Dakwah; Cara Terbaik Membela Agama Allah
Perlu dipahami, bahwa agama Islam akan senantiasa dipelihara oleh Allah Swt. sebagai Pemiliknya hingga Hari Kiamat kelak. Sebab, Allah telah berjanji akan menjaga agama ini hingga Hari Penghabisan. Akan tetapi, menjaga dan mempertahankan agama ini secara personal dan kelompok sungguh sangat terkait erat dengan kemauan orang-orang yang beriman, serta keteguhan mereka untuk mau mempertahankannya. Allah „Azza wa Jalla akan membantu umat Islam di dalam merealisasikan tujuan dimaksud, asalkan mereka mau memenuhi syarat yang telah ditetapkan oleh-Nya. Jika mereka mau memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan oleh Allah, maka Allah pasti akan menepati janji-Nya. Dan hanya Allah satu-satunya Dzat Yang Maha Menepati janji.
Setiap mukmin harus menjaga agamanya secara baik. Jika mereka tidak bersedia menjaga agama yang sudah tersemat di dalam dadanya dengan baik, mereka tidak akan diberi kejayaan oleh Allah Swt.. Dengan kata lain, selama umat Islam mau berpegangteguh kepada ajaran agamanya, dan mau menyebarkan tugas sucinya secara baik, maka di saat itu mereka akan merasakan manisnya keimanan, manisnya hidup, dan manisnya bermasyarakat.
Allah Yang Maha Membantu telah membantu Rasul-Nya Saw., karena beliau senantiasa menjaga agama Islam dengan baik. Setelah beliau Saw. berpulang ke haribaan- Nya, maka generasi Islam berikutnya berkewajiban menjaga secara baik agama ini, sehingga Allah juga memberi kejayaan yang sama kepada mereka. Akan tetapi, ketika umat Islam mulai melupakan tugas suci mereka, maka Allah segera menghukum mereka dengan kehinaan; berdasarkan kepada ketetapan-Nya.
Rasulullah Saw. diberi pertolongan oleh Allah „Azza wa Jalla, karena beliau senantiasa berpegang-teguh secara baik dengan aturan agama Islam. Sehingga Rasulullah dan umat Islam pada waktu itu benar-benar merasakan manisnya hidup di dalam keimanan dan keislaman. Dan kelak, di akhirat, mereka akan mendapat surga serta berbagai kesenangan di dalamnya. Sebab, mereka telah melaksanakan tugas di kehidupan ini dengan baik, yaitu; menegakkan amar ma'ruf nahi munkar.
Rasulullah Saw. telah membiasakan kepada umat Islam pada masa itu untuk menempuh jalan terbaik, yaitu menegakkan amar ma'ruf nahi munkar sebagai tugas yang paling pokok bagi setiap mukmin. Setelah beliau Saw. tidak ada, maka tugas beliau diteruskan oleh para sahabat, sehingga mereka pun mendapat bantuan dari sisi Allah, baik ketika di alam dunia maupun di alam akhirat kelak. Mereka menyebar di berbagai belahan dunia untuk menyampaikan agama Islam. Dan di stiap tempat persinggahan, mereka senantiasa mendapat kemuliaan, karena mereka menjalankan benar-benar tugas suci mereka. Mush'ab ibn „Umair ra. pernah diutus oleh Rasulullah Saw. untuk mengajarkan Islam di kota Madinah, sampai sepertiga dari penduduknya memeluk agama Islam, dan mereka berharap sahabat-sahabat yang lain yang datang di Madinah untuk mengajarkan Islam kepada mereka. Setiap hari, para pengajar Islam berpindah-pindah tempat di antara penduduk Madinah. Seperti di rumah Usaid ibn Hudhair, Sa'ad ibn Mu'adz, Sa'ad ibn „Ubadah ra., dan di rumah sahabat-sahabat yang lain. Singkatnya, mereka sangat antusias ketika mendengar ajaran Islam yang disampaikan dari lisan Mush'ab ibn „Umair.[1]
Mush'ab ibn „Umair selalu menerangkan agama Islam dengan sikap lemah-lembut dan penuh kesungguhan. Sehingga penduduk Madinah yang tadinya datang dengan menghunus pedang, akan kembali dengan membawa keimanan di dalam sanubarinya. Mereka ini adalah para pendukung dakwah Islam yang telah bersedia menjadi tokoh-tokoh sahabat pilihan bagi Rasulullah Saw.. Dengan begitu, siapa saja yang pada mulanya bersikap antipati dan penuh kebencian terhadap agama Islam, namun dengan kelemahlembutan Mush'ab ibn „Umair, banyak yang tertarik dengan agama Islam. Kata Mush'ab ibn „Umair, “Mari kita duduk bersama untuk mendengar ajaran agama ini. Jika kalian mau, maka silakan menerimanya. Dan jika kalian tidak mau, maka kalian boleh meninggalkannya. Demi Allah, aku tidak akan memaksakan kalian sedikit pun, meski leherku harus dipotong karenanya.”
Demikianlah cara-cara yang disampaikan oleh Mush'ab ibn „Umair pada saat berdakwah di kota Madinah. Ia tidak peduli dengan kesulitan apa pun yang menghadangnya, sekalipun berbentuk kematian. Ia juga tidak peduli kepada apa saja yang merintangi jalannya. Tujua dia hanya satu, menyampaikan kebenaran kepada orang lain. Hingga dengan kemurahan Allah Swt., semakin hari jumlah pengikut „Umair bertambah banyak, dan ia terus mengajak manusia masuk ke dalam pelukan agama Islam sampai ia meninggal dunia di medan Badar.
Demikianlah, sahabat yang lain juga senantiasa berdakwah seperti apa yang pernah dilakukan oleh Mush'ab ibn „Umair ra. Akan tetapi, pada saat perang Uhud tiba, para sahabat menggunakan senjata masing-masing demi mempertahankan agama ini. Sebab, mengajarkan Islam kepada orang lain hukumnya wajib, dan membela tegaknya ajaran agama Islam hukumnya juga wajib.
Mush'ab ibn „Umair ra. juga senantiasa berdakwah dan tidak pernah berhenti berjuang, sampai ia mengembuskan nafas terakhir sebagai syahid di medan Badar. Di sore hari, setelah usai pertempuran di medan Badar, pada saat Rasulullah Saw. memanggil nama Mush'ab ibn „Umair, maka para malaikat menjawab, “Ya Rasulullah, Mush'ab telah tiada di antara kita.” Sehingga Rasulullah mengetahui, bahwa Mush'ab telah meninggal dunia sebagai syahid di medan Badar.
Setelah peperangan selesai, Rasulullah Saw. dan para sahabat yang lain mendatangi jasad Mush'ab yang ruhnya telah kembali ke haribaan-Nya. Mereka mendapati, bahwa kedua tangan Mush'ab telah terlepas dari bahu masing-masing, dan kepala Mush'ab terlepas dari lehernya. Sedangkan wajah Mush'ab yang diberkahi tertelungkup di bawah tanah dengan darah yang masih segar menggenang;[2] seolah-olah ia tidak ingin kalau Rasulullah melihatnya, sehingga ia menyembunyikan wajahnya agar tidak disaksikan secara langsung oleh orang yang merasa khawatir terhadap dirinya. Atau seolah-olah ia merasa malu ketika harus meninggal dunia di medan Badar, sebelum menyaksikan keselamatan diri beliau, atau sebelum ia menunaikan kewajiban lainnya hingga selesai.[3]
Sahabat-sahabat Rasulullah Saw. yang berjiwa seperti itu bukan hanya sahabat Mush'ab ibn „Umair saja. Bahkan hampir semua dari mereka mempunyai keberanian yang sama dalam membela agama ini. Demikianlah cara Allah „Azza wa Jalla menjaga agama Islam, sampai pada waktu yang telah Dia tentukan sendiri. Ketika sebagian muslim telah melalaikan tugas sucinya, maka di saat itulah Allah tidak memberikan bantuan-Nya lagi kepada umat Islam. Sehingga mereka dikuasai oleh tentara salib sebelum tibanya Shalahuddin al-Ayyubi untuk membela agama ini.
Sebelum itu, umat Islam sangat menderita, dan bertahun-tahun menangisi nasib mereka, karena mereka berada di bawah kekuasaan tentara salib. Sampai pada suatu saat, ketika khatib Jum'at berkata, “Seharusnya kita bergembira dan tertawa.” Setelah shalat Jum'at usai, maka Shalahuddin berkata, “Apakah engkau tujukan ucapanmu tadi kepadaku? Jika benar, maka katakan kepadaku, demi Tuhan-mu, bagaimana aku akan tertawa, sedangkan Masjid al-Aqsa, tempat Isra' Mi'raj Nabi kita, masih dikuasai oleh tentara salib?” Padahal pada waktu itu, Shalahuddin dan bala tentaranya tidak lagi mempunyai tempat berteduh (rumah tinggal yang permanen) selain beberapa buah perkemahan saja. Pada saat yang bersamaan, ia juga berkata, “Bagaimana aku akan memiliki sebuah rumah, padahal rumah Allah tengah berada di bawah kekuasaan tentara salib?”
Demikianlah, akhirnya Shalahuddin memimpin sejumlah pasukan Islam untuk membela agama ini mati-matian, sehingga Allah Swt. memberinya dan umat Islam kemenangan bagi kejayaan Islam melalui kepemimpinannya.
Setiap muslim harus mengenal agamanya lebih dahulu, kemudian mewarnai hidupnya dengan keislaman, sambil mengajak orang lain juga hidup di dalam keislaman. Setiap mukmin memiliki kewajiban untuk mengajak orang lain memeluk agama Islam. Insya Allah pada kesempatan berikutnya akan kami terangkan mengenai masalah ini. Sebab, masalah ini sangat penting untuk diketahui oleh setiap muslim dan mukmin pada masa sekarang ini.
Saat ini banyak muslim yang melupakan agamanya, meski hal itu terjadi sedikit demi sedikit. Di samping itu, juga banyak orang muslim yang menyerahkan tugas keagamaannya kepada golongan tertentu, sedangkan yang lain seolah tidak peduli sedikit pun kepada kelompoknya. Inilah yang kemudian menyebabkan umat Islam pada masa kita sekarang ini tidak mempunyai nilai yang berarti di hadapan musuh-musuh Islam.
Perlu diketahui, bahwa tugas memperjuangkan agama ini tidak boleh dipegang oleh suatu kelompok saja, dan tidak boleh berhenti sesaat pun untuk menegakkan agama ini. Sebab, agama ini adalah milik seluruh muslim. Oleh karena itu, seluruh umat Islam harus ikut mempertahankan agama ini sampai titik darah penghabisan.
Sehingga hubungan seorang muslim dengan Tuhan-nya tidak akan terputus oleh penghalang apa pun. Jika kita menyerahkan tugas keagamaan ini hanya kepada sebagian orang saja, maka kita termasuk orang yang berdosa. Tidak seorang pun akan selamat dari siksa Allah Swt., kecuali jika kita menyampaikan kewajiban yang paling utama, yaitu menegakkan amar ma'ruf nahi munkar. Jika kita telah melupakan tugas suci kita itu, maka dampak negatifnya akan tetap mengancam ke arah kita sendiri.
Jika tugas menjaga agama diserahkan kepada suatu kelompok saja, maka pemikiran semacam itu adalah keliru, dan tentunya tidak akan terlepas dari siksa Allah. Apabila kita tidak menunaikan penyebaran agama Islam kepada orang lain, yang disebabkan oleh adanya pembagian tugas semacam itu, maka semua ini hanya merupakan permainan dari bangsa asing yang tidak suka dengan kemuliaan Islam.
Sebab, perbuatan semacam itu tidak ada hubungannya dengan pemahaman jihad dan dakwah menurut pandangan ajaran Islam. Karena, Islam tidak boleh dibatasi di antara dinding-dinding masjid saja. Ajaran Islam diciptakan oleh Allah „Azza wa Jalla untuk memakmurkan isi dunia ini, demi mencapai kebahagiaan di negeri akhirat kelak. Dengan redaksi yang berbeda dapat dikatakan, bahwa Islam tidak mau menerima adanya pembagian tugas yang bersifat parsial semata.
Pada masa sekarang ini, kita harus menyebarkan agama Islam, dan kita harus bangga dengan keislaman kita, baik secara individu maupun secara kelompok. Karena, hanya dengan cahaya Islam saja manusia akan selamat dari kesesatan. Di masa Rasulullah Saw., penyebaran agama tidak dipikul oleh Rasulullah Saw. sendiri, akan tetapi dipikul secara bersama-sama dengan para sahabat beliau ra. Perlu saya sampaikan di sini, bahwa jika kita tidak bersedia mengubah nasib kita, maka sungguh Allah Yang Mahakuasa tidak akan pernah mengubah nasib kita. Dengan demikian, tersebarnya agama ini harus dipikul secara bersama-sama oleh setiap mukmin, agar setiap orang dapat merasakan kebahagiaan dunia dan akhirat.
Suatu masyarakat terdiri dari sejumlah orang yang berserikat. Jika keimanan mereka sehat, seluruh aktivitas masyarakat lainnya akan ikut sehat pula. Masyarakat yang sehat adalah masyarakat yang dapat mewujudkan tugas sucinya, amar ma'ruf nahi munkar. Kalau begitu, siapa yang akan menegakkan tugas suci ini jika bukan setiap mukmin itu sendiri.
Adapun tata cara berdakwah yang baik dan benar telah diterangkan oleh Allah dan Rasul-Nya, agar dakwah Islamiah dapat mencapai hasil yang maksimal. Sebab, Allah tidak akan rela jika seorang da'i menempuh jalan yang tidak lurus di dalam berdakwah. Jika suatu urusan sudah tidak diridhai oleh Allah „Azza wa Jalla, maka pasti urusan itu tidak akan pernah mencapai hasil yang maksimal; meskipun seluruh dunia merestuinya.
Perlu diketahui pula, bahwa kasih sayang dan keridhaan Allah akan senantiasa berada dekat dengan orang-orang yang selalu dekat dengan-Nya. Kita tidak akan pernah mencapai keberhasilan, kecuali jika kita menempuh perjalanan yang telah dibimbingkan oleh orang-orang yang menegakkan amanah ini dengan sungguh-sungguh. Keberhasilan kita untuk menegakkan agama ini sangat terkait erat dengan kesungguhan kita dalam penyebarannya.
[1] Lihat lebih lanjut penjelasannya dalam kitab Hilyah al-Auliyâ’, karya Imam Abu Nu’aim, Jilid 1, halaman 107. Juga dalam kitab al-Thabaqât al-Kubrâ, karya Imam Ibnu Sa’ad, Jilid 1, halaman 220.
[2] Lihat lebih lanjut dalam kitab al-Thabaqât al-Kubrâ, karya Imam Ibnu Sa’ad, Jilid 2, halaman 43. Juga pada Jilid 3, halaman 120-121.
[3] Lihat lebih lanjut dalam kitab al-Rijâl Haula al-Rasûl, karya Khalid Muhammad Khalid, halaman 52.
- Dibuat oleh