Tanggapan Seimbang terhadap Kritik-Kritik yang Keji

Tanggapan Seimbang terhadap Kritik-Kritik yang Keji

Pertanyaan: Bagaimana harusnya kita bersikap dalam menanggapi orang-orang yang kontra terhadap nilai-nilai yang kita yakini dan junjung tinggi?[1]

Jawaban: Pertama-tama, perlu kita sampaikan bahwasanya waktu bagi seorang mukmin merupakan sesuatu yang amat bernilai. Ia harus dikelola tanpa mubazir sedikit pun. Menggunakan waktu dengan sia-sia atau pun untuk hal-hal yang tidak bermanfaat merupakan kategori israf yang dilarang oleh Al-Qur’an (lihat QS al A’raf 7:31).  Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menyebutkan bahwasanya dua nikmat yang nilainya tidak disadari adalah sehat dan waktu luang. Oleh sebab itu, seorang mukmin harus memperhatikan dengan apa waktunya dihabiskan. Ia tidak seharusnya disibukkan dengan isu-isu aktual yang tidak begitu penting. Apalagi isu-isu yang dapat mengacaukan pikiran. Mereka harus menjauhkan diri darinya.

Khususnya di masa di mana televisi dan internet tersebar luas serta semua orang bisa menulis dan berbicara, maka berhati-hati dalam memilih apa yang akan kita baca, dengarkan, tonton, dan ikuti, menyaring input apa saja yang kiranya bermanfaat bagi pekerjaan kita, membuka cakrawala pemikiran kita, serta memperkaya falsafah dan strategi hizmet kita sekali lagi menjadi hal yang sangat penting bagi hidup kita.

Meninggalkan Hal yang Sia-Sia (مَا لَا يَعْنِيهِ)

Andai saja kita mampu menemukan beberapa jalan di mana ketika kita mengklik peramban di internet ataupun menekan remot televisi, kemudian yang muncul di layar monitor adalah takdir bangsa ini, keadaan dunia Islam secara umum, ataupun program-program yang bermanfaat bagi masa depan umat manusia. Dengan demikian, kita pun jauh dari kesia-siaan dan keserampangan yang dapat mendorong kita pada kekacauan penalaran dan kotornya pikiran. Rasulullah shallallahi alaihi wa sallam dalam hadis sahihnya bersabda sebagai berikut ketika memberikan nasihat supaya kaum mukminin bersikap selektif dan kritis: مِنْ حُسْنِ إِسْلَامِ المَرْءِ تَرْكُهُ مَا لَا يَعْنِيهِ “Salah satu kebaikan dari seorang muslim adalah meninggalkan hal-hal yang sia-sia baginya” (HR Tirmizi, Zuhud 11; HR Ibnu Majah, Fitan 12).

Kata مَا لَا يَعْنِيهِ dalam hadis dapat dipahami sebagai hal yang sia-sia dalam bentuk jamak. Maksud dari kata tersebut adalah ketiadaan tujuan dan maksud hidup dari seseorang, ataupun segala sesuatu yang kosong dan sia-sia baik untuk kehidupan dunia ataupun kehidupan akhirat. Manusia harus menjauhi hal-hal seperti itu. Ia seharusnya mengurusi dan berkonsentrasi pada hal-hal yang bermanfaat saja. Hal ini karena setiap manusia memiliki kapasitas terbatas. Oleh karena itu, tugas manusia adalah menggunakan kapasitas ini di posisi yang paling layak dan bermanfaat bagi dirinya. Apabila kita memasuki hal-hal yang tidak berhubungan dengan kehidupan, maka konsentrasi akan terpecah dan kita pun kehilangan kekuatan. Sebagai akhirnya, kita pun tidak bisa fokus di sendi-sendi kehidupan yang seharusnya pikiran dan penalaran kita sibuk dengannya.

Di samping itu, apabila ada sebagian orang yang membicarakan masalah-masalah keagamaan dengan tidak layak dan kita pun mengikuti isu itu secara serampangan, beberapa waktu kemudian hal tersebut akan memberikan dampak yang negatif kepada kita. Kita akan mulai membahas hal tersebut di lingkungan pergaulan kita dan dengan demikian kita pun disibukkan dengan hal-hal yang tidak perlu. Beberapa waktu kemudian bisa saja kita jadi tak jauh berbeda dengan mereka. Berdasarkan sabda Nabi yang menyebutkan bahwa banyak tertawa dapat mematikan kalbu, hal-hal yang demikian juga bisa jadi menjadi penyebab bagi munculnya luka kalbu dan jiwa yang tak bisa disembuhkan. Kriteria bagi kita dalam permasalahan ini adalah hendaknya kita menyibukkan diri dengan topik-topik yang dapat meningkatkan semangat dan motivasi serta mampu menghasilkan tegangan metafisika bagi kehidupan beragama. 

Apalagi jika kita tidak berada dalam posisi yang mampu memberikan jawaban logis dan memperbaiki tulisan serta opini yang dipandang tidak sesuai dengan disiplin dasar kita, maka menyibukkan pikiran kita dengannya tidak memberikan manfaat apa pun, sebaliknya malah membawa bahaya. Akibatnya adalah kita menyaksikan dan mendengar hal-hal yang tidak layak untuk disimak.

Di sisi lain, orang-orang yang memiliki tugas untuk membahas perkara-perkara keagamaan memerlukan kehati-hatian ekstra. Sebelum berbicara, persiapan pikiran serta mengatur sedemikian rupa supaya perkara-perkara yang akan disampaikan terkelola dengan baik merupakan hal yang sangat penting agar maksud dan tujuan pembicaraan dapat tersampaikan dengan benar. Jika tidak, dengan ceramah yang disampaikan tanpa persiapan kita tidak mungkin dapat menyampaikan sesuatu kepada para pendengar melalui ungkapan-ungkapan tidak teratur yang mengawang-awang.  Khususnya ceramah-ceramah yang membahas topik-topik keagamaan atau hal-hal yang berhubungan dengan masyarakat umum, maka penyampaiannya harus penuh dengan kehati-hatian. Dalam penyampaiannya, kita harus menjaga keseriusan, mencegah supaya ia tidak disalahpahami, dan selalu menjadi representasi dari pemikiran yang lurus. 

Kesabaran dan Toleransi

Selain itu, selalu sibuk memberi jawaban atas pertanyaan seseorang atau sekelompok orang yang mengkritisi nilai-nilai yang Anda yakini ataupun mengkritisi Anda secara pribadi merupakan hal yang kurang tepat.  Terkait hal tersebut, ayat Al-Qur’an berikut ini harus menjadi panduan bagi kita: وَلَئِنْ صَبَرْتُمْ لَهُوَ خَيْرٌ لِلصَّابِرِينَ ”Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar (QS An Nahl 15:126).”

Ketika pembahasan sampai di sini,  kita bisa mengingat suatu peristiwa yang terjadi pada Sayyidina Abu Bakar (r.a.). Diriwiyatkan bahwa terdapat seseorang yang datang ke hadapan Baginda Nabi. Orang tersebut, menyampaikan kata-kata kasar dan buruk kepada Sayyidina Abu Bakar. Sayyidina Abu Bakar (r.a.) bersabar dan tidak menanggapi kata-kata tersebut. Akan tetapi, beberapa waktu kemudian  kesabarannya habis. Sayyidina Abu Bakar (r.a.) kemudian menanggapi kata-kata buruk tersebut.  Demi mendengar hal tersebut, Rasulullah berdiri dan meninggalkan ruangan. Sayyidina Abu Bakar segera menyusul dan menanyakan apa yang membuat beliau meninggalkan ruangan. Rasulullah menjawab: “Ketika dirimu diam tak menjawab, satu malaikat menggantikan posisimu untuk menjawab kata-kata tersebut. Namun, ketika dirimu mulai menjawab, sang malaikat pergi dan setan mulai datang. Saya pun berdiri. Saya tidak mau duduk di suatu majelis di mana ada setan juga duduk di sana.  (HR Imam Ahmad bin Hambal, Musnad 15/390)

Memberi Jawaban yang Seimbang dan Moderat

Meskipun memberi tanggapan atas pernyataan keliru adalah tidak tepat dan terkadang justru menimbulkan efek bahaya yang lebih besar, tentu saja pihak yang berwenang  perlu memberi respons, baik berupa jawaban, sanggahan, ataupun klarifikasi sesuai kebutuhan. Akan tetapi, terdapat beberapa kriteria yang perlu diperhatikan.

Pertama-tama, klarifikasi yang diberikan tidak boleh terlingkup oleh emosi perasaannya. Ia tidak boleh berbicara dalam keadaan tegang ataupun marah. Apabila kita bergerak semata-mata demi memuaskan emosi, bisa saja kita melakukan sikap yang justru dapat menyebabkan galat. Padahal kondisi tersebut sangat memerlukan ketenangan hati dan kehati-hatian. Oleh karena itu, kita harus selalu mengawasi kapan mata, pikiran, dan penalaran kita dalam keadaan terbuka serta kapan emosi kita berada dalam keadaan tenang dan penuh kehati-hatian. Pada saat itulah baru kita bisa memberikan jawaban ataupun klarifikasi.

Permasalahan seperti ini tidak bisa ditanggapi dengan buru-buru. Khususnya dalam menghadapi orang-orang yang keras kepala dan pemarah, berpikirlah dua kali sebelum berbicara. Jika memungkinkan, menjawabnya pun tidak harus hari itu juga. Sebagaimana halnya pada saat makan Anda harus mengunyah makanan dengan sempurna, demikian juga sebelum berbicara, Anda harus mengevaluasi kata-kata tersebut dari beragam perspektif. Sebagaimana makanan yang ditelan tanpa dikunyah kemudian dapat menyebabkan masalah baik di kerongkongan maupun di lambung, demikian juga dengan kata-kata. Apabila ia disampaikan terburu-buru tanpa melalui filter berupa beragam perspektif dan proses tafakur, maka ia akan menyebabkan banyak masalah. Bahkan pemikiran dan gagasan bagus sekalipun apabila tidak dianalisis dengan baik bisa menyebabkan kesalahpahaman. 

Betapa sedikit orang yang mampu menyampaikan maksudnya dengan tepat secara seketika dan tanpa persiapan. Barangkali Anda sudah sering menyaksikan orang-orang yang ketika disodorkan mikrofon ke hadapannya kemudian memberikan komentar-komentar yang mengejutkan. Karena hal tersebut bukanlah sesuatu yang bisa dilakukan dengan baik oleh semua orang. Oleh karena itu, seseorang sebelum berbicara ataupun menuliskan jawaban - apabila kita menggunakan uslub Qur’ani - hendaknya terlebih dahulu melakukan tafakur, tadabur, dan tadzakkur yang serius.

Tidak Meninggalkan Uslub Santun

Di sisi lain, kita tidak boleh memicu permusuhan dan antipati dari orang lain hanya karena kita ingin memberi jawaban ataupun memperbaiki kesalahan mereka. Kita harus menjaga diri dari sikap keras lagi kasar.  Siapa pun lawan bicaranya, kita tidak boleh mengubah sikap dan karakter kita. Dalam urusan ini tidak ada kompromi.   Meskipun pembicaraan mereka isinya serampangan, tidak hati-hati, dan tak beretika, hal tersebut tak boleh mendorong kita melakukan hal yang sama.  Bergerak dengan seimbang dan hati-hati harus menjadi bagian tak terpisahkan dari diri kita.

Terkait pembahasan ini, ada satu peristiwa yang terjadi pada Badiuzzaman Said Nursi.   Pada suatu hari, datang seorang jurnalis yang menggambar karikatur negatif tentang dirinya. Badiuzzaman menyambut kedatangannya dengan baik. Ketika berpamitan, Badiuzzaman mengantarkannya penuh rasa hormat dan adab. Murid-muridnya merasa tidak nyaman dengan hal tersebut. Ketidaknyamanan mereka bukan karena mereka tidak suka dengan sambutan yang ditunjukkan oleh Badiuzzaman, melainkan karena mereka sungguh-sungguh ingin menjaga nama baik Ustaz Badiuzzaman.  Badiuzzaman yang menangkap ketidaknyamanan murid-muridnya tersebut kemudian berkata: Apabila Anda memiliki musuh sebanyak seratus orang, apakah Anda tidak ingin mengurangi jumlahnya menjadi 99 orang? Ya, inilah alasan logis dari pendekatan tadi. Tidak ada seorang pun yang mau menambah musuhnya dari 100 menjadi 101. Akan tetapi, semua orang akan setuju apabila jumlah musuhnya berkurang. Jika demikian, maka kita harus bergerak untuk mewujudkannya.

Kewajiban kita adalah semaksimal mungkin tidak membuat mereka antipati dan benci ketika kita berbicara ataupun memberikan jawaban kepada mereka. Ketika  mengerjakan tugas, kita tidak boleh memicu permusuhan dan antipati mereka.  Kata-kata yang kita ucap dan tuliskan setidaknya harus memantik respons pembenaran ketika orang lain mengujinya dengan hati nurani. Ketika misalnya sidang meminta kesaksian, mereka akan menyampaikan pandangan positif tentang kita.

Terdapat jalan dan adimarga untuk sampai ke pemikiran dan perasaan orang lain.  Apabila Anda mendorong orang-orang untuk membenci dan antipati, itu artinya Anda telah membahayakan keselamatan jalan ini. Apabila Anda ingin memberikan jaminan keselamatan serta tidak mau menyebabkan kecelakaan lalu lintas kepada jalan ini, semaksimal mungkin jangan tinggalkan kesantunan; hal layyinah (lembutnya sikap), qaul layyinah (lembutnya kata), dan lembutnya laku harus menjadi prinsip dasar Anda.

Di waktu yang sama, hal-hal tersebut adalah perintah penting di dalam Islam. Allah jalla jalaluhu ketika mengutus Nabi Musa dan Nabi Harun kepada seorang tiran di masa tersebut yaitu Firaun pun memerintahkan mereka untuk berbicara dengan qaul layyinah kepadanya:

ٱذْهَبَآ إِلَىٰ فِرْعَوْنَ إِنَّهُۥ طَغَىٰ
فَقُولَا لَهُۥ قَوْلًا لَّيِّنًا لَّعَلَّهُۥ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَىٰ

Artinya: “Pergilah kamu berdua kepada Fir'aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas; Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut" (QS Thaha 20: 43-44).

Dalam ayat tersebut terdapat kata لَعَلَّهُ yang mengungkapkan at-tarajjii, pengharapan[2],  maka kita dapat memahami kata tersebut sebagai berikut: “apabila kalian berharap Firaun mendengarkan nasihat kalian, hatinya melunak, dan muncul khasyah di dalam kalbunya, maka jalan untuk mencapainya adalah qaul layyin.”

Khususnya dewasa ini, apabila terdapat bahasa yang digunakan bersama secara kolektif oleh para relawan hizmet yang ingin mewujudkan cita-cita agungnya di seluruh penjuru dunia di mana mereka akan berpapasan dengan beragam manusia berlatar belakang budaya berbeda-beda, maka bahasa itu adalah bahasa yang lemah lembut ( ملايمة ). Apabila diizinkan menggunakan tabir yang sering kita gunakan, para sukarelawan ini harus menyediakan singgasana di dalam hatinya sehingga semua orang yang singgah dapat bertahta di sana. Orang-orang yang tidak senang dan menjadi oposisi bisa saja dengan sikap dan perilakunya berusaha menggusur singgasana tersebut. Meskipun demikian, demi keagungan Al-Qur’an dan Rasulullah mereka harus mampu memaafkan keburukan-keburukan ini. Mereka tidak boleh membalasnya dengan hal yang serupa. Bahkan ketika orang-orang yang tadinya memusuhi ini kemudian sadar dan datang kembali, mereka harus membuka kalbu dan jiwanya untuk menyambutnya. Apabila kekerasan dan permusuhan dapat membuat orang-orang menutup pintu meskipun ia adalah sahabat, maka kehalusan dan kelembutan dapat membuat orang-orang membukakan pintunya meskipun mereka adalah musuh. 

Karena pembahasan sampai di sini, mari kita mengingat peristiwa yang terjadi di antara Mus’ab bin Umair dan Sa’ad bin Muadz. Rasulullah mengirimkan Mus’ab bin Umair ke Medinah untuk mengajarkan Islam. Akan tetapi, seseorang telah menghasut pemimpin suku Aus, yaitu Sa’ad bin Muadz. Mereka menyampaikan bahwasanya Sayyidina Mus’ab telah mengacaukan pikiran orang-orang. Mereka juga bilang jika Sayyidina Mus’ab telah mengolok-olok nilai-nilai suci suku Aus. Demi mendengar kabar itu, Sayyidina Sa’ad mencabut pedangnya dan menghampiri tempat di mana Sayyidina Mus’ab berada. Meskipun Sayyidina Sa’ad mengacungkan pedang dan mengancam akan memenggal kepalanya, Sayyidina Mus’ab yang usianya baru sekitar 20-an menjawabnya dengan lembut, tenang, dan sikap yang matang: “Silakan duduk dan simaklah penjelasan saya. Apabila tidak puas, Anda dapat melakukan apa yang Anda inginkan.” Sayyidina Sa’ad setelah menyimak penjelasannya tiba-tiba berubah pikiran dan mengambil saf di belakang Sayyidina Mus’ab. 

Ya, kelembutan ( ملايمة ) adalah sikap yang tak boleh kita abaikan sekaligus syiar yang tak boleh kita remehkan. Kita tidak akan mampu menyampaikan hal yang seharusnya dalam kemarahan, kekerasan, dan teriakan, meskipun barangkali ia menghadirkan kelegaan bagi nafsu kita. Terlebih lagi dengannya kita tidak akan mampu membuat orang mencintai Rasulullah, apalagi mengenalkan Allah. Orang-orang karena tidak mengenal Allah dan Rasulnya secara tepat, mereka pun terjebak dalam kesesatan dan kekufuran. 

Apabila kita melakukan pendekatan dari perspektif yang lebih luas, khususnya di masa di mana negara-negara berlomba dalam mempersenjatai diri dan memproduksi senjata pemusnah massal berbasis atom, hidrogen, ataupun nuklir, urgensi toleransi, kasih sayang, dan kelemahlembutan semakin terasa. Seorang filsuf Inggris berkata: “Jika perang dunia ketiga pecah, korban terbunuh akan berada di lubang kubur sedang pembunuhnya akan dirawat di UGD.”

Menguji Setiap Permasalahan dengan Akal Kolektif

Di samping itu, kita harus menjauhkan diri dari kebanggaan pribadi maupun kebanggaan kelompok, baik dalam pernyataan maupun pikiran. Tidak perlu kita memperkenalkan diri dengan penjelasan yang muluk-muluk. Kita tidak boleh menghabiskan usaha hanya demi membungkam dan menyumpal pihak lawan bicara. Sebaliknya, kita harus bekerja keras supaya kebenaran dan hakikat dapat terwujud. Apabila masalah-masalah yang ada ditangani dengan egoisme dan kepemilikan sempit, jangankan musuh, sahabat sekalipun akan menggembok pintu-pintu sebagaimana dikatakan Sûzî:”Tak ada gunanya berlelah-lelah, pintu-pintu sudah tergembok”.

Pemecahan semua masalah ini akan sulit dicapai oleh kerja satu orang belaka. Oleh sebab itu, tidak ada seorang pun yang boleh merasa cukup dengan pendapatnya sendiri. Permasalahan-permasalahan yang ada harus dikonsultasikan kepada orang-orang yang pemikirannya dapat dipercaya. Saran-saran dari mereka harus diperhatikan. Selama hal tersebut dilakukan, karena ide dan gagasannya telah diuji secara kolektif, kemungkinan untuk tergelincir pun semakin mengecil.   

Ya, permasalahannya bukan semata-mata permasalahan iman. Supaya iman dapat berkembang, pertama-tama dibutuhkan lingkungan yang memberikan rasa aman. Di lingkungan di mana pertikaian, kekerasan, dan konflik berkuasa, rasa-rasanya sulit mengharapkan seseorang dapat menyimak dengan baik penjelasan kita. Sikap yang demikian meskipun terasa nikmat bagi nafsu pribadi kita, sayangnya tidak akan memberi manfaat kepada orang lain.


[1] Diterjemahkan dari artikel https://fgulen.com/tr/eserleri/kirik-testi/amansiz-tenkitlere-karsi-dengeli-mukabele

[2] Dalam tafsir Al Munir Dr. Wahbah Az Zujaili menuliskannya sebagai berikut: lafal لَعَلَّ  di sini merujuk pada harapan akan terealisasinya suatu hal. Harapan di sini adalah dari manusia.