Apakah yang dimaksud dengan qalbun salim (kalbu yang selamat)?

Kata salîm berasal dari verba salima (selamat). Artinya, ia memiliki akar kata yang sama dengan kata Islam. Secara bahasa, qalb salîm adalah hati yang selamat dari penyakit atau kerusakan apa pun. Adapun pengertian khususnya adalah hati yang tidak mengenal selain Islam.

Untuk memiliki hati yang selamat semacam itu, manusia harus menerapkan seluruh akhlak mukmin yang terkandung dalam Al-Quran. Ini adalah definisi yang umum dan mencakup segala hal. Sa’ad bin Hisyam bin Amir meriwayatkan, “Aku mendatangi Aisyah dan berkata kepadanya, ‘Wahai Ummul Mukminin, ceritakanlah kepadaku akhlak Rasulullah saw.’ Beliau menjawab, ‘Akhlak beliau adalah Al-Quran. Bukankah engkau membaca dalam Al-Quran firman Allah: “Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar memiliki akhlak yang agung.”’”[1] Al-Quran turun pertama-tama untuk menata kehidupan Rasul saw. lewat cahayanya. Umat kemudian mengikuti sang pemimpin serta menata kehidupan, pemikiran, dan pemahaman sesuai dengan contoh dari sang pemimpin. Selanjutnya, hati yang selamat adalah hati yang bebas dari segala hal yang membahayakan manusia. Dalam hadis disebutkan, “Muslim adalah orang yang kaum muslim selamat dari lisan dan tangannya.”[2] Ini adalah definisi khusus, namun merupakan definisi yang istimewa. Setiap muslim tidak boleh menjulurkan lisan dan tangannya untuk menyakiti siapa pun.

Istilah “qalb salîm” terdapat dalam Al-Quran di dua tempat. Keduanya terkait dengan Ibrahim a.s. Beliau sangat terenyuh melihat penyimpangan dan kesesatan kaumnya, terutama melihat kondisi ayahnya, Azar. Perhatian beliau kepada sang ayah adalah sesuatu yang alami dan fitri, karena setiap manusia dalam fitrahnya memiliki rasa cinta dan perhatian kepada keluarga dan kerabat. Rasa cinta semakin bertambah apabila orang itu sangat dekat dengan dirinya. Tidak ada anak saleh yang rela melihat kesesatan dan penyimpangan orangtuanya. Ia tentu akan sangat sedih. Terlebih lagi, jika ia memiliki jiwa yang peka seperti Ibrahim a.s. yang termasuk nabi besar. Karena itulah, Ibrahim a.s. sangat sedih dengan kondisi ayahnya.

Ibrahim a.s. menyeru kaumnya dan ayahnya kepada agama tauhid. Akan tetapi, kaumnya—juga ayahnya—justru menentang seruannya dengan alasan bahwa mereka melihat para pendahulu mereka menyembah patung. Alasan ini senantiasa dilontarkan kaumnya kala mereka hendak lari dari kenyataan dan kebenaran. Menghadapi sikap keras kepala tersebut, Ibrahim mengangkat tangannya dan bermunajat kepada Tuhan:

Wahai Tuhan, berilah aku hikmah dan masukkanlah aku dalam golongan orang yang saleh. Jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi orang-orang yang datang kemudian. Jadikanlah aku termasuk orang yang mewarisi surga nan penuh kenikmatan. Ampunilah ayahku, sebab ia termasuk orang yang sesat. Janganlah Kauhinakan aku pada hari mereka dibangkitkan. Yaitu hari ketika harta dan anak-anak tidak berguna. Kecuali orang yang menghadap Allah dengan hati yang selamat (qalb salîm).[3]

Ibrahim a.s. memiliki hati yang selamat. Ayat: “Di antara pengikutnya adalah Ibrahim. Ketika ia datang menemui Tuhannya dengan hati yang selamat[4] menegaskan hal tersebut. Beliau menegaskan—sebagaimana disebutkan dalam ayat sebelumnya—bahwa pada Hari Akhir nanti tidak ada yang bermanfaat kecuali yang datang dengan membawa hati yang selamat. Artinya, hati yang kafir tidak mungkin sampai ke pantai kedamaian dan keselamatan pada hari itu. Andaipun anak orang kafir itu adalah seorang nabi seperti Ibrahim a.s., sang anak tetap tidak bisa menyelamatkan ayahnya padahal Ibrahim a.s. adalah sahabat Allah serta bapak para nabi. Bahkan, penghulu para nabi, Muhammad saw., bangga karena menyerupainya. Ayah nabi mulia itu kafir. Meskipun kedudukan beliau sendiri begitu agung di sisi Allah, beliau tidak bisa memberikan manfaat kepada ayahnya yang kafir.

Apabila kita melihat hati yang selamat dari sisi ini, kita akan memahami maknanya secara lebih tepat. Hati yang selamat harus bersih dari kekafiran, syirik, serta keraguan dan kebimbangan. Hati yang penuh dengan kekafiran, betapapun pemiliknya berbuat baik dan humanis, tetap tidak akan menjadi hati yang selamat. Banyak manusia dewasa ini berkata, “Hatiku bersih karena aku sangat mencintai manusia dan selalu berusaha menolong mereka.” Ini adalah pengakuan kosong karena hatinya berisi kekafiran dan pengingkaran. Hatinya bukanlah hati yang selamat dan bersih, sebab ia mengingkari Pemilik dan Penguasa alam. Hatinya terisi oleh pengingkaran tersebut. Mencintai manusia dan nilai-nilai kemanusiaan adalah sesuatu yang baik dan penting, namun terlebih dahulu nilai-nilai kemanusiaan harus dipahami secara benar kemudian pemahaman ini harus berkesinambungan dan tidak terputus. Pemahaman semacam ini terkait dengan iman. Tanpa iman, segala bentuk kebaikan, keindahan, dan kemuliaan hanyalah dusta atau sementara sehingga tidak bernilai.

Apabila seseorang melakukan pengabdian agung untuk tanah airnya, bahkan untuk kemanusiaan, namun ia tidak mengakui hukum-hukum yang berlaku di negaranya, tentu ia akan segera dihukum tanpa melihat pengabdian yang ia lakukan sebelumnya. Demikianlah manusia yang mengingkari dan tidak mengakui Sang Pemilik alam, ubun-ubun dan kakinya akan ditarik. Ia akan mendapatkan hukuman tanpa satu pun amal dan jasanya bermanfaat.

Abu Talib memelihara Rasul saw. dan melindungi beliau selama kurang lebih 48 tahun. Namun, bila tidak beriman, ia tidak mendapatkan keselamatan dari Tuhan. Bahkan, ketika Abu Bakar r.a. membawa ayahnya, Abu Quhafah, yang rambutnya sudah memutih kepada Rasulullah saw. sesudah Pembukaan Mekah (Fath Makkah) lalu ia masuk Islam dan mengucapkan dua kalimat syahadat, Abu Bakar menangis. Rasul saw. bertanya mengapa sesudah sang ayah masuk Islam dan mendapat petunjuk ia malah menangis. Abu Bakar menjawab bahwa ia akan sangat senang seandainya Abu Talib masuk Islam karena ia mengetahui betapa Rasul saw. sangat menginginkan hal tersebut. Rasul saw. tidak lupa akan sikap dan perlindungan Abu Talib kepada beliau dalam menghadapi kaum musyrik, termasuk ketika Abu Talib berkata kepada beliau, “Pergilah, wahai keponakanku. Ucapkanlah apa saja yang kaumau. Demi Tuhan, aku tidak akan menyerahkanmu selamanya.”[5]

Selain itu, Abu Talib telah menyerahkan Ali r.a. dan Ja’far r.a., “sang pahlawan Mu’tah”, kepada Rasul saw. Artinya, ia telah menyerahkan keduanya ke tangan terbaik yang paling bisa memberikan keamanan. Akan tetapi, apakah semua jasa Abu Talib itu bermanfaat untuknya? Jika ia mati dalam keadaan beriman, tentu bermanfaat. Jika tidak, tentu saja tidak bermanfaat.

Hati yang selamat dengan pengertian ini sangatlah penting. Manusia mungkin melakukan banyak amal kebaikan, mungkin ia telah bersikap ksatria dan banyak berkorban, namun yang pertama kali harus dipastikan adalah keselamatan hatinya dari kekafiran dan kemusyrikan.

Kedua, hati harus dimakmurkan dengan Islam dan harus berhias akhlak Al-Quran. Apabila hati tidak dihiasi dengan akhlak yang diperintahkan Al-Quran, ia bukan hati yang selamat. Hati manusia menjadi selamat sesuai dengan seberapa baik ia mengikuti akhlak Rasul saw., karena beliau adalah sosok yang menampilkan akhlak Al-Quran dan seluruh manifestasi hati yang selamat. Jika tidak mengikuti Rasul, janganlah menipu diri. Kita berdoa kepada Allah Swt. agar Dia memberikan taufik kepada kita untuk bisa mengikuti akhlak Rasul-Nya dan berahklak dengan akhlak beliau.

Kita berharap agar kaum mukmin yang saat ini menunaikan pengabdian kepada Islam tidak membatasi pengabdian pada masalah ibadah dan ketaatan semata serta tidak mengisi hati mereka hanya dengan itu. Tetapi, pada waktu yang sama mereka harus siap untuk memberikan pengorbanan moral maupun materi demi kebahagiaan dunia dan akhirat orang lain. Mereka harus rela mengorbankan kenikmatan hidup guna membahagiakan orang lain dan menyelamatkan kehidupan akhirat mereka. Jika mereka berkumpul di sebuah majelis, hendaklah itu untuk menguatkan tekad mereka guna melakukan pengabdian yang lebih baik. Ketika engkau memerhatikan ucapan mereka, kaulihat hati mereka memperlihatkan satu tujuan, yaitu meninggikan kalimat Allah. Engkau pun menjadi yakin bahwa orang-orang itulah yang mendapat kabar gembira karena mereka benar-benar beriman. Mereka adalah jaminan kemunculan generasi baru di masa mendatang. Mereka adalah pemilik hati yang bersih dan selamat.

Hati yang selamat adalah tema yang sangat penting, karena Al-Quran memosisikan hati yang selamat sebagai ganti dari harta dan anak-anak: “Yaitu hari ketika harta dan anak-anak tidak berguna. Kecuali orang yang menghadap Allah dengan hati yang selamat.” Nasibmu di akhirat bergantung pada jawaban atas banyak pertanyaan berikut.

Apakah engkau hidup dalam keadaan yang diridai? Apakah engkau mati dalam keadaan diridai? Apakah engkau dibangkitkan dalam keadaan diridai? Mampukah engkau menemukan jalan menuju panji Muhammad? Dapatkah engkau sampai ke telaga Kautsar? Apakah Rasul saw. dapat melihatmu dari kejauhan dan mengenalimu? Rasulullah saw. menegaskan bahwa pada Hari Kiamat beliau akan mengenali umatnya dan bisa membedakan mereka di antara seluruh umat. Ketika ditanya bagaimana, beliau menjawab, “Kalian memiliki tanda yang tidak dimiliki orang lain. Kalian akan mendatangiku dengan wajah yang bersinar terang karena bekas wudu.”[6]

Rasul saw. mengenali orang yang “tanda mereka terdapat di wajah mereka karena bekas sujud.”[7] Abu Hurairah r.a. berwudu dengan membasuh muka, lalu kedua tangannya hingga nyaris mencapai bahu, kemudian kedua kaki sampai betis, dan selanjutnya ia berkata kepada orang yang bertanya, “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, ‘Umatku akan datang pada Hari Kiamat dengan bersinar terang karena bekas wudu. Barang siapa dapat memanjangkan cahayanya, hendaklah ia melakukan itu.”[8] Ini adalah salah satu manifestasi dan gambaran hati yang selamat.

[1] H.R. Imam Ahmad.
[2] H.R. Bukhari dan Muslim.
[3] Q.S. al-Syu’arâ’: 83 – 89.
[4] Q.S. al-Shâffât: 83 – 84.
[5] Ibnu Katsir, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, III, h. 46. [6] H.R. Bukhari dan Muslim.
[7] Q.S. al-Fath: 29.
[8] H.R Muslim.