Islam menyebar dengan cepat, dan Yahudi serta Nasrani tidak dapat mengalahkannya selama 1.300 tahun. Mengapa? Lalu, apa sebab kekalahan Islam saat ini?

Ada beberapa sudut pandang tentang perbedaan antara Islam dan iman. Kami tidak ingin masuk dalam rincian semacam itu. Jika kita mengungkapkan Islam dan iman secara bersamaan, orang Islam adalah orang yang beriman kepada Allah dan seluruh sendi keimanan serta berserah diri kepada-Nya. Artinya, orang Islam adalah orang yang secara ikhlas terikat dengan seluruh perintah Allah dalam penataan kehidupannya, kehidupan keluarganya, dan kehidupan sosialnya. Kaum muslim dalam beberapa waktu tidak mendapatkan kesempatan untuk menerapkan Islam secara total. Namun, jika semangat mereka terhadap Islam dan keinginan untuk menerapkannya terdapat dalam hati mereka, semoga Allah tidak menghukum mereka. Sebab, menjauhi Islam berarti menempuh jarak yang jauh sehingga tidak mungkin kembali kepadanya secara sekaligus hanya dengan satu langkah. Apabila mereka berharap kembali kepada Islam dengan tekad yang kuat dan keinginan yang besar lalu mereka mulai menetapkan langkah dan pemikiran untuk kembali, mereka telah menyelamatkan diri mereka dari beban tanggung jawab. Itu karena hanya ada dua jalan untuk lepas dari beban tanggung jawab pada Hari Kiamat: hidup bersama Islam secara sempurna atau berjuang mengembalikan Islam ke dalam kehidupan.

Apabila salah satunya tidak terwujud, tidak ada tempat untuk selamat dari pertanggungjawaban pada Hari Kiamat. Kehidupan mereka di dunia pun akan hina, sebab jauh dari Islam akan membuat kekafiran berkuasa atas masyarakat dan berbagai aspek kehidupannya, baik kehidupan sosial, ekonomi, bisnis, maupun militer. Mereka juga akan kalah dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Lalu, mereka akan menjalani hisab atas kelalaian mereka pada Hari Kiamat.

Bisa jadi jangka waktunya tidak sampai 1.300 tahun, tetapi periode kemajuan umat Islam tidak kurang dari seribu tahun. Pada masa itu mereka telah sampai di puncak yang tinggi, terutama pada masa Khulafa Rasyidin yang ketika itu kecepatan dalam mencapai ketinggian sangat menakjubkan. Rasulullah saw. telah memberitakan masa ini dengan bersabda, “Akan datang suatu masa kepada manusia yang ketika itu mereka berperang. Mereka ditanya, ‘Adakah sahabat Rasulullah saw. di antara kalian ?’ Mereka menjawab, ‘Ya.’ Mereka pun mendapat kemenangan. Mereka kemudian berperang dan ditanya, ‘Adakah di antara kalian sahabat dari sahabat Rasulullah saw.?’ Mereka menjawab, ‘Ya.’ Mereka pun mendapat kemenangan.’”[1]

Dalam hadis lain Rasul saw. menunjuk kepada ketiga generasi berbahagia itu dengan bersabda, “Manusia terbaik adalah generasiku, kemudian generasi sesudah mereka, kemudian generasi sesudah mereka.”[2] Kalau kita melihat sejarah umat Islam, tampak jelaslah kebenaran sabda Nabi saw. ini.

Masa Khulafa Rasyidin hanya berlangsung selama 30 tahun. Meski demikian, kaum muslim pada masa Usman ibn Affan r.a. telah menyebar ke seluruh penjuru dunia. Di satu sisi mereka telah sampai ke Erzurum dan di sisi lain mereka sampai ke Laut Aral. Semua ini disebabkan oleh semangat jihad yang mereka bawa. Afrika ketika itu telah dibuka dan dikuasai dari ujung ke ujung. Bahkan, Uqbah ibn Nafi’, panglima Islam yang pertama pergi ke sana dan berhasil menguasai Afrika pada masa hidupnya, wafat dalam usia lima puluh tahun. Artinya, dalam beberapa tahun saja ia berhasil menyempurnakan penguasaan Afrika hingga mencapai Samudera Atlantik yang oleh bangsa Arab disebut dengan Lautan Teduh. Selanjutnya, ia mengarungi laut seraya berkata, “Wahai Tuhan, seandainya bukan karena laut ini, tentu aku sudah berlalu di sejumlah negeri untuk berjuang di jalan-Mu.”[3]

Dalam jihad itu, ia juga berhasil mengikutsertakan kaum barbar dalam barisannya. Kaum muslim saat itu tidak memiliki kendaraan lintas benua, kapal pengangkut pesawat terbang, atau kapal yang bisa menghadapi badai di lautan. Mereka sampai ke berbagai negeri dengan mengendarai unta. Apabila hendak mencapai negeri di seberang lautan, mereka melintasi lautan dengan menaiki kapal kecil yang sederhana. Kendati demikian, mereka mampu membuka negerinegeri di Timur dan di Barat dalam waktu yang singkat. Bila kita perhitungkan secara matematis, kita bisa mengatakan bahwa apa yang berhasil dikuasai umat Islam pada masa Khulafa Rasyidin menyamai bahkan melebihi apa yang berhasil dikuasai pada masa Umayyah, Abbasiah, Saljuk, dan Usmani, padahal berbagai pendudukan pada masa Khulafa Rasyidin pertama-tama ditujukan untuk membuka hati dan menyebarkan Islam.

Di antara rahasia takdir, sejumlah negeri yang ditinggali kaum muslim saat ini dibuka dan dikuasai pada masa sahabat. Meskipun Andalusia berada di bawah kekuasaan Islam selama kirakira delapan abad, saat ini di sana tidak ada sesuatu yang memuaskan hatimu. Sementara itu, di Turkistan, Dagistan, Mongogistan, dan Uzbekistan, sejumlah masjid, menara, dan sekolah agama masih ada karena negeri-negeri tersebut diduduki oleh para sahabat. Negeri-negeri tersebut telah melahirkan beberapa tokoh besar dalam bidang ilmu pengetahuan dan Islam, seperti Bukhari, Muslim, Tirmizi, Ibnu Sina, dan al-Farabi. Islam telah hidup di negera-negara tersebut dengan kebenaran.

Semoga negara-negara yang sendi-sendinya telah dibangun secara ikhlas dan benihnya telah ditanam secara jujur serta telah bercampur dengan darah para sahabat itu insya Allah akan kembali kepada Islam.[4] Ya, kita semua menunggu era tersebut. Kita merasakan keberadaan kita di negara-negara itu. Kita yakin akan datang suatu hari ketika Islam kembali ke sana seperti gelombang yang susul-menyusul. Ini adalah persoalan lain dan penting yang tidak kita bahas di sini. Marilah kita kembali kepada pembahasan semula.

Apabila sahabat berhasil membuka dan menguasai dunia dalam waktu singkat, tentu hal ini karena sejumlah sebab. Setiap sahabat mencintai dakwah Islam sampai tingkat dakwah menyatu dengan hatinya. Orang yang melihat mereka hanya dari luar dan tidak mengetahui hakikatnya pasti mengira bahwa mereka adalah orang-orang yang sembrono bahkan gila, karena tindakan mereka benar-benar mencengangkan akal.

Ali ibn Abu Talib r.a. tidur di kasur Rasul saw. pada malam beliau hijrah dari Mekah ke Madinah. Ini berarti sejak awal ia telah rela dirinya terkena sabetan pedang. Namun, tangantangan kaum musryik tetap menggantung di udara ketika mengetahui bahwa orang yang tidur di tempat tersebut bukan Rasulullah saw. melainkan putra pamannya, Ali r.a. Adapun sebab yang membuat tangan mereka kaku di udara adalah sesuatu yang menakjubkan, karena akal mereka tidak mampu memahaminya.

Bagaimana seorang pemuda berusia 17 tahun dapat melakukan pengorbanan semacam itu yang bisa menamatkan hidupnya dengan cara paling keji? Kaum musyrik—termasuk Abu Jahal—tercengang tatkala melihat kenyataan tersebut. Abu Jahal kemudian pergi ke rumah Abdullah ibn Jahsy dan naik ke atap lalu di sana ia mendengar embikan kambing di dalam rumah. Ia pun tidak bisa menutupi keheranannya, karena tidak ada satu pun orang di rumah itu. Ketika Rasul saw. berhijrah ke Madinah, semua orang segera ikut berhijrah.

Suatu hari Utbah ibn Rabi’ah, Abbas ibn Abdul-Muttalib, dan Abu Jahal ibn Hisyam melintasi rumah keluarga Jahsy yang sedang pergi menuju dataran tinggi Mekah. Utbah melihat rumah itu kosong tanpa ada satu pun penghuninya. Melihat hal tersebut, ia bersenandung:

Setiap rumah meskipun dalam waktu lama selamat
suatu saat akan hancur dan binasa.

Selanjutnya, Utbah berkata, “Rumah bani Jahsy kosong ditinggal pergi penghuninya.”[5] Mereka meninggalkan segalanya: rumah mereka, keluarga mereka, harta mereka, dan kambingkambing mereka. Jadi, bagaimana kaum musyrik bisa memahami hal ini?

Ya. Ketika Abu Bakar r.a. berhijrah dari Mekah ke Madinah, ia tidak membawa seorang pun keluarganya. Ia tidak membawa istri, ayah, ataupun anaknya. Ia meninggalkan semuanya di Mekah dan berhijrah sendirian [bersama Rasulullah saw.]. Usman ibn Affan r.a. pun tidak membawa istrinya, Ruqayyah r.a., putri Rasulullah saw. dan penyejuk hatinya. Seandainya dikatakan bahwa Ruqayyah membutuhkan orang yang siap berkorban untuknya, tentu semua siap mengorbankan diri untuknya. Namun, ia menetap di Mekah dan Usman berhijrah seorang diri ke Madinah.

Masa itu adalah masa orang-orang yang secara tulus dan ikhlas terpaut dengan Rasul saw. Sikap mereka mengikuti dan mencintai Muhammad adalah sesuatu yang menakjubkan. Sampaisampai Urwah ibn Mas’ud setelah menemui Rasul saw. dalam perjanjian Hudaibiah dan melihat perlakuan para sahabat beliau kepada beliau—ketika beliau berwudu, mereka memperebutkan air bekas wudunya, ketika beliau membuang ludah, mereka memperebutkan ludahnya, dan ketika helai rambut beliau jatuh, mereka segera mengambilnya—Urwah kembali ke Mekah dan berkata, “Kaum apa itu?! Demi Tuhan, aku telah diutus ke sejumlah penguasa; Aku telah diutus kepada kaisar, kisra, dan raja Najasyi. Demi Tuhan, aku tidak pernah melihat seorang penguasa yang dihormati sedemikian rupa oleh para pengikutnya seperti penghormatan yang diberikan para pengikut Muhammad kepada Muhammad. Demi Tuhan, jika beliau membuang dahak, pasti dahak itu jatuh ke telapak tangan salah seorang di antara mereka lalu ia lumurkan dahak itu ke wajah dan kulitnya. Jika beliau memberikan perintah, mereka segera melakukannya. Jika beliau berwudu, mereka memperebutkan air bekas wudunya. Jika beliau berbicara, mereka diam menyimaknya. Dan mereka tidak pernah menatap beliau dengan tajam karena hormat kepada beliau.”[6]

Ya. Begitulah tingkat penghormatan dan cinta sahabat kepada Rasulullah saw., sementara Rasulullah saw. sendiri berkata kepada orang yang berdiri menghormatinya, “Janganlah kalian berdiri seperti bangsa asing berdiri untuk mengagungkan satu sama lain.”[7] Namun, mereka tetap berdiri menghormati beliau, karena semakin merendah kepada beliau, semakin bertambah kecintaan mereka kepada beliau. Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. berlari ketika melihat Jibril a.s. untuk pertama kali. Ini terjadi pada awal turunnya wahyu. Salah seorang pecinta Rasul saw. berujar, “Seandainya Jibril a.s. melihat hakikat Muhammad dari balik tirai, pasti ia akan kehilangan kesadaran.” Rasul saw. semakin mulia ketika hubungannya dengan Allah semakin dekat. Namun, semakin mulia, beliau pun semakin merendah sebab beliau menganggap dirinya hanya seorang manusia. Beliau tidak mau diperlakukan dengan cara yang melampaui batas dan merasa risih dengan perlakuan demikian.

Itulah era saat hati dan jiwa para sahabat berpadu bersama Rasulullah saw. Sampaisampai beliau berkata kepada mereka, “Kehidupan adalah kehidupan kalian dan kematian adalah kematian kalian.”[8] Ucapan ini tidak dilontarkan untuk menghibur mereka, namun untuk menggambarkan kesatuan hati dan jiwa. Saat tiba perintah kepada mereka untuk berhijrah di tanah Allah yang luas guna menyebarkan Islam, mereka tidak menyanggah dan bertanya, “Mengapa?” Akan tetapi, mereka segera berhijrah dan bertebaran di muka bumi demi Islam tanpa pernah berpikir kembali ke tanah air mereka. Mereka lebih memilih mati di tanah air baru tanpa keraguan sedikit pun atas hijrah yang mereka lakukan.

Ketika Sa’ad ibn Abi Waqqash menderita sakit panas di Mekah, ia sangat bersedih. Rasul saw. bertanya tentang sebab kesedihannya itu. Ia menjawab, “Wahai Rasulullah, apakah aku ditinggal setelah sahabat-sahabatku pergi?” Dalam riwayat lain: “Apakah aku tertinggal dalam berhijrah? Aku khawatir meninggal dunia di sini di Mekah, bukan di Madinah tempat tujuan hijrah yang telah menjadi kota penuh berkah dengan keberadaanmu di sana. Aku khawatir hijrahku menjadi cacat dan tidak sempurna.” Itu karena keterpautan para sahabat dengan kota Madinah mengacu kepada cinta mereka kepada Rasulullah saw. yang memutuskan untuk menetap di sana. Mereka benar-benar cinta kepada beliau. Namun, ketika ada perintah kepada mereka untuk berhijrah ke seluruh pelosok dunia untuk menyebarkan Islam, tidak tampak keraguan atau penolakan sedikit pun dari mereka karena mereka mencintai Islam. Sebagaimana Majnun yang tergila-gila kepada Laila terus berada di seputar Laila, hati para sahabat telah terpaut dan tertarik untuk menyebarkan Islam ke seluruh penjuru guna mendapatkan rida Allah Swt. dan rida Rasul-Nya saw.

Ya. Ketika datang perintah kepada mereka, mereka segera bertebaran di seluruh pelosok dunia. Di antara mereka ada yang pergi ke Tabuk, ada yang pergi ke Yaman, serta ada yang pergi ke Hadramaut dengan semangat tak tertandingi.

Ketika sejumlah negara dan pemerintah berusaha menghalangi perjalanan dan perluasan Islam serta berusaha menghadang para pejuang itu, terpaksa kaum muslim menghunus pedang mereka karena mereka memikul tugas suci: menyebarkan cahaya di bumi. Tatkala para musuh menggunakan kekuatan materi untuk menghalangi mereka, terpaksa para sahabat menggunakan kekuatan pula untuk menghadapi mereka.

Telah tiba waktunya untuk berjihad dan berperang. Dalam hal ini mereka tidak berlambatlambat, namun bersegera menuju kancah perang. Mereka membunuh dan terbunuh, tetapi tidak satu pun dari mereka lari meninggalkan medan perang. Dalam setiap perang, mereka berhasil mendapatkan kemenangan hingga akhirnya sampai ke negeri Cina. Sebagai individu dan masyarakat, mereka adalah contoh kepahlawanan yang hanya bisa dikenang dalam legenda.

Rasul saw. tidak membebani siapa pun melebihi batas kemampuannya. Kendati demikian, setiap sahabat rela memikul tugas yang nyaris melampaui kemampuannya dan saling berlomba dalam hal tersebut. Ali r.a. mengeluhkan sakit pada matanya ketika Rasul saw. hendak menuju Khaibar. Karena itu, beliau ingin agar Ali tetap berada di Madinah, namun Ali r.a. tidak rela dan menangis seraya berkata, “Wahai Rasulullah, apakah engkau akan membiarkanku bersama anakanak kecil dan wanita? Wahai Rasulullah, demi Allah, aku tidak ingin engkau keluar ke sebuah negeri kecuali aku bersamamu.”[9] Demikianlah, akhirnya ia ikut serta dalam Perang Khaibar dan Allah membuka Khaibar lewat tangannya.

Suatu kali, ketika Rasul saw. pergi dari Madinah, beliau menyerahkan urusan Madinah kepada Ibnu Ummi Maktum yang merupakan salah satu kerabat dekat Khadijah al-Kubra r.a. Jadi, orang semacam inilah yang diperbolehkan tidak ikut ke medan jihad karena ia buta dan lanjut usia. Sebetulnya bisa saja ia tidak ikut serta ke medan jihad sepanjang hidupnya, namun ia juga turut keluar berjihad di bumi Allah yang luas ini bersama para pejuang lain di jalan Allah. Ini dilakukannya setelah kematian Rasulullah saw. Tidak ada yang dapat mengecualikannya untuk tidak ikut keluar dengan alasan buta. Ia bergabung dengan pasukan yang menuju Qadisiah meskipun usianya sudah lanjut. Sejumlah riwayat mengatakan bahwa mereka berusaha menempatkannya di barisan belakang pada hari peperangan, namun ia bisa sampai ke Panglima Sa’ad ibn Abi Waqqash seraya terus meminta izin kepadanya untuk membawa panji. Akhirnya, ia terbunuh sebagai syahid dalam perang tersebut menurut salah satu riwayat.[10]

Ini adalah contoh orang yang mengorbankan nyawa di jalan Allah dengan penuh semangat dan kesungguhan. Kepergian Rasulullah saw. menjadi kesempatan besar bagi Ibnu Ummi Maktum, sebab seandainya Rasulullah saw. masih hidup, tentu beliau akan mencegahnya untuk berjihad karena uzur yang dimilikinya. Saat ini tidak ada lagi yang dapat menghalanginya untuk ikut berjihad. Karena itu, ia bergembira bisa ikut dalam barisan pertama.

Abu Thalhah adalah orang yang sangat tua dan telah lemah. Suatu ketika saat membaca surah al-Tawbah dan sampai pada ayat: “Pergilah berjuang baik dalam keadaan ringan maupun berat,” ia memanggil istri dan anak-anaknya. Ia berkata kepada mereka, “Aku merasa Tuhan meminta berjuang baik dalam kondisi muda maupun tua. Siapkanlah diriku.” Anak-anaknya berkata, “Engkau telah berjuang bersama Rasulullah saw. hingga beliau meninggal dunia. Juga dengan Abu Bakar dan Umar. Sekarang biarlah aku berperang menggantikanmu.” Namun, Abu Thalhah bersikeras dengan permintaannya, “Siapkanlah diriku!” Tidak ada gunanya ucapan dan rayuan kepadanya. Karena itu, mereka bangkit untuk menaikkannya ke kuda dan mengikatnya dengan baik. Tetapi, tubuh lemahnya tidak dapat menghadapi penatnya perjalanan panjang. Ia pun menyerahkan nyawanya di tengah lautan.[11] Barangkali sebelum wafat ia bersyukur kepada Allah Swt. atas kesempatan yang diberikan kepadanya.

Khalid ibn Zaid (Abu Ayyub al-Anshari r.a.) pada masa Yazid ibn Muawiyah ikut serta dalam rombongan yang menuju Konstantinopel meskipun ia sudah sangat tua. Ia menempuh jarak yang jauh itu hingga sampai ke pintu Konstantinopel. Ketika Nabi saw. berhijrah ke Madinah, Abu Ayyub al-Anshari telah menikah dan memiliki sejumlah anak. Telah berlalu sekitar 50 tahun ketika ia keluar bersama pasukan Islam untuk membuka Konstantinopel di bawah pimpinan Yazid ibn Muawiyah. Dengan demikian, usianya sekitar 80 tahun ketika ia berjihad bersama pasukan itu. Ia menempuh jarak yang sangat jauh dari Madinah menuju Istambul di atas punggung kuda. Di sini aku ingin bertanya, “Apakah tujuan para sahabat dan orang-orang seperti mereka dalam berjuang?” Banyak ayat dan hadis memuji mereka.

Al-Quran berbicara tentang mereka sebagai kaum Muhajirin dan Ansar. Orang-orang semacam mereka juga disebutkan dalam Taurat dan Injil. Mereka telah mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Kalian akan membuka Konstantinopel, maka pemimpin terbaik adalah pemimpinnya dan pasukan terbaik adalah pasukan itu.”[12] Jadi, tujuan mereka adalah menjadi pasukan penuh berkah itu dan meraih rida Rasul saw. Jika tidak, apa lagi motif dari perjuangan besar dan penderitaan itu? Rasulullah saw. mengisyaratkan kedudukan tertinggi bagi pasukan yang berhasil membuka Konstantinopel. Para sahabat tentu ingin mendapatkannya sehingga berlomba untuk itu.

Itulah tujuan dan target Abu Ayyub al-Anshari r.a. Karena itulah, ia bangkit dan bertolak dari Madinah lalu menempuh jarak yang panjang dalam sebuah perjalanan berat dan melelahkan. Minggu demi minggu dan bulan demi bulan berlalu, namun pembukaan dan pendudukan itu belum terwujud. Penyakit dan kepenatan menimpa sahabat yang telah tua itu. Ia selalu bertanya apakah pendudukan sudah terwujud. Saat ia sekarat, Panglima Yazid ibn Muawiyah menanyakan permintaan terakhirnya. Ia berkata, “Jika aku mati, naikkanlah aku dan bawalah ke negeri musuh selama memungkinkan. Jika sudah tidak memungkinkan, kuburkanlah aku kemudian kembalilah!” Ketika telah meninggal dunia, Yazid mengangkut lalu membawanya ke negeri musuh. Ketika keadaan tidak lagi memungkinkan, Yazid menguburnya di benteng Konstantinopel dan kembali.[13]

Kira-kira enam abad kemudian, Allah Swt. memberikan kehormatan terwujudnya kabar gembira ini kepada sang pahlawan Muhammad al-Fatih yang ketika itu baru berusia 22 tahun. Ia sangat beruntung mendapatkan kabar gembira Rasul saw. berikut ridanya serta berhasil menunaikan tugas besar yang mengakhiri suatu era dan memulai era baru dalam sejarah umat manusia sekaligus menampilkan semangat Islam kepada Eropa. Di antara takdir Allah, namanya sama dengan nama Nabi saw. Ia bernama Muhammad dan bergelar al-Fatih setelah berhasil membuka [Konstantinopel yang kemudian diubah menjadi] Istambul. Tentu jiwa Abu Ayyub al-Anshari sangat senang mendengar sorak kegembiraan Muhammad al-Fatih saat memuji Allah atas kemenangan itu dan memasuki kota tersebut di atas punggung kuda. Pemimpin [terbaik] itu adalah al-Fatih dan pasukan [terbaik] itu adalah pasukannya.

Demikianlah orang-orang yang telah merelakan dirinya untuk jihad semacam itu atau untuk jihad dalam memberikan dakwah dan petunjuk ketika mereka menduduki berbagai negeri, sehingga negeri-negeri itu tetap berada dalam kekuasaan mereka selama berabad-abad. Namun, ketika penyakit “cinta dunia dan takut mati” menghinggapi hati umat Islam—sebagaimana sabda Rasulullah saw. dalam beberapa hadisnya, mereka mulai kehilangan negeri-negeri itu satu demi satu.

Dua atau tiga masa sebelum ini kita memiliki posisi dan kedudukan penting dalam sejarah manusia dan percaturan internasional. Namun, saat ini kita kehilangan kedudukan dan posisi tersebut. Dalam hal ini hanya ada satu penjelasan. Pada masa kemajuan, kita memiliki semangat Islam, tunduk kepada Allah, dan menyerah total kepada seluruh perintah-Nya, sementara pada masa kemunduran penyakit wahn telah menghinggapi hati kita. Dengan kata lain, yang ada dalam diri kita adalah rasa takut mati, kelemahan, cinta dunia, dan kecemasan menghadapi masa depan.

Umat Islam telah menguasai seluruh dunia—dengan kecepatan menakjubkan—selama sekitar seribu tahun dan memimpin dunia dengan baik. Mungkinkah kita mengembalikan keberhasilan tersebut kepada sebab selain bahwa kaum muslim dulu telah mengorbankan seluruh milik mereka, baik jiwa maupun harta, di jalan Allah Swt.?

Kita melihat semangat yang sama pada semua pejuang dan pahlawan dunia Islam. Mereka tidak terpaut dengan rasa cinta kepada kehidupan, tetapi mereka senang mempersembahkan kehidupan ini untuk orang lain. Tujuan mereka hanya satu: menegakkan kalimat Allah di muka bumi.

Kita melihat sikap ini pada Alip Arselan, Kalj Arselan, Sultan Murad, Muhammad al- Fatih, dan Yawuz Salim, serta para pahlawan lainnya. Dalam Perang Malazghirat yang terkenal, Alip Arselan memakai jubah putih. Ia berdiri di depan pasukannya dan menyampaikan pidato yang berapi-api. Dalam pidatonya, ia berkata bahwa ia berdoa kepada Allah agar jubah putihnya itu menjadi kain kafannya. Artinya, ia lebih menginginkan kematian syahid daripada kemenangan. Karena itu, ia memakai kain kafannya dan tanpa ragu-ragu menerobos pasukan yang jumlahnya berkali-kali lipat melebihi jumlah pasukannya. Siang harinya, ia mendapatkan kemenangan, namun ada hal yang membuatnya sedih: ia belum ditakdirkan untuk mendapatkan syahid dalam perang.

Sultan Murad I berdoa kepada Allah sebelum perang untuk memenangkan kaum muslim dan memberinya kematian syahid. Ternyata, doanya dikabulkan. Pasukannya menang dan ia sendiri mati syahid. Ketika ia tertusuk pedang besar di dadanya dan tersungkur ke tanah, mereka menanyakan permintaan terakhirnya. Selepas mengucap dua kalimat syahadat, ia mengungkapkan kata-kata terakhirnya, “Janganlah kalian turun dari punggung kuda!”

Negara yang didirikan oleh orang-orang seperti mereka memiliki kedudukan internasional sepanjang masa. Seluruh mata senantiasa memandangnya. Ya, pengorbanan semacam itu yang diperlihatkan oleh para pahlawan dan menempatkan rida Allah di posisi pertama itulah yang menjamin kelangsungan hidup kita dengan penuh kemuliaan.

Ketika kita kehilangan semangat ini, musuh mengepung kita dari berbagai arah dan mulai menelan kita secara berangsur-angsur. Ya. Pertama-tama kita mati dalam hal semangat, kemudian dalam hal kemuliaan, dan selanjutnya dalam hal fisik. Sekarang kita mengharapkan bantuan dari negara-negara besar dan kita menganggap penundaan pembayaran utang kepada negara-negara itu sebagai kesuksesan besar.

Jika umat ini ingin kembali kepada kemuliaannya seperti sediakala, ia harus menerapkan semua faktor yang telah membuatnya mulia pada masa sebelumnya tanpa mengabaikan satu pun faktor, karena “manusia tidak memperoleh kecuali apa yang telah ia usahakan dan bahwa usahanya itu kelak akan diperlihatkan [kepadanya].”[14]

[1] H.R. Bukhari dan Muslim.
[2] H.R. Bukhari dan Muslim.
[3] Ibnul-Atsir, al-Kâmil fî al-Târikh, IV, h. 106.
[4] Penulis menulis ini sebelum negara-negara tersebut terlepas dari pendudukan Rusia.
[5] Ibnu Hisyam, al-Sîrah al-Nabawiyyah, II, h. 114 – 115.
[6] H.R. Bukhari; Ibnu Hisyam, al-Sîrah al-Nabawiyyah, III, h. 328; Ibnu Katsir, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, IV, h. 175.
[7] H.R. Abu Daud dan Imam Ahmad.
[8] H.R. Muslim dan Imam Ahmad.
[9] H.R. Bukhari, Muslim, dan Imam Ahmad.
[10] Ibnul-Atsir, Usud al-Ghâbah, IV, h. 264.
[11] Ibid., VI, h. 181 – 182.
[12] H.R. al-Hakim dan Imam Ahmad.
[13] Ibnu Hajar, al-Ishâbah, II, h. 274 dan Ibnu Sa’ad, al-Thabaqât, III, h. 484.
[14] Q.S. al-Najm: 39 – 40.