Ketika Dakwah Dilaksanakan

Dakwah Sebagai Tugas Penting

Rasulullah Saw. pernah bersabda, “Seorang Muslim adalah siapa saja yang dapat menyelamatkan umat Islam dari gangguan lisan dan tangannya.”[1]

Dari sabda Rasulullah Saw. di atas dapat disimpulkan, bahwa setiap muslim tidak dapat meremehkan saudaranya sesama muslim, baik itu karena keunggulan harta, kehormatan, maupun kedudukannya. Demikian pula seorang yang mengaku diri sebagai muslim tidak diperkenankan berbuat sewenang-wenang terhadap sesamanya, yang itu dapat meremehkan kedudukan sesamanya.

Misalnya saja, seorang suami yang mempunyai hubungan sangat erat dengan istrinya, dengan demikian ia (sang suami) tidak diperkenankan untuk meremehkan sang istri sekehendaknya. Begitu pula sebaliknya, apabila seorang istri tidak pernah menutup auratnya dari laki-laki lain, maka ia akan menanggung dosa atas kesalahannya sendiri. Meski demikian, ia tidak diperkenankan sekehendaknya sendiri membuka auratnya di depan laki-laki lain.

Andaikata seorang muslim laki-laki memandang permasalahan ini dari sudut pandang pribadinya, atau mungkin seorang muslim melihat masalah ini dengan kaca mata yang lebih detail, sehingga menilai seorang wanita yang telah membuka auratnya di hadapan laki-laki lain sebagai perbuatan dosa yang besar, maka tentunya permasalahan ini sangat bergantung kepada penilaian dari pribadi si muslim itu sendiri.

Dalam kaitan dengan permasalahan ini, Saya pernah berkenalan dengan sejumlah pemuda yang biasa menyaksikan aurat wanita yang bukan muhrim. Andaikata pandangan mereka terarah kepada sesuatu yang diharamkan dalam perjalanan mereka, disebabkan mereka harus memenuhi kebutuhan sehari-hari di pasar, maka mereka bersedekah pada hari itu untuk menebus dosa-dosa mereka, disebabkan telah melihat sejumlah wanita yang telah membuka kerudungnya.

Memang, idealnya setiap muslim mempunyai sikap atau kepribadian seperti itu, agar ia merasa aman (terbebas) dari gangguan sesama muslim lainnya. Setiap muslim tidak boleh mengambil harta sesamanya dengan cara yang zhalim, meskipun itu hanya sesuap nasi. Bahkan, tidak diperkenankan berpikir atau tergerak dalam sanubarinya untuk memiliki harta orang lain melalui cara-cara yang tidak dibenarkan oleh Allah dan Rasul- Nya. Sebab, setiap Muslim harus tetap menjaga kepercayaan serta kejujurannya. Tidak akan pernah berdiri kokoh suatu masyarakat muslim, melainkan apabila anggota masyarakatnya mempunyai kejujuran dan rasa amanah yang penuh (utuh). Sehingga tidak seorang pun dari masyarakat muslim yang merasa takut dari penyelewengan saudaranya.

Adapun kebalikan dari pengertian hadis di atas adalah sebagai berikut, “Seorang kafir adalah siapa yang tidak dapat menjaga orang lain dari gangguan lisan maupun tangan.” Memang, dewasa ini hampir semua orang merasa takut dengan orang-orang yang tidak mempunyai sifat amanah dan jujur. Bukankah kejadian-kejadian dalam sejarah telah membuktikan berkaitan dengan hal-hal seperti itu? Akan tetapi, agama Islam tetap memerintahkan kepada penganutnya untuk memiliki akhlak yang mulia, sehingga masyarakat muslim berbeda dari masyarakat lainnya karena kuluhuran dan kumuliaan akhlaknya. Yang demikian itu disebabkan kebanyakan masyarakat dunia yang ada pada masa ini sudah tidak mempunyai perasaan jujur dan amanah. Bahkan, sudah cenderung menganggap segala bentuk kemunkaran sebagai kebaikan.

Sebaliknya, masyarakat muslim menikmati rasa aman dari segala bentuk perbuatan munkar yang terjadi pada masayarakat lainnya, sehingga karakter mereka sangat berbeda jauh dari karakter masyarakat non-muslim. Memang, sudah seharusnya semua masyarakat muslim memiliki moral atau akhlak yang mulia, sebelum memindahkannya kepada masyarakat non-muslim. Dengan kata lain, setiap muslim harus mempunyai pribadi dan moral yang mulia. Setelah itu, masyarakat muslim secara masif menebarkan kemuliaan akhlak yang dimilikinya kepada masyarakat di sekitarnya dalam skala yang lebih besar lagi, negara. Karena, masyarakat yang bercahaya akan terdiri dari orang-orang yang bercahaya pula. Orang yang mempunyai kepribadian baik akan menimbulkan atau mengundang sikap simpatik dari orang lain.

Contohnya adalah pribadi Kaisar Najasyi. Ia seorang Kaisar yang sangat agung karena kepribadian yang ada pada dirinya, dan ia telah dinyatakan memeluk agama Islam. Kaisar Najasyi adalah seorang penguasa dari negeri Habasyah (Ethiopia). Pada masa itu, di sana terdapat sekelompok umat muslim yang meminta perlindungan kepadanya. Waktu itu, mereka diberi perlindungan secara langsung oleh sang Kaisar. Bahkan, ia kemudian memeluk agama Islam, karena merasa simpatik kepada akhlah mulia yang ditunjukkan oleh sekelompok umat muslim yang sampai di negerinya. Dia menyatakan keimanannya langsung kepada Rasulullah Saw.. Yang demikian itu adalah berkat adanya amar ma'ruf nahi munkar yang dikembangkan oleh kaum muslim yang saat itu berada di bawah naungan atau perlindungannya.

Peristiwa tersebut dapat dibuktikan melalui sebuah surat yang dikirimkan oleh Kaisar Najasyi kepada Rasulullah Saw., yang ditulis dalam format sangat sopan sebagai berikut, “Kepada Muhammad, seorang utusan Allah, dari kaisar Najasyi.” Ia menyebut lebih dahulu nama Rasululah Saw. sebelum menyebutkan nama dan kebesaran atau kekuasaannya sendiri. Ia mengutarakan dalam isi suratnya dengan sedemikian sopan terhadap pribadi Rasulullah Saw., karena di dalam lubuk sanubarinya terdapat keimanan yang cukup kuat. Sehingga surat dari kaisar Najasyi itu patut direnungkan oleh setiap muslim sebagai teladan dalam bersikap.

Selanjutnya, Kaisar Najasyi menyebutkan di dalam isi suratnya sebagai berikut, “Aku bersaksi, bahwa engkau adalah seorang utusan Allah. Ketahuilah, bahwa aku tidak memiliki apa pun kecuali diriku sendiri. Jika engkau menyuruhku untuk datang kepadamu, maka pasti aku akan datang ke tempatmu, wahai Rasulullah. Dan aku bersaksi, bahwa apa saja yang telah dan akan engkau katakan adalah benar.”[2]

Pada kesempatan yang berbeda, Kaisar Najasyi pernah mengucapkan perasaannya sebagai berikut, “Aku telah bersaksi, bahwa beliau Saw. adalah utusan Allah yang pernah diberitahukan oleh „Isa putra Maryam kepada kami di dalam isi kitab yang pernah beliau sampaikan. Andaikata aku tidak bertanggung jawab untuk mengepalai negeriku ini, maka pasti aku akan datang kepada beliau untuk membawakan kedua sandal beliau Saw. (mengabdi kepada beliau).”[3]

Sesungguhnya yang mendorong Kaisar Najasyi untuk menuliskan suratnya seindah itu tidak lain hanyalah kehidupan Islam yang ia saksikan dari sebagian sahabat Rasulullah Saw. yang tengah meminta perlindungan kepadanya. Termasuk pula perilaku dan ucapan-ucapan mereka yang menimbulkan rasa simpatik di sanubarinya sebagai berikut. Kota Mekah telah menjadi sempit untuk didiami umat Islam, sehingga tidak seorang muslim pun yang merasa aman dalam kehidupan, harta, kehormatan, dan kemuliaan mereka di sana. Oleh karena itu, mereka diberi izin oleh Rasulullah Saw. untuk berhijrah ke negeri Habasyah. Sehingga sebagian dari umat Islam pergi ke negeri Habasyah, dan mereka disambut dengan sambutan yang mulia, lebih dari apa yang mereka harapkan. Akan tetapi, kaum musyrik Quraisy di Mekah ingin mempersempit ruang gerak kaum muslim di negeri Habasyah. Mereka pun bersepakat untuk mengirimkan sejumlah utusan ke negeri tersebut di bawah kepemimpinan „Amru ibn al-Âsh, seorang Quraisy yang sangat cerdas. Para utusan kaum Quraisy Mekah itu berusaha memengaruhi Kaisar Najasyi, agar mengusir kaum Muslim dari negeri Habasyah, dan tidak lagi mendapatkan pengamanan dari Kaisar Najasyi.

Pada mulanya Kaisar Najasyi mendengarkan bujukan utusan kaum Quraisy itu. Akan tetapi kemudian, Kaisar Najasyi berpikir sangat panjang, sehingga ia tidak pernah mengusir siapa pun dari negerinya yang telah diberi pengamanan olehnya, disebabkan hasutan dari pihak lain. Kaisar Najasyi segera memanggil umat Islam yang berada di negeri Habasyah dan mengajukan sejumlah pertanyaan kepada mereka. Akhirnya, kaum Muslim menghadap Kaisar Najasyi di bawah komando Ja'far ibn Abi Thalib ra, dan ia sebagai saudara misan Rasulullah Saw. sekaligus bertindak atas nama seorang yang cukup terpandang di kota Mekah. Dengan kata lain, pada waktu itu kaum muslim memilih Ja'far sebagai pimpinan mereka ketika menghadap kepada Kaisar Najasyi. Semuanya sepakat kepada ucapan Ja'far.

Biasanya, setiap orang yang hendak menghadap kepada Kaisar Najasyi, maka ia bersujud kepadanya sebagai bentuk penghormatan kepada kekuasaannya. Akan tetapi, kaum muslim tidak melakukan kebiasaan itu (tidak mau bersujud) kepada Kaisar Najasyi, karena Islam melarang umatnya bersujud kepada selain Allah Swt.. Melihat kejadian dan perilaku kaum muslim itu, para utusan Quraisy pun merasa senang. Dalam bayangan mereka, Kaisar Najasyi akan murka kepada kaum muslim yang tidak mau bersujud kepadanya. Akan tetapi, pada kenyataannya, Kaisar Najasyi justru tidak marah kepada umat Islam yang tidak mau bersujud kepadanya.

Menurut hemat kami, alangkah bijak jika para penguasa negeri dewasa ini tidak marah kepada siapa pun yang tidak bersedia untuk bersujud (menghamba) kepada mereka. Apalagi, dewasa ini umat manusia telah menganut prinsip yang disebut-sebut sebagai demokrasi. Dimana, Kaisar Najasyi telah menjalankan prinsip tersebut sejak lebih dari lima belas abad yang lalu. Oleh karena itu, kita layak membanggakan kebesaran pribadi Kaisar Najasyi.

Pada waktu itu, Kaisar Najasyi bertanya kepada kaum muslim dengan berbagai pertanyaan, dan semua pertanyaan tersebut dijawab oleh Ja'far ibn Abi Thalib ra. secara lugas, tegas, dan berani. Adapun jawaban yang diberikan oleh Ja'far adalah sebagai berikut, “Wahai Kaisar, sebelum ini kami hanyalah sebuah kaum yang jahil. Kami menyembah sejumlah patung, mengonsumsi bangkai, melakukan berbagai perbuatan keji (zina), memutuskan tali persaudaraan, dan orang-orang yang kuat menindas siapa saja yang lemah di bawah kendali kami. Itulah keadaan kami pada di masa lalu.

Setelah Allah Swt. mengutus Rasul-Nya kepada kami, dan kami telah mengenal beliau Saw. dari keturunan, kejujuran, sikap amanah, dan kebesaran pribadi beliau. Beliau Saw. menyeru kami ke jalan Allah, dan melarang kami menyembah selain Dia. Beliau Saw. memerintahkan kepada kami agar bertutur kata yang baik dan jujur, menyampaikan amanah kepada siapa yang berhak, menyambung tali persaudaraan, berbuat baik kepada tetangga, serta melarang kami dari melakukan segala bentuk perbuatan buruk dan dosa. Beliau juga melarang kami membunuh orang lain dengan cara-cara yang tidak dibenarkan, serta melarang kami dari melakukan segala jenis perbuatan keji, seperti; berucap yang tidak baik, memakan harta anak yatim, menuduh wanita yang suci dengan tuduhan yang tidak baik.

Beliau Saw. menyuruh kami menyembah Allah Yang Maha Esa, dan tidak menyekutukan-Nya dengan siapa pun. Selin itu, beliau Saw. juga meminta kepada kami untuk melakukan ibadah seperti shalat, menunaikan zakat dan berpuasa. Selanjutnya, Ja'far ibn Abi Thalib ra. menerangkan masalah-masalah Islam dengan gamblang. Oleh karena itu, kami di sini karena beriman kepada apa yang beliau sampaikan, dan mengikuti semua yang beliau ajarkan. Kami menyembah Allah Yang Maha Esa tanpa menyekutukan- Nya dengan siapa dan apa pun. Kami menjauhi segala apa yang telah diharamkan bagi kami, dan mengerjakan apa saja yang telah dihalalkan bagi kami.

Lalu kaum kami murka, dan menyiksa kami. Mereka ingin agar kami meninggalkan agama kami yang baru, dan mengembalikan kami kepada agama kami yang lama, yaitu menyembah patung-patung serta menghalalkan apa saja yang telah diharamkan oleh agama kami ini. Jika kami menolak ajakan mereka, mereka akan menyiksa kami sekeraskerasnya, sampai kami melarikan diri ke negerimu ini, dan berharap perlindunganmu tanpa dianiaya oleh siapa pun di negeri ini.”

Selanjutnya Ja'far menerangkan tentang kisah Nabi „Isa as., putra Maryam, dan ia membacakan firman Allah Swt. dengan penuh kekhusyu'an. Sehingga Kaisar Najasyi tidak dapat menahan cucuran air matanya. Sampai akhirnya Kaisar Najasyi memukulkan tongkatnya ke tanah seraya bertanya, “Selain itu, apa saja yang telah kalian ketahui tentang „Isa putra Maryam?” Jawab Ja'far, “Beliau as. adalah utusan Allah, dan beliau mendapatkan wahyu dari sisi Allah, seperti para Nabi dan Rasul yang lain.”[4]

Mendengar ucapan Ja'far yang disampaikan secara lugas, maka Kaisar Najasyi mengembalikan semua hadiah yang diberikan oleh kaum Quraisy kepadanya, dan untuk selanjutnya ia mengumumkan kepada para utusan kaum Quraisy, bahwa ia akan memberi perlindungan kepada kaum muslim, disebabkan perilaku dan tutur kata kaum muslim pada waktu itu menimbulkan simpatik di qalbu Kaisar Najasyi. Kemudian, Kaisar Najasyi mengumumkan keislamannya di hadapan kaum Muslim.

Jika kami kembali kepada kisah di atas, maka dapat kami simpulkan bahwa menegakkan amar ma'ruf nahi munkar menjadi kewajiban bagi setiap muslim. Tanpa melakukan hal itu, maka tidak akan mungkin timbul masyarakat yang baik moralnya. Sebab, menegakkan amar ma'ruf nahi munkar sangat dibutuhkan oleh semua umat manusia, apalagi sifat baik dan buruknya manusia tidak dapat berlaku lama atau abadi. Sifat tersebut adakalanya dapat terbentuk dengan adanya amar ma'ruf nahi munkar, akan tetapi adakalanya pula dapat menghilang sewaktu-waktu. Hanya para Nabi dan Rasul saja yang memiliki budi pekerti mulia, karena Allah Swt. telah menganugerahkan kepada mereka kemuliaan akhlak atas kesungguhan mereka menegakkan amar ma'ruf nahi munkar. Selain itu, Allah Yang Maha Mengetahui memiliki ilmu yang bersifat azali dan abadi, sehingga ilmu-Nya tidak terbatas oleh apa pun. Karena itu, selain para Nabi dan Rasul, moral mereka dapat berubah-ubah sewaktu-waktu.

Sebagai kesimpulannya, perlu kami sampaikan di sini, bahwa segala keutamaan yang telah dan hendak dicapai dengan ditegakkannya amar ma'ruf nahi munkar oleh individu maupun kelompok, maka akan selamanya dalam keadaan baik. Akan tetapi, jika permasalahan ini sudah mulai ditinggalkan oleh manusia, maka corak kehidupan mereka yang dahulunya baik akan menurun secara berangsur-angsur, sampai ke titik yang paling rendah. Oleh karena itu, tugas suci ini harus dilaksanakan secara terus-menerus, baik itu perorangan maupun kolektif, demi untuk menjaga kebahagiaan suatu masyarakat. Karenanya pula, Rasulullah Saw. mau menerima bai'at dari setiap orang yang hendak memeluk agama Islam, dan akan menganjurkan untuk mereka bersedia menegakkan amar ma'ruf nahi munkar.

Misalnya, beliau Saw. menerima bai'at dari Jarir bin „Abdillah al-Bajali ra., asalkan ia mau menegakkan amar ma'ruf nahi munkar. Seperti yang dikatakan sebagai berikut, “Aku berbai'at kepada Rasulullah untuk mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan saling menasihati kepada setiap muslim.”[5] Penjelasan atas sabda Rasulullah Saw. ini adalah, kepada setiap mereka yang melakukan sumpah setia akan diperintahkan untuk menegakkan amar ma'ruf nahi munkar secara berkesinambungan.

Oleh sebab itu, sebenarnya menegakkan amar ma'ruf nahi munkar dapat menciptakan berbagai corak kehidupan yang lebih baik, melalui berbagai macam sarana ibadah bagi orang lain. Sebab, mereka yang menegakkan amar ma'ruf nahi munkar telah menghiasi dirinya dengan berbagai perbuatan baik. Bahkan, pihak lain akan mencontoh perbuatan baik orang tersebut, karena ia telah bersedia memikul tugas yang sungguh berat. Sebuah tugas yang pernah diemban oleh para Nabi dan Rasul. Tentunya orang itu mempunyai sifat yang mulia, seperti juga yang dimiliki oleh para Nabi dan Rasul.

Allah Swt. telah menggambarkan betapa beratnya mengemban tugas amar ma'ruf nahi munkar, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya berikut ini, “Wahai anakku, dirikanlah shalat, dan suruhlah manusia mengerjakan yang baik, serta cegahlah mereka dari perbuatan yang munkar; dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa engkau. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan oleh Allah,” (QS Luqmân [31]: 17).

Dari firman Allah Swt. di atas dapat disimpulkan, bahwa Luqman menyuruh putranya mendirikan shalat sebagai bagian dari nasihatnya yang pertama, kemudian memintanya untuk menegakkan amar ma'ruf nahi munkar. Seolah-olah Luqman al-Hakim menasihati putranya, “Wahai putraku, sesungguhnya seseorang yang tidak melakukan shalat, maka seluruh perbuatan baiknya tidak akan berguna bagi dirinya. Sebab, shalat adalah salah satu persyaratan untuk diterimanya berbagai amal kebajikan lainnya. Oleh karena itu, tegakkanlah shalat secara baik dan benar, kemudian tegakkanlah tugas sucimu berikutnya, yaitu ber-amar ma'ruf nahi munkar. Ketika engkau menunaikan tugas sucimu itu, maka engkau akan menghadapi berbagai macam cobaan dari sisi Allah „Azza wa Jalla. Hadapilah segala bentuk cobaan Allah tersebut dengan kesabaran tanpa batas.

Tidak perlu diragukan lagi, bahwa siapa saja yang bersedia menegakkan amar ma'ruf nahi munkar, maka pasti akan menghadapi berbagai jenis cobaan dari sisi Allah Swt., sebagai salah satu dari bentuk ujian baginya. Bahkan, ia akan selalu menunggu kapan datangnya cobaan dari Allah itu, karena qalbunya tidak menganggap cobaan itu sebagai musibah, akan tetapi justru sebagai karunia baginya agar selalu dekat dengan-Nya. Apalagi ia menganggap tugas sucinya itu sebagai karunia dari sisi Allah, seperti yang pernah dipikul oleh para Nabi dan Rasul di masa lalu, serta ia berharap mendapatkan pahala yang besar di sisi Allah Yang Maha Memberi. Menurutnya, seberapa besar cobaan dari sisi Allah yang harus ia hadapi, maka pahalanya akan semakin bertambah besar. Seperti yang telah diberikan kepada para Nabi dan Rasul di masa lalu. Para da'i itu selalu menunggu-nunggu kapan datangnya berbagai cobaan dari sisi Allah, dan mereka akan menghadapinya dengan sabar yang disertai keikhlasan penuh.

Berkaitan dengan masalah ini Rasulullah Saw. pernah menyebutkan dalam salah satu sabda beliau berikut ini, “Sebaik-baik umatku adalah mereka yang berada di antara orang-orang yang jahil, di tengah ujian dan tuntutan untuk berjuang menegakkan kebenaran.”[6]

Ada sebuah hadis lain yang artinya sebagai berikut, “Jika seorang muslim suka bergaul dengan orang banyak, dan ia bersabar atas gangguan mereka, maka ia lebih baik dari seorang muslim yang tidak pernah bergaul dengan orang banyak serta ia tidak pernah bersabar atas gangguan mereka.”[7]

Sebenarnya, menegakkan tugas suci amar ma'ruf nahi munkar di tengah masyarakat yang telah rusak merupakan pekerjaan yang cukup meminta perhatian. Sehingga nilainya pun akan jauh lebih bagus daripada beribadah dengan cara mengasingkan diri dari orang banyak. Andaikata tugas ini tidak mempunyai nilai lebih dari ibadah seseorang, tentunya Rasulullah Saw. tidak akan pernah meninggalkan kediaman beliau untuk berhijrah, dan tidak akan melepaskan diri beliau dari senantiasa beribadah kepada Allah. Atau dengan kata lain, tentunya beliau tidak akan bergaul dengan orang banyak. Demikian pula, andaikata tugas suci ber-amar ma'ruf nahi munkar tidak lebih mulia nilainya dari berbagai macam ibadah-ibadah individu yang lain, tentunya Allah Swt. tidak akan berfirman sebagai berikut, “Wahai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah! Lalu berilah peringatan!,” (QS al- Muddatstsir [74]: 1-2).

Memang semua ajaran agama ini berisikan nasihat bagi setiap pengikutnya. Karenanya, menegakkan tugas suci berupa amar ma'ruf nahi munkar merupakan pengabdian paling besar. Seperti pernah disebutkan di dalam sabda Rasulullah Saw. berikut ini, “Agama itu adalah bagian dari nasihat.” Para sahabat yang mendengar sabda beliau itu segera mengajukan pertanyaan, “Bagi siapakah, wahai Rasulullah, nasihat dimaksud?” Beliau Saw. menjawab, “Bagi Allah, bagi Kitabullah, bagi Rasul-Nya, bagi para tokoh Islam, dan bagi kaum muslim pada umumnya.”[8]

Berdasarkan kedua hadis di atas, maka setiap yang mengaku dirinya beriman kepada Allah Swt. memiliki kewajiban untuk mengenalkan Dzat Allah kepada orang lain secara berkesinambungan. Bahkan, setiap muslim akan berusaha untuk menegakkan amar ma'ruf nahi munkar secara terus-menerus, sehingga banyak orang yang akan mengenal Allah. Selain itu, mereka diharuskan untuk mengenalkan Rasulullah Muhammad Saw. kepada orang lain, agar mereka mau mengikuti sunnah dan jejak pribadi beliau yang sangat mulia.

Demikian pula setiap da'i harus mengenalkan kepada setiap muslim atas kitab Al- Qur'an sebagai petunjuk yang memberi penerangan bagi orang-orang yang bertakwa. Perlu diketahui pula, bahwa kejayaan dan kebesaran umat Islam pada masa lalu sangat terkait dengan berpegang-teguhnya mereka kepada tali Allah Swt., Rasulullah Saw., dan Al-Qur'an. Sebagaimana yang pernah dicatat dalam sejarah keemasan Islam, bahwa selama umat Islam berpegang-teguh kepada Allah, sunnah Rasul-Nya, dan kitab Al-Qur'an, maka mereka akan tetap jaya serta dihormati oleh musuh-musuh Islam. Karenanya, musuhmusuh umat Islam akan senantiasa menjauhkan umat yang mulia ini dari Al-Qur'an dan al-Sunnah.

Pada masa sekarang ini, kita harus lebih (akstra) merenungkan di manakah kunci kejayaan umat Islam di masa lalu? Dan, untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka saya perlu menjelaskan kuncinya di dalam buku ini. Pada masa kita ini, umat Islam banyak yang tidak mengerti tentang apa yang terkandung di dalam kitab suci Al-Qur'an. Seolah-olah umat Islam berada di sebuah lembah, sedangkan kitab Al-Qur'an berada di lembah lain nun jauh di seberang.

Sehingga, kaitan umat Islam dengan kitab sucinya hanya secara formalitas saja. Contohnya adalah, seorang muslim akan marah pada saat melihat orang muslim lainnya tidak memegang Al-Qur'an di dadanya, dan akan ia anggap sebagai tindakan yang tidak menghormati kemuliaan kitab suci Al-Qur'an. Padahal, pihak yang marah itu sendiri sangat jauh dari nilai kesucian Al-Qur'an.

Perlu diketahui pula, bahwa setiap muslim yang tidak menjadikan Al-Qur'an sebagai pedoman dalam hidupnya, ia akan mendapat siksaan yang keras di dunia ini, maupun di akhirat kelak; meskipun ia terlihat sangat menghormati kitab suci Al-Qur'an, hingga diletakkan pada pundaknya. Bahkan, mungkin juga kedua kakinya akan terbelenggu, karena perilakunya selama di dunia bertentangan dengan apa yang telah diajarkan di dalam Al-Qur'an.

Alangkah baiknya jika seluruh masyarakat Islam segera mengetahui, bahwa diri mereka saat ini sangat jauh dari ajaran atau tuntunan Al-Qur'an. Dan beruntungnya, aib atas persoalan ini masih bersedia ditutupi oleh Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Sedangkan pada saat di alam akhirat kelak, ketika umat Islam diberi tahu bahwa mereka sangat jauh dari Al Qur'an, karena perbuatan mereka selama hidup di alam dunia sangat bertentangan dengan ajaran Al-Qur'an, tidak ada berguna lagi penyesalan. Andaikan hal itu yang terjadi, bagaimanakah nasib setiap muslim di akhirat kelak?

Perlu diketahui, bahwa satu-satunya cara yang dapat menyelamatkan diri seorang muslim dari siksa Allah „Azza wa Jalla di akhirat adalah dengan berpegang teguh kepada ajaran Al-Qur'an. Perlu diketahui pula, bahwa Rasulullah Saw. sengaja diutus oleh Allah kepada umat Islam, agar beliau mengenalkan tuntunan Al-Qur'an kepada mereka. Sebab, jika mereka bepergang-teguh kepada ajaran Al-Qur'an, mereka akan menduduki derajat tertinggi di alam akhirat kelak. Karena Al-Qur'an adalah tali Allah yang menghubungkan manusia dengan kasih sayang-Nya.

Sebagai kesimpulannya, siapa saja yang bersedia mengerjakan amar ma'ruf nahi munkar ketika berada di alam dunia, maka ia akan mendapatkan pahala sebesar pahala yang didapat oleh para Nabi dan Rasul. Bahkan, setiap orang yang mengikuti nasihat dan petunjuk dari amar ma'ruf nahi munkar yang dilakukannya, maka seorang da'i akan mendapat pahala tersendiri, seperti yang disebutkan dalam salah satu sabda Rasulullah Saw. berikut ini, “Sesungguhnya, seorang yang menunjukkan kebaikan kepada orang lain, maka ia akan diberi pahala seperti pahala yang diberikan kepada pelakunya.”[9]

Alhasil, siapa saja yang memerhatikan sabda Rasulullah Saw. di atas, maka tentunya ia akan menyimpulkan bahwa amal kebaikan apa saja yang dilakukan oleh orang lain karena petunjuk seseorang, maka orang yang memberi petunjuk akan mendapatkan pahala seperti pahala yang diberikan kepada pelakunya.

Hadis di atas menunjukkan betapa besarnya nilai menegakkan amar ma'ruf nahi munkar. Bahkan, dalam sabda Rasulullah Saw. yang lain disebutkan sebagai berikut, “Siapa saja yang menunjukkan suatu amal kebajikan dalam Islam kepada orang lain, kemudian amal kebajikan itu dilakukan oleh orang lain, maka yang memberi petunjuk akan diberi pahala tersendiri, tanpa mengurangi pahala orang yang ikut melakukan kebajikan itu. Demikian pula bagi siapa saja yang menunjukkan suatu amal keburukan dalam Islam kepada orang lain, kemudian amal keburukan itu dilakukan oleh orang lain, maka yang memberi petunjuk akan diberi dosa seperti orang yang telah melakukannya, tanpa mengurangi dosa pelakunya sedikit pun.”[10]

Siapa saja yang bersedia menegakkan amar ma'ruf nahi munkar, maka ia akan mendapatkan pahala tersendiri dari akibat orang-orang yang mau melakukannya, baik yang melakukan itu orang-orang yang terdekat maupun orang-orang yang jauh dari sisi kita. Sebab, yang memberi petunjuk kepada perbuatan baik, maka ia dinilai sebagai seorang yang memberi kehidupan kepada masyarakatnya yang telah mati. Sampai-sampai, manakala orang yang memberi petunjuk kepada yang baik itu telah meninggal dunia, maka ia akan tetap menerima pahala dari sisi Allah „Azza wa Jalla, selama petunjuk baiknya itu masih tetap dilakukan oleh orang lain.

Perlu untuk dicermati, bahwa pada suatu hari kelak jasad kita akan dipikul oleh orang lain menuju tempat peristirahatan yang terakhir. Meskipun kita termasuk orang yang paling dekat dengan ayah, ibu, sahabat, saudara atau teman dekat, semuanya akan kita tinggalkan. Selanjutnya, kita akan mendapatkan pahala atau dosa dari perbuatan kita masing-masing, dan dari orang-orang yang melakukan petunjuk kita, yang baik maupun yang buruk. Jika kita selalu memberi petunjuk yang baik kepada orang lain, dan petunjuk yang baik itu dilakukan oleh orang lain untuk seumur hidupnya, maka kita akan mendapatkan kesenangan di alam kubur, sampai tibanya Hari Berbangkit kelak.

Maka perhatikanlah apa yang bakal didapat oleh Rasulullah Saw. di alam kubur beliau setelah beliau memberi petunjuk yang baik kepada umat Islam, sejak lima belas abad yang lalu. Siapakah yang tidak ingin mendapat kebaikan seperti beliau di alam kubur kelak? Kiranya siapa pula yang tidak ingin diberi pahala oleh Allah Swt. setelah ia memberi petunjuk yang baik kepada orang lain selama hidupnya?

Dengan demikian, orang pertama yang memberi petunjuk kebaikan kepada orang lain, kemudian petunjuk yang baik itu dilakukan oleh orang lain, dan kemudian diajarkan kepada yang lain lagi secara turun-temurun, maka orang yang pertama memberi petunjuk kepada mereka semua itu akan menerima pahala berlipat-ganda dari para pelakunya. Oleh karena itu, seorang yang berpikiran cerdas tidak akan meninggalkan tugas sucinya untuk menegakkan amar ma'ruf nahi munkar, agar tidak terlewatkan atasnya kesempatan untuk menuai pahala secara berkesinambungan di alam akhirat kelak.

Rasulullah Saw. juga pernah bersabda, “Setiap orang meninggal dunia akan berakhir sebagaimana kebiasaan yang pernah dilakukan dalam kehidupan kesehariannya. Kecuali seorang pejuang yang selalu berjaga-jaga di garis terdepan, ia akan mendapat pahala terus-menerus, sampai Hari Kiamat kelak, dan ia akan dijauhkan dari cobaan (siksa) alam kubur.”[11]

Maksud dari hadis di atas adalah, seorang yang benar-benar mengabdikan dirinya di jalan kebenaran, dan ia tidak memikirkan kepentingan yang lain selain dakwahnya, maka ia termasuk seorang yang terus-menerus berjuang di jalan Allah Swt., serta pahalanya akan terus mengalir baginya sampai kapan pun ia berada di alam dunia maupun setelah memasuki alam akhirat (meninggal dunia). Dalam sejarah dakwah disebutkan, bahwa orang-orang yang mati pada saat menjalankan dakwahnya, maka alam kuburnya akan senantiasa diterangi dengan sinar dari amal-amal dakwah yang pernah disampaikannya.

Sesungguhnya Allah „Azza wa Jalla sangat menghargai setiap petunjuk baik yang diberikan kepada orang lain. Si pemberi petunjuk akan dijauhkan dari cobaan (siksa) alam kubur, dan akan diberi cahaya di dalam kuburnya. Perumpamaannya, mereka hanya mati jasadnya, akan tetapi ruhnya tetap hidup dengan berbagai pahala yang bakal ia peroleh. Bahkan, ada sebagian orang yang hidup, akan tetapi mereka tidak mendapat pahala seperti yang diberikan kepada orang-orang yang selalu menegakkan amar ma'ruf nahi munkar setelah matinya.

[1] Diriwayatkan oleh Imam Bukhari, pada pembahasan mengenai al-Îmân, hadis nomor 4-5. Diriwayatkan pula oleh Imam Muslim, juga pada pembahasan mengenai al-Îmân, hadis nomor 65. Dan diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud, pada pembahasan mengenai al-Jihâd, hadis nomor 2.
[2] Lihat lebih lanjut dalam kitab al-Bidâyah wa al-Nihâyah, karya Imam Ibnu Katsir, Jilid 3, halaman 105.
[3] Diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud, pada pembahasan mengenai al-Janâiz, hadis nomor 56. Juga di dalam kitab Sunan, karya Imam Sa’id bin Manshur, Jilid 2, hadis nomor 228. Diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad bin Hanbal di dalam al-Musnad, Jilid 1, hadis nomor 461. Dan terdapat di dalam kitab al-Mustadrak, karya Imam al-Hakim al-Naisaburi, Jilid 2, hadis nomor 338.
[4] Diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dalam al-Musnad, Jilid 1, hadis nomor 201-202. Lihat pula penjelasannya dalam Sîrah, karya Ibnu Hisyam, Jilid 1, halaman 358-362. Juga dalam kitab al-Bidâyah wa al-Nihâyah, karya Imam Ibnu Katsir, Jilid 3, halaman 188. Terdapat pula penjelasannya dalam kitab Dalâil al-Nubuwwah, karya Imam Abi Nu’aim, Jilid 1, halaman 243-253. Juga oleh Imam al-Baihaqi dalam kitab Dalâil al-Nubuwwah, Jilid 2, halaman 301-303.
[5] 30 Diriwayatkan oleh Imam Bukhari, pada pembahasan mengenai al-Îmân, hadis nomor 42. Juga oleh Imam Muslim, juga pada pembahasan mengenai al-Îmân, hadis nomor 97.
[6] Lihat lebih lanjut dalam kitab al-Musnad al-Firdaus, karya Imam al-Dailami, Jilid 2, hadis nomor 174.
[7] Diriwayatkan oleh Imam al-Tirmidzi, pada pembahasan mengenai Hari Kiamat, hadis nomor 55. Juga oleh Imam Ibnu Majah, pada pembahasan mengenai al-Fitan (Fitnah Akhir Zaman), hadis nomor 23. Juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dalam al-Musnad, Jilid 2, hadis nomor 43.
[8] Diriwayatkan oleh Imam Muslim, pada pembahasan mengenai al-Îmân, hadis nomor 95. Diriwayatkan pula oleh Imam Bukhari, juga pada pembahasan mengenai al-Îmân, hadis nomor 42. Juga oleh Imam Abu Dawud, pada pembahasan mengenai al-Adab, hadis nomor 59. Dan juga oleh Imam al-Tirmidzi, pada pembahasan mengenai al-Birru wa al-Shilah, hadis nomor 17. Serta diriwayatkan pula oleh Imam al-Nasâ-i, pada pembahasan mengenai al-Bai’ah, hadis nomor 31.
[9] Diriwayatkan oleh Imam al-Tirmidzi, pada pembahasan mengenai al-‘Ilmu, hadis nomor 14.
[10] Diriwayatkan oleh Imam Muslim, pada pembahasan mengenai al-‘Ilmu, hadis nomor 16. Diriwayatkan pula oleh Imam al-Tirmidzi, pada pembahasan yang sama, al-‘Ilmu, hadis nomor 15. Juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal di dalam al-Musnad, Jilid 4, hadis nomor 361.
[11] Diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud, pada pembahasan mengenai al-Jihâd, hadis nomor 16. Juga oleh Imam al-Tirmidzi, pada pembahasan mengenai Fadhâil al-Jihâd, hadis nomor 2.