Fathanah

Fathanah

Yang dimaksud dengan "kecerdasan" (al-fathanah) ialah: "mengungguli akal dengan akal." Pada bagian terdahulu kami telah menjelaskan bahwa kita dapat menyebut sifat para nabi yang satu ini sebagai "logika kenabian" (manthiq al-nubuwwah). Pola nalar ini mencakup seluruh aspek mulai dari aspek roh, hati, perasaan, dan berbagai lathifah[1] (esensi batiniah) lain yang kemudian digabung dalam kesatuan tunggal yang utuh.

Yang dimaksud dengan al-fathanah bukanlah sekedar "akal" dan "logika" yang kering. Sebagaimana halnya mengaitkan "Islam" hanya dengan "akal" dan "logika" juga merupakan sebuah kekeliruan. Jadi, pernyataan yang berbunyi "Islam adalah agama akal" atau "Islam adalah agama logika" bukan hanya menunjukkan ketidaktahuan pengucapkan tentang Islam, tapi juga menjadi bentuk penyimpangan yang serius.

Tidak saudaraku! Islam bukanlah "Agama Akal" atau "Agama Logika" seperti yang disangkakan oleh sementara orang, tapi Islam adalah Agama Wahyu yang berasal dari Tuhan.

Adapun jika kemudian ternyata terbukti tidak ada pertentangan antara Islam dengan akal atau logika, maka hal itu terjadi karena Islam berasal dari Allah yang pengetahuan-Nya meliputi segala sesuatu, yang kemudian diimplementasikan oleh logika kenabian komprehensif yang selalu bersesuaian dengan sumber ilahiahnya. Atau dengan kata lain, Islam adalah sebentuk Ilham Kenabian (Ilhâm Nabawi) atau Logika Kenabian (Manthiq Nabawi). Logika macam inilah yang mampu menjangkau wahyu Tuhan serta selalu terbuka bagi perasaan, hati, akal, dan falsafah yang muncul dalam bentuk esensi-esensi batiniah (lathâif) dan hukum. Jadi, logika yang sedang kita bicarakan ini mengungguli "logika biasa" yang dikenal umum, sehingga kita dapat menyebut logika ini sebagai Kecerdasan Teragung "al-fathanah al-'uzhmâ".

Seiring dengan fakta bahwa wahyu Ilahi selalu menjadi kebutuhan vital bagi umat manusia, semua wahyu tersebut harus terlebih dulu direfleksikan oleh Kecerdasan Teragung ini sebelum sampai ke tangan umat manusia. Penyebabnya adalah karena jika wahyu Ilahi itu langsung "mengalir" ke tangan manusia –seperti halnya listrik tegangan ekstra tinggi yang mengalir langsung ke sebuah alat elektronik sederhana- pastilah umat manusia akan "pingsan" dan "hangus" ketika harus berhadapan dengan wahyu Ilahi tersebut. Karena segala sesuatu pasti akan "terbakar" jika Allah menyibak tabir dari "wajah-Nya".[2]

Ya. Sifat fathanah yang dimiliki para nabi memang berfungsi seperti layaknya atmosfer yang melindungi bumi dari hantaman asteroid berupa wahyu Ilahi yang kemudian kita sebut sebagai "agama", atau wahyu Allah yang turun ke ranah pengetahuan umat manusia. Disebabkan sedemikian pentingnya fungsi Logika Kenabian (al-manthiq al-nabawi) atau Kecerdasan Kenabian (al-fathanah al-nabawiyyah) itulah sebabnya semua nabi pasti memiliki sifat fathanah dan kecerdasan; dan itulah pula sebabnya menjadi salah jika kita menyebut "kecerdasan" yang dimiliki para rasul sebagai bentuk kegeniusan (al-'abqariyyah). Karena kecerdasan yang dimiliki para nabi mengungguli semua bentuk kecerdasan makhluk, dan logika yang dimiliki para nabi mengungguli semua logika makhluk, maka kemudian kita mengenalnya dengan istilah "al-fathanah".

Jika para rasul tidak memiliki sifat fathanah, mereka tentu tidak akan mampu menjawab tantangan musuh-musuh mereka dan tidak akan mampu menjelaskan berbagai pertanyaan para pengikut mereka. Jika para nabi tidak mampu melakukan semua itu, pasti hal itu akan menyebabkan munculnya ketidakjelasan dalam agama sehingga agama akan menjadi sulit dipahami. Kalau itu yang terjadi, maka kemunculan agama menjadi tidak berguna; dan kalau kemunculan agama tidak memiliki arti apa-apa, maka penciptaan manusia juga akan menjadi sia-sia.

Demi mencegah terjadinya semua hal negatif tersebut, maka menjadi sebuah keniscayaan bagi para nabi untuk memiliki "kecerdasan adi-alami" (manthiq khâriq li-l-'âdah) yang dapat mereka gunakan untuk memecahkan berbagai masalah umat serta menyelesaikan berbagai kesulitan dengan mudah.

[1] Dalam dunia tasawuf, lathîfah (jamak: lathâif) diidentifikasi sebagai "esensi lembut (lathîf) yang ada dalam jiwa manusia". Lihat: Sufi Terminology (Amatullah Amstrong: 1995), penerj-
[2] Nabi Musa as. pernah bersabda: "Tabir Allah adalah cahaya (nûr) -dalam riwayat lain: 'Tabir Allah adalah api (nâr)'; jika Dia menyibak tabir itu, pastilah 'wajah-Nya' akan membakar semua makhluk yang dilihat-Nya." Muslim, al-Îmân, 293; Ibnu Majah, al-Muqaddimah, 113; al-Musnad, Imam Ahmad 4/401.

Pin It
  • Dibuat oleh
Hak Cipta © 2024 Fethullah Gülen Situs Web. Seluruh isi materi yang ada dalam website ini sepenuhnya dilindungi undang-undang.
fgulen.com adalah website resmi Fethullah Gülen Hojaefendi.