Membaca Al Quran

Dimensi-Dimensi Tarbiyah

Dalam bab-bab sebelumnya, kita telah mendiskusikan beberapa pembahasan tentang hal-hal khusus apa sajakah yang sebaiknya diberikan atau diajarkan pada anak-anak menurut tingkat usianya sehingga apa yang mereka pelajari akan sesuai dengan tingkat pemahaman mereka. Kita juga telah membahas apa saja yang harus diperhatikan oleh para orangtua, guru, dan pendidik dalam hal ini.

Sekali lagi perlu diingat di sini bahwa orang tua yang tidak memiliki perhatian besar dalam memberikan tarbiyah pada anak-anaknya dan yang tidak memenuhi kebutuhan spiritual mereka sesuai dengan tahap kehidupan anak-anak hanya karena orang tua terjebak dalam urusan duniawi seperti karir, lingkungan sosial, dan akademik saja, maka jangan kaget jika kelak mereka akan berhadapan dengan anak yang tumbuh seperti serigala lapar kelak saat mereka dewasa.

1. Amal Sholeh Harus Diperkenalkan Pula oleh Orang Sholeh yang Menjadi Teladan

Amal sholeh seharusnya pula diperkenalkan oleh seorang sholeh juga, hal ini secara khusus menunjukkan bahwa bukan fungsi kita sebagai orang tua namun sebagai seorang guru dan pendidik (muallimin dan murabbi) bagi anak. Di bawah ini akan kami paparkan beberapa pandangan tentang bagaimana seharusnya kita bersikap ketika mencoba mengajarkan perbuatan baik melalui teladan seorang yang sholeh pula:

Tidak diragukan lagi, anak-anak dan para remaja memang harus mempelajari apa yang dimaksud sebagai perbuatan baik atau sholeh. Namun, pengajaran dan instruksi yang berisi pengetahuan teoritis harus pula didukung dengan menunjukkan perbuatan baik tersebut sebagai teladan langsung dari seorang yang sholeh pula dan amatlah penting untuk mencontoh sebuah perbuatan baik, dari kisah tokoh kepahlawannya juga. Sejak usia dini, perkenalkanlah kepada anak-anak kita cerita tentang para tokoh ksatria dalam Islam, lengkap dengan berbagai kebiasaan positif mereka serta ibadah-ibadah mereka agar hal tersebut tertanam pada benak mereka. Selain itu amat penting untuk membuat mereka faham dan mengerti bahwa jalan istiqomah ini, dahulu telah pula ditempuh sebagai jalan para Sahabat dan tokoh-tokoh terhormat dalam Islam, agar mereka pun dapat merasakan besarnya kenikmatan ketika berusaha untuk tetap berada di jalan ini. Setelah seorang anak sampai di usia tertentu, mereka akan sampai pada penilaian untuk memutuskan apakah ia akan tetap salat sekian rakaat dalam sehari ataupun tetap berpuasa dan mampu menahan lapar dalam kondisi apapun, maka saat itu ia harus memiliki keyakinan kuat bahwa orang-orang yang mampu melakukan semua hal tersebut terlihat secara lahiriyahnya, adalah mereka yang memiliki kedudukan tinggi di Ya, sejak awal generasi muda harus diberitahu tentang akan adanya penyakit khusus yang akan menyerang generasi pada masa tertentu ini. Sejak dari kecil, mereka harus telah ditunjukkan tentang jalan menanjak yang akan ditempuhnya serta cara mengatasinya untuk mencegah agar tidak tersandung di tahapan-tahapan selanjutnya dalam kehidupan mereka. Secara terus menerus mereka harus diberi pemafahaman  bahwa agama adalah sarana kehormatan atau kebanggaan (izzah) bagi dirinya dan  mengarahkan mereka agar mampu mendekap erat sepenuh jiwanya semua perintah Allah Subhânahu wa ta’âla dengan keikhlasan sepenuh hati.

Pada bagian ini ada sebuah cerita nyata yang ingin saya ceritakan. Seorang siswi, putri dari sebuah keluarga yang amat menjaga tarbiyah anak-anaknya dengan sangat hati-hati, suatu hari amat sedih dengan keadaan gurunya di sekolah. Meskipun siswi itu tetap menjaga rasa hormat pada gurunya, namun ia tidak bisa mengingkari bahwa dirinya amat bingung dan terganggu karena sikap ateisme yang tampaknya telah mempengaruhi gurunya tersebut. Suatu hari, gadis itu menangis tersedu-sedu di barisan belakang kelasnya, kebenaran agama yang bersemayam kuat dalam hatinya membuatnya sangat mengkhawatirkan gurunya dan ia tak mampu menanggung kesedihannya akan hal tersebut. Kemudian dengan penuh kasih sayang, guru itu mendatanginya dan bertanya, "Kenapa kau menangis?" Gadis itu menjawab, "Saya menangis karena Anda bu Guru," ia kemudian melanjutkan: "Saya sedih memikirkan bahwa kelak Allah akan menghukummu karena Ibu tidak percaya kepada-Nya." Saat mendengar pengakuan polos gadis kecil itu, sang guru tidak mampu berkata-kata. Setelah beberapa hari, ia kembali ke kelas, mendatangi muridnya tersebut. Di wajahnya ada rona berbeda yang mencerminkan keindahan hidayah-Nya yang telah diimaninya. Lalu keduanya, murid dan guru yang telah beriman ini kemudian berbagi sukacita yang mereka alami.

Bersama dengan keyakinan (iman), rasa hormat telah tertanam dalam diri anak itu. Kehormatan adalah sifat yang berkaitan dengan Allah. Namun, adalah sebuah fakta bahwa Allah akan membuat mereka yang memenuhi kewajiban agama dan mereka yang hidup berdasarkan prinsip-prinsip agama sebagai orang yang terhormat, sementara Dia membuat mereka yang meninggalkan prinsip-prinsip itu berada dalam kehinaan. Anak-anak harus memiliki keyakinan, bukan keraguan, di dalam perasaan dan pikiran mereka serta di jalan yang mereka tempuh, agar tidak menimbulkan perasaan rendah diri dan tertarik menjauh dari jalan yang benar oleh gerakan ateis. Selain itu, mereka harus memandang salat dan puasa sebagai tindakan yang utama sehingga mereka menunaikan ibadah sehari-hari tanpa keraguan, menunjukkan bahwa mereka hanya bersujud di hadapan Allah.

Dari cerita ini tampak bahwa gadis kecil itu tidak hanya diberikan pemahaman tentang keimanan namun juga telah terdapat izzah dalam dirinya.  Bagaimanapun juga, Izzah adalah kekhususan yang dimiliki Allah.[1] Akan tetapi adalah sebuah keniscayaan bahwa mereka yang menjalankan prinsip-prinsip agama Allah Subhânahu wa ta’âla ini akan mendapatkan kehormatan, sementara yang meninggalkannya akan mendapat kehinaan. Ya, seorang anak harus benar-benar yakin dengan perasaan, pemikiran maupun jalan yang ditempuhnya, agar kelak tidak terjerat pada perilaku merendahkan yang bisa jadi dialaminya dan tidak pula gampang ditindas oleh sikap orang-orang yang inkar. Bahkan mereka harus meyakini bahwa puasa dan salat yang mereka tegakkan adalah sebuah kehormatan yang didapatkannya, mereka adalah insan yang menggumandangkan takbir dalam salatnya dengan keyakinan penuh pada kebesaran Allah Subhânahu wa ta’âla tanpa keraguan sedikitpun.

Mengenai hal-hal yang harus ataupun tidak kita kerjakan dalam hidup ini, Al Qur’an mengungkapkan apa yang Allah syaratkan bagi kita ketika mengikuti jalan yang telah ditempuh para syuhada, orang-orang yang saleh dan beriman sebelum kita, dan setidaknya kita baca 40 kali sehari dalam ayat: "Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan. Tunjukilah kami ke jalan yang lurus" (QS. Al-Fatihah 1: 5-6). Di sisi lain, dalam ayat berikutnya yang berbunyi "(Yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan jalan mereka yang dimurkai dan bukan pula jalan mereka yang sesat" (QS. Al-Fatihah 1: 7), Al Qur’an menarik perhatian kita pada fakta bahwa hal-hal negatif akan muncul di hadapan kita, dan menunjukkan bahwa kita harus mengambil sikap terhadap kekafiran dan bid'ah sembari terus menyuarakan keinginan kita pada surga dan jalan yang dikaruniai.

Inilah pula cara atau uslub yang harus kita tempuh ketika mentarbiyah mereka yang berada di bawah asuhan kita. Kita harus terus menerus memberikan penekanan tentang jalan atau metode yang akan mendatangkan ke-Ridho-an Allah dan jiwa mereka harus menolak pada segala sesuatu yang akan mendatangkan murka-Nya. Sesungguhnya, adalah kewajiban bagi kita untuk membesarkan anak-anak dengan cara demikian. Mereka yang tidak mengenal Allah dan tidak menerima-Nya sebagai satu-satunya Penguasa dalam kehidupannya secara Tauhid-i ulûhiyah dan Tauhid-i Rubbubiyah,  akan mempertanggung jawabkannya kelak. Oleh karena, mereka yang tidak mengetahui tugas fitrah yang ada di dalam diri manusia, mereka yang tidak memahami hikmah dari penciptaan, dan yang tidak tahu mengapa mereka datang ke dunia ini, bahkan mereka yang tidak bisa merasakan adanya hubungan antara sebab dan akibat di alam semesta ini, terlebih lagi mereka yang tidak memiliki keyakinan atau pemahaman tentang Allah Yang Maha Berkuasa, tidak akan mencapai keselamatan baik di dunia ini maupun di akhirat. Allah akan memberikan keselamatan bagi orang-orang yang beriman atau kepada mereka yang mempertahankan hubungan dengannya seperti yang diungkapkan dalam ayat berikut:

Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim, yang menyebabkan kamu disentuh api neraka, sedangkan kamu tiada mempunyai seorang penolong pun selain Allah, sehingga kamu tidak akan diberi pertolongan. (QS. Hud 11: 113)

2. Memanfaatkan Ilmu Pengetahuan dalam Pendidikan Agama

Ketika seorang anak mempelajari ilmu-ilmu pengetahuan positif seperti fisika, kimia, dan lainnya, maka pada saat yang sama mereka juga perlu diajari pula tentang "prinsip-prinsip dan realitas Islam" pada tingkat intelektual yang sama dengan ilmu-ilmu pengetahuan tersebut. Berbeda dengan seorang materialis yang menjelaskan sebuah materi dengan mengaitkan hanya pada materi itu saja, maka seorang yang beriman harus memanfaatkan materi tersebut dan menjelaskannya dalam konteks untuk memahami dan menjelaskan tentang Allah, akhirat, Al Qur’an, dan keimanannya. Ya, orang-orang yang beriman seharusnya mampu menumbuhkan kuntum mawar di rawa yang sama di mana para materialis telah terjebak dan tenggelam di dalamnya, kita harus mengevaluasi keberadaan berbagai entitas (makhluk hidup) dan peristiwa-peristiwa alam sebagai bukti atau saksi dari tanda-tanda keberadaan Allah.

Anak-anak mempelajari atau mendapatkan pengetahuan tentang ilmu-ilmu positif tersebut sebagai bagian dari pendidikan mereka, dimulai dari tingkat sekolah dasar, berlanjut hingga SMU bahkan di universitas. Jika selama proses ini mereka tidak menerima tarbiyah agama dengan skala yang sama di dalam keluarga atau dari lingkungan sekitarnya, maka amat sangat besar kemungkinan mereka akan terpeleset atau menjadi rusak akidahnya. Jika kita tidak mengikuti apa yang anak-anak pelajari di sekolah atau apa yang mereka dapatkan dari teman-temannya, serta tidak segera melakukan koreksi terhadap pandangan salah yang diperkenalkan kepada mereka melalui ilmu-ilmu tersebut, maka kelak apa yang mereka pelajari tersebut akan dapat mengarahkan mereka pada penghujatan atau kekufuran atas keyakinannya. Padahal sesungguhnya, ilmu pengetahuan adalah bukti yang kuat dan paling jelas yang bisa menunjukkan keberadaan Allah dan kebesaran-Nya.

Ketika anak mempelajari filsafat dan terperangkap pada beberapa keraguan atau kegamangan maka sangat mungkin pada tahap-tahap selanjutnya mereka dapat mengalami depresi dan krisis intelektual yang serius jika pendidikan mereka tidak didukung oleh analisis positif yang dilakukan dengan akal, logika, dan ilmu yang benar. Oleh karena itu, amat penting untuk memberikan bukti-bukti rasional, logis, dan literal dalam skala yang cukup sebagai pendukung pembelajaran dan pendidikan anak.

Para materialis mengaitkan keteraturan yang ada pada setiap mahluk dengan alam semesta dan untuk melawan perilaku demagogi (penghasutan dan doktrinasi) yang menggunakan beberapa pemahaman filosofi seperti ini, kita harus mampu menjelaskan pada pemahaman anak-anak bahwa semua kejelasan dan keteraturan yang ada pada semua entitas di alam semesta ini dengan lidahnya masing-masing menjelaskan tentang adanya ketetapan yang Maha menyeluruh yang berada di bawah kendali Allah, Sang Maha Pencipta. Hanya dengan menanamkan informasi ini ke dalam pikiran anak kita dapat menghindarkan mereka dari keragu-raguan dan rasa sangsi yang mungkin disebabkan oleh berbagai teori ilmu pengetahuan tersebut.

Ya, berbagai informasi keliru yang merupakan manipulasi dan distorsi pemikiran yang mungkin coba dimasukkan ke dalam alam pemikiran anak-anak harus kita lawan dengan informasi yang sahih dan benar untuk melindunginya dari berbagai kebingungan atau kegamangan. Pada intinya, segala sesuatu berkaitan dengan pengetahuan atasnya. Kejahilan atau kebodohan adalah musuh terbesar agama dan keimanan. Oleh karena itu, orang-orang yang beriman harus membesarkan generasi yang setia kepada negara, bangsa, dan akar budaya mereka; generasi yang mudah menerima ajaran agama, sistem nilai, ilmu pengetahuan, serta pembelajaran mereka, dan generasi yang dapat melindungi sejarah dan geografi mereka sendiri sebagai upaya untuk menghadapi orang-orang yang mencoba merusak anak-anak dengan berbagai tipuan dan fitnah.

3. Mempersiapkan Lingkungan yang Baik

Sekarang, kami ingin membahas tentang mempersiapkan lingkungan yang layak bagi anak-anak. Pada dunia modern saat ini, pada umunya masyarakat menganggap penting keberadaan taman kanak-kanak, pusat penitipan anak, dan kelompok-kelompok bermain yang terletak di dekat sekolah atau di tempat-tempat lain di sekitar tempat tingal kita. Tujuannya di sini adalah untuk memastikan anak mendapatkan dunia fisik yang sehat, aman, dan stabil serta menjamin kesejahteraan material, juga memastikan pendidikan yang baik bagi anak agar tidak terlalu menimbulkan permasalahan dalam keluarga. Tentu saja semua kebijakan ini sangat terencana dan telah diperhitungkan terlebih dahulu akan manfaat serta biayanya. Namun, sebagaimana anak-anak membutuhkan lingkungan fisik, mereka juga membutuhkan suasana tempat yang sesuai agar dapat mengembangkan dan membangun kehidupan rohani atau jiwa mereka, tempat dimana mereka bisa menyadari dimensi manusiawi dirinya dan membangun komunikasi spiritualnya dengan Rabb-nya. Menyediakan lingkungan yang kondusif bagi dimensi spiritual atau maknawiyah anak ini juga harus dipertimbangkan ketika kita ingin mempersiapkan "sebuah lingkungan bagi anak". Berkaitan dengan masalah ini mari kita bahas bersama langkah apa saja yang harus dilakukan:

a) Memilih Teman

Sangatlah penting untuk memberikan anak-anak kesempatan untuk berteman dengan kelompok teman-teman sebayanya yang menghormati agama dan nilai-nilai spiritual. Bahkan tidak cukup hanya dengan memberikan kesempatan itu, orangtua seharusnya juga aktif mengikuti proses pertemanan itu.  Agar anak tumbuh menjadi individu yang menghormati nilai-nilai agama, tanah air, bangsa dan budaya yang dimilikinya maka ia harus terus berada dalam “pengawasan”  tetapi bukan dengan cara mengendalikannya dengan tekanan melainkan dengan bimbingan yang mengarahkannya sehingga menyadari bahwa ia adalah insan yang paling berharga yang merupakan amanah yang harus dijaga oleh semua orang. Seseorang tidak akan mau menitipkan walaupun hanya kaos kaki miliknya saja pada orang lain yang tak dikenalnya.  Bayangkan, misalnya ada orang asing yang mendatangi kita dan berkata, "Ada banyak pencopet sekitar sini. Dompetmu tidak aman di sini. Kenapa Anda tidak memberikannya saja kepada saya supaya saya bisa menjaganya untuk Anda." Dalam kondisi seperti ini, apakah kita akan mempercayai orang itu? Tentu saja tidak! Kita tidak mungkin mempercayakan atau mengamanahi tas atau dompet milik kita kepada orang yang tidak kita kenal baik atau percayai. Manusia tidak mempercayakan milik mereka yang paling berharga kepada orang asing, kalau begitu apalagi anak-anak mereka. Lalu, bagaimana mungkin kita bisa mempercayakan anak-anak kita kepada seseorang yang tidak kita kenal, menyerahkan evaluasi kemajuan mereka kepada orang yang benar-benar asing? Saya rasa kita harus mempertimbangkan kembali hal yang “paradoks” ini.

Ya, sekali lagi ingin kami tekankan bawa adalah tanggung jawab orangtua untuk membimbing anaknya agar berteman dengan orang yang baik. Seperti yang ditulis oleh penyair besar Sadi Shirazi dalam bukunya yang terkenal Gulistan (The Rose Garden): ‘Seorang teman yang jahat lebih buruk daripada seekor ular hitam atau ular kobra. Ketika mereka menguasaimu, mereka akan meracunimu atau membuatmu sibuk dengan hal-hal yang salah. Seorang teman yang baik bisa menjadi lebih baik dari malaikat. Ketika Engkau bersamanya, Kau akan menempuh perjalanan melalui cakrawala para malaikat.’

Diriwayatkan bahwa Rasulullah pernah berkata, "Seorang akan bersama-sama dengan yang dicintainya."[2] Oleh karena itu, sangat penting bagi orangtua untuk membantu anak-anak mereka menemukan teman-teman yang baik. Lingkungan pertemanan tidak boleh diabaikan sebagai unsur yang mempengaruhi pembentukkan  emosional dan mental anak. Jika anak-anak berada di lingkungan yang buruk, maka segera jauhkan anak dari lingkungan buruk itu dan bawa ia ke tempat lain yang kita yakini dapat dipercaya bagi kebaikan mereka. Jika di lingkungan tempatnya lahir dan tumbuh anak-anak dikelilingi oleh teman-teman yang buruk, maka orang tua harus menemukan cara untuk mengisolasi mereka dari teman yang sedemikian itu. Jika kita tidak mampu mengisolasi mereka dari teman yang buruk, maka harus diambil langkah agar mereka dipindahkan dari sekolah itu dan mengirim mereka ke kota yang berbeda. Namun, pastikan terlebih dahulu bahwa teman-teman pertama yang akan menjadi teman anak kita di tempat yang baru tersebut adalah anak-anak yang baik akhlak dan agamanya serta memiliki iffah dan kehormatan yang baik pula.

Di mana pun anak-anak berada, ketika mereka memasuki sebuah lingkungan sosial, mereka harus segera melihat suasana agamis di sana, berinteraksi baik dengan mereka yang memiliki pemikiran-pemikiran tinggi dibanding orang pada umumnya serta terus bersama mereka. Mungkin untuk mewujudkan hal ini seorang ibu akan bersedih hati merindukan anaknya, Seorang ayah harus bekerja lebih keras, berhemat dan menahan diri karena harus mengeluarkan biaya yang lebih besar, namun setiap orangtua harus selalu hidup dalam rasa takut dan kekhawatiran tentang akan datangnya hari ketika kelak Allah Yang Maha Berkuasa akan menghakimi baik diri mereka sendiri maupun anak-anak mereka dan karenanya, mereka harus bekerja keras untuk menjadi orangtua yang ideal bagi masa kini maupun masa depan akhirat anak-anaknya. Terkadang mungkin anak-anak akan pergi ke rumah teman-teman mereka untuk belajar atau mengerjakan tugas sekolahnya, tapi pada kondisi seperti ini mereka tetap harus diawasi dengan ketat.

Tentu saja anak-anak boleh mengunjungi rumah teman-teman mereka, di rumah-rumah yang akan mereka kunjungi itu Asma’ Allah harus diingat di setiap sudutnya. Di rumah itu sajadah-sajadah harus terhampar saat suara adzan yang indah terdengar, anggota keluarga berkumpul dalam saf-saf rapi untuk salat berjamaah, dan salat benar-benar ditegakkan di sana. Ya, hanya dengan anak-anak muda dari rumah-rumah seperti inilah anak-anak kita boleh berteman dan belajar bersama, bahkan orang tua patut menganjurkan atau mendorong mereka untuk berkunjung ke rumah-rumah dengan gambaran seperti ini. Sebaliknya, jika rumah yang dikunjungi anak-anak kita adalah tempat di mana perbuatan dosa biasa dilakukan dan keinginan egois dimanjakan, maka ini berarti kita telah kehilangan anak-anak kita sendiri.

b) Membuat Anak Merasakan Kehidupan Beragama yang Tulus dan Menghindarkan Mereka dari Sifat Riya’ (Pamer)

Ajaklah anak-anak pergi ke masjid dan menunaikan salat berjamaah di sana. Selain itu bawalah mereka ke tempat-tempat di mana nasyid-nasyid merdu dilantunkan, shalawat diperdengarkan, acara-acara keagamaan ataupun ceramah agama diadakan. Dengan melakukan hal-hal seperti ini, berarti kita telah mengenalkan anak-anak pada berbagai aspek agamanya. Seperti sifat bawaan anak-anak pada umumnya, mereka sangat suka berpartisipasi dalam hal-hal seperti itu dan merasakan kepuasan ketika melakukannya maka ini adalah sarana yang baik untuk mencegah mereka mencari kepuasan di tempat lain. Bahkan musik yang mereka dengarkan pun harus menanamkan nilai-nilai agama dan spiritual, mengembangkan perasaan mereka pada hal-hal mulia dalam agamnya, dan dengannya mempersiapkan suasana yang membangun rasa kedekatan yang dimilikinya dengan Allah subhânahu wa ta’âla.

Harus pula saya katakan di sini bahwa jika di sisi lain anak merasakan adanya ketidaktulusan dalam acara-acara seperti itu dan merasa bahwa ucapan-ucapan dan doa yang dibacakan hanya dari tenggorokan saja namun bukan dari hati qari-nya, jika bacaan tersebut tidak memiliki pengaruh yang mendalam pada hati seseorang, dan jika ketidaktulusan itu menggoyahkan pondasi perasaan religius anak, maka akan lebih baik untuk menjauhkan mereka dari tempat-tempat seperti itu. Dzikir dan Maulid seharusnya menjadi sarana pemurnian spiritualitas hati nurani seseorang. Namun, jika tidak ada air mata yang menetes di mata mereka yang melantunkan atau membaca doa-doa: "Setiap kali aku mengingat-Mu (Ya Allah), air mataku membanjir"..., maka perkataan tersebut seperti sebuah kebohongan di hadapan Allah subhânahu wa ta’âla. Ketika seorang anak mendengar kebohongan besar seperti ini, maka ia bisa saja menafsirkannya sebagai rasa tidak hormat yang amat besar.

Saya masih ingat ketika masih usia kanak-kanak, saya ditugaskan menulis sebuah kalimat berbahasa Arab yang bermakna, "Ya Allah, aku menggigil setiap kali aku mengingat-Mu", saat itu diriku bergetar hingga batang pena yang kupegang terjatuh. Buku dengan tulisan itu masih kusimpan sebagai kenangan. Saya merasa amat malu sembari terus bermuhasabah, bertanya pada diri sendiri apakah saya benar-benar bergetar atau menggigil saat mengatakan "Ya Allah, aku menggigil setiap kali aku mengingat-Mu". Ketika seorang anak melihat orang yang tidak tulus berdoa "Ya Tuhan kami! Kami datang kepada-Mu sambil menangis", tapi pada kenyataannya anak itu tidak melihat ada air mata di mata mereka, perkataan dalam doa tersebut diucapkan tapi tak lebih dari batang tenggorokan mereka saja bukan dari kalbunya, maka hal ini dapat menimbulkan berbagai keraguan dan pertanyaan di benak mereka.

Jika kita perhatikan, di satu sisi Maulid dan senandung Nasyid dapat dianggap sebagai aktivitas keagamaan yang menjadi faktor penting untuk berkontribusi dalam pengembangan kehidupan ruhaniah anak, namun pada saat yang sama, jika kita merasa kegiatan tersebut dapat mengarahkan anak pada kebohongan, riya, dan sikap suka pamer maka menurut agama, akal sehat, dan logika, kita perlu menjauhkan anak-anak dari hal tersebut. Anak-anak harus dijauhkan dari kemunafikan dan sikap riya, sama halnya seperti mereka harus dijauhkan dari kekufuran. Anak-anak harus melihat ketulusan dalam agama yang diyakininya,  maka mereka harus mendengarnya dari orang-orang yang melantunkannya dengan perasaan tulus dari lubuk hati terdalam mereka, bukan dari mereka yang melantunkan nasyid atau dzikir hanya untuk pertunjukkan namun tidak meyakini kata-kata yang diucapkannya di dalam hati.

Sikap seperti ini adalah syarat akan sebuah pemahaman agama yang baik bagi kita, dan kita dapat pula melihat kondisi yang sama dalam kehidupan para Sahabat Rasulullah ﷺ. Bahkan, inilah sikap dan pemahaman Rasulullah ﷺ sendiri, dan karenanya, kita tidak bisa membayangkan jika para Sahabat tidak memiliki sikap yang sama. Ketika kita bisa menerima prinsip ini, hal itu berarti bahwa kita menerima sebuah pedoman yang telah diterima sebagai prinsip agama ini. Sebaliknya, jika kita tetap berada dalam kungkungan pandangan yang keliru tersebut maka kita justru telah menyiapkan sebuah dasar bagi membuat anak dan cucu kita menuju pada sebuah penyimpangan. Oleh karena itu, saya sarankan agar kita memperkenalkan anak-anak pada para pemikir yang bisa mengungkapkan pentingnya agama dan kemuliaannya, dan bukan justru menempatkan mereka dalam lingkaran orang-orang munafik tempat mereka bisa mendengarkan para penyanyi yang tidak tulus.

Jika kita perhatikan secara seksama, terdapat kritikan ketika kita menganggap hal ini sebagai hal yang dapat merusak kualitas moral, yang menjadi intinya bukanlah kita mengatakan apakah boleh atau tidaknya anak-anak mendengar lagu-lagu nasyid, namun pada dasarnya jika kita ingin melindungi generasi ini, kita harus menjauhkan mereka dari majelis atau perkumpulan orang-orang yang munafik atau bermuka dua.

c) Memilih Tempat dan Individu yang Bergaul dengan Anak

Pada bab-bab sebelumnya, kita telah menguraikan tentang hal-hal yang harus ada agar sebuah keluarga dapat berkembang secara sehat. Sebenarnya, anak-anak yang dipelihara, dilindungi, dan diasuh dengan baik oleh ayah dan ibunya telah secara umum terlindungi dari efek-efek negatif lingkungan luarnya. Namun, bagaimanapun juga tetap melakukan pengamatan dari dekat atas efek yang mungkin ditimbulkan oleh lingkungan sosial pada mereka tetaplah sangat penting untuk dilakukan. Bahkan, anak-anak harus dilindungi agar jangan sampai mereka pergi membeli buku atau pensil di toko-toko tempat mereka bisa mendengar kata-kata kasar atau pengaruh buruk. Ini juga berarti bahwa mereka tidak boleh masuk ke toko-toko buku yang memajang buku-buku yang  berbahaya. Jangan sampai kita menyepelekan hal-hal kecil sekalipun, kemanapun mereka pergi dunia maknawi-nya tidak boleh tercemar walau sekecil apapun, mereka harus melihat tanda-tanda dan pembawa tanda kemurnian agama Allah serta keteladanan yang sama. Harus kita tekankan sekali lagi bahwa bahkan toko-toko tempat mereka membeli barang sederhana seperti pensil, pena ataupun kertas sekalipun harus dipilih oleh orangtua atau walinya untuk mencegah adanya pengaruh buruk dari lingkungan tersebut pada anak-anak dan jangan sekalipun kita berfikir: “ah, cuma hal itu saja tidak perlu diributkan” pada hal yang paling remeh sekalipun yang bisa mempengaruhi anak-anak tersebut.

Jika seorang anak pergi ke seorang penjahit untuk membuat pakaian, ia harus melihat dunianya sendiri dan mendengarkan suara-suara dari dunianya tersebut. Saat ia duduk menunggu di sana, sebaiknya ia hanya mendengarkan diskusi-diskusi positif tentang agama, nilai-nilai religius, hingga kemajuan negaranya yang dilakukan oleh para pelanggan penjahit tersebut, dan semua obrolan tersebut harus mencerminkan pemikiran kita tentang dunia spiritualitas dan tidak menyimpang darinya. Bahkan saat si penjahit menggeluti pekerjaan dengan memegang benang dan jarumnya sekalipun, di satu sisi dunia pemikiran harus sejalan dengan keyakinan kita juga. Perasaanya harus mengungkapkan hakikat lisannya, asanya haruslah merupakan terjemahan dari hakikat sehingga saat ia mengerjakan jahitan pakaian sekalipun dunia pemikirannya pun haruslah berulangkali hanyalah memintal kebaikan.  Hal-hal seperti ini adalah beberapa contoh dari sikap memantau dan mengamati lingkungan anak dari dekat. 

Penerapan pemantauan terhadap anak dengan sensitivitas tinggi seperti ini tidak harus ditafsirkan sebagai tindakan pengisolasian anak dari orang lain. Sebaliknya, hal ini harus dilihat sebagai kepekaan kita terhadap perkembangan anak pada makna yang lebih  positif. Mari kita bahasa hal ini secara lebih terperinci, saat kita harus membawa anak ke penata rambut yang akan merapikan rambutnya maka bawalah ia ke seorang pemotong rambut yang melafalkan Bismillah, nama Allah dengan segenap maknanya saat ia memegang gunting dan memulai tugasnya. Lisannya terus menyebutkan asma’ Allah ketika menyalakan keran, memotong rambut, bahkan saat berjalan ke sana ke mari. Jika kita tidak dapat menemukan penata rambut seperti ini, karena kita sering berfikir bahwa sulit untuk mencari kesempurnaan dalam semua aspek kehidupan, maka kelak kita akan melihat dampak kekurangannya pada anak-anak kita sendiri.

Saya ingin mengambil kesempatan ini untuk fokus pada beberapa hal tertentu. Menerima undangan pernikahan (walimah) dan menghadiri acara tersebut adalah sebuah tugas dan tanggungjawab dalam agama kita. Diriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ pernah berkata, "Jika seseorang mengundangmu ke sebuah upacara pernikahan atau pertunangan, maka hadirilah."[3] Sudah jelas tentu saja kita tidak dapat menentang perintah yang datang langsung dari Rasulullah ini. Dengan perintah itu, setiap orang yang beriman harus siap mengatakan "Saya mendengar dan saya patuh", kemudian melaksanakannya. Meskipun demikian salah satu prinsip penting lain juga dalam agama kita adalah menolak undangan upacara pernikahan di mana perbuatan dosa, sia-sia, maksiat dan hal-hal terlarang maupun pelanggaran terjadi. Anak-anak tidak boleh diajak ke tempat-tempat yang akan merusak atau mengotori pikiran mereka serta membuat mereka bingung dengan apa yang mereka lihat.

d) Memilih Program Televisi dan Tontonan bagi Anak

Seorang Mukmin yang memiliki televisi di rumahnya harus amat berhati-hati dalam memilih program yang boleh ditonton anak-anak. Kita tidak bisa mengatakan bahwa televisi berbuat dosa dan melakukan hal yang salah. Meskipun begitu, demi tarbiyah yang baik, memilih dan teliti dengan program televisi yang akan kita tonton juga merupakan sebuah hal yang amat penting. Sebenarnya, pemerintah juga telah menangani masalah ini dengan cara yang sama dan telah mengambil beberapa tindakan pencegahan yang berkaitan dengan perlindungan anak. Mereka telah menerapkan sejumlah sanksi karena dikhawatirkan beberapa program, siaran politik, dan berbagai film dapat membahayakan anak-anak. Bahkan, beberapa program dapat menggoyahkan moral dan pondasi keagamaan anak-anak muda, membuat dunia spiritual mereka menjadi gelap, dan mendorong mereka ke arah pelanggaran. Oleh karena itu jika sebuah acara televisi yang meskipun isinya bertentangan dengan nilai-nilai moral yang kita yakini tetap dibiarkan ditonton dan disiarkan di rumah kita, maka tidak dapat dielakkan lagi bahwa dari dalam rumah kita sendiri moral anggota keluarga, termasuk anak-anak kita pun akan rusak pula.

Tindakan yang kita ambil ini bukan berarti kita menentang kemajuan, teknologi dan pembelajaran ilmu pengetahuan. Kita mendukung penggunaan dan pengembangan teknologi untuk kesejahteraan dan kebahagiaan umat manusia. Kita harus berada di sisi yang mendukung pemanfaatan dan perkembangan teknologi bagi kemaslahatan dan kesejahteraan kemanusiaan. Nikmat-nikmat Allah Yang Maha Berkuasa ini harus dimanfaatkan agar menjadi kebaikan bagi banyak bidang seperti pemikiran, budaya, industri, kesehatan, dan obat-obatan. Pendekatan seperti ini bukanlah sesuatu yang kolot. Namun tetap diam dalam menghadapi kejahatan, kerusakan moral, dan siaran merusak yang ditayangkan oleh beberapa saluran televisi serta membiarkan generasi muda dirusak oleh pengaruhnyalah yang disebut sebagai sesuatu yang kolot.

e) Membesarkan Anak dengan Tarbiyah Al Qur’an

Melindungi hati, pikiran, pendengaran, penglihatan, dan semua indera perasa lain milik anak-anak yang amat mudah terpengaruh pada semua kondisi agar tidak terbiasa dengan perbuatan dosa serta memastikan mereka melihat, mendengar, tumbuh dan berkembang di dalam lingkungan yang bersih, menyediakan lingkungan religius tempat mereka berada baik ketika di dalam maupun di luar rumah serta  memastikan kesesuaian antara lingkungan sosial di luar dengan lingkungan di dalam rumah merupakan salah satu tanggung jawab orangtua, mualimin (para guru) dan murabbi (pendidik) yang sangat penting.

Sebenarnya, pada masa ketika kekuasaan sering digunakan sebagai sarana untuk menindas dan kebenaran banyak dilanggar, maka sangatlah penting bagi perasaan dan pikiran kita untuk tetap bertahan di jalan yang lurus dan mempertahankan kehormatan kita sebagai manusia. Oleh karena itu, saya percaya bahwa di antara langkah-langkah terpenting dalam menjaga eksistensi spiritual kita adalah mengasuh generasi dengan tarbiyah Qur’ani dan memberikan akhlak pada mereka sesuai dengan akhlak Al Qur’an, yang setelah akhlak itu dimilikinya mereka akan menjadi hamba Allah yang setia padaNya, serta meningkatkan kemampuan fisik, mental dan spiritual mereka hingga mencapai tahapan resistensi yang tangguh untuk melawan faktor-faktor perusak yang luar biasa. Sesungguhnya pembentukan masyarakat yang ideal yang menjadi tauladan, baik pada hati nurani dan indera tubuhnya maupun di dunia kehidupan nyata hanya dapat terwujud dengan bimbingan Al Qur’an.

Dapat dikatakan bahwa masyarakat Islam sempurna yang cahaya cintanya menerangi potongan zaman hingga seribu tahun dan para tokohnya yang menjadi tauladan muncul dengan bimbingan Al Qur’an. Munculnya masyarakat Muslim yang mengubah arah sejarah ini adalah peristiwa yang paling menakjubkan dalam sejarah manusia. Masyarakat sempurna dan individu-individu yang membentuknya ini, pemikirannya tidak terpengaruh ataupun terkontaminasi dengan filosofi apapun selain hanya dan hanya dengan kejernihan sumber Al Qur’an-lah yang membentuk mereka hingga mencapai pada tingkatan ideal tersebut.

Akhlak dan perilaku Rasulullah ﷺ adalah Al Qur'an. Mereka yang mengikuti Beliau pun mendengar pada Al Qur’an, menghidupkannya dan tumbuh dengannya. Maka mereka yang tidak bisa menunjukkan kesempurnaan seperti itu, meskipun tampaknya memiliki hubungan dengan Al Qur’an, adalah mereka yang gagal mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam dan tidak menjiwainya. Mereka hanya memiliki pemahaman yang dangkal tentang Al Qur’an.

Kemampuan untuk memahami Al Qur’an dan bangkit bersamanya amat bergantung pada pendalaman seseorang atas pesan-pesan inti Al Qur’an itu sendiri. Mereka yang sekedar membaca teksnya mungkin memperoleh pahala dalam pandangan Allah (hal ini hanya Allah yang mengetahuinya) tetapi kalbunya tidak mudah tergerak untuk beramal baik. Masalah sebenarnya dalam konteks hubungan kita dengan Al Qur’an adalah bagaimana kita merasakannya dengan semua dimensi yang ada di dalam diri kita, mendekatinya dengan hati, pikiran, kesadaran, dan pemahaman kita serta mengarahkan seluruh dimensi diri kita untuk merasakan dan mendengar pesanNya. Dengan adanya pendekatan dan pemahaman seperti inilah kita akan mampu merasakan apa yang ingin disampaikan oleh Allah pada kita, seperti sebuah tunas yang mampu mencapai air dan cahaya maka seketika dapat bangkit dan tumbuh. Setiap ayat di dalam Al Quran, pada masing-masing kata dan kalimatnya membantu kita mencapai kedalaman yang berbeda-beda dan pada saat yang sama ketika atlas jiwa kita menyentuhnya kita akan mampu juga mencapai cakrawala peta surgawi.

Dalam pandangan saya, generasi baru hanya dapat dibentuk dalam lingkungan yang sama dengan yang digambarkan di atas... dan sementara itu, proses pembentukan "lingkaran kesholehan" akan dimulai. Al Qur’an menuangkan rahasianya ke dalam hati kita dan dengan kekayaan seperti ini akan naik dari pengetahuan menuju iman dan dari iman menuju kebijaksanaan, dengan adanya perbedaan tingkatan kita dalam menerima pesan-pesanNya maka sebuah kedalaman batinpun akan tercapai. Dengan pencapaian ini pemahaman atas kedalaman firman Allah akan didapatkan dengan cara yang berbeda. Ya  satu-satunya jalan untuk mengungkap pesan Al Qur’an adalah dengan menjadi murid Qur’an yang berorientasi pada tindakan dan dan berpusat pada praktik-praktiknya. Sebaliknya, jika hubungan kita dengan Al Qur’an dan rasa hormat kita kepadanya hanya berbentuk formalisme yang dangkal, maka kita akan merasa jauh darinya meskipun sebenarnya kita dekat. Selama manusia tidak terhubung dengan pesan dan kekayaan Al Qur’an yang memberi makna bagi hidupnya, maka mereka akan dianggap sebagai orang yang tidak beruntung atau miskin. Inti dari hubungan manusia dengan Al Qur’an adalah tentang bagaimana menggerakkan sistem manusia secara keseluruhan di luar dari pengetahuan itu sendiri. Sangatlah penting untuk menjadikan apa pun pengetahuan yang kita dapatkan sebagai tenaga pendorong dan merealisasikannya berdasarkan syarat, keadaan dan kondisi yang diberikan oleh Al Qur’an. Jika hal ini dapat dilakukan maka manusia akan menemukan tempatnya sesuai dengan tujuan penciptaannya dan mereka akan dapat menghindari diri dari kepunahan yang sia-sia.

4. Memelihara Kepekaan Beragama saat Memberikan Tarbiyah pada Anak

Menanamkan dan menegakkan sebuah pemikiran atau sebuah hakikat adalah suatu hal tersendiri, sementara mengajak agar orang lain mau meneruskan pemikiran atau kebenaran tersebut adalah masalah lain yang berbeda. Begitu banyak pemikiran dan visi serta lembaga-lembaga yang berhubungan dengannya didirikan melalui berbagai usaha khusus namun meskipun tidak ada yang kurang dalam pondasi dan pelaksanaan kesehariannya, tidak mencapai kemajuan berarti dikarenakan tak adanya kepekaan yang seharusnya ditunjukkan dalam lembaga tersebut. Bahkan dikarenakan adanya beberapa ‘penerus dalam keburukan’ di dalam lembaga tersebut maka telah menjadi sebab bagi awal dari keruntuhannya sendiri.

Ya, membangun sesuatu adalah suatu hal yang sangat penting. Namun, memastikan perkembangan dan kelanjutan dari apa pun yang telah dibangun tersebut adalah jauh lebih penting. Kaum Muslim pada masa-masa awal dahulu amat sangat berhati-hati dalam mewariskan semua dinamika yang mampu menjaga masyarakat agar terus hidup dalam komunitasnya. Begitu besar kepekaan dan kehati-hatian yang ditunjukkan dalam melestarikan dinamika itu dan karenanya tidak memberi kesempatan pada munculnya kekosongan logika, mental, ataupun perasaan, merekapun tidak membiarkan ada sedikitpun kekurangan dalam pelaksanaan atas apa yang mereka yakini atau percayai. Tentu saja di sini saya tidak berbicara tentang kemungkinan adanya kesalahan pada tingkatan individu atau persona. Namun yang saya maksudkan adalah tentang prinsip-prinsip dasar yang seharusnya ada dalam merealisasikan adanya sebuah  masyarakat yang sehat dan apa pun yang diperlukan bagi kelangsungannya. Lalu di kemudian hari, beberapa orang yang seperti kita yang mewarisi agama ini namun tidak memahami inti permasalahannya atau yang hanya mau memahami  permasalahan Islam hanya dari satu aspek saja, akan dapat menyebabkan kehancurannya bahkan dari pondasinya dan menyebabkan kekeringan padanya.

a) Tidak Menjadi Penerus dalam Kejahatan

Di dalam Al Quran terdapat kalimat-kalimat seperti :“Ceritakanlah (hai Muhammad) kisah Ibraham dalam Al Kitab (Al Qur’an) ini" (Maryam 19:41); "Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Musa di dalam Al Kitab (Al Qur’an) ini" (Maryam 19:51); "Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Ismail (yang tersebut) di dalam Al Qur’an" (QS. Maryam 19: 54)”... yang secara runtut menceritakan berbagai kisah hidup para Nabi dan orang-orang sholeh dalam berbagai ayat-ayatNya. [4] Setelah Al Quran menceritakan tentang karakteristik manusia-manusia pilihan ini dan menjelaskan pula jalan yang telah mereka buka untuk ditempuh pada Surat Maryam ini, kemudian disebutkan:

"Maka datanglah sesudah mereka pengganti yang menyia-nyiakan salat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan" (QS. Maryam 19: 59).

Pemimpin pada awal dari setiap zaman adalah Para Nabi seperti Nabi Adam as., Nabi Nuh as. Nabi Musa as., Nabi Isa as., dan tentu saja Nabi Muhammad ﷺ. Jika penerus mereka menjadi pengikut yang buruk, yaitu ketika mereka berkebalikan dari para pemimpinnya tersebut sehingga merekapun mengabaikan salat mereka (jika diperhatikan secara seksama, pada ayat tersebut kata yang dipakai bukan ‘meninggalkan salatnya’), yaitu mereka yang mengerjakan salatnya namun seperti tidak mengerjakannya, hal-hal yang dapat menjadi wasilah bagi kedekatan mereka kepada Allah justru dijadikan sebagai unsur yang menjauhkan mereka dari penciptanya, orang-orang yang kehadirannya justru dianggap tak ada, dan semua hal ini masih dianggap belum cukup, mereka justru terhanyut dalam nafsu syahwatnya pula, maka orang-orang seperti ini, yang menjalani kehidupan agamanya hanya berdasarkan keinginan pribadinya sendiri saja tidak akan mungkin mendapatkan manfaat kebaikan dari insan-insan mulia yang menjadi orang-orang terhormat pada permulaan saat ‘Jalan Kebenaran’ ini dimulai.

Kita sedang berhadapan dengan kerugian besar ini, tepat pada titik yang sama seperti para pendahulu kita sebelumnya. Mengaku Islam namun mengabaikan salat  karena salat dianggap sebagai beban, menjadi seorang Muslim namun tidak menunaikan puasa karena secara fisik merasa sulit, dan memahami agama sebagai sesuatu yang tak ada batasannya karena ada keinginan untuk mengumbar nafsu. Inilah pemikiran kotor yang telah menodai baik zaman ini maupun zaman terdahulu.

Sesungguhnya, seorang mukmin berarti seseorang yang merupakan duta baik bagi keimanannya maupun bagi keyakinan serta penyerahan dirinya kepada Allah dalam kondisi  apapun. Ya, mukmin adalah sosok yang sebagaimana besar keyakinan dirinya kepada Allah, seperti itu pula ia akan begitu patuh dan khusyu’ saat menghadap-Nya dan bergetar begitu hebat saat menjumpai larangan-Nya.

b) Pentingnya Menegakkan Salat

Diriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ berkata: "Mereka yang menunaikan salat, yang menghadapkan wajahnya ke qiblat dan yang makan seperti kami adalah kaumku"[5] Sekarang, mari kita pikirkan kebalikan dari pernyataan ini. Dari kaum manakah mereka yang tidak pernah bersujud dalam salat, yang tidak menghormati kemanusiaan, yang menyebabkan adanya anarki, yang memusuhi ketertiban, yang melawan kedaulatan negara, dan yang mencoba menyebarkan anarki di negerinya?  Orang-orang seperti ini dari kaum manapun mereka berasal, sebenarnya mereka tidak mendapat tempat dalam lingkaran keagungan Rasulullah ﷺ.

Ya, Salat amatlah penting dan karenanya, kita harus menyadari dan bersemangat tentang hal itu. Nabi Muhammad ﷺ menggambarkan bahwa seseorang yang tidak menunaikan salat sebagai orang yang berada di persimpangan. Apalagi jika masalahnya berkaitan dengan keimanan, maka ada konsekuensi yang berbeda. Seseorang menawarkan bantuannya ketika Rasulullah sedang bersiap-siap untuk pergi ke pertempuran. Rasulullah bertanya padanya, "Apakah kau beriman?" Ketika orang itu menjawab bahwa ia tidak beriman, Rasulullah berkata kepadanya, "Aku tidak membutuhkan bantuanmu."[6]

Ya, keimanan adalah seperti perahu yang membawa orang-orang mukmin menuju pantai yang aman dan salat adalah elemennya yang paling penting. Seperti yang dikatakan oleh M.Lutfi Efendi, "Salat adalah pilar utama agama dan cahayanya. Salat adalah kekuatan penggerak perahu agama dan induk semua doa..."

Diriwayatkan bahwa pada suatu kesempatan Rasulullah ﷺ berkata: "Salat yang paling memberatkan bagi orang-orang munafik adalah salat Isya dan salat Subuh."[7]  Sekarang kita harus bertanya pada diri sendiri apakah selama ini kita menunaikan salat-salat kita dengan rasa penuh antusias. Saya rasa sikap yang benar untuk melindungi diri dari kemunafikan adalah perasaan penuh semangat dan antusias dalam beribadah.



[1] QS. An-Nisa, 4/139; Yunus, 10/65; Fatir, 35/10; Munafikun, 63/8.

[2] Sahih al-Bukhari, "Adab" 96; Sahih Muslim, "Birr" 165; Abu Dawwud, “Adab” 122; Tirmidzi, “Zuhd” 50.

[3] Sahih Muslim, "Nikah" 98, 101; Sunan ibn Majah, "Nikah" 25

[4] Lihat QS. Maryam, 19/16, 41, 51, 54, 56.

[5] Sahih al-Buhari, "Salah" 28; Sunan di- Tirmidzi, "Iman" 2; Sunan an-Nasa'i, "Iman" 9.

[6]Sahih Muslim, "Jihad" 150,  Tirmidzi, "Siyar" 10, Abu Dawwud, “Jihad” 153.

[7] Sahih al-Buhari, "Mawakid" 20; Sahih Muslim, "Masajed" 252; Ibnu Majah, “Masajed”, 18.