Beberapa Pertimbangan terkait Etika Media-1

Pertanyaan: Pada masa ini terlihat banyak etika media yang dilanggar dan sebagai akibatnya terdapat begitu banyak dampak negatif. Jika melihat dari sudut pandang ini, menurut Anda tugas apa saja yang seharusnya diemban oleh media?[1]

 

Jawaban: Jika melihat sikap dan perilaku orang-orang saat ini, kita bisa mengatakan bahwa kesehatan mental masyarakat benar-benar sedang dalam keadaan terluka dan bahkan sebenarnya telah hancur. Kondisi tersebut juga ditunjukkan oleh meningkatnya konsumsi obat antidepresan akhir-akhir ini. Angkanya kini mencapai hingga puluhan persen. Itu berarti kebanyakan orang hidup dalam kondisi stres dan depresi. Bahkan disampaikan bahwasanya orang-orang yang terlihat sehat dan secara kasat mata nampak tidak mengalami gangguan psikologi pun menggunakan obat-obatan tersebut. Ketika berhenti mengonsumsinya, mereka tidak bisa bergerak secara seimbang sehingga tindakan yang diambilnya dalam keadaan demikian bukan hanya merugikan dirinya sendiri, tetapi juga akan merugikan orang lain.

 

Seandainya saja kita membawa orang-orang yang hidup pada masa lalu untuk menyaksikan kondisi orang-orang pada masa ini, mungkin mereka akan memvonis bahwa sebagian besar masyarakat ini sedang mengalami gangguan mental. Sayangnya penyakit gangguan jiwa seperti megalomania, paranoid, dan skizofrenia telah menjangkiti banyak manusia di masa kini. Akan tetapi, karena kebanyakan orang merasakan derita yang sama maka mereka tidak dapat menyadari bahwa mereka sebenarnya sedang sakit. Sebagaimana orang-orang yang dirawat di rumah sakit jiwa merasa bahwa diri mereka “waras” sedangkan orang lain adalah “gila”, demikian juga dengan orang-orang di masa sekarang, mereka tidak menyadari penyakit yang sedang dideritanya.

 

Penyebab timbulnya potret yang menyedihkan ini yaitu karena di masa sekarang terdapat banyak faktor yang merusak psikis dan kemudian membuat manusia mengalami gangguan mental. Orang-orang selalu hidup dalam pergolakan.  Ketegangan ternyata bermula dari rumah. Seorang anak ketika membuka matanya secara spontan ia melihat hidup yang penuh dengan ketegangan. Orang-orang bangun dan tidur dalam ketegangan. Tentu saja hal tersebut memengaruhi kehidupan keluarga, pekerjaan, dan hubungan antar manusia yang mereka jalani. Mereka mudah terpicu kemarahannya oleh hal-hal yang tidak penting; membesar-besarkan hal yang remeh; merusak lingkungan pergaulan karena hal-hal sederhana, dan dengan demikian ia pun mengacaukan sekelilingnya disebabkan oleh kekacauan yang ada dalam dirinya sendiri. Mereka berada dalam suasana hati yang mendorong diri untuk melakukan kerusakan dan menjatuhkan orang lain. Faktanya, tidak mungkin kita bisa memiliki pikiran yang sehat, sikap yang lembut, dan perilaku yang seimbang di tengah lingkungan yang penuh dengan provokasi, banyak pemicu negatif, dan percikan-percikan yang mencemari atmosfer kita serta mengacaukan pikiran.

 

Salah satu faktor terpenting yang menyebabkan semua hal negatif ini adalah media. Sayangnya, beberapa penyelewengan media seperti menerbitkan berita-berita yang membuat masyarakat bergejolak, menjatuhkan satu sama lain dengan fitnah dan kebohongan, mencoreng nama baik seseorang atau kelompok yang tidak ia sukai, membuka rahasia orang lain sembari membongkar privasi dan kesalahan-kesalahan mereka, membesar-besarkan beberapa peristiwa kepada masyarakat publik demi menaikkan rating semata, telah menjadi penyebab perpecahan dan hal-hal negatif yang serius di tengah masyarakat.

 

Konsensus Sosial

Seandainya saja perusahaan-perusahaan penyiaran dan lembaga negara terkait bisa berkumpul dalam satu meja dan menyepakati prinsip-prinsip tertentu untuk menyelesaikan permasalahan ini. Seandainya mereka bisa mencapai sesuatu yang disebut Jean Jacques Rousseau[2] sebagai “kesepakatan sosial” terkait prinsip-prinsip seperti: tidak menerbitkan berita yang membuat suasana jadi bergejolak, menaati kode etik media massa, membuat berita dengan benar, serta tidak merendahkan harkat dan martabat orang lain. Ah, seandainya mereka mampu membuat komitmen untuk tidak membuat tindakan yang tidak bertanggung jawab, tidak bergerak tanpa pikir panjang, serta memperhatikan sensitivitas masyarakat; andai saja mereka sedari awal sudah mempertimbangkan akibat dari berita yang mereka buat jika ia dibaca oleh masyarakat; andaikata mereka dapat menyiarkan tayangan yang menguatkan persatuan dan kesatuan daripada menampilkan hal-hal yang memicu perpecahan dan pertikaian; dan seandainya mereka menghindari tayangan dan berita yang dapat membuat tensi darah naik serta merenggangkan hubungan antar manusia. 

 

Untuk itu, penegakan aturan dan kode etik jurnalistik sangatlah penting. Media yang melanggar aturan tersebut hendaknya diberi hukuman supaya timbul efek jera. Namun, yang terpenting adalah bagaimana semua pihak dapat menerima kode etik tersebut dan mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, usaha untuk meyakinkan perusahaan-perusahaan penyiaran tentang pentingnya masalah ini sangatlah penting. Demikian juga usaha untuk menciptakan opini publik tentang kode etik jurnalistik serta mendorong mereka untuk menandatangani konvensi nasional media massa.

 

Meski pada tahun-tahun sebelumnya kita dapat meraih beberapa capaian yang baik dalam praktik demokrasi; kendati kita telah menggapai berbagai perkembangan yang signifikan dalam penerapan nilai-nilai demokrasi, sayangnya kita belum bisa mengatakan bahwa masyarakat telah siap menerima konvensi seperti ini. Malangnya lagi, kondisi masyarakat secara umum dan struktur sosial yang ada saat ini belum memungkinkan untuk mewujudkan perkembangan yang diharapkan. Ini karena keluasan pikiran dan hati nurani masyarakat kita masih belum dapat dikatakan telah memenuhi standar yang diharapkan.

 

Namun, fakta bahwa beberapa organisasi media seperti surat kabar dan televisi tidak peduli pada permasalahan ini dan bertindak tak bertanggung jawab seharusnya tidak membuat kita menjadi seperti mereka. Ketidakberhasilan membuat konvensi bersama terkait permasalahan ini tidak berarti ia harus ditinggalkan sama sekali. Sikap negatif dari orang lain tidak kemudian membenarkan kita untuk melakukan hal negatif yang serupa. Bahkan ketika 99,9% orang bersikap negatif, mereka yang tersisa tidak bisa mengatakan, “Karena hampir semua orang melakukan hal serupa, berarti tidak masalah bagi saya untuk melakukan hal yang sama”. Sebab di akhirat nanti Allah akan meminta pertanggungjawaban setiap diri kita satu demi satu. Dia akan meminta pertanggungjawaban setiap orang atas dosa mereka sendiri. Dia tidak akan meminta pertanggungjawaban kita atas dosa yang dilakukan oleh orang lain. Dari sudut pandang ini, tidak ada orang yang memiliki kelonggaran ataupun keistimewaan tertentu untuk kemudian mengatakan, "Saya hanya mengikuti yang lainnya". Jika memang ada hal yang ingin diikuti, maka bukan kesalahan, melainkan praktik kebenaranlah yang harus ditiru.

 

Penggunaan Bahasa dan Uslub dalam Berbicara

Dalam hal ini, setidaknya orang-orang yang berusaha untuk menjalankan hidupnya sesuai dengan nilai-nilai agama dan akhlak harus berhati-hati pada permasalahan etika media. Mereka juga harus menjadi contoh bagi orang lain.


Contoh yang paling sederhana yaitu ketika berbicara dalam program televisi hendaknya mereka menggunakan bahasa yang santun saat berbicara satu sama lain. Dengan sopan mereka menggunakan sapaan seperti “Bapak Fulan” atau “Ibu Fulanah” sehingga dengan demikian perasaan saling menghormati di antara anggota masyarakat dapat terstimulus.

 

Sebenarnya, seperti itulah akhlak masyarakat kita secara umum, khususnya di masa beberapa tahun ke belakang. Di lingkungan tempat saya dibesarkan, tidak ada seorang pun yang memanggil satu sama lain dengan namanya secara langsung. Mereka menyapa satu sama lain dengan sapaan penuh rasa hormat seperti "Bapak", "Ibu", "Abang", dan "Kakak". Memanggil orang lain hanya dengan namanya saja dianggap tidak sopan. Praktik tersebut layaknya kebiasaan orang-orang pada masa jahiliyah yang belum keluar dari sifat-sifat badui-nya.

 

Apabila dewasa ini baik dalam menulis kolom pada surat kabar maupun ketika mengisi program di layar kaca kita menggunakan sapaan terhormat seperti “Bapak, Saudara, Yang Mulia, Yang Terhormat,” atau dalam kritik digunakan pilihan kata “Anda berpendapat seperti itu, tetapi terdapat perspektif lain yang juga perlu ditinjau” dan kita konsisten dalam menggunakannya, saya rasa praktik tersebut adalah hal yang layak diapresiasi serta akan dengan mudah menyebar kepada yang lain. Jika hal-hal negatif dapat dibatasi, maka hal-hal yang baik dan penuh cahaya pun akan menyebar dengan cepat.

 

Ya, kita harus membawa permasalahan ini ke pembahasan-pembahasan yang lebih penting. Kita harus berusaha membangkitkan nilai-nilai yang telah hilang. Tata bahasa dan tata krama perlu diletakkan kembali di tempat yang semestinya. Kita harus menjadi representasi dari kebaikan. Penggunaan bahasa yang merupakan pembawa budaya dan peradaban secara benar harus betul-betul diperhatikan. Bahasa slang, kasar, dan jauh dari tata krama harus dihindari. Semaksimal mungkin kita gunakan kata-kata yang mengungkapkan kultur dan keluasan jiwa kita.

 

Menjadi Representasi dari Kebenaran dan Akhlak   

Tak ada keraguan bahwa kebenaran merupakan salah satu hal penting yang harus diperhatikan ketika membuat berita, tulisan, atau program untuk  media seperti koran, televisi, dan internet. Seseorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir tidak akan terpikirkan untuk menyampaikan kebohongan, memfitnah orang yang tak bersalah, serta memperburuk citra seseorang melalui kampanye hitam. 

 

Jangankan berkata bohong dan melemparkan fitnah, seorang mukmin yang menjadi representasi dari kebenaran pun tidak akan melakukan hiperbola dalam berita-berita yang dibuatnya. Mereka tidak akan berani membuat berita yang tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Bahkan apabila ada sebagian kebenaran yang dianggap dapat membahayakan anggota masyarakat, mereka tidak akan membuatnya menjadi berita.

 

Sayangnya sebagian orang-orang yang beriman kepada Allah terkadang tidak mampu menjaga keseimbangannya. Tak boleh dilupakan juga, ketika suatu media membuat berita yang tidak menyiratkan hakikat kejadian peristiwa secara sempurna dan menyebabkan pembaca salah dalam memahami duduk perkaranya, media itu akan kehilangan kredibilitas. Berita yang ditulis akan menimbulkan sesuatu yang bertentangan dan akan dicampakkan di hadapan penulisnya.

 

Untuk itu, ia harus meletakkan ruang terbuka bagi perbedaan pandangan pada topik-topik yang latar belakangnya belum diketahui dengan pasti. Tidak boleh memaksakan diri mengulik sesuatu yang belum dipahami dengan baik. Kita harus menjauhkan diri dari melebih-lebihkan sebuah berita serta bersikap moderat dalam menanggapi komentar. Dengan demikian, para pembaca tidak akan terkecoh. Kredibilitasnya sebagai jurnalis pun tidak akan runtuh. Ia pun akan meninggalkan bahan-bahan yang benar untuk sejarawan dan analis yang akan muncul di masa mendatang.

 

Sementara itu, orang lain bisa jadi tidak akan memperhatikan satu pun dari kriteria-kriteria ini. Orang-orang bisa saja dengan mudah mempermainkan kemuliaan dan harga dirinya. Betapa banyak orang-orang yang bertindak dengan logika “lemparkan lumpur, biar tersisa bekasnya” kemudian terguncang harga dirinya. Tidak ada sesuatu yang bisa kita lakukan ketika harus menghadapi hal seperti ini. Namun, apabila saran-saran kita tidak bisa diterima, kita tidak boleh bertindak seperti mereka. Kewajiban kita di setiap waktu adalah menjadi juru bicara bagi kebenaran, meletakkan sesuatu secara tepat, menyuarakan sesuatu dengan faktual, dan tidak meninggalkan kebenaran.

 

Di sisi lain, beberapa hal berkaitan dengan kehidupan pribadi seseorang. Allah tidak memerintahkan manusia untuk mencari tahu privasi dan aibnya masing-masing.  Allah melarang kita memata-matai rahasia dan privasi orang lain. Bahkan ketika mengetahui beberapa dosa yang dilakukan oleh seseorang, selama hal tersebut tidak merugikan orang lain hal utama yang harus dilakukan bukanlah menyebarluaskan melainkan merahasiakannya.

 

Misalkan apabila ada seseorang yang melihat orang lain melakukan dosa secara pribadi, sebagaimana memberitahukan hal tersebut kepada pihak yang berwenang tidak wajib dia lakukan, demikian juga apabila ia tidak menginformasikannya kepada publik, ia bukanlah sebuah perbuatan dosa. Sebenarnya merahasiakan hal tersebut bagi mereka yang melihat praktik dosa pribadi merupakan sebuah keutamaan.

  

Pada Asr Sa’adah, terdapat seorang perempuan yang menghadap Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan mengakui bahwa dirinya telah berzina. Baginda Nabi menghindari masalah tersebut, tidak mencari tahu detail peristiwanya, tidak menggubrisnya, dan bersabda, “Kembalilah pulang dan bertobatlah kepada Allah, tidak ada satu pun dosa yang tidak diampuni oleh-Nya.” Sayangnya, pada masa kini terdapat banyak omong kosong yang terjadi sehingga orang-orang lebih suka memburu dan mencecar dosa dan kesalahan orang lain daripada merahasiakan aib dan kekhilafan yang dilihatnya. 


Hanya demi menarik perhatian dan meningkatkan jumlah rating penonton, kehidupan privasi orang-orang diinvestigasi, rahasianya diumbar, setiap media berlomba-lomba menjadi yang pertama dalam merilis aib, dan sering kali kemuliaan, reputasi, dan kehormatan orang lain dijatuhkan. Oleh karena itu, begitu banyak kehidupan yang dijelek-jelekkan. Sebagian dari mereka pun jadi terpuruk karenanya. Jangankan dalam agama, secara kemanusiaan pun praktik yang demikian tidak memiliki tempat. Maaf jika saya harus mengatakan bahwa hal tersebut adalah perilaku yang benar-benar tak beradab.

 

Menyeret mereka yang melanggar hak orang lain atau mengganggu ketertiban masyarakat ke meja persidangan tidaklah sama dengan mengulas aib mereka jengkal demi jengkal sebagai bahan berita. Perbuatan kedua tidaklah berbeda dengan perbuatan sembrono yang tidak memikirkan wibawa dan kemuliaan seseorang. Jika terdapat kesalahan, pengacara dan jaksa bisa saling berargumentasi. Orang tersebut dituntut di depan hakim dan setelah mengevaluasi bukti-bukti, pengadilan kemudian menjatuhkan vonis. Namun, kewenangan untuk menginterogasi seseorang bukanlah pekerjaan seorang jurnalis.

 

Jika kita melihat permasalahan ini dari sudut pandang tarbiah Islam, nilai-nilai kemanusiaan, dan sistem akhlak universal, maka meski lembaga pengadilan menetapkan bahwa seorang terdakwa terbukti bersalah dan menyatakan bahwa ia adalah seorang pencuri yang tidak tahu malu, media tidak semestinya memiliki hak untuk menyebarkan berita ini. Tidak ada seorang pun akan mendapatkan pahala di hadapan Allah karena membuat berita tentang peristiwa ini. Sebaliknya, seseorang yang menutupi peristiwa tersebut akan mendapatkan pahala karena dalam hadis syarif juga kita disarankan untuk menutupi setiap aib dan dosa; Allah memberikan kabar gembira bahwa barang siapa yang menutupi setiap aib di dunia ini, maka aib-aibnya pun akan ditutupi oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala di akhirat kelak (Baca di HR. Bukhari, mazâlim 4; HR Muslim, birr 58). Inilah hal yang harus dilakukan dari sisi akhlak dan tarbiyah Islam. Oleh karena itu, sebagaimana jika seorang muslim mengambil harta orang lain, membunuh jiwa atau menjarah kesucian orang lain adalah suatu perbuatan dosa besar, maka menyebarkan (aib) secara tertulis atau pun lisan hanya demi meningkatkan rating semata juga merupakan sebuah dosa dan sikap yang tak beradab.


Seseorang bisa jadi terpeleset dan jatuh oleh karena mengikuti perintah dari nafsu dan setan. Jika lembaga media mengungkap hal tersebut hingga sedetail-detailnya, maka mereka, khususnya yang memiliki kehormatan tertentu, terpaksa akan menjalani sisa umur hidupnya dalam keadaan menundukkan kepala. Bahkan terkadang hal ini tidak terbatas pada satu orang pelakunya saja. Aib yang tersebar akan mempermalukan suatu kelompok masyarakat yang besar, satu suku, dan satu keluarga dipaksa menundukkan kepala mereka ke tanah. Tidak ada seorang pun yang memiliki hak untuk mempermalukan orang lain seperti ini. Kelancangan yang demikian tidak ada hubungannya dengan hak untuk mendapatkan ataupun memberikan informasi. Baik agama ilahi maupun sistem manusia yang waras tidak akan mengizinkan adanya hak yang seperti itu. Benar, dosa adalah dosa. Namun, menindas dan mempermalukan orang lain dengan dosa ini merupakan dosa yang lebih besar dari dosa tersebut.

 

Terdapat sebuah hadis yang diriwayatkan berkenaan dengan Nabi Musa. Meskipun beliau bersama kaumnya telah berulang kali berdoa demi turunnya hujan, tetapi hujan tak kunjung datang. Untuk itu, Nabi Musa yang juga merupakan seorang Nabi ulul azmi kembali menengadahkan tangannya dan menyampaikan curahan hatinya, “Ya Allah, aku telah berdoa demi turunnya hujan sesuai dengan yang Engkau perintahkan. Namun, hujan tidak kunjung turun.” Kemudian Allah Subhanahu Wa Ta'ala. menyampaikan bahwa di dalam jamaah Nabi Musa terdapat orang-orang yang berdosa maka dari itu hujan tidak kunjung turun. Ketika Nabi Musa menanyakan siapa mereka, Allah Subhanahu Wa Ta'ala. pun menjawab. “Aku tidak akan memberitahukan dosa hamba-Ku.” Yang berikutnya perlu dilakukan ialah bertobat dan beristigfar secara bersama-sama. Inilah yang disebut akhlak ilahi. Kewajiban kita ialah berusaha untuk memiliki akhlak tersebut.

 

Namun, sayangnya lembaga media -meski tidak seluruhnya- tetapi sebagian besarnya terasing dari tarbiah seperti ini. Demi rating, mereka rela menjatuhkan reputasi banyak orang. Bahkan mereka tidak segan menyebarkan berita palsu yang mereka buat untuk diterbitkan dalam surat kabar, majalah, portal internet, atau program televisi secara tidak bertanggung jawab. Seolah-olah mereka telah menantikan munculnya sebuah peristiwa tertentu sehingga mereka bisa memanfaatkannya.

 

Ketika melihat berita-berita seperti ini aku tidak bisa menahan diri untuk mengatakan hal berikut:

“Mereka benar-benar berada dalam kegersangan pemikiran yang luar bisa. Karena tidak memiliki ide-ide cemerlang yang dapat disampaikan kepada masyarakat, mereka kemudian berusaha menarik perhatian para pemirsa dengan berita-berita rendahan. Di satu sisi mereka ingin menutup kekurangan-kekurangan yang ada pada diri mereka dengan berita-berita dan komentar-komentar yang seperti ini.”

 

Dalam hal ini, apa pun yang orang lain lakukan, orang-orang yang sepenuh hati beriman kepada Allah ta’ala tidak seharusnya menyebarkan aib-aib atau dosa-dosa orang lain dan dalam lingkup ini ia harus menjadi contoh bagi orang-orang di sekitarnya.

Daripada sibuk dengan aib-aib orang lain, mereka seharusnya melihat kebajikan-kebajikan yang dilakukan dan mengapresiasinya. Mereka harus berusaha untuk membuat berita dan siaran yang menyenangkan dan membahagiakan penontonnya, bukan dengan menampilkan berita yang mempermalukan pelakunya. Sebagaimana hal ini merupakan tuntutan dari akhlak manusiawi, ia juga merupakan tuntutan dari akhlak Qur’ani yang merupakan puncak dari akhlak manusia. Seorang muslim sama sekali tidak boleh mengatakan, “Kita melakukan hal tersebut karena semua orang juga melakukannya.”

 

Seperti yang telah disampaikan di atas, meski semua orang telah terkontaminasi oleh keburukan dan yang hidup dalam keadaan murni hanya tinggal dirinya seorang diri, ia tetap wajib berjalan di atas jalan yang benar. Sikap dan perilaku yang diambil dalam menyikapi permasalahan ini oleh mereka yang dianggap oleh orang lain sebagai representasi dari Islam dan dikenal sebagai orang yang religius menjadi jauh lebih penting.

Karena salah benarnya perilaku yang mereka lakukan tidak hanya terbatas pada diri mereka saja. Di saat yang sama, ia juga akan berdampak kepada pandangan orang terhadap agama kita.     

 

Jika perasaan dan pemikiran mereka selalu termanifestasi dengan benar layaknya sikap seorang mukmin, apabila mereka menampilkan segala perilakunya juga seperti itu dan menjalankan segala aktivitasnya dalam kerangka nilai-nilai Islam, dengannya mereka telah berkontribusi dalam membangkitkan rasa simpati terhadap agama Islam.  Orang-orang yang memandang mereka akan berkata, “Betapa indahnya tarbiah agama ini.” Supaya orang-orang bisa mengeluarkan komentar yang demikian, maka sebagai seorang muslim kita harus menemukan cara untuk membangkitkan rasa kagum terhadap agama dan rasa ingin menjadi seorang muslim yang paripurna pada setiap orang yang menyaksikannya.

 

[1] Diterjemahkan dari artikel: http://fgulen.com/tr/eserleri/kirik-testi/medya-etigine-dair-bazi-mulahazalar

 

[2] Jean Jacques Rousseau disebut sebagai Bapak Demokrasi Modern. Sebutan tersebut disematkan kepadanya karena paparannya tentang perlunya perjanjian masyarakat, kesamaan, dan kemerdekaan dalam sebuah pemerintahan. Rousseau mencetuskan pemikiran tentang hak asasi manusia yang menyampaikan bahwa manusia adalah sama dan merdeka sedari lahir. Pikirannya ini tertuang dalam bukunya du Contract Social.

Pin It
  • Dibuat oleh
Hak Cipta © 2024 Fethullah Gülen Situs Web. Seluruh isi materi yang ada dalam website ini sepenuhnya dilindungi undang-undang.
fgulen.com adalah website resmi Fethullah Gülen Hojaefendi.