Harmonisasi Pemikiran dan Aksi

Karena Salahku!

Tanya : Apa saja ukuran yang seharusnya seorang mukmin selalu pertimbangkan dalam hal mengetahui bahwa baik itu musibah secara individual maupun secara universal ialah hasil dari dosanya sendiri?

Jawab :  Karena iman, semua benda hidup atau mati tersenyum pada wajah manusia layaknya mengalihkan bentuk begitu merubah warna, tampilan, desain dan intisarinya.. dan menjadi ruh, menjadi makna, mengalir ke dalam kalbu seorang mumin. Batu-tanah, pohon-daun, mawar-bunga, burung-serangga.. semuanya, namun semuanya itu selalu membisikkan sesuatu hal dari cakrawala kalbu menuju ruh. Lebih dari itu, semua perintah penciptaan, merubahan baris demi baris, paragraf demi paragraf menjadi masing-masing pesan penting; menyuarakan khutbah yang penuh makna tanpa huruf-tanpa kosa kata ke dalam perasaan dan alam kesadaran.

Sebap Utama Timbulnya Musibah

Sebenarnya, perintah penciptaan, dalam lingkaran yang sempit maupun luas mengalir menurut dunia ruh manusia dan hubungannya dengan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Namun sayangnya, banjir, gempa, segala jenis musibah dan bahkan rusaknya keutuhan ekosistem ketika tidak ditelusuri sumber utamanya, semua ini akan dianggap  sama seperti peristiwa alam belaka dan oleh karena itu, dengan wasilah peristiwa ini pesan yang ingin disampaikan tidak mampu dibaca dengan benar.

Padahal, buah pohon alam semesta yang memiliki kesadaran dan kehendak ialah manusia. Di satu sisi, manusia diciptakan sebagai pusat alam, telah mencapai ke dalam konsistensi yang maju dan kekinian; di sisi lain, kondisi umum yang ada di alam semesta terbentuk menurut buah manusia. Oleh karena itu, di satu sisi manusia menjadi sebab, sedangkan perintah penciptaan dan alam semesta ialah hasil; di sisi yang lain juga alam semesta menjadi sebab, sedangkan manusia menjadi hasil. Perihal pembauran dalam bentuk yang seperti ini di antara perintah penciptaan dan manusia merupakan inti pembahasan. Oleh karena itu -misalkan- di antara pergeseran muka bumi dengan guncangan yang ada dalam manusia memiliki hubungan yang erat. Namun hal ini hanya dapat dilihat dengan kacamata iman.

Sama halnya dalam perintah penciptaan, dalam kehidupan individu ataupun masyarakat, tidak terwujudnya beberapa hal yang diharapkan atau terjadinya beberapa peristiwa yang tidak diinginkan sebenarnya berhubungan dengan dunia ruh manusia. Karena setiap musibah, di satu sisi dimulai dari manusia itu sendiri, tumbuh tinggi begitu mengisi kekosongan yang ada; seiring berjalannya waktu menyempurnakan kemajuannya dan muncul. Oleh karena itu, sebab utama musibah ialah manusia dan hingga ini dipahami tidak mungkin untuk melontarkan komentar yang layak dari segi sebab-akibat.

Dari segi ini, langkah pertama yang seharusnya dipijak di jalan mencari dan menemukan sebab utama adalah mempertanyakan dirinya sendiri. Sambil mengatakan “Musibah ini, timbul karena kesalahanku; kelalaian dan kekhilafan antara hubunganku dengan Allah SWTlah yang menjadi sebab!..” menghubungkan musibahnya kedalam ketidakmampuannya memberikan hak kehendak dan segera merangkul kedalam istigfar merupakan sebuah sikap seorang mukmin. Ya, seorang manusia, harus melihat bahwa dirinya adalah sumber utama permasalahan, yang mana ini, di waktu yang sama bisa dikatakan sebagai kekecewaan, taubat dan istigfar yang tersirat.

Pada akhirnya, dalam ayat suci Al-Quran, dikatakan bahwa,

وَمَا أَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَن كَثِيرٍ

“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).”[1] Untuk itu, permasalahan yang menimpa orang mukmin, merupakan sebuah kafarat (penebus) untuk mereka. Tetapi, musibah yang bukan merupakan hasil dari limpahan dosa pun bukan berarti tidak ada; misalkan, permasalahan yang seseorang alami yang bekerja keras di jalan melayani agama Allah Subhanahu Wa Ta’ala, merupakan sebuah wasilah untuk meningkatkan derajatnya yang berada dihadapan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Oleh karena itu, ketika permasalahan tersebut berhubungan dengan orang lain, berpikir bahwa sumber segala musibah datang dari dosa mereka bisa dikatakan sebagai suuzan; yang seharusnya dilakukan orang mukmin yang menjunjung tugas husnuzan ialah mempercayai bahwa oleh sebab musibah tersebut orang lain telah sampai kedalam keistimewaan untuk dekat dengan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Sedangkan pertimbangan akan dirinya selalu dalam bentuk “Terdapat kekeringan dan kegersangan; semua ini karenaku!... Pekerjaan tidak  berjalan sesuai dengan yang seharusnya; semua ini karenaku!... Masalah tersebut berakhir dengan kegagalan, semua ini karenaku!...”  

Oleh Sebab Dosa-Dosaku, Janganlah Engkau Lenyapkan Umat Nabi Muhammad!...

Seperti yang telah diketahui; telah terjadi kekeringan yang luas di masa khalifah Umar bin Khaththab Radhiyallahu Anhu. Yang mana, agar orang-orang tidak mati kelaparan dijalankannya pengelolaan makanan dan diberikan makanan-minuman dalam ukuran tertentu kepada semua orang. Umar bin Khaththab berkata, “Apa yang orang paling miskin makan-minum di Madinah dan bagaimana ia memenuhi kebutuhannya, standar kehidupanku juga harus seperti itu!”; ketika mengetahui kebanyakan orang berusaha memenuhi hidupnya sambil mencelupkan roti kedalam minyak zaitun, ia sendiri pun juga melakukan hal itu. Sebenarnya, Khalifah Agung yang selalu hidup sederhana, akan bersikap lebih sensitif dalam hal memenuhi peraturan umum tersebut. Selama kekeringan berlangsung sama halnya ia tidak pernah memasukkan makanan lezzat seperti daging dan ikan kedalam mulutnya, ia pun mengetahui bahwa musibah umum ini datang darinya dan sambil berdoa mengatakan, “Ya Allah! Oleh sebab dosa-dosaku janganlah Engkau binasakan Umat Nabi Muhammad dengan kelaparan!..”

Aslam Radhiyallahu Anhu yang tidak pernah meninggalkan Umar Radhiyallahu Anhu berkata bahwa: Jika saja jangka waktu kekeringan lebih panjang sedikit, Amirul Mukminin akan mati karena kesedihannya!... Beberapa kali aku selalu melihatnya dalam keadaan sujud; berada dalam permohonan baik sembunyi atau terang-terangan, nyaring ataupun redup dan menangis. Terkadang tenggelam sepenuhnya dalam isak tangis sambil berkata; “Ya Allah! Aku mengira bahwa kemarau dan kekeringan timbul oleh karena dosa-dosaku. Apa pun yang terjadi janganlah Engkau lenyapkan Umat Muhammad oleh sebab dosa-dosaku!” merintih dan bergetar dengan penuh kesedihan.

Hal ini, merupakan ungkapan sebuah mata hati; sebuah isyarat bahwa hubungannya tidak terputus dengan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Mereka yang terputus, selalu membebankan kesalahan dalam peristiwa negatif yang terjadi, mencari kesalahan dalam sebab dan menyalahkan orang lain. Tidak pernah sama sekali mengatakan, “Masalah ini bersumber dari kesalahanku!..” dan tidak pernah melihat peristiwa dari sudut pandang ini. Oleh karena itu juga, tidak merasakan perlunya beristigfar, tidak merasa kekhawatiran untuk memperbaiki kesalahannya dan tidak meminta permohonan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Karena tidak menghubungkan permasalahannya kedalam dirinya ia tidak akan pernah menemukan siapa sesungguhnya orang yang bersalah, ia juga tidak akan pernah terselamatkan dari kesalahan mencari dosa dalam diri orang lain.

Saat ini berapa banyak orang yang menjadikan dirinya bertanggung jawab akan perubahan yang terdapat dalam perintah penciptaan; sambil merintih begitu lari ke arah sajadah, “Apa pun yang terjadi Ya Allah, oleh sebab kesalahanku janganlah Engkau binasakan Ummat Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam?!. Berapa banyak orang yang menumpahkan air mata istighfar saat percaya bahwa dirinyalah yang menyebabkan inayah dan rahmat Allah Subhanahu Wa Ta’ala terputus?!. Ya, seberapa banyak orang yang mengetahui bahwa musibah yang menimpa sebuah bangsa datang dari dirinya dan yang tersungkur saat berpikir bahwa upayanya tidak mampu untuk menyelesaikan permasalahan besar agama Islam, sebanyak itulah mukmin hakiki yang berada di muka bumi!..

Menurut riwayat; di masa musibah berhamburan bak turunnya hujan, Salim ibn Qasim yang merupakan salah satu dari Ahlullah, mengunjungi ulama besar Muhammad bin Mukatil. Berkata kepadanya, “Di tengah kita terdapat musibah badai yang melanda begitu ganas; guncangan gempa terjadi secara beruntutan, kemiskinan dan kewaspadaan mengiris rasa kesenangan penduduk muka bumi. Kau adalah imam kami; apa pun yang terjadi, atas nama Allah Subhanahu Wa Ta’ala berdoalah untuk kami!.” Manusia yang rendah hati itu, hanya mampu menjawab seperti ini; “Betapa aku menginginkannya, namun aku tidak ingin bahwa diri inilah yang akan menjadi sebab binasanya kalian!... Aku takut bahwa badai itu menghempas karena kesalahanku; guncangan tersebut tidak berhenti karenaku; dosa-dosaku menghalangi sampainya rahmat ilahi saat menghampiri kalian!...”     

Esok harinya, Salim ibn Qasim kembali berlari ke tempat Muhammad bin Mukatil. Sejauh mata memandang, kali ini ia memberikan ke arah sekitarnya percikan senyuman, memulai perkataan dengan kegembiraan saat datang dengan rasa senang dan berkata seperti ini: Tadi malam aku melihat Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam dalam mimpiku; mereka mengungkapkan bahwa, “Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengirimkan sebuah bencana dan musibah yang dahsyat kepada penduduk muka bumi. Namun atas rasa hormat-Nya kepada Muhammad b. Mukatil yang berdoa saat membuka tangannya dengan kerendahan hati sambil melihat bahwa dirinya hina dan rendah, Allah Subhanahu Wa Ta’ala menyisihkan serta mengangkat musibah dari tanah tempat kalian tinggal!.” Kita dapat meilhat bahwa menjadikan dirinya memikul sebuah tanggung jawab mampu menggantikan istigfar dan permohonan yang luhur dihadapan Allah Subhanahu Wa Ta’ala?!.. Di satu sisi, pikirkanlah sudut pandang seorang hamba kepada dirinya, di sisi lain lihatlah nilai dan kualitasnya yang ada dihadapan Allah Subhanahu Wa Ta’ala!... Apakah kalian memahami bahwa mencari sebab musibah dalam nafsu dirinya dan berlari untuk bertaubat saat menggeliat karena malu mampu meninggikan derajat manusia sebesar itu?!.

Harus Menentukan Ruang Lingkup Tanggung Jawab Dengan Baik!..

Beberapa orang dapat berpikir dalam bentuk, “Apa dosa kita sehinga musibah diutarakan kepada diri kita?.” Sebenarnya pertimbangan, “Apa dosa saya?” itu sendiri merupakan dosa yang sangat besar; seseorang yang berpikir seperti ini, itu berarti telah melakukan kesalahan yang besar. Seseorang yang benar-benar berdosa, ketika meminta diadili saat merunduk penuh dengan kekecewaan sama halnya ia sedang masuk ke jalan pengampunan, sedangkan seseorang yang mengatakan “Apa dosa saya?” dengan perkataan ini bisa dikatakan bahwa ia telah terjerumus ke dalam lubang bencana.  Karena, ia yang sadar akan dosanya selalu terdapat kemungkinan untuk membersihkannya dengan taubat dan istighfar; sedangkan ia yang menganggap dirinya tak berdosa, tertindas saat terinjak dibawah kekhilafan besar yang terbentuk dari dosa-dosa kecil merupakan sesuatu yang tak dapat dielakkan. Ya, perkataan “Apa dosa saya?” merupakan ungkapan ketidaktahuan apa itu dosa. Padahal, jika seorang manusia tidak mengikat hubungan dengan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam ukuran ni’mat yang Allah Subhanahu Wa Ta’ala limpahkan, jika tidak mengetahui nilai luhur keislaman yang mampu melingkupi seluruh kesultanan dunia dan jika ia tidak dalam upaya untuk sampai kedalam ridha dan karunia-Nya dengan cara menggunakan kesempatan khidmah yang dipaparkan dihadapannya, berarti ia adalah seseorang yang malang yang menutup matanya terhadap kebaikan ilahi; tidak ada maknanya mencari dosa lain untuk seseorang yang seperti ini yang telah tertimbun ke dalamnya rasa tidak berterima kasih yang sampai hingga pangkal tenggorokan.

Beberapa yang lain, sadar akan dosa-dosanya; tetapi, mereka berkata, “Siapa saya sehingga oleh karena kesalahanku terjadi perubahan di langit, timbul kekeringan atau turun hujan?!.” Karena mereka tidak memberikan nilai dalam diri mereka sendiri, tidak pernah berpikir bahwa ada kemungkinan dirinya berperan dalam bencana dan musibah. Pertimbangan ini, di satu sisi bisa dipandang sebagai tiupan suara kerendahan hati; namun pada waktu yang sama bisa jadi sebuah pemikiran seytan untuk lari dari tanggung jawab. Sama halnya, seseorang yang mengatakan “Semua ini karenaku!” untuk setiap musibah baik kecil maupun besar, sebagai akhir dari penglihatan begitu banyak peristiwa yang mengalir di alam semesta yang ia hubungkan dengan dirinya sendiri, mungkin juga dapat masuk ke dalam kebanggaan saat mencapai inti celah yang tersembunyi yang berada dibawah rasa tanggung jawab. Perkataan “Aku adalah seseorang yang sangat berdosa sehingga oleh karena diriku masyarakat tertimpa musibah!” meski mengungkapkan rasa malu akan dosa-dosanya di awal, jika ia tidak mampu menyeimbangkan ukurannya dan terjerumus ke dalam kepiawaian setan, bisa jadi merubahnya pada anggapan, “Akulah seseorang yang begitu penting sehingga beberapa peristiwa yang ada di langit dan bumi terbentuk sesuai dengan kondisiku!.” Oleh karena itu, dalam hal ini perlu menemukan jalan tengah dan menjaga keseimbangannya.

Ya, merupakan sebuah kelalaian yang besar jika seorang manusia tidak pernah berpikir akan kemungkinan dirinya ikut andil dalam musibah universal; bisa jadi ini bersumber dari ketidakmampuannya untuk menelaah nilai yang Allah Subhanahu Wa Ta’ala berikan kepada manusia. Di sisi lain ketika mengatakan, “Semua yang terjadi pasti berjalan berkaitan dengan diriku; oleh karena itu, beberapa hal negatif yang terjadi itu karena diriku!...” juga dapat mengalirkan kesombongan tersembunyi kedalam diri manusia. Dalam pemikiran, “Allah Subhanahu Wa Ta’ala memandang kondisiku, jika memang aku dalam kondisi baik Dia menjalankan peristiwa yang ada sesuai dengan yang seharusnya, tetapi jika aku dalam kondisi buruk Dia merubah keteraturannya,” bahaya kesombongan tersembunyi seperti melihat dirinya sebagai raja dalam ruang lingkup yang luas tersebut merupakan pokok pembahasan.

Oleh karena itu, setiap mukmin, di satu sisi sebagai salah satu organ ummat Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam, ia harus menjadikan dirinya bertanggung jawab akan setiap musibah dalam ukuran tertentu. Bersamaan dengan hal tersebut dalam hal tanggung jawab seharusnya ia selalu mengaitkannya dalam ukuran: Jika ada peranku di dalam ruang lingkup berbeda yang berhubungan dengan agama Islam dan menjadi juru damai, dengan mudahnya aku dapat mengatakan, “Saat ini hal-hal negatif yang terlihat dalam wilayah umat Islam dan seluruh kontradiksi yang berhubungan dengan umat Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam mengalir oleh karena diriku.” Namun, aku bukanlah bagian yang paling berpengaruh di semua lingkaran tersebut; oleh karena itu, aku bertanggung jawab dengan beberapa hal negatif yang berhubungan dengan ruang lingkup yang aku tempati; aku harus melihat bahwa “Semua ini karena kesalahanku!” ke dalam setiap peristiwa negatif yang muncul di ruang lingkup hidupku; sedangkan jika dalam musibah universal, aku harus memiliki pandangan dengan pemikiran, “Aku pun ikut andil didalamnya!.”

Pada akhirnya, Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam memberikan ukuran ini juga di dalam Hadits Syarif, “Setiap orang adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannnya. Seorang kepala negara akan diminta pertanggungjawaban  perihal rakyat yang dipimpinnya. Seorang suami akan ditanya perihal keluarga yang dipimpinnya. Seorang isteri yang memelihara rumah tangga suaminya akan ditanya perihal tanggungjawab dan tugasnya. Bahkan seorang pembantu/pekerja rumah tangga yang bertugas memelihara barang milik majikannya juga akan ditanya dari hal yang dipimpinnya. Dan kamu sekalian pemimpin dan akan ditanya (diminta pertanggungan jawab) darihal hal yang dipimpinnya.”[2]

Ketika dilihat dari sudut pandang ini, Umar bin Khaththab Radhiyallahu Anhu, yang merupakan khalifah Rasulullah dan pemimpin seluruh umat mukmin; dari segi ini juga, menjadikan dirinya bertanggung jawab atas seluruh umat ialah hal yang normal. Seseorang yang memimpin sebuah negara memegang seluruh tanggung jawab masyarakat; sedangkan para pemimpin setiap lembaga atau unit tertentu, secara khusus bertanggung jawab dalam ruang lingkup mereka sendiri. Semuanya harus mempercayai bahwa kesalahan individual, mampu menyebabkan beberapa permasalahan negatif khususnya dalam ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya, merasa takut akan hal ini dan bersikap hati-hati.

Sebagai kesimpulan; di dataran Malazgirt, ketika sampai ke titik puncak kecemasan diantara prajurit muslim, Sultan Alparslan yang keluar ke hadapan para tentara dengan baju putih yang ia pakai sambil berkata “Inilah kain kafanku!” bersujud di area terdepan dan memohon, “Ya Allah! Kibarkanlah panji kemenangan tentaraku; jangan sampai Engkau membuat pahlawan-pahlawanku musnah karena dosa-dosaku!” layaknya tenggelam dalam air matanya, merupakan kisah yang bernilai dalam menyikapi sesuai keluasan lingkup tanggung jawab.

Taubat Universal

Ya, menentukkan batasan, letak, tanggung jawab dan ruang lingkup apapun yang berhubungan langsung dengan dirinya, memicu perasaan untuk berlindung kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala sambil menghubungkan kontradiksi yang ada dalam ruang lingkup tersebut ke dalam kesalahan individual dan membakar rasa kantuk dengan tujuan menghapuskan kekhilafannya merupakan sebuah istighfar dan taubat yang tersirat. Istighfar yang seperti ini, karena tidak melihat wajah yang bukan muhrimnya sampai perkataan yang diungkapkan akan jauh lebih ikhlas; karena alam semesta menyaksikan taubat yang seperti ini akan jauh lebih tulus. Karena, seseorang yang sebelumnya menghisab dirinya sendiri di setiap musibah, terbakar begitu dalam layaknya sebuah kompor; namun, api yang ada di dalam hatinya tidak ia pancarkan kepada orang lain.. kekecewaannya ia amanahkan kepada pertimbangannya. Ketika ia dalam kesendirian, tanpa memberitahukan kepada orang lain, menyuarakan istighfar dengan lidahnya; ribuan kali setiap kali berpikir akan dosanya bertasbih “Astagfirullah.” Berkata, “Ya Allah, tidak cukup untuk memohon sekali pengampunan atas kesalahanku, aku beristigfar sebanyak mungkin! Dengan ketakutan akan merasakan terputusnya hubungan dengan Maulana Agung, untuk memohon mencari jumlah yang menggambarkan kekekalan yang tak terhitung semua kekecewaannya.     

Sejauh mata memandang, jika memang diinginkan kumpulan orang yang ikhlas dalam lingkup masyarakat, semua individu yang membentuk masyarakat tersebut harus bertaubat bersama dan mencari jalan untuk membersihkan dosa-dosa mereka sendiri. Kekecewaan, istighfar dan taubat akan sebuah kesalahan, kekhilafan dan dosa seorang individu, keluarga atau masyarakat hasilnya sesuai dengan tingkatannya masing-masing; harus dibersihkan dari kotoran pembelotan seluruh individu untuk mencapai ketaqwaan masyarakat.

Menurut riwayat; Nabi Musa Alaihissalam, memohon doa turun hujan bersama dengan kaumnya. Ketika tetesan rahmat masih belum turun meski sudah berdoa beberapa selang hari, Nabi Musa bertanya akan hikmah ilahi begitu mengatakan, “Ya Allah! Engkau telah memerintahkan kami memohon untuk mengakhiri kekeringan; tetapi, meski kami telah memohon doa saat membuka kedua tangan kami Engkau belum mengirimkan hujan!.” Allah Subhanahu Wa Ta’ala berkata, “Salah satu di antara kalian ada pendosa yang belum bertaubat!.” Nabi Musa, ketika bertanya siapa pendosa yang menyebabkan terhalangnya pertolongan rahmat ilahi, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman, “Akulah As-Sattar (Yang Maha Menutupi), Aku menutupi dosa-dosa hambaku; Aku jauh dari menjatuhkan mereka kedalam rasa malu saat membuka kesalahan mereka. Kalian semua bertaubatlah sehingga orang tersebut pun ikut membersihkan dosanya dan dengan itu doa kalian pun aka terkabulkan.

Sebagai kesimpulan, kita harus berpikir bahwa musibah yang kita alami muncul karena dosa yang kita lakukan; untuk menghapus dan mengangkat musibah segera kita harus berstigfar dari perilaku kita yang teracuni oleh kesalahan, kekhilafan, dosa, pembelotan dan karena semua pelampauan batas baik kecil maupun besar. Selain itu, kekecewaan dari hati dan luapan yang tak terhenti meski terlihat cukup untuk dosa secara individual, kita juga seharusnya tidak lupa untuk waspada lebih jauh, terguncang lebih dalam dan perlu akan adanya taubat secara universal. Ya, terwujudnya kebahagiaan dan ketentraman negara kita, seharusnya kita tidak lupa bahwa itu berhubungan dengan semua ruh yang berkaitan dengan takdir bangsa baik secara material maupun spiritual dan khususnya para jiwa hasbi yang mendedikasikan dirinya kepada tanah air ini untuk  bertaubat sambil membentuk barisannya sekali lagi.   

(Diterjemahkan dari buku “Kalb İbresi”, dari artikel yang berjudul “Benim Yüzümden!” hal. 67)

Evaluasi

  1. Bagaimana harusnya kita menyikapi musibah alam yang terjadi?
  2. Sebab utama musibah ialah manusia. Jelaskan pernyataan ini!
  3. “Apa yang orang paling miskin makan-minum di Madinah dan bagaimana ia memenuhi kebutuhannya, standar kehidupanku juga harus seperti itu!” Siapakah yang mengatakan hal ini? Mengapa?
  4. Jelaskan peristiwa yang terjadi antara Salim ibn Qasim dan Muhammad bin Mukatil! Apakah hikmahnya?
  5. Apa pelajaran yang Anda ambil dari artikel ini?


[1] QS. Syuura, 42;30

[2] Bukhari, ahkâm 1, jum’a 11; Muslim, imârah 20.

Pin It
  • Dibuat oleh
Hak Cipta © 2024 Fethullah Gülen Situs Web. Seluruh isi materi yang ada dalam website ini sepenuhnya dilindungi undang-undang.
fgulen.com adalah website resmi Fethullah Gülen Hojaefendi.