Menjamin Keseimbangan Antara Dunia Dan Akhirat
Para nabi dan rasul datang untuk menjamin keseimbangan antara dunia dan akhirat. Dengan prinsip keseimbangan yang mereka ajarkan, umat manusia akan dapat menemukan jalan lurus dan jalan hidup yang benar serta terhindar dari sikap berlebihan atau meremehkan.
Ya. Sikap meninggalkan dunia dan menyepi di kuil atau gereja seperti yang dilakukan para pendeta bukanlah sesuatu yang dianjurkan Islam. Sebagaimana pula gaya hidup tenggelam dalam gemerlap dunia dan menjadikan diri sebagai budak materi bukanlah sesuatu yang boleh dibiarkan. Jalan terbaik di antara semua itu adalah dengan menempuh jalan tengah, dan itu tidak dapat dilakukan tanpa adanya petunjuk wahyu. Akal dan naluri manusia tidak akan mampu menemukan keseimbangan hidup. Bahkan ilmu pengetahuan sekalipun takkan mampu mengantarkan manusia ke tujuan atau mengangkatnya ke pemahaman atas keseimbangan antara dunia dan akhirat.
Al-Qur`an menjelaskan keseimbangan ini dalam ayat: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (keni`matan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS al-Qashash [28]: 77).
Jadi, jika Anda ingin meletakkan apa yang dikatakan oleh ayat “Dan terhadap nikmat Tuhanmu maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur),”[1] di atas salah satu daun timbangan ilahi yang sedang kita bahas ini, maka Anda harus pula meletakkan peringatan yang disebutkan oleh ayat “kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu),”[2] di atas daun timbangan-Nya yang lain.
Demikianlah kiranya keseimbangan antara dua daun timbangan itu harus dijaga. Adapun sedekah yang dilakukan oleh Abu Bakar ra. yang mendermakan semua hartanya di jalan Allah tanpa menyisakan sedikit pun untuk keluarganya, maka hal itu memang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang telah mencapai derajat shiddîqûn.
Zaid ibn Arqam meriwayatkan sebuah peristiwa tentang Abu Bakar ra. yang terjadi pada masa kekhalifannya, sebagai berikut:
Suatu ketika Abu Bakar ra. meminta air, maka dibawakanlah kepadanya sebuah wadah yang berisi air dan madu. Tapi ketika Abu Bakar telah melekatkan bibirnya di wadah air itu, tiba-tiba dia menangis tersedu-sedu sehingga membuat semua orang yang melihatnya ikut bersedih. Abu Bakar lalu diam, sementara orang-orang di sekitarnya mulai bingung akan apa yang terjadi. Tapi Abu Bakar kembali menangis sesenggukan hingga membuat semua orang di sekelilingnya tak ada yang sampai hati bertanya kepadanya tentang tangisannya itu. Tak lama kemudian, Abu Bakar menghentikan tangisnya dan mengusap wajahnya. Orang-orang pun bertanya: “Apakah gerangan yang telah membuat engkau menangis seperti tadi?” Abu Bakar menjawab: “Suatu ketika aku pernah melihat Rasulullah bergerak menolak sesuatu seraya berkata: ‘Menjauhlah kau dariku… Menjauhlah kau dariku…’ Padahal saat itu aku tak melihat seorang pun di dekat beliau. Aku pun bertanya: ‘Wahai Rasulullah, kulihat kau menolak sesuatu tapi tak kulihat seorang pun bersamamu?’ Rasulullah menjawab: ‘Tadi dunia dan segala isinya muncul mendatangiku. Aku pun memintanya menjauhiku dan dia pun menjauh, tapi ia berkata: ‘Demi Allah, kalau saja kau tak mampu melawan godaanku, niscaya semua umatmu yang datang kemudian takkan mampu melawan godaanku.’ Itulah sebabnya aku takut kalau-kalau saat ini aku sedang tak tahan menghadapi godaan dunia. Itulah yang telah membuatku menangis.”[3]
Ya. Meski dunia mendatangi mereka, para sahabat selalu berhasil menjalani kehidupan secara seimbangan. Hal itu dapat terjadi karena mereka melihat sendiri Rasulullah yang menjadi pembimbing dan penuntun jalan mereka melewati hidup beliau dengan cara seperti itu.
[1] QS al-Dhuhâ [93]: 11.
[2] QS al-Takâtsur [102]: 8.
[3] Hilyah al-Auliyâ`, Abu Na’im 1/30-31.
- Dibuat oleh