الاستقامة

Keberkahan Universal dan Gandum Yang Memberikan Tujuh Ratus Bulir Dalam Untaiannya

Pertanyaan: Dalam makna umum dikatakan bahwa karakter mulia seperti rasa hormat kepada orang tua dan silaturrahmi, masing-masing merupakan sarana bagi datangnya keberkahan. Bagi seseorang yang ingin mengabdi kepada agamanya, agar amal yang dilakukannya dapat berbuah seribu, setiap satu kesatuan yang ia lakukan atas nama khidmat, sarana keberkahan manakah yang harus ia perhatikan terlebih dahulu?   

Jawaban: Hal-hal yang harus diperhatikan agar sebuah pekerjaan dapat menghasilkan berkah di antaranya adalah: (a) sadar mengapa dan untuk apa pekerjaan itu dilakukan, serta mengetahui dengan baik bagaimana pekerjaan itu akan ditunaikan, (b) bagaimana ia mendedikasikan dirinya untuk menunaikan tugasnya itu, (c) bagaimana ia menunaikannya dengan ihsan, yakni seolah-olah ia melihat Allah dan jika ia tidak mampu membayangkan melihatNya, maka ia yakin bahwa sesungguhnya Allah mahamelihat perbuatannya. Seperti yang Ustaz Said Nursi ungkapkan, seorang mu’min, harus menghiasi pekerjaan sambil membayangkan bahwa sesungguhnya ia dilihat, memulainya sambil membayangkan bahwa sesungguhnya ia dipantau, duduk sambil membayangkan bahwa sesungguhnya ia dijaga, berdiri sambil membayangkan bahwa sesungguhnya ia diamati, makan sambil membayangkan bahwa sesungguhnya ia disaksikan, minum sambil membayangkan bahwa sesungguhnya ia diawasi dan mengantarkan dirinya  dengan pertimbangan bahwa sesungguhnya kehidupannya senantiasa diperhatikan. Seperti yang kalian ketahui Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam memaparkan bahasan ini dengan ungkapan; الْإِحْسَانُ أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ “Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Namun apabila engkau tidak mampu melihat-Nya, sesungguhnya Ia melihatmu”. Ya, jika kalian hidup dengan berorientasikan ihsan, ketika itu kalian akan menyaksikan derasnya hujan keberkahan dari wilayah kasihNya.

Memenuhi Hak Kepada Diri Sendiri dan Keluarga

Manusia memiliki beragam kewajiban dan tanggung jawab yang berbeda satu sama lain. Kewajiban-kewajiban ini dalam hadis dipaparkan dengan ungkapan :

إِنَّ لِرَبِّكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَلِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَلِأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقًّا فَأَعْطِ كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ

“Sesungguhnya Rabbmu punya hak (yang harus engkau tunaikan), dan dirimu itu punya hak, dan keluargamu (istri kita, anak-anak kita, atau yang ibu-ibu, suaminya, anaknya) itu punya hak. Maka berikanlah setiap orang dan semua pihak, haknya masing-masing”.[1]

Seperti yang terlihat bahwa kewajiban manusia yang paling primer ialah hak-hak yang berhubungan dengan Dzat Yang Maha Agung. Apa-apa saja hak tersebut telah dijelaskan dalam Al-Quran dan Sunnah. Hak yang berhubungan dengan Allah ini seperti Iman, Islam, Ihsan ; merupakan salah satu dari tanggung jawab paling utama seorang manusia.

Setelah mengingatkan akan hak-hak yang menjadi kewajiban kita terhadap Allah Subhanahu Wa Ta’ala, Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam memaparkan bahwa jiwa kita pun memiliki hak. Tidak seharusnya kita membebani diri kita yang telah diciptakan dalam bentuk ahsanu taqwim serta bernilai layaknya intan dan berlian dengan kekosongan, kesia-siaan dan hawa nafsu belaka. Dengan meniti jalan yang benar, seseorang harus berusaha meraih derajat paling agung seperti surga, firdaus, bertetangga dengan Baginda Nabi Muhammad Shallallahu alayhi wasallam, serta derajat yang paling penting di antara derajat lainnya, yaitu meraih rida dan cintanya Allah. Seandainya jiwa manusia tidak memiliki potensi untuk dapat meraih ufuk tersebut, Allah tidak akan memerintahkan manusia untuk meraihnya. Karena manusia diperintah untuk meraih tujuan agung tersebut, berarti manusia diciptakan dengan kapasitas untuk dapat meraihnya. Untuk itu, seperti yang disampaikan Ustaz Said Nursi dalam Kalimat Kedua Puluh Tiga, sebuah intan yang amat bernilai harus digunakan untuk tujuan yang juga bernilai tinggi daripada hanya diloakkan di pasar tembaga. Ya, nilai hakikat seorang manusia tidak dapat dipahami dalam ukuran dunia fana. Jika dengan iman, islam, ihsan dan seluruh lapisan dari bumi hingga langit ke tujuh kalian meminta untuk meraih kehidupan kalbu dan ruh, ketika itulah kalian telah mengejar sesuatu yang senilai dengannya. Ini semua adalah hak yang berhubungan dengan nafsu diri. Oleh karena itu memahami hak yang berhubungan dengan nafsu dalam bentuk sekadar hanya untuk tidak bunuh diri, tidak memotong tangan, kaki, lidah, bibir yakni memahaminya dalam bentuk pengorbanan yang sia-sia merupakan sebuah pemahaman yang kurang tepat. Akhir kata, pengayoman nafsu diri berarti ditunaikannya semua hak materi dan spiritual untuk diri sendiri.

Seperti itu pula hak keluarga. Ia bukan sekedar berbincang ria begitu berkumpul dengan mereka. Ia juga bukan sekadar mengambil hati mereka dalam percakapan minum teh. Atau hanya dengan memberikan hak yang berhubungan dengan kebutuhan jasmani tidak berarti telah memenuhi hak mereka. Di sisi lain, perlu dilakukannya sebuah bimbingan yang baik untuk mereka demi kehidupan kalbu dan ruhnya dan selalu ditunjukkannya kepada mereka arah kiblat layaknya jarum kompas. Yakni sebagai individu yang beriman, engkau menjelaskan Allah kepada keluargamu, mengenalkan Rasulullah, dan mengajarkan hidup layaknya seorang manusia sejati merupakan hak keluarga yang ada pada dirimu. Sama halnya engkau mendampingi anak-anakmu dari dekat layaknya seorang penjaga dan tidak meninggalkan mereka seorang diri dari segala keburukan meski hanya sekejap. Itu juga merupakan sebuah hak mereka yang ada pada dirimu. Akan tetapi, semua kewajiban ini tidak dikerjakan dengan kemarahan, teriakan, penindasan, atau dengan pandangan kebencian saat mereka berbeda pikiran denganmu; engkau akan mewujudkannya sambil mendenyutkan kepalamu, penuh kesabaran, dengan ungkapan almarhum Ustaz Necip Fazil sambil memuntahkan isi otak dari hidungmu, dengan kaidah pedagoji dan psikologi, khususnya dengan metode yang Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam paparkan. Inilah hak-hak anak yang ada pada diri kita dan hak mereka ini harus dipenuhi sesuai dengan tempatnya.

Penyebab Sesungguhnya Kealpaan Seorang Anak

Dalam sebuah hikayat diceritakan bahwa seorang anak dari sesosok waliullah suka berbuat iseng. Dengan jarum yang diambilnya dari suatu tempat, seringkali ia melubangi kantung air milik masyarakat. Padahal masyarakat mengambil air dan memanggulnya dari tempat yang sangat jauh. Pada awalnya, karena rasa hormat dan sungkan kepada sang waliullah, tidak ada satu orang pun yang berani mengadukan masalah ini. Seiring berjalannya waktu, masyarakat pun hilang kesabaran dan satu dua orang datang menjelaskan duduk permasalahannya ke sang waliullah. Sang waliullah termenung seketika, mengevaluasi kehidupan pribadinya sambil berusaha mengingat-ingat kesalahan apakah kiranya yang dulu pernah ia kerjakan sehingga memicu munculnya peristiwa ini: “Apakah aku dulu pernah melubangi sesuatu sehingga kebiasaan tersebut diwarisi oleh anakku?” Karena sensitivitasnya, bisa jadi sang waliullah menemukan betapa banyak kesalahan yang telah diperbuatnya. Apalagi ia juga menganggap lintasan pikiran yang tidak sesuai adalah dosa.  Akan tetapi, ia tidak bisa mengingat kesalahan apa yang pernah diperbuatnya terkait dengan permasalahan ini.

Sang waliullah kemudian menemui istrinya dan menjelaskan letak duduk permasalahannya. Ia berkata: “Anak kita sudah lama melakukan hal seperti ini. Masyarakat tidak segera menceritakannya karena rasa hormatnya kepada kita. Kini, kita harus menyelesaikan persoalan ini. Cobalah ingat-ingat barangkali ada peristiwa dalam kehidupanmu yang ada hubungannya dengan persoalan ini.” Istrinya mulai berpikir dan setelah itu mengatakan: “Suamiku! Demi Allah aku tidak pernah melakukan kesalahan seperti itu. Hanya saja ketika hamil, aku jalan-jalan ke halaman rumah salah satu tetangga.  Aku habis merajut. Jarumnya masih terbawa di tanganku. Ketika itu, aku melihat sebuah jeruk disana. Aku melubanginya dengan jarum dan tetesannya kumasukkan ke dalam mulutku... “ Demi mendengar cerita istrinya tersebut, sang waliullah segera pergi ke rumah tetangganya untuk memohon maaf dan meminta keridaan dari sang pemilik jeruk. Setelah itu ia duduk bersimpuh  dan menyampaikan permohonan tobatnya kepada Allah.

Tanpa menunggu waktu lama, ketika sedang melanjutkan keisengannya melubangi kantung-kantung air warga di sekitarnya tiba – tiba ia berkata: “Aku adalah anak seorang ayah yang salih. Sebagai anak dari sosok mulia tersebut apakah pantas aku melakukan kenakalan ini kepada masyarakat? Ya Allah, aku bertaubat!”

Ia meninggalkan tempat itu dan berlari menemui ayahnya. Ia berkata pada ayahnya, “Ayah! Selama ini aku sangat nakal”. Siapa yang tahu mungkin ketika itu ayahnya pun berkata kepadanya: “Anakku! Engkau tidak melakukan kenakalan  itu. Kamilah yang jadi sumber kenakalan itu di masa lalu.”  

Orang tua harus mendampingi anak-anaknya dari dekat sehingga mereka tidak memiliki kesempatan untuk berbuat nakal. Kekurangan pada orang tua, walau mungkin tidak muncul ke permukaan berasal darinya, di masa mendatang ia akan muncul pada anak – anak. Kepahitan yang diakibatkan olehnya pun pada akhirnya orangtua juga yang akan menanggungnya. Para orangtua akan menunduk dihadapan Allah. Merekalah yang akan menanggung kepahitan dan keprihatinan yang disebabkan oleh laku negatif anak – anaknya.  Barangkali ini hanya sebuah hikayat. Akan tetapi, ada satu hal yang ingin saya sampaikan terkait hikayat itu: “Hal yang harus diperhatikan dari sebuah hikayat bukanlah autentisitas riwayatnya, melainkan pesan yang disampaikan di dalamnya.   

Jalan Mereduksi Keburukan

Dalam hadis yang dibahas sebelumnya, dapat dikatakan bahwasanya selain Allah, jiwa, dan keluarga, bangsa dan umat manusia juga memiliki haknya atas kita. Meski perihal tersebut tidak tertera secara gamblang dalam hadis tersebut, tetapi kita dapat menemukan bagaimana dua hal tadi juga memiliki hak atas diri kita pada pembahasan hadis lainnya.[2]  Jadi, kita dapat mempertimbangkan bahwa hak bangsa dan kemanusiaan juga ada atas diri kita. Ya, menegakkan kembali monumen kebangsaan adalah tugas kita dan mulai hari ini kita berkewajiban untuk menunaikannya. Bangsa kita, baik sebagai dinamika pemberi inspirasi, maupun sebagai arahan dan jalan yang mengantarkan kita pada diraihnya petunjuk, ataupun sebagai kesempatan yang dianugerahkan kepada kita, menegakkannya dengan sepenuh jiwa dan semangat adalah sebuah amanah yang dipercayakan kepada kita. Jika tugas ini sebelumnya dikerjakan hingga batas tertentu oleh generasi sebelum kita, maka adalah sebuah kewajiban bagi kita untuk menyelesaikan dan menyempurnakannya. Karena generasi sebelum kita, yaitu mereka yang mendedikasikan dirinya untuk cita-cita mulia ini, telah menghabiskan umur kehidupannya di penjara, di pengasingan, dan di perantauan. Mereka telah sekuat tenaga dan semaksimal mungkin membawa amanah tersebut hingga sampai di titik ini untuk kemudian menyerahkannya kepada kita. Oleh karena itu, menerima dan membawa amanah ini ke titik berikutnya adalah haknya mereka para pendahulu kita sekaligus kewajiban bagi kita.                                          

Sama dengan penjelasan tadi, mengajarkan sistematika cara melihat sesuatu kepada masyarakat yang dirasa masih menceng juga merupakan bagian dari hak bangsa atas diri kita. Baginda Nabi Muhammad Shallallahu Alayhi Wasallam bersabda? :

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَراً فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فبِلِسَانِهِ ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلبِهِ وَذَلَكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ

Yang artinya: “Barang siapa diantara kamu melihat perbuatan yang mungkar (dilarang syara’) maka hendaklah ia merubahnya dengan kekuatan tangannya, jika ia tidak sanggup, hendaklah ia merubah dengan kemampuan lidahnya, dan jika ia tidak sanggup pula, maka hendaklah diingkarinya dengan hatinya, dan itulah selemah-lemahnya iman.”[3]

Yakni, jika Anda memiliki kekuatan, Anda tidak akan membiarkan orang yang ada di sekitar Anda terperosok jatuh kedalam kemungkaran. Sebaliknya, Anda akan mencari jalan agar dapat menjadi sarana bagi masuknya orang-orang di sekitar Anda ke dalam kebaikan. Anda akan memegang tangannya, membawanya, menunjukkan kepadanya arah mihrab dan kiblat. Jika Anda dapat melakukannya dengan tangan, maka lakukanlah. Jika Anda tidak mampu melakukannya dengan tangan, Anda akan masuk ke jalan irsyad dengan bahasa yang lemah lembut. Jika Anda tidak mampu melakukan hal itu juga, Anda harus mempertimbangkan dan memikirkan jalan yang lain. Tergantung bagaimana kondisinya di lapangan, Anda dapat memutus keterkaitan Anda dengannya, lalu mengambil sikap tertentu. Dengan demikian Anda berupaya untuk menunaikan tugas ini sambil berkata, ”Saya tidak menyangka orang waras seperti kamu bisa melakukan hal seperti ini!”

Bukan dengan menanamkan kebencian, menajamkan mata, mengerutkan muka atau menghujaninya dengan kecaman seperti “dasar terlaknat ”. Sebaliknya, Anda harus menghadapinya dengan karakter yang sesuai dengan identitas Anda sebagai seorang mukmin, berbicara dari hati ke hati, dan merangkul sisi – sisi kemanusiaannya. Jika perlu jamulah ia dengan secangkir teh manis hangat, barangkali Anda dapat melembutkan dan mendapatkan hatinya. Bahkan ketika disuntik pun pasian disarankan untuk tidak menahan kaku dirinya sehingga jarum yang ujungnya lancip tersebut dapat mudah masuk ke dalam kulitnya. Oleh karena itu perkataan dan perilaku yang halus serta sebuah senyuman tulus dari hati yang paling dalam adalah jaminan bagi terselamatkannya lawan bicara kita dari kerasnya hati dan kepala. Setelah itu, Anda akan mengalir ke dalam hati lawan bicara Anda layaknya secercah cahaya, sekilat nur, dan seberkas sinar di dalam atmosfer yang lembut seperti ini; Sambil bertahta dalam singgasana hatinya, Anda akan dapat membimbingnya menuju jalan yang penuh keindahan dan kebaikan. Inilah rangkaian perilaku yang dapat dilakukan dengan kehadiran hati.           

Keberkahan Universal dan Konsistensi Sahabat

Pada hari ini, jiwa – jiwa yang berdedikasi terhadap bangsa dan kemanusiaan sedang mengemban sebuah tugas yang kokoh, agung dan universal. Peran yang sedang mereka mainkan sungguh bukanlah perkara remeh. Ya, tugas besar itu yang dulu dipikul oleh para sahabat, pada hari ini diemban oleh jiwa – jiwa berdedikasi.  Agar tugas yang sedang mereka tunaikan itu dapat mengungkapkan makna bagi kemanusian, permanen dan berumur lama, ia harus dikerjakan sebagaimana dulu para sahabat mengerjakannya. Ya, konsistensi, kesungguhan dan ketulusan yang dulu ditunjukkan oleh para sahabat radhiyallahu anhum harus dipelihara sepanjang masa. Demikianlah, jiwa - jiwa yang berdedikasi harus memikul semua tugas yang ada di pundaknya dengan kesadaran seperti itu. Mereka harus bergerak dengan semangat ihsan. Saat harus berhenti, mereka berhenti di tempat dimana seharusnya berhenti. Di tempat berhentinya tersebut, mereka senantiasa mengevauasi diri kembali. Harus melakukan evaluasi yang dengannya ia akan membuat keputusan:”Tidak seharusnya aku berhenti di sini. Harusnya aku berhenti lima langkah lagi. Bahkan bukan lima langkah lagi, seharusnya aku berhenti sepuluh langkah ke depan lagi. Apa boleh buat. Aku hanya bisa melangkah sampai di sini. Aku tidak mampu memenuhi hak dari tugas ini.” Jika kita dapat melakukan ini, Allah Subhanahu wa ta’ala pun akan melimpahkan keberkahan universalNya kepada kita.  Cara kita bersikap yang demikian telah menemukan tanah suburnya, berkolaborasi dengan udara, bercampur dengan air dan layaknya benih yang merengkuh sinar matahari, merangkak ke puncak untuk bertunas dan berkecambah. Kalian akan melihat benih-benih itu ternyata sesuai dengan ungkapan Al-Quran, dimana satu benih menghasilkan tujuh untai, dan masing – masing untainya memberikan seratus bulir gandum. Ya Allah, anugerahkanlah karunia dan keberkahan universal yang seperti ini kepada kita semua yang berusaha mendedikasikan diri kami untuk melakukan pengabdian kepada agama!

Evaluasi

  1.  Apa saja empat tahapan supaya pekerjaan atau tugas yang kita lakukan menjadi sebuah berkah?
  2. Hak siapakah yang paling utama yang harus kita tunaikan? Mengapa dan apa saja hak tersebut?
  3. Ukuran apa saja yang diperlukan untuk menunaikan hak jiwa dan keluarga?
  4. Adakah hak diluar hak (Allah, nafsu diri dan keluarga) yang disebutkan diatas?
  5.  Bagaimana contoh sikap konsistensi para sahabat dalam menunaikan haknya hingga sampai kepada kita saat ini sebagai amanah sehingga mampu menjadikkannya sebuah keberkahan universal? Apakah kita sebagai seorang muslim yang mengemban amanah tersebut sudah mampu dan siap untuk menjalankannya?  

(Diterjemahkan dari artikel “Küllî Bereket ve Bire Yedi Yüz Veren Başaklar” dari buku Kırık Testi 11Yaşatma İdeali)



[1] HR Bukhari, Bab Adab, 86

[2] Lihat Muslim Kitab Fitnah 19, Tirmizi Kitab Fitnah 14, Abu Daud Kitab Fitnah 1

[3] HR Muslim Kitab Iman 78, HR Tirmizi Kitab Fitnah 11; HR Abu Daud Kitab Salat 239