaman hati akan dapat menjangkau dimensi tersebut untuk kemudian berjumpa dan melihat sosok Rasulullah Saw.

Sadarilah bahwa siapapun yang mampu melepaskan diri dari penjara tubuhnya, pasti akan dapat menjadi derajat kehidupan hati dan roh yang sesungguhnya. Orang-orang seperti itu akan dapat hidup di masa lalu dan masa datang sekaligus. Kalau sudah begitu, maka apakah mustahil jika Rasulullah dapat berada di akhirat, di dunia, di hadapan malaikat, dan bersama para nabi di satu waktu yang bersamaan?!

Ya. Rasulullah memang selalu hadir dan akan selalu hadir bersama kita. Saya akan menjadikan semua penjelasan ini sebagai landasan bagi apa yang akan paparkan di dalam buku ini. Karena penentuan sudut pandang atas para nabi dan Rasulullah amatlah penting bagi kita.

Akan tetapi, jika bahkan ‘hanya’ untuk memahami ajaran yang disampaikan para wali, orang-orang suci, dan para muqarrabîn –tak usah kita sertakan pula para nabi- kita membutuhkan kejernihan jiwa yang paripurna, maka apatah lagi kiranya agar kita dapat memahami ajaran yang disampaikan para nabi di dunia-material kasat mata yang memiliki banyak tabir dan hijab seperti ini?!

Jadi, untuk dapat memahami ajaran mereka, kita harus menghadapkan jiwa raga kita kepada mereka dengan persiapan hati yang utuh, ketulusan nurani yang sempurna, dan dengan penuh konsentrasi serta perhatian penuh. Jika yang ingin kita raih adalah pemahaman atas pribadi Rasulullah Saw., maka kecermatan, perhatian, dan konsentrasi harus dilipatgandakan sedemikian rupa. Hal ini perlu dilakukan karena kita tahu bahwa tingkat pengetahuan dan pemahaman kita akan berbanding sejajar dengan tingkat ketajaman mata hati kita. Meski tentu patut pula kita sadari bahwa takkan ada satu pun dari kita yang akan mampu memahami pribadi secara utuh. Demikianlah yang dinyatakan oleh Bushiri dalam syairnya:

Bagaimana mungkin hakikat beliau dapat dijangkau orang-orang
yang kerjanya hanya tidur dan gemar berleha-leha dengan mimpi!

[1] Al-Maktûbât, Badi’ al-Zaman Sa’id al-Nursi, hlm. 477.
[2] Al-Bukhari, al-Da’awât, 66; Muslim, al-Dzikr, 25; al-Tirmidzi, al-Da’awât, 129; al-Musnad, Imam Ahmad 2/252-253.