Shidiq

Shidiq

Sifat shidiq adalah poros utama kenabian dan menjadi pusat orbitnya. Semua yang disampaikan para nabi sepenuhnya merupakan sebuah kebenaran dan kejujuran yang murni serta tidak mungkin menyalahi hakikat kebenaran. Bahkan ketika menjelaskan keutamaan para nabi, al-Qur`an menyebutkan sifat yang satu ini.

Allah berfirman: “Ceritakanlah (hai Muhammad) kisah Ibrahim di dalam Al Kitab (Al-Qur`an) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang shiddîq (yang sangat membenarkan) lagi seorang Nabi.” (QS Maryam [19]: 41).

Melalui ayat ini Allah seakan berkata kepada Rasulullah: “Wahai Muhammad, sampaikanlah kepada umatmu bahwa di Lauh al-Mahfûzh Ibrahim as. telah tertulis sebagai sebuah nabi yang memiliki sifat shidiq yang sempurna baik dalam ucapan maupun perbuatan.”

Allah berfirman: “Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Ismail (yang tersebut) di dalam Al-Qur`an. Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya (shâdiq al-wa’d), dan dia adalah seorang rasul dan nabi.” (QS Maryam [19]: 54).

Allah berfirman: “Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka, kisah) Idris (yang tersebut) di dalam Al-Qur`an. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan (shiddîq) dan seorang nabi. Dan Kami telah mengangkatnya ke martabat yang tinggi.” (QS Maryam [19]: 56-57).

Bahkan ketika Nabi Yusuf as. dijebloskan ke dalam penjara, teman-teman satu selnya berkata: “…Yusuf, hai orang yang amat dipercaya (al-shiddîq)!” (QS Yusuf [12]: 46).

Lagi pula bagaimana mungkin para rasul itu tidak berlaku shidiq, padahal Allah telah menyeru semua orang beriman dan meminta mereka untuk menjadi orang-orang yang shidiq. Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar (al-shâdiqûn).” (QS al-taubah [9]: 119).

Bahkan Allah menyatakan bahwa orang-orang mukmin yang berjihad di jalan Allah adalah orang-orang shidiq. Allah berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS al-Hujurât [49]: 15).

Orang-orang Shidiq Berhak Dipuji

Al-Qur`an memuji orang-orang yang memiliki sifat shidiq: “Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikitpun tidak merubah (janjinya).” (QS al-Ahzâb [33]: 23).

Tapi sebelum melanjutkan pembahasan, mari kita rihat sejenak…

Anas ibn Malik ra. menjadi pelayan Rasulullah Saw. melalui sebuah peristiwa unik, yaitu ketika ibundanya menggendongnya yang baru berusia sepuluh tahun ke kediaman Rasulullah Saw. untuk diserahkan sebagai pelayan. Kala itu sang ibu berseru: “Wahai Rasulullah, ini pelayanmu Anas!” lalu wanita itu meninggalkan Anas begitu saja dan beranjak pulang.[1]

Anas ibn Malik ra. berkata: “Ayat ini turun disebabkan pamanku, Anas ibn Nadhar dan orang-orang yang seperti dia.”

Sejak Anas ibn Nadhar ra. melihat Rasulullah Saw. pada peristiwa Baitul Aqabah, paman Anas ibn Malik itu sudah amat mencintai beliau. Hanya sayangnya, disebabkan adanya beberapa hal, Anas ibn Nadhar tidak dapat ikut perang Badar, padahal perang Badar memiliki posisi khusus yang sangat istimewa di kalangan umat Islam, sehingga membuat semua sahabat yang mengikuti perang ini mendapatkan predikat khusus di antara para sahabat yang lain. Bahkan menurut Jibril as. yang menjadi panglima golongan malaikat dalam perang Badar, para malaikat yang ikut dalam perang Badar juga mendapatkan kedudukan istimewa di antara para malaikat yang lain.[2]

Tentang pamannya, Anas ibn Malik ra. menuturkan:

Pamanku yang namaku berasal dari namanya, tidak ikut berperang di Badar bersama Rasulullah Saw. Sungguh hal itu telah membuatnya gelisah. Pamanku berkata: “Pada peperangan pertama yang harus dihadapi Rasulullah aku tidak ikut serta. Seandainya saja Allah berkenan menyampaikan aku pada perang yang terjadi nanti bersama Rasulullah, pastilah Allah akan melihat apa yang kulakukan.” Rupanya pamanku berkata begitu karena dia tak sanggup mengatakan yang lebih dari itu. Maka kemudian dia ikut berperang bersama Rasulullah dalam perang Uhud. Saat itu dia bertemu Sa’d ibn Mu’adz yang bertanya kepadanya: “Wahai Abu Amr, hendak kemanakah engkau?” dia menjawab: “Semerbak aroma surga sudah kucium di kaki gunung Uhud.” Maka dia pun maju bertempur sampai terbunuh oleh musuh.[3]

Ketika mengenang kembali perang Uhud, kita pasti takkan bisa menahan sesak yang mendadak terasa di dada, sebab itulah perang yang di dalamnya tujuh puluh sahabat Rasulullah gugur sebagai syahid. Tampaknya itulah penyebab yang membuat Rasulullah Saw. setiap kali melintas di dekat Uhud selalu berkata: “Uhud adalah gunung yang mencintai kita dan kita pun mencintainya.”[4] Maksud ucapan Rasulullah ini adalah agar umat Islam tidak membenci Uhud.

Uhud memang sebuah gunung yang sulit didaki, tapi perang Uhud jauh lebih sulit dihadapi. Pada saat itu, sebagian sahabat meninggalkan pos yang telah ditetapkan oleh Rasulullah Saw. selama beberapa saat sebagai bentuk perubahan strategi. Itulah sebabnya kita tidak dapat menyebut perang Uhud sebagai sebuah kekalahan. Penghormatan kita terhadap para sahabat dan sudut pandang kita sebagai muslimlah yang mengharuskan hal itu.

Dalam pertempuran Uhud, Rasulullah terluka dan giginya patah. Bahkan ada dua buah mata rantai topi besi Rasulullah yang menancap di wajah beliau sehingga berdarah. Tapi karena Rasulullah telah diutus sebagai rahmat bagi semesta alam, beliau pun segera melepas baju besinya seraya berseru kepada Allah: “Wahai Allah, ampunilah kaumku karena mereka tidak mengetahui.”[5]

Dalam perang Uhud inilah Anas ibn Nadhr bergerak tangkas ke sana ke mari untuk memenuhi janji yang pernah diucapkannya kepada Rasulullah beberapa tahun sebelumnya. Dalam tempo singkat, sekujur tubuh paman Anas ibn Malik ini telah penuh dengan hujaman tombak dan sabetan pedang sampai akhirnya ia pun gugur sebagai syahid. Ya. Sejak awal pertempuran Anas ibn Nadhr rupanya telah menyadari bahwa hidupnya akan segera berakhir. Tapi ketika Sa’d ibn Mu’adz bertanya kepadanya tentang pertempuran, dengan enteng Anas menjawab sembari tersenyum: “Semerbak aroma surga sudah kucium di kaki gunung Uhud.”

Dalam perang Uhud, banyak syuhada yang sulit dikenali wajahnya, semisal Hamzah ra., Mush’ab ibn Umair ra., Abdullah ibn Jahsy ra., dan Anas ibn Nadhr ra. Bahkan Anas ibn Nadhr ra. hanya dapat dikenali oleh saudara perempuannya lewat jari tangannya, sebab tampaknya hanya bagian itulah yang tidak rusak oleh senjata musuh.

Sekarang mari kita lanjutkan penuturan Anas ibn Malik….

…dia lalu bertempur sampai gugur. Pada saat itu di sekujur tubuhnya terdapat lebih dari delapan puluh luka sabetan pedang dan tikaman tombak serta anak panah. Bibiku yang bernama Rubayyi’ binti Nadhr berkata: “Aku tidak dapat mengenali saudaraku itu kecuali hanya lewat jari tangannya.” Pada saat itulah turun ayat yang berbunyi: “Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikitpun tidak merubah (janjinya).” (QS al-Ahzâb [33]: 23). Para sahabat meyakini bahwa ayat itu turun berkenaan dengan Anas ibn Nadhr dan para syuhada Uhud lainnya.[6]

Ya. Ayat di atas memang menjelaskan kepahlawanan orang seperti Anas ibn Badhr. Orang yang menepati janji yang telah diikrarkannya pada dirinya bahwa ia akan bertempur sampai titik darah yang penghabisan. Akhirnya ia memang terbunuh, sebab rupanya bahkan maut pun tak mampu menghalanginya untuk menepati janji.

Ya. Dia telah menepati janjinya kepada Allah. Ketika sebuah ayat memuji para syuhada seperti mereka, maka maksud sebenarnya dari ayat itu adalah untuk menunjukkan bahwa para syuhada itu adalah teladan bagi setiap orang yang bersaksi bahwa “tiada Tuhan selain Allah”, agar mereka tidak mudah menyia-nyiakan agama, menyurutkan keimanan, atau merendahkan syariat Allah.

Sungguh Anas ibn Nadhr telah menepati janjinya, sebagaimana beberapa sahabat lain juga telah menepati janji mereka, dan semua itu mereka lakukan karena mereka telah dididik di bawah naungan Rasulullah tercinta. Jadi sebagaimana halnya sosok yang mereka cintai adalah seorang shadiq yang terpercaya, maka para sahabat dan murid-murid beliau pun menjadi orang-orang yang shadiq dan terpercaya.

[1] Muslim, Fadhâ`il al-Shahâbah, 141.
[2] Al-Bukhari, al-Maghâzî, 11; Ibnu Majah, al-Muqaddimah, 11.
[3] Muslim, al-Imârah, 148.
[4] Al-Bukhari, al-Zakâh, 54; Muslim, al-Hajj, 503, al-Fadhâ`il, 11.
[5] Al-Bukhari, al-Anbiyâ`, 54; Muslim, al-Jihâd, 101, 105.
[6] Muslim, al-Imârah, 148.

Shidiq: Secara literal dapat berarti “jujur” atau “benar”.

Pin It
  • Dibuat oleh
Hak Cipta © 2024 Fethullah Gülen Situs Web. Seluruh isi materi yang ada dalam website ini sepenuhnya dilindungi undang-undang.
fgulen.com adalah website resmi Fethullah Gülen Hojaefendi.