Jalan Nabi

Jalan Nabi

Pertanyaan: Bagaimana tekad untuk mengikuti Jalan Nabi tercermin dalam kehidupan seorang mukmin? [1]

Jawaban: Seperti diketahui, menurut ulama usuluddin, manusia dapat meraih ilmu melalui tiga jalan, yaitu hawas salimah (indra yang sehat), aql salimah (akal intelektual yang sehat), dan al khabar al mutawatir (berita yang tidak diragukan/disepakati kebenarannya). Salah satu dari tiga jalan tersebut adalah akal. Sebagaimana ia adalah wilayah pikiran kognisi, organ-organ indra yang sehat adalah sarana untuk membantu manusia mendengar, merasa, dan mengevaluasi. Oleh karena itu, manusia akan meraih hakikat pada level tertentu apabila menggunakan indra tersebut pada tempatnya. Demikian juga, seseorang dapat menggunakan hati nuraninya untuk membuka diri pada hamparan keluasan yang berbeda-beda dan merasakan beberapa kebenaran. Ketika Bergson mendefinisikannya sebagai intuisi, literatur kita menyebutnya sebagai hads حدس (firasat).

Wahyu sebagai Sumber Pengetahuan

Akan tetapi, terdapat beberapa hakikat di mana baik akal intelektual, indra, maupun nurani kita tidak mampu melihat, mendengar, merasakan, dan memahaminya. Bahkan beberapa benda dan peristiwa yang harusnya dapat dipahami dengan akal dan indra, sering kali latar belakang dan inti sari hakikinya tidak mampu kita temukan dan pahami. Karena selain aspek-aspek yang diketahui dari suatu benda, ada banyak dimensi berbeda yang mana akal dan indra tidak cukup untuk memahaminya. Apalagi hakikat Zat Uluhiyah dari Allah subhanahu wa ta’ala, akhirat, dan topik-topik seputar alam metafisika, semuanya merupakan bidang yang berada di luar kapasitas pemahaman akal dan indra. Sebagaimana manusia tidak akan mampu mengenal dan memahami hakikat Zat Uluhiyah-Nya melalui akal dan indra, mereka juga tidak akan mengetahui bagaimana cara menghamba kepada-Nya.

Demikianlah, pengetahuan absolut dan murni terkait hal-hal tersebut hanya ada di sisi Allah. Sebagaimana dapat dipahami dari ungkapan yang digunakan dalam Ayat Kursi: يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلَا يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ إِلَّا بِمَا شَاءَ  “Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya” (QS Al Baqarah, 2/255), para hamba akan menguasai ilmu ilahi melalui pengajaran dari Allah subhanahu wa ta’ala. Untuk alasan ini, kita sering mengucapkan doa اَلّلهُمَّ عَلِّمْنَا مِنْ لَدُنْكَ عِلْمًا "Ya Allah, anugerahilah kepada kami ilmu dari sisi-Mu.” Sebagaimana Nabi Musa harus menjalani perjalanan panjang bersama Nabi Khidir supaya bisa memahami rahasia dari segala macam peristiwa beserta latar belakang dibaliknya, demikian juga para waliullah, melalui suluk ruhani yang panjang bersama makhluk-makhluk rohani dan metode serta jalan lainnya, mereka senantiasa berusaha untuk memahami rahasia di balik setiap benda. Bahkan dewasa ini, orang-orang yang menganut agama-agama yang tidak bisa menjaga orisinalitasnya atau organisasi-organisasi yang berpenampilan seperti agama sedang mencoba meraih hakikat pengetahuan melalui beragam jalan seperti meditasi dan yoga.  

Akan tetapi, pengetahuan yang objektif serta layak diikuti terkait permasalahan ini adalah pengetahuan yang bersumber dari wahyu ilahi yang disampaikan oleh para nabi kepada umat manusia. Demikianlah gambaran dari istilah yang disebut sebagai kabar mutawatir yang merupakan sumber pengetahuan para ulama Islam. Al-Qur’an diriwayatkan dari awal hingga akhir kepada kita semua secara tawatur[2]. Bagian penting dari sunah Rasulullah juga disampaikan secara tawatur kepada kita, baik secara lafal ataupun makna. Seperti halnya Al-Qur’an yang merupakan wahyu dari Allah yang diletakkan ke dalam dada suci Baginda Nabi shallallahu alaihi wasallam, demikian juga sunah-sunah yang sahih, ia juga diwahyukan Allah subhanahu wa taala kepada Rasulullah. Akan tetapi, Al Quran adalah wahyu matluw[3]. Sedangkan sunah adalah wahyu ghairi matluw[4].

Selain itu, Rasulullah telah sempurna mewakili agama Islam, suatu agama yang dikirim oleh Allah dan melalui ayat Al-Qur’an telah dinyatakan sebagai agama yang sempurna dan paripurna. Sudah seharusnya agama yang kamil seperti Islam direpresentasikan dengan sempurna serta tanpa kekurangan suatu apa pun dan Islam betul-betul hanya dapat direpresentasikan oleh Insan Kamil, profil yang dijadikan sebagai judul buku oleh Abdul Karim al-Jili. Pada prinsipnya, Al-Qur’an hanya mungkin sepenuhnya dipahami dan dipraktikkan dengan cara yang lengkap dan akurat sebagaimana direpresentasikan dengan sempurna oleh Baginda Nabi. Oleh karena itu, ketika kita menyebut "Jalan Nabi", maka yang kita pahami sebagai jalan nabi adalah wahyu yang diturunkan oleh Allah kepada Rasulullah serta bagaimana beliau merepresentasikannya dengan sempurna.

Interpretasi yang Salah Tentang Zat Uluhiyah

Bagi kita, kedua sumber tadi adalah sumber pengetahuan yang tidak sesat dan menyesatkan. Seorang insan dapat menemukan jalan yang benar pada topik-topik seputar iman dan ibadah hanya dengan mematuhi dua sumber ini (Al-Qur’an dan sunah). Seseorang yang tidak menguji segala permasalahan dengan kriteria kenabian, andaikata dia mampu bertemu dengan Zat Uluhiyah, di saat itu sekalipun dia akan melakukan kesalahan. Sebagai contoh, ia mungkin tidak akan tahu bahwasanya di sana dibutuhkan kehati-hatian dan kewaspadaan. Ia mungkin tidak dapat menghormati adab ketika sedang berada di hadapan-Nya. Ia juga mungkin tidak mengetahui dan tak bisa membayangkan bagaimana hubungan antara hamba dan Tuan seharusnya dibangun. Karena dia mengambil jalan yang demikian, maka dia bisa saja terperangkap ke dalam kebanggaan diri dan ujub. Oleh sebab itu, ia bisa tergelincir dari puncak yang demikian dan jatuh ke dalam lubang yang dalam. 

Demikian juga, seseorang dapat memiliki kecintaan dan kerinduan yang mendalam terhadap Zat Uluhiyah. Seperti halnya kisah Ferhat maupun Vamik[5], mereka pun dapat terbakar oleh rasa cintanya kepada Allah. Mereka memiliki hasrat mendalam untuk dapat menemui-Nya. Tak acuh dalam persoalan ini dapat dipandang sebagai hal yang kurang santun terhadap Zat yang amat dicintainya. Apabila orang seperti itu tidak bersikap sesuai jalan nabi, bisa jadi dia tidak akan dapat menjaga keseimbangannya dan kemudian mulai mengangkat kedua tangannya seraya berdoa, "Ya Allah, ambillah nyawaku sehingga aku dapat menemui-Mu sesegera mungkin."

Meskipun doa seperti itu mungkin tampak indah, ada ketidakseimbangan di dalamnya. Hal tersebut juga bertentangan dengan jalan sunah. Sang Nabi telah melarang kita untuk meminta kematian. Hal paling banter yang dapat dilakukan seseorang telah dipandu dalam hadis berikut: "Ya Allah, selama kehidupanku membawa kebaikan maka panjangkanlah umurku, tetapi apabila kematianku lebih baik maka ambillah amanah-Mu ini!” (HR Bukhari Bab Al Marda wa Al Tib 19; Muslim Bab Zikir 10). Hal ini karena dunia adalah medan ujian. Manusia dikirim ke medan ujian bernama dunia ini untuk mengumpulkan bekal dan meraih tiket kebahagiaan di alam kemudian. Oleh karena itu, sebagaimana seorang prajurit, ia harus bersabar dan melakukan tugas ibadah tanpa cela sampai ia diberhentikan oleh Zât yang mengirimnya ke dunia ini. Seperti inilah jalan nabi. Bahkan dalam hal sederhana seperti itu, akan sangat sulit bagi seseorang untuk bisa menemukan kebenaran tanpa bimbingan jalan sunah.

Mari kita melihat contoh lain untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik terkait permasalahan ini: Seseorang dapat menemukan Sang Pencipta melalui akal pikirannya. Sebagaimana banyak manusia yang hidup di masa fatrah serta tidak berkesempatan untuk menjumpai pesan kenabian secara langsung, melalui karya-karya luar biasa yang terdapat di alam semesta bisa saja ia berkata “pasti terdapat Sang Pencipta yang membuat alam ini”. Namun, tidak mungkin bagi seseorang untuk mengetahui hakikat dari Sang Pencipta itu sendirian: nama dan sifat apa saja yang dimiliki-Nya, dan bagaimana kita seharusnya memiliki pemikiran tentang-Nya. Pada permasalahan itu, seseorang yang tidak menggunakan kerangka yang telah digariskan oleh Rasulullah akan masuk ke dalam pemahaman Zat Uluhiyah yang salah dengan teramat fatal. Mereka yang demikian dapat terjebak pada pemikiran seperti tajsim (meyakini Allah adalah benda atau mempunyai sifat benda) seperti halnya yang dialami oleh Bani Israil pada periode waktu tertentu; atau meyakini wahdatul wujud (bersatunya eksistensi [dzât] manusia dan alam semesta dengan Tuhan) - hasya wa kalla (sangat tidak mungkin) - sebagaimana diklaim oleh sebagian kaum kristiani dan syiah. Atau seperti halnya Muktazilah yang terpengaruh oleh filsafat Yunani dan menyampaikan pernyataan-pernyataan tak layak seperti “Allah wajib menciptakan segala sesuatu agar sesuai dengan maslahat”. Karena setiap ciptaan Allah mengandung seribu satu hikmah dan maslahat.  Dia tidak mungkin mengerjakan sesuatu yang sia-sia. Akan tetapi, Allah jalla jalaluhu tidak mukallaf atas sesuatu apa pun. Tidak ada sesuatu pun yang diwajibkan kepada-Nya. Pernyataan-pernyataan seperti itu tidak dapat disandingkan dengan konsep Uluhiyah.

Apa pun motif dari segala pemikiran tersebut, meskipun dilontarkan atas nama kecintaan dan keinginan yang mendalam kepada Allah, semua itu bertentangan dengan jalan nabi. Segala macam pemikiran seperti yang dibahas itu selama tidak bersandar pada wahyu samawi, naudzubillahi min dzalik - kami berlindung kepada Allah dari perkara itu -, beberapa pengakuan dan klaim yang tidak layak dengan Zat Uluhiyah dapat terlontar sehingga dengan demikian bisa menyebabkannya jatuh ke dalam kesesatan. 

Jalan untuk Menjauhi Kesesatan dan Syirik

Sebenarnya penyebab mengapa kelompok-kelompok seperti Jabariyah, Murji’ah, Musyabbihah, dan Mujassimah; serta kelompok-kelompok yang keliru dalam memahami Zat Uluhiyah tergelincir dari jalan yang benar itu terjadi karena mereka tidak mengikuti jalan kenabian dengan rinci, mili demi mili. Seorang tokoh yang menjadi saksi di mana kaum muslimin hidup di masa kaki mereka terbelenggu oleh rantai bola besi, yang meskipun telah mengerahkan segenap daya dan upaya pada akhirnya beliau menyaksikan runtuhnya benteng Islam, sosok yang selalu membela Ahlusunnah wal Jamaah di setiap tempat ini pun dalam karyanya yang berjudul “Mawqiful Basyar Tahta Sulthanil Qadari” menyiratkan pandangan jabari karena pengaruh dari peristiwa-peristiwa memilukan di masa itu yang dialaminya. Padahal sebagaimana disampaikan oleh pepatah Arab: تَجْرِي الرِّيَاحُ بِمَا لاَ تَشْتَهِي السُّفُنُ “Angin tidak akan berhembus ke arah yang diinginkan kapal” Demikian juga dengan rentetan peristiwa. Ia tidak akan muncul sesuai keinginan manusia.

Allah berfirman  قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَنْ تَشَاءُ وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاءُ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشَاءُ بِيَدِكَ الْخَيْرُ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ Katakanlah: "Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu (QS Al Imran 3:26)

Pada ayat lain, Sang Pencipta berfirman وَتِلْكَ الْأَيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ النَّاسِ  “Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran)” (QS Al Imran 3:140). Maksudnya, ketika hari ini adalah masa kejayaan seseorang, hari esok adalah masa kejayaan orang lainnya.  Oleh karena pemilik yang sejati adalah Allah subhanahu wa ta’ala, dan Dia dalam setiap ciptaan-Nya bebas melakukan apa saja (فَاعِلِ مُخْتَارْ) maka dalam kondisi demikian tidak ada seorang pun yang berhak dan bisa mengajukan keberatan ataupun menentang kehendak-Nya. Inilah jalan nabi.

Khususnya orang-orang yang hidup pada masa di mana kezaliman demi kezaliman datang serta kondisi semakin berat untuk dijalani, mampu memikirkan semua peristiwa yang muncul dengan seimbang dan tidak pergi ke arah sebagian pemahaman keliru tentang Dzat Uluhiyah hanya dapat dilakukan dengan mengikuti jalan nabi. Jika tidak, sebagian kepedihan dan kesedihan akan membuatnya menyalahkan takdir serta membuatnya kemudian masuk ke dalam sebagian pemikiran jabariyah.

Bahaya serupa juga mengancam orang yang mengalami hal sebaliknya.  Orang-orang yang selalu meraih keberhasilan dan kejayaan serta menyaksikan peristiwa demi peristiwa selalu terjadi sesuai keinginannya, selang beberapa waktu kemudian dapat melontarkan klaim lalai dan jahil seperti “sayalah yang mengerjakan, sayalah yang membuat, sayalah yang mendirikan, sayalah yang meraih keberhasilan, sayalah yang mengelola” sehingga sebagaimana orang-orang sebelumnya yang jatuh ke dalam kesesatan, mereka pun dapat dikatakan memasuki wilayah syirik.

Sedangkan mereka yang meniti jalan nabi menyadari bahwasanya setiap keberhasilan sumbernya berasal dari Allah. Pada setiap hizmet yang dilakukannya ia akan merasa bahwa dirinya hanya menjadi sarana saja bagi terwujudnya aktivitas mulia itu. Dalam setiap keindahan yang diraih, mereka kembalikan serta panjatkan puji-pujian lagi syukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Mereka tidak mengingkari iradah juz’iyyah (kehendak parsial) dan melihatnya sebagai sebab penting dalam sunatullah bagi munculnya suatu tindakan, tetapi tidak menganggapnya sebagai pengaruh hakiki. Mereka tidak lupa bahwasanya pencipta segala sesuatu yang hakiki adalah Allah. Oleh karena itu, mereka memandang iradat manusia juga diperlukan beriringan dengan kehendak Allah. Meskipun demikian, mereka tetap melihat iradat Allah berada di atas segalanya.

Orang-orang beruntung meniti jalan yang diterangi oleh Sang Nabi. Mereka tidak akan mempermasalahkan ketika terjadi ketidaksesuaian antara hasil dan ikhtiar. Mereka tidak hanya mengevaluasi setiap peristiwa dari sisi-sisi lahiriahnya saja. Dengan mempertimbangkan latar belakang dari setiap peristiwa, mereka pun dapat mengambil keputusan yang tepat. Dari sisi ini, menurut mereka dihasilkannya hal-hal besar dari sebab-sebab yang remeh merupakan tanda kebesaran Allah. Demikianlah, kadang hanya dengan mengangkat kedua tangan kita untuk berdoa saja sudah cukup bagi Sang Pencipta untuk mengabulkannya dan menjadikannya sebagai sebab bagi diciptakannya hal-hal yang besar. Misalnya Anda berdoa: “Ya Allah, jadikanlah penghuni bumi dan langit cinta kepada kami.” Kemudian Anda lihat hasilnya. Pada suatu periode waktu kawan-kawan Anda bertebaran ke seluruh penjuru bumi. Meskipun mereka tidak menerima pembelajaran bahasa dan budaya lokal yang serius sebelumnya, tetapi selang beberapa waktu kemudian mereka dapat diterima dengan baik oleh penduduk lokal.  Orang-orang lokal yang mereka temui merangkul dan mengayomi mereka.  Hasil yang demikian tidaklah mungkin disebabkan oleh usaha dan upaya yang kawan-kawan kita lakukan. Semua itu terjadi tidak lain dan tidak bukan karena Sang Pencipta tidak menyia-nyiakan doa-doa yang dipanjatkan kawan-kawan kita kepada-Nya.

Kita juga dapat berpikir dengan cara yang sama terkait asas-asas iman lainnya. Misalnya, seorang manusia tanpa mengikuti jalan nabi tidaklah mungkin bisa memiliki pemikiran yang benar dan seimbang tentang nubuat. Ketika disiplin-disiplin yang diterapkan oleh para nabi terkait hakikat kenabian tidak diikuti, maka sebagian klaim berlebih-lebihan pada pembahasan ini dapat terjadi kapan saja. Pada pembahasan ini, sebagian ahli tafrit mencukupkan diri dengan hanya menyampaikan kitab yang diturunkan untuk mereka kepada umat manusia. Apabila demikian, mereka tak ubahnya hanya sekedar kurir belaka, “hasya wa kalla”, tanpa ada hukum ataupun sunah qauli dan fi’ili. Sedangkan para ahli ifrat, menuduh Zat Uluhiyah membutuhkan para nabi supaya diri-Nya bisa diperkenalkan. Masalah-masalah yang demikian apabila tidak terikat pada kabar-kabar yang mutawatir dapat menyebabkan ditinggalkannya jalan sunah yang merupakan jalan tol tanpa hambatan untuk kemudian tersesat masuk ke dalam jalan yang penuh liku.

Hal-hal seperti bagaimana melakukan penghambaan kepada Allah, amal-amal apa saja yang dianggap sebagai ibadah di sisi-Nya, apa saja amal ketaatan dan kedekatan kepada Allah; tanpa pengajaran dari Sang Nabi, tidaklah mungkin kita dapat menentukan sikap yang benar dalam mengerjakannya.  Di setiap bidang, insan membutuhkan imaji penerang yang berasal dari wahyu.  Ia dapat menunaikan ibadah-ibadahnya sesuai dengan yang diminta oleh Allah ketika ia terikat pada perintah-perintah agama yang sifatnya taabbudi (pemahaman keagamaan yang harus diikuti tanpa harus mempertanyakan alasan dibalik sebuah perintah syariah agama).  Pada hal-hal yang demikian tidak terdapat ruang yang bisa dijelaskan oleh akal. Manusia tidak bisa menetapkan bentuk-bentuk peribadatan sekehendak hatinya. Bahkan meskipun ia berusaha melakukan bentuk peribadatan yang lebih berat dan sulit daripada yang telah diajarkan oleh nabi demi bisa lebih baik dalam menghamba dan mendekatkan diri kepada Allah, hal tersebut tidaklah mendatangkan manfaat sedikit pun baginya. Sebaliknya, sikap tersebut dapat tergolong sebagai sikap yang disinggung dalam surat al fatihah sebagai maghdhubin (golongan orang-orang yang dimurkai)  dan dhallin (golongan orang-orang yang sesat).  Maka dari sisi ini, tidak ada jalan lain untuk dapat menemukan hakikat dalam masalah-masalah keimanan dan keislaman serta untuk istikamah di atasnya selain jalan nabi.

Jalan Tirani ataukah Jalan Nabi?

Apabila diperlukan untuk memberikan contoh terkait dengan kehidupan sosial ataupun pemerintahan, misalkan ketika seseorang berada pada posisi sebagai pimpinan, ia bisa saja mengerjakan segala sesuatu dengan mengandalkan akal, pengalaman, ataupun kapasitasnya tanpa merasa perlu berkonsultasi dengan pihak lain.  Bisa saja ia berseru: “Saya sudah mengambil keputusan.” Bisa saja ia memandang bahwa dirinya tidak pernah keliru dalam mengambil keputusan.  Ego dan kesombongan dapat menghalanginya dari konsultasi dengan pihak lain. Orang yang demikian meskipun mukmin, tetapi ia lebih memilih jalan tirani dibandingkan jalan nabi.

Padahal Rasulullah sendiri yang matanya senantiasa memandang langit, telinganya senantiasa terhubung dengan Jibril al Amin Sang Pembawa Wahyu, dan disokong oleh wahyu sekalipun dalam setiap permasalahan senantiasa bermusyawarah dengan para sahabatnya. Beliau tidak pernah mengungkapkan sebuah pandangan kepada khalayak sebelum bermusyawarah, khususnya dengan para ashabul ra’yi (para sahabat yang menonjol dalam kecerdasan dan logika, misalnya Sayyidina Umar, Ali, dan Abdullah bin Mas’ud).   Bahkan terkadang dalam beberapa hal beliau mendahulukan pendapat para sahabat meskipun berbeda dengan pandangannya. Itu dilakukannya semata-mata demi menegakkan disiplin musyawarah. Misalnya, beliau menyusun strategi untuk menghadapi Perang Uhud yang amat penting berdasarkan pendapat para sahabatnya. Meskipun pendapat pribadi beliau lebih memilih strategi bertahan, pada akhirnya beliau menyetujui usul para sahabat untuk keluar ke medan Uhud.

Selain permasalahan penting yang demikian, dalam permasalahan sederhana seperti penyerbukan buatan pada kurma pun Rasulullah bersabda: أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ Kalian lebih tahu tentang urusan dunia kalian (HR Muslim, Bab Fadhail 141) yang menandakan bahwa beliau mempercayakan permasalahan penyerbukan buatan pada kurma kepada mereka masing-masing.[6] Tepatnya, beliau sedang mengajari kita suatu tarbiah dalam menghadapi permasalahan-permasalahan seperti itu. Oleh karena itu, para pemimpin setelah melakukan musyawarah apabila dapat berujar sebagai berikut :”Saya berkali-kali memikirkan persoalan ini dan pendapat saya seperti itu. Saya pun telah menyaksikan bahwasanya pendapat ini sebelumnya juga tepat. Akan tetapi, Anda lebih tahu mana yang lebih baik terkait persoalan ini” akan lebih sesuai dengan jalan nabi. Ya, jalan ini meminta seseorang untuk menomorduakan keakuan dan egoismenya serta untuk lebih mendahulukan pemikiran dan perasaan orang lain daripada pemikiran dan perasaan pribadinya sendiri.

Insan harus dapat menentukan dengan baik jalan yang akan diambilnya sedari awal. Melalui perasaan dan pikiran yang kita miliki, kita harus sering mengevaluasi apakah sikap dan gerakan kita  sudah berjalan di atas jalan nabi atau malah justru berjalan di atas jalan firaun dan  otoritarian.   Bagi kita, satu-satunya jalan yang harus diambil adalah mengikuti jalan nabi, kemudian mengikuti jalan para sahabat dengan mendetail mili demi mili karena mereka juga mengikuti dan merepresentasikan jalan nabi di level tertinggi dengan mendetail. 

Pengikut Suci dari Jalan Nabi 

Tidak ada keraguan bahwasanya Khulafaur Rasyidin adalah sosok-sosok yang paling tepat memahami dan paling baik merepresentasikan jalan nabi.  Mereka menampilkan sosok kemusliman yang paling murni dan tanpa cela.  Untuk itu Baginda Nabi bersabda: عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ yang artinya Hendaklah kalian berpegang teguh terhadap ajaranku dan ajaran Khulafaur Rasyidin yang mendapatkan petunjuk, gigitlah (genggamlah dengan kuat) dengan geraham (HR Abu Daud dan Tirmizi). Melalui sabdanya tersebut beliau menyerukan seluruh kaum mukminin untuk mengikuti sunahnya dan sunah para Khulafaur Rasyidin sesudah beliau. Bahkan urgensi dari urusan ini digambarkan oleh idiom arab عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ (gigitlah dengan geraham) yang mengungkapkan wasiat supaya kita menggenggam erat jalan mereka dan tidak sekali-kali meninggalkannya.

Pada hadis lainnya, Rasulullah menyampaikan bahwasanya para sahabatnya sangatlah berharga melalui ungkapan berikut ini:  خَيْرُكُمْ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ yang artinya “Sebaik baik kalian adalah generasiku, kemudian disusul generasi berikutnya, kemudian generasi berikutnya” (HR Bukhari, bab Syahadah 9; HR Muslim, bab fadhailus sahabah, 210).    Apabila Anda tidak melihat profil hidup generasi terbaik dan tidak mengikuti jalan mereka, Anda tidak akan dapat memahami jalan nabi dengan benar.  Cara untuk memahami dengan benar apa itu seorang muslim dan bagaimana mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari hanya dapat dilakukan dengan jalan mengambil referensi dari bagaimana sosok-sosok agung tersebut memahami dan mempraktikkannya serta sejauh mana kita terhubung dengan representasi yang mereka contohkan.  Dari sisi ini, mencintai Khulafaur Rasyidin, Ahlul Bait, dan semua Ashabul Kiram tanpa membeda-bedakan satu sama lain serta menekuni jalan mereka dengan seksama merupakan tugas yang sangat penting bagi para mursyid di masa ini serta bagi para orang beriman.

Setelah para sahabat, teladan terbaik yang menjadi representasi jalan nabi adalah para imam mazhab kemudian diikuti oleh para ulama salaf. Tanpa ada kepentingan selain semata-mata supaya agama ini bisa dipahami dengan benar, mereka menjelaskan apa itu agama dan bagaimana harusnya ia dipahami. Mereka juga meletakkan pondasi-pondasi disiplin penting supaya kita dapat memahami nash dengan benar.  Sebagaimana Rasulullah ketika dikirim untuk menerangi umat manusia dilengkapi dengan perangkat yang luar biasa, demikian juga dengan para imam, khususnya Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii, dan Imam Ahmad bin Hambal, mereka di satu sisi juga diciptakan dengan perangkat yang istimewa.  Berkat mereka, tidak ada satu pun permasalahan agama yang ambigu dan membingungkan. Berkat mereka, agama bisa diwariskan kepada kita dengan jalan yang sama sebagaimana para sahabat memahaminya. Oleh karena itu, harus diketahui dengan baik betapa para imam telah melakukan pengabdian yang besar supaya jalan nabi dapat dipahami dan dipraktikkan sepenuhnya.

Akan tetapi, bukan berarti kita tidak mempertimbangkan perubahan zaman. Persoalan-persoalan yang kemunculannya bergantung pada perkembangan situasi kontemporer tidak terpisah dari hukum-hukum yang bersandar pada persoalan asal dalam agama.  Sebaliknya, Anda justru akan memanggul angin zaman. Anda akan mengambil manfaat dari tafsir yang bersandar pada disiplin-disiplin dasar. Anda akan berkreasi dengan formatnya sesuai kebutuhan. Dengan mengambil peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa itu sebagai pedoman dan prinsip, Anda dapat menerapkannya sesuai kebutuhan zaman di masa Anda hidup.


[1] Diterjemahkan dari artikel https://fgulen.com/tr/eserleri/kirik-testi/peygamber-yolu/

[2] Tawatur periwayatan yang dilakukan oleh sejumlah orang yang tidak mungkin bersepakat untuk berbohong, tidak mungkin terjadi kesalahan periwayatan dari mereka, sehingga pada akhirnya memberikan keyakinan tinggi kepada khalayak atas kebenaran sebuah riwayat yang disampaikan secara tawatur)

[3] Wahyu yang baik lafalnya maupun maknanya berasal dari Allah subhanahu wa taala di mana membacanya adalah ibadah

[4] Wahyu yang maknanya berasal dari Allah, sedangkan lafalnya diserahkan kepada Rasulullah, di mana membacanya tidak termasuk ibadah

[5] Ferhat dan Vamık adalah dua tokoh utama dalam dua hikayat masyarakat Turki, yaitu Ferhat ve Şirin dan Vamık ve Azra.

[6] Hadis dari penuturan Musa bin Thalhah dari bapaknya yang berkata:
مَرَرْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- بِقَوْمٍ عَلَى رُءُوسِ النَّخْلِ فَقَالَ « مَا يَصْنَعُ هَؤُلاَءِ ». فَقَالُوا يُلَقِّحُونَهُ يَجْعَلُونَ الذَّكَرَ فِى الأُنْثَى فَيَلْقَحُ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- « مَا أَظُنُّ يُغْنِى ذَلِكَ شَيْئًا ». قَالَ فَأُخْبِرُوا بِذَلِكَ فَتَرَكُوهُ فَأُخْبِرَ رَسُولُ اللَّهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- بِذَلِكَ فَقَالَ « إِنْ كَانَ يَنْفَعُهُمْ ذَلِكَ فَلْيَصْنَعُوهُ فَإِنِّى إِنَّمَا ظَنَنْتُ ظَنًّا فَلاَ تُؤَاخِذُونِى بِالظَّنِّ وَلَكِنْ إِذَا حَدَّثْتُكُمْ عَنِ اللَّهِ شَيْئًا فَخُذُوا بِهِ فَإِنِّى لَنْ أَكْذِبَ عَلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ ».
Aku pernah bersama Rasulullah saw. melewati satu kaum yang sedang ada di atas pohon kurma. Lalu beliau bertanya, “Apa yang mereka lakukan?” Mereka berkata, “Mereka sedang melakukan penyerbukan kurma (yakni) menjadikan bunga jantan di atas bunga betina sehingga terserbuki.” Rasulullah saw. lalu bersabda, “Saya duga itu tidak berguna sedikit pun.” Thalhah berkata: Lalu mereka diberitahu hal itu. Kemudian mereka meninggalkan (penyerbukan itu). Selanjutnya Rasulullah saw. diberitahu hal itu. Lalu beliau bersaba, “Jika hal itu berguna bagi mereka maka hendaklah mereka lakukan, sebab aku tidak lain hanya menduga. Jadi jangan kalian menyalahkan aku karena dugaan itu. Namun, jika aku berbicara kepada kalian sesuatu dari Allah maka ambillah karena aku tidak akan pernah mendustai Allah ‘Azza wa Jalla.” (HR Muslim)

Pin It
  • Dibuat oleh
Hak Cipta © 2024 Fethullah Gülen Situs Web. Seluruh isi materi yang ada dalam website ini sepenuhnya dilindungi undang-undang.
fgulen.com adalah website resmi Fethullah Gülen Hojaefendi.