Dua Kaidah yang Menghidupkan Kehidupan Beragama

Dua Kaidah yang Menghidupkan Kehidupan Beragama

Pertanyaan: Beragam wasilah nan mendukung serta membangkitkan kehidupan agama yang kita sebut sebagai muayyidah (penunjang) memiliki dua pilar penting. Yang pertama ialah “amar bil ma’ruf nahyi anil munkar”, sedangkan yang kedua ialah raqaiq (kelembutan hati). Apakah Anda bisa menjelaskan dua hal tersebut khususnya dari sudut pandang masa kini?[1]

Jawaban: Amar bil ma’ruf nahyi anil munkar ialah mengajak setiap orang terhadap sesuatu yang diperintahkan agama serta mencegah mereka dari perkara-perkara yang dilarangnya. Dalam ungkapan lain, amar bil ma’ruf nahyi anil munkar artinya berperan dalam menyebarkan segala bentuk kebaikan dan keindahan di antara umat manusia, lagi mencegah serta melindungi orang-orang dari segala keburukan dan kejelekan. 

Sebuah Tugas Wajib di atas Segala Kewajiban

Demi menjalankan tugas ini dalam bentuk yang tersistem dan untuk merangkul semua masyarakat, sejak masa diutusnya Nabi Muhammad sallallahu ‘alaihi wasallam telah digunakan berbagai macam wasilah: beragam khotbah dan ceramah diberikan; lingkar-lingkar studi dibentuk untuk menyelenggarakan kajian; Kegiatan-kegiatan ini terus berlanjut hingga saat ini dengan beragam pola dan aksen khas yang berasal dari kultur dan tradisi lokal. Bentuk terbaik dari tugas ini, yang paling hidup, paling berkesan, dan paling besar pengaruhnya termanifestasi dalam majelis-majelis zikir dan sufi. Karena mayoritas tokoh yang menunaikan tugas di sana  menyampaikan pesan-pesannya kepada bangsa dan negara melalui suara hati mereka. Mereka berusaha meyakinkan kalbu setiap orang melalui sentuhan nurani yang melampaui logika; melalui lisan latifah rabbaniyah, sir, dan mungkin juga dengan tutur khafi dan akhfa mereka memasuki jiwa kawan bicaranya sembari mengisinya dengan banyak hal baik seperti asma dan juga sifat-sifat Ilahi. Dengan demikian mereka telah membuat hati kawan bicaranya senantiasa hidup.

Oleh karena amar bil ma’ruf nahyi anil munkar merupakan salah satu kaidah penting yang membantu kehidupan agama tetap berdiri tegak, di waktu ia diabaikan maka kehidupan agama mulai meredup dan bangsa pun mengasingkan diri dari nilai-nilai agama. Pada periode-periode tertentu pintu-pintu masjid terkunci; sedangkan di periode-periode yang lain, meski tidak terkunci, tetapi masjid kehilangan fungsinya; khotbah dan ceramah dicemari berita-berita aktual; mimbar-mimbar masjid direndahkan reputasi dan pengaruhnya. Seolah-olah kaidah penting ini dibungkus di suatu tempat seraya dikatakan “kamu diam dulu di sini”. Ketika kita melihat periode kemarau dari sisi perasaan dan pemikiran beragama, meski kita memandang dari sisi pengamalan amar bil ma’ruf nahyi anil munkar kita pada hari ini berada dalam kondisi yang lebih baik, tetapi sebuah kenyataan bahwa apa yang kita capai masih jauh sekali bila dibandingkan dengan praktiknya pada masa-masa kebahagiaan (periode kehidupan Rasulullah) dan masa awal Usmani. Oleh karena tugas ini banyak diabaikan pada abad ini, Bediuzzaman Said Nursi dalam cahaya kesepuluh menyebut hukum melaksanakan tugas ini adalah farz der farz atau kewajiban di atas kewajiban.[2] Oleh karena itu, di masa ini tugas amar  bil makruf nahyi anil munkar berada di pundak kita masing-masing. Dalam usaha untuk mengembalikan kebangkitan kita, ia adalah kaidah yang tidak bisa digantikan dengan hal lain. 

Raqaiq: Kelembutan Hati nan Selalu Gemetar

Raqaiq adalah menjelaskan perkara-perkara yang dapat melunakkan kalbu dan menggerakkan jiwa untuk dapat menjalankan kehidupan beragama tanpa cela; mengarahkan pandangan untuk bertawajuh kepada akhirat; membangkitkan perhatian manusia akan beratnya hisab dan mizan; serta memunculkan gelora raja’ (harapan) pada diri mereka. Dari sudut ini, raqaiq merupakan kemampuan irsyad istimewa yang dimiliki oleh orang-orang beriman. Yang termasuk dalam cakupan raqaiq yaitu pembahasan yang berhubungan dengan iman dan Islam, khususnya hal-hal yang berkaitan dengan ganjaran yang akan diterima seorang manusia dari setiap amal yang dilakukannya. Sebagai contoh misalnya pertemuan manusia dengan malaikat maut, pemakaman, azab kubur, kehidupan di alam barzah, padang mahsyar, hisab, mizan, dan jembatan sirat.

Kitab “Tanbuhul-Ghafilin” karya seorang ahli fikih mazhab Hanafi terkemuka, yaitu Imam Abu Laits As-Samarqandi, merupakan salah satu karya penting yang fokus pada pembahasan raqaiq. Ia dalam karyanya membahas topik-topik seperti ikhlas, surga, neraka, dan mizan. Di bagian akhir kitabnya beliau menjelaskan pertemuan setan dengan Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam. Ketika membahas topik ini, bisa jadi beliau tidak sesensitif Imam Bukhari dan Muslim dalam menggunakan kriteria evaluasi sanad. Kondisi yang sama juga berlaku pada kitab “Ihya Ulumuddin” karya Imam Ghazali. Hal ini terjadi karena mereka tidak memandangnya sebagai masalah untuk mengutip riwayat dhaif dalam rangka memberikan targhib (motivasi) dan tarhib (peringatan).

Imam Qurtubi lebih sensitif, hati-hati, dan penuh perhatian ketika menuliskan karyanya pada topik ini. Selain itu, Imam Qurtubi juga merupakan ulama fikih dalam mazhab Maliki yang kemahirannya diterima oleh banyak orang di bidang ilmu tafsir. Yang membuat banyak tokoh kagum kepadanya adalah walaupun beliau tinggal di Andalusia (Barat), tetapi beliau menguasai dengan baik semua karya-karya besar dari Timur. Hal sama juga muncul dari sosok Abu Hayyan at Tauhidi yang juga berasal dari Andalusia. Meskipun mereka berasal dari Dunia Islam Wilayah Barat, tetapi mereka mampu mengakses karya-karya besar.

Hingga saat ini banyak alim ulama membahas topik yang berhubungan dengan raqaiq sebagai kaidah penting untuk menopang kehidupan agama dan membahas perkara ini dalam banyak karyanya. Akan tetapi, supaya dua hal tersebut bisa masuk ke dalam kalbu dan memberikan pengaruh pada jiwa, pertama-tama para kawan bicara ini perlu memiliki iman yang kokoh. Karena seberapa dalam keimanan yang dimiliki dan seberapa progresif ia berada pada tingkatan yakin, pada ukuran yang sama ia juga akan menerima apa yang disampaikan dan ditulis, menghindarkan diri dari setiap keburukan, selalu berada dalam rasa cinta serta semangat dalam ibadah dan ketaatan. Pastilah orang-orang yang merasakan sensitivitas pada permasalahan agama dalam ukuran seperti ini, perilaku yang ia jalankan di hadapan kaidah tersebut pun akan sangat berbeda. Jika tidak, ucapan yang disampaikan tidak akan diterima dan tidak memberikan pengaruh pada kawan bicara. 

Mukmin Sejati yang Merasa Khawatir terhadap Balasan atas Amal Ibadahnya

Dalam hal ini aku ingin mengungkapkan kepada kalian beberapa peristiwa yang aku alami untuk memberikan pandangan. Ketika pertama kali menyampaikan ceramah di desa, aku berusia 15-16 tahun. Saat ini ketika mengenang hari-hari itu aku merasa heran; warga desa itu begitu berakhlak dan rendah hati! Orang-orang yang setara dengan umur ayah dan kakekku, mendengarkan seseorang yang umurnya jauh lebih muda dari mereka. Pada siang hari aku membahas Tanbihul Ghafilin, sedangkan di sore hari aku memberikan ceramah Durrotul Waidzin kepada mereka. Dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an aku menggunakan referensi karya-karya tafsir sesuai topik yang dibahas, misalnya karya Baidhawi[3]. Terkadang aku juga menceritakan kisah-kisah penuh hikmah. Pada malam harinya aku membahas permasalahan fikih dari buku Ghunyat al-Mutamalli fi Sharh Munyat al-Musalli al-Mushtahir bi-Sharh al-Kabir milik Ibrahim al-Halabi.

Aku memulainya dengan menjelaskan topik ikhlas dari kitab Tanbihul Ghafilin. Mungkin, dengan muhasabah yang mendalam dari para jamaah, mereka berkata, “Siapa yang bisa menghidupkannya sesuai dengan tingkat ini!”. Mereka merupakan generasi Usmani tahun 50’an. Meski mereka mengalami banyak penindasan dan usaha supaya mereka tidak menjalankan kehidupan agamanya, tetapi dengan sisa-sisa pemahaman agama yang ada merupakan hal yang mencengangkan ketika mereka menanggapi permasalahannya seperti itu. Setelah membahas tema ikhlas, aku lanjutkan dengan membahas neraka. Setelah dua hari aku membahas topik tersebut, beberapa orang dari mereka mulai menangis tersedu-sedu. Suatu hari ketika aku keluar dari masjid, dua orang yang namanya tak pernah aku lupakan datang dan berkata, “Ustaz, demi Allah, apakah tidak ada surga Allah di luar itu? Kita sudah angkat tangan!” Walaupun peristiwa ini terjadi lebih dari lima puluh tahun yang lalu, aku tidak pernah lupa kejadian tersebut. Sikap mereka saat itu masih terbayang-bayang dalam benakku ini. Pada tahun-tahun berikutnya, bahkan ketika berceramah di masjid-masjid besar sangat jarang aku menemukan orang-orang yang menanggapi permasalahannya dengan keluasan hati sepert terlihat dalam masyarakat itu.                         

Ya, persepsi sangatlah penting. Jika kalian tidak memahami permasalahannya seperti itu, berarti kalian masih berada di sudut pinggiran tugas ini. Dari sini, supaya pembahasan raqaiq dapat menimbulkan kesan, pertama-tama apa yang akan disampaikannya kepada orang lain harus disimak seakan ia disampaikan kepada dirinya sendiri. Misalnya ketika membahas surga, sangatlah penting untuk selalu berharap sembari memikirkan bahwa hal tersebut ditakdirkan untuk dirinya; ketika berbincang terkait neraka, ia juga harus merasa takut karena dirinya juga bisa saja terjerumus ke dalamnya; Pada saat mengkaji topik ikhlas ia bergetar dengan membayangkan bahwa bisa jadi ia yang terjatuh ke dalam sikap riya yang merupakan syirik tersembunyi begitu meninjau kembali amalnya. Jika tidak, ia hanya seperti seseorang yang membacakan sebuah dongeng. Demikian juga jika pendengarnya hanya menyimak kisah tersebut seperti mengindahkan sebuah hikayat, maka tidak ada manfaatnya membahas raqaiq ataupun topik-topik sejenis lainnya.

Sayiddina Abu Bakar radhiyallahu anhu adalah contoh manusia beriman yang sejati. Ia selalu mengkhawatirkan balasan dari setiap amal perbuatannya. Mereka yang tidak khawatir terhadap konsekuensi yang nanti akan diterimanya sungguh patut untuk khawatir. Dengan pemahaman yang sama Sayyidina Umar radhiyallahu anhu pun selalu khawatir dengan konsekuensi dari amal-amalnya. Juga Al Aswad bin Yazid Ibnu Qays An Nakha’i yang merupakan salah satu imam penting Madrasah Nakhai yang berada di Kufah memiliki kekhawatiran yang sama. Ia merasa takut pada saat kematian menghampirinya. Hal itu terlihat dari tanda-tanda pada raut wajahnya yang berubah dari kondisi satu ke kondisi yang lain, dari warna satu ke warna yang lain. Alqamah ibn Qays yang mendampinginya saat itu, yang juga masih dalam ikatan keluarganya, bertanya, “Kenapa, apakah kamu takut akan dosa?” Ia pun tersenyum pahit dan berkata, “Dosa yang mana! Aku takut jika mati sebagai seorang kafir.”[4] Inilah sosok mukmin sejati yang merasa khawatir akan konsekuensi amal perbuatannya. 

Kematian yang Memutus Kenikmatan

Rabitatul maut (Mengingat kematian) juga merupakan salah satu topik yang perlu dibahas terkait dengan raqaiq. Rabitatul maut adalah memikirkan kematian dan perkara yang berkaitan setelahnya, mengingat kesunyian dan kesendirian di alam kubur, memikirkan bahaya yang menunggu manusia di persinggahan akhirat serta hidup dengan pertimbangan bahwa kematian bisa saja datang setiap saat. Rabitatul maut dengan ungkapan lain, daripada berpikir: “Bagaimana pun saya masih muda. Karena saya masih berumur 20 tahun, kedepannya saya mungkin masih punya 60 tahun lagi. Karena ada juga yang hidup hingga umur 80 tahun,” ia melihat bahwa kematian layaknya tamu yang tidak pasti kapan datangnya dan dengan begitu  perlu mempersiapkannya. Dalam hal ini ada juga puisi arab yang menyatakan, اَلْمَوْتُ يَأْتِي بَغْتَةً وَالْقَبْرُ صُنْدُوقُ الْعَمَل “Kematian datang begitu saja; sedangkan alam kubur merupakan kotak amal,” dengan ini, apa yang seseorang dapatkan hingga saat itu, ialah bekal yang akan ia bawa kesana. 

Demi mempersiapkan akhirat maka perasaan seperti ini sangatlah penting. Apabila seorang manusia tidak berjalan di jalur yang aman dan terjamin selama hidup di dunia, bagaimana bisa ia selamat di akhirat. Sehingga ia nantinya terpaksa melakukan perjalanan di akhirat  melalui jalan yang sangat berbahaya. Dari sudut ini, rabitatul maut membantu manusia untuk memiliki ikatan dengan kematian pada setiap waktu.  Ia adalah pembahasan penting yang perlu dipertimbangkan bagi seorang manusia agar senantiasa memikirkan kehidupan di alam kubur dan perkara-perkara lain setelahnya.

Jika memoar-memoar yang diungkapkan dalam Catatan Kedua Belas diperhatikan, sebelum memulai pembahasan dalam kitabnya tersebut akan terlihat sensitivitas Ustaz Badiuzzaman Said Nursi dalam pembahasan ini. Tidak ada kritik yang belum beliau sampaikan kepada dirinya sendiri.[5] Demikian juga ketika kita melihat munajat dan doa yang dituliskan oleh Abu Hasan As-Syazali, Abdul Qodir Jailani dan Hasan al-Basri, akan nampak jelas bahwa mereka juga melakukan evaluasi diri serupa.

Seperti yang diketahui bahwa Nabi Muhammad sallallahu ‘alaihi wasallam pada awalnya melarang kaum mukminin untuk melakukan ziarah kubur untuk mencegah kemungkinan dilakukannya praktik-praktik menyimpang. Akan tetapi, ketika praktik menyimpang itu perlahan menghilang, Beliau bersabda: “Dahulu saya melarang kalian berziarah kubur, tapi (sekarang) berziarahlah kalian, sesungguhnya ziarah kubur dapat mengingatkan pada akhirat (HR Tirmizi Bab Janaiz 60; HR Abu Daud Bab Janaiz 75).”

Sebagai kesimpulan, baik penunaian tugas “amar bil ma’ruf nahyi anil munkar” maupun anjuran untuk melaksanakan “raqaiq” layaknya pembuluh arteri dan vena yang ada dalam tubuh. Sebagaimana kehidupan dalam tubuh ini bergantung pada kapiler-kapiler darah tersebut, demikian juga eksistensi kehidupan beragama, ia bergantung pada terlaksananya dua kaidah ini. Hanya dengan melaksanakan dua kaidah tersebutlah manusia dapat senantiasa khawatir akan balasan atas semua amal perbuatannya, memiliki hati yang penuh dengan kesadaran, sehingga setiap langkah yang akan dikerjakan dilakukan dengan penuh kehati-hatian dan penuh kewaspadaan, serta menjalankan setiap detik umur kehidupannya dengan muhasabah diri.


[1] Diterjemahkan dari artikel: http://www.herkul.org/kirik-testi/kirik-testi-dini-hayati-canli-tutan-iki-dinamik/

[2] Ustaz tidak menjelaskan hukum amar makruf nahi munkar adalah kewajiban di atas kewajiban secara tersurat dalam cahaya kesepuluh, melainkan secara tersirat menyampaikannya melalui pengalaman beliau dan murid-muridnya dalam risalah tersebut. Dalam risalah tersebut beliau menceritakan bahwa dirinya dan murid-muridnya segera mendapatkan tamparan kasih sayang dari Allah subhanahu wa ta’ala ketika sedikit saja lengah dalam tugas amar makruf nahi munkar.

[3] Beliau adalah Nasirudin Abu Said (Abu Muhammad) Abdullah bin Umar bin Muhammad al Baidhawi (w.685/1286). Beliau adalah seorang mufasir, ahli kalam Asy’ariyah, dan fakih bermazhab Syafii. Beliau ditunjuk sebagai Qadi pada masa Abaqa (Abagha Khan) dari Dinasti Ilkhanat (1256-1357). Dinasti Ilkhanat merupakan Dinasti yang didirikan Hulagu Khan, cucu dari Jengiz Khan, berpusat di Tabriz (Kota Azeri yang kini berada di wilayah Iran), suatu negeri Mongol yang didirikan di tanah Azerbaijan. (Penerj.)

[4] Baca Abu Nuaim, Hilyatul-Auliyâ 2/103-104; Adz-Dzahabî, Siyar a’lâmi’n-nübalâ 4/52.)

[5] Dalam pendahuluannya beliau menyampaikan bahwasanya beberapa persoalan tauhid ini telah ditulis dua belas tahun sebelum penulisan buku Lamaat. Dalam memoar pertama Cahaya Ke-17 Kitab Lama’at, beliau menulis: “Ketahuilah wahai Said yang lalai, kalbumu tidak pantas untuk diikat dan dikaitkan dengan sesuatu yang takkan menyertaimu setelah dunia ini musnah. Ia berpisah denganmu sejalan dengan musnahnya dunia…” dalam paragraf berikutnya beliau menulis: “Jika engkau cerdas dan berakal, engkau tidak akan bersedih dan kecewa. Tinggalkan segala sesuatu yang tidak akan menyertaimu dalam perjalanan kekal abadi itu, di mana ia bahkan hancur di bawah tekanan dan perubahan dunia, di bawah perkembangan alam barzakh, dan di bawah pecahnya alam akhirat.” Demikian juga pada paragraf berikutnya: “Tidakkah engkau mengetahui bahwa dalam dirimu ada lathifah yang hanya bisa terpuaskan dengan keabadian, yang hanya mengarah pada Dzat Yang Kekal, dan melepaskan diri dari selain-Nya…”