Tujuan Diutusnya Para Nabi
Meskipun para nabi dan rasul memiliki derajat yang berbeda satu sama lain, tapi mereka semua memiliki satu kesamaan, yaitu: mereka adalah manusia-manusia pilihan karena Zat Allah telah ber-tajalli pada mereka; di samping Allah juga mengayomi, mendidik, dan membuat mereka unggul di atas seluruh semesta serta membuat hati mereka hanya dikuasai oleh-Nya.
Sebagaimana semua nabi lainnya, pandangan Rasulullah Saw. –dan beliaulah yang paling hebat dalam hal ini- hanya tertuju pada Allah semata sehingga beliau tidak pernah ‘melihat’ yang selain Dia dan tidak ada sesuatu apapun yang mampu memalingkan pandangan Rasulullah Saw. dari Allah. Sejak mata Muhammad Saw. terbuka untuk pertama kalinya, yang beliau lihat hanyalah Allah. Dan ketika beliau menutup mata untuk terakhir kalinya, yang beliau ucapkan adalah: “Wahai Allah, sang Teman yang Tertinggi…”
Mari kita simak pernyataan ibunda kita Aisyah ra.:
Ketika Rasulullah Saw. jatuh sakit menjelang wafatnya, beliau melakukan nafats[1] dengan bacaan-bacaan ta’awudz. Ketika sakitnya semakin parah, aku yang melakukan nafats pada tubuh beliau dengan bacaan yang sama lalu aku mengusap tangan beliau untuk mendapatkan berkahnya. Ketika beliau kembali merasakan sakit dan semakin parah, aku pun meraih tangan beliau untuk kulakukan seperti yang sebelumnya beliau lakukan. Tapi beliau melepaskan tangannya dari tanganku seraya berkata: “Wahai Allah ampunilah aku dan jadikanlah aku bersama sang Teman yang Tertinggi.”[2]
Dari hadits ini tampak jelas bahwa Rasulullah tidak mendambakan teman di dunia dan hanya menginginkan teman hakiki yang tidak lain adalah Allah, Tuhannya sendiri. Rasulullah sangat bersuka cita dapat bertemu dengan-Nya di dimensi yang lain. Kalau demikian, lantas apakah alasan diutusnya para nabi dan rasul –khususnya Rasulullah Saw.- ke dunia, padahal mereka adalah orang-orang yang sejak awal hidup hingga akhir hayat menjalani kehidupan yang seperti itu? Demi tujuan apakah kiranya mereka semua diutus?
Pembahasan masalah ini menjadi begitu penting disebabkan dua hal berikut:
Pertama: untuk membentuk pemahaman dan pengetahuan yang baik tentang ketinggian derajat para nabi; untuk menyingkirkan prasangka bahwa para nabi adalah manusia biasa; dan untuk menyiapkan bantahan bagi orang-orang yang berpikiran dungu seperti itu.
Kedua: untuk menemukan jalan yang harus ditempuh oleh mereka yang mewarisi tugas para nabi dan untuk menemukan aturan yang dapat dijadikan pedoman dalam pembahasan masalah ini.
Meskipun kita mengalihkan sudut pandang ulasan kita ke masalah ini, tapi pembahasan kita tetap tidak akan kehilangan urgensinya. Oleh sebab itu, sekarang saya akan mengajukan beberapa pendapat dalam poin-poin berikut ini.
[1] Meniup disertai doa tertentu, penerj-
[2] Al-Bukhari, al-Maghâzî, 83, al-Mardhâ, 19; Muslim, al-Salâm, 46; Abu Daud, al-Thibb, 19; al-Tirmidzi, al-Da’awât, 76.
- Dibuat oleh