Melahirkan Ilmuwan Pencinta Hakikat

Sepanjang sejarah, kaum muslimin tidak pernah mengalami masa seperti yang kita alami saat ini: anggota masyarakatnya tak memiliki cakrawala berpikir, tak memiliki idealisme, tercerai-berai, dan egois. Di mana-mana ada kumpulan manusia yang diabaikan begitu saja... masing-masing dari mereka pun akhirnya terpengaruhi oleh arus dan ideologi yang berbeda. Mehmet Akif dalam sebuah puisinya berkata,[1]

 

"Negeri yang tak bertuan memang layak tenggelam; 

Jika engkau menjaganya, negeri ini tidak akan tenggelam."

 

Sejauh ini kita masih belum bisa merawat negeri ini. Itu disebabkan karena para pemimpin tidak pernah peduli atau memikirkannya, dan sayangnya mereka masih tak mengindahkannya. Mereka tidak hanya mengabaikan kewajiban mereka terkait urusan ini, tetapi juga menganggap usaha dan kerja keras orang lain dalam urusan-urusan ini sebagai petualangan yang tidak memiliki urgensi atau tak lebih dari sebuah show belaka. Mereka mengaitkan inisiatif yang berasal dari kedermawanan anak-anak bangsa dengan alasan-alasan yang bahkan tidak dapat diterima oleh logika mereka sendiri. Mereka juga mengarang tuduhan serta fitnah yang sama sekali tidak berdasar tentang urusan ini. Melihat situasi saat ini, tidak mungkin untuk tidak merasa tertekan dan cemas. Ketika saya memikirkan kehancuran mengerikan yang sedang terjadi, detak jantung saya menjadi tidak teratur.   

 

Tak ada muslihat yang tak luput dari usaha mereka demi bisa mengubah dunia dan umat manusia. Di satu sisi mereka mempelajari alam semesta dan meraih capaian menakjubkan di bidang ilmu pengetahuan. Di sisi lain mereka menjadikan semua orang mulai dari Tanah Afrika hingga Timur Jauh[2] sebagai budak. Mereka telah mengasimilasi siapa saja yang bisa diasimilasi, menindas mereka yang bisa ditindas, mengeksploitasi mereka yang bisa dieksploitasi, dan memperbudak mereka yang bisa diperbudak. Namun, kita justru mengabaikan kekejaman dan keburukan yang terjadi. Bahkan sulit untuk mengatakan pertanyaan apakah dalam hati yang terdalam kita sepakat untuk menolak apa yang mereka lakukan? Kita begitu tenggelam dalam ketidakpedulian dan sikap acuh tak acuh sehingga asalkan api tidak membakar rumah kita sendiri, kita tetap tidak akan bereaksi. Pepatah 'Api membakar tempat di mana ia jatuh' seakan-akan telah menjadi cara hidup kita. 

 

Semua itu adalah pemikiran tak berdasar dari mereka yang berpikiran sempit. Mengapa kita menyebutnya tak berdasar? Itu karena pemikiran-pemikiran tersebut tidak berasal dari akar jiwa dan makna kita. Padahal seorang mukmin adalah seseorang yang ketika melihat ada api yang terjatuh maka ia juga turut merasakan dan terbakar olehnya. Peta iman seorang muslim secara khusus menggambarkan bahwa jika api membakar dunia nilai-nilai yang diyakininya, tak mungkin ia akan tetap diam dan tak bereaksi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: مَنْ لَمْ يَهْتَمَّ بِأَمْرِ الْمُسْلِمِينَ فَلَيْسَ مِنْهُمْ “Barangsiapa yang tidak peduli dengan urusan kaum Muslimin, maka ia bukanlah bagian dari mereka (HR Tabrani, Al-Mu’jamul Ausath 1/151, 7/270; Mustadrak Imam Hakim, 4/356).  

 

Qahtur Rijal قَحْطِ رِجال  (Kelangkaan orang yang cakap atau berkualitas)

Orang-orang pada periode sebelumnya menyebut kelangkaan orang-orang berkualitas dengan istilah qahtur rijal (dearth of right or able people). Inilah yang sedang terjadi di zaman kita. Orang-orang dengan visi yang luas tidak muncul. Jumlah jiwa-jiwa luhur yang mendedikasikan diri pada cita-cita mulia sangat sedikit. Ini karena tiadanya lingkungan budaya yang kondusif untuk membentuk orang-orang semacam ini. Untuk itu, pertama-tama, kita perlu mempersiapkan pondasi yang mendukung terwujudnya lingkungan tersebut. Tujuan utama Nizam Al-Mulk[3] membuka madrasah Nizamiyah pada masa Seljuk adalah untuk menghasilkan orang-orang berkualitas. Memang benar, dari madrasah-madrasah ini lahir banyak individu yang sangat berkualitas. Masa yang sangat produktif dan penuh berkah pun terwujud. Pada abad-abad berikutnya, orang-orang masih bersemangat mendedikasikan diri pada ilmu, penelitian, serta mempelajari perintah-perintah ilahi yang bersifat takwini dan tasyrii.[4] Namun, setelah berjalan beberapa waktu perkembangan ini kemudian terhenti. 

 

Di sisi lain, faktor-faktor eksternal seperti serangan Bangsa Mongol dan pecahnya Perang Salib dan kekacauan di internal kalangan muslim membuat Dunia Islam tak berhasil berdiri tegak dengan sokongan tulang punggungnya sendiri. Bahkan hingga saat ini, belum bisa dikatakan jika kita telah memiliki lingkungan ilmiah dan intelektual yang mampu mendidik dan melahirkan ilmuwan yang sanggup membaca kebutuhan zaman.      

 

Janganlah komentar ini disalahpahami. Kita tidak sedang meremehkan riset dan penelitian yang sedang berlangsung di berbagai disiplin ilmu belakangan ini. Namun, apa yang dikerjakan para ilmuwan ketika membuat temuan baru setelah melewati proses penelitian di bidang risetnya dengan melakukan usaha untuk memahami alam semesta dengan benar serta membangun hubungan yang diperlukan antara manusia, alam semesta, dan Sang Pencipta adalah dua hal yang berbeda. Yang kedua membutuhkan perlengkapan yang lebih rumit serta cakrawala paradigma yang lebih luas. Mendidik, membina, dan melahirkan insan-insan seperti ini tidaklah mudah. Meskipun kita pernah memiliki ribuan insan dengan kapasitas demikian pada abad-abad pertama Islam, tetapi sayang seiring berjalannya waktu jumlahnya terus menurun. 

 

Tugas kita adalah membangkitkan rasa ingin tahu dan semangat yang mendalam pada setiap insan, menanamkan cita-cita luhur kepada mereka, memberikan penghargaan atas keberhasilan yang dicapai, serta mempersiapkan landasan yang diperlukan supaya individu dengan kapasitas pengetahuan yang mumpuni dan berwawasan luas dapat dilahirkan. Kita harus mendidik dan melahirkan orang-orang yang menjalankan pekerjaan keilmuan dan intelektual mereka dengan semangat ibadah, yang percaya bahwa usaha tersebut akan mengantarkan mereka kepada keridaan Allah, kebersamaan dengan Rasulullah, dan diraihnya nikmat-nikmat ukhrawi, serta bertekad menjadikan dunia ini laksana surga ketika menjalankan upaya demi  mencapai tujuan tersebut.

 

Membaca Kembali Semua Keberadaan dengan Sudut Pandang yang Baru

Di sisi lain, jika bahasan ini hanya dilihat dari aspek material dan duniawi, dan semangat ilmu serta penelitian tidak dihubungkan dengan tujuan yang mulia, maka pada satu titik upaya yang dilakukan nantinya akan terhenti. Meskipun manusia bisa saja menganalisis hukum-hukum alam secara mendalam dan memahami hukum-hukum alam dengan sangat baik, tetapi jika usaha ini tidak mampu keluar dari batasan naturalisme dan positivisme, maka akan menyebabkan upaya pencarian hakikat tetap terbatas. Yang terpenting adalah bagaimana  kita berhasil membawa kecintaan pada ilmu menjadi transenden serta di waktu yang sama mampu memahami perintah syariah dan kauniyah. Keberhasilan kita menuju Allah subhanahu wa ta’ala bergantung pada hal tersebut. Jika Anda dapat membawa peta pemikiran Anda ke belantara lapang tersebut, maka di akhiat nanti Anda akan mendapatkan anugerah dan karunia yang tak terkira dari sisi Allah.

 

Seperti yang sering dibahas pada berbagai kesempatan, orang-orang Barat telah mencapai kemajuan yang signifikan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi berkat ketelatenan mereka mempelajari setiap benda dan peristiwa secara mendalam. Tidak mungkin untuk tidak mengapresiasi hasil kerja mereka. Namun, karena mereka tidak mengenal Allah dengan Zat-Nya, sifat-sifat-Nya, dan asma-Nya, mereka terjebak pada sebab belaka dan tidak mampu melampaui batas naturalisme. Sebagian orang, bahkan meletakkan dan mendudukkan sebab-sebab dan hikmah yang diciptakan sebagai tabir bagi keagungan dan kebesaran-Nya di atas arasy Allah - hasya wa kalla. Padahal, sebab-sebab mungkin tampak sebagai pelaku, tetapi pada kenyataannya, mereka bukanlah pelaku yang sebenarnya. Pelaku yang sebenarnya bukanlah mereka. Dia adalah Zat Yang Maha Agung, pemilik kekuatan, kehendak, dan keputusan yang tak terbatas, yang menciptakan, memberikan keberadaan, dan mempertahankan segala sesuatu beserta perbuatan-perbuatannya. 

 

Selama penelitian ilmiah tidak disentuh oleh tangan orang-orang beriman, ilmu pengetahuan tidak akan dapat lepas dari cengkeraman tangan besi naturalisme, positivisme, dan materialisme. Umat Muslim juga pada akhirnya akan terpaksa menerima logika ilmu pengetahuan yang dipaksakan kepada mereka atas nama kaidah ilmiah. Lebih dari itu, mereka juga akan mengajarkan logika ini kepada para siswa yang berada di bawah tanggung jawab pendidikan dan bimbingan mereka di lembaga-lembaga pendidikan tempat mereka mengajar. Laboratorium dan pusat penelitian yang mereka kelola pun akan beroperasi berdasarkan logika ini. Akibatnya, mereka tidak akan pernah bisa lepas dari taklid dan tidak akan mampu menjadi diri mereka sendiri.

 

Sayangnya, setelah abad kelima dari dimulainya peradaban Islam terjadi penurunan serius dalam kehidupan ilmu pengetahuan dan pemikiran. Pasca beberapa waktu, umat Muslim seakan-akan menjadi pengidap somnabulisme.[5] Pada abad ini, dapat dikatakan  bahwa kebangkitan sebagian telah terjadi. Di hadapan kita terlahir tokoh-tokoh besar seperti Elmalılı Hamdi Yazır, Ahmed Naim, Filibeli Ahmed Hilmi, dan Hazreti Bediüzzaman yang telah membuka cakrawala baru bagi cara berpikir kita dan mengajarkan metode-metode baru dalam menafsirkan eksistensi. Berdasarkan evaluasi tersebut, maka pada zaman ini terdapat kebutuhan mendesak akan adanya usaha-usaha mengungkap hakikat di balik tabir sebab, upaya untuk mengenal dan memahami Sang Pencipta segala sebab (Sang Musabbibul Asbab) dengan cara yang benar, menjelaskan tugas utama manusia dengan tepat, serta menetapkan hubungan antara manusia-eksistensi dan Tuhan secara benar. 

 

Dicapainya Makrifat Dipengaruhi oleh Apresiasi

Dicapainya poin-poin tersebut tersebut tergantung pada pembentukan atmosfer ilmiah yang memadai, pengarahan anak-anak manusia untuk menekuni ilmu pengetahuan, serta apresiasi atas raihan yang diraih. Sebenarnya, sebaik-baik hadiah adalah ilmu pengetahuan yang mengantarkan pada makrifat, makrifat yang mengantarkan pada mahabah, serta mahabah yang mengantarkan pada rida ilahi. Oleh karena itu, pertama-tama kita harus memperkenalkan tujuan-tujuan mulia tersebut kepada umat manusia. Meskipun demikian, apresiasi materi juga tak boleh diabaikan. Seperti yang sering dikatakan oleh kata-kata bijak, “capaian makrifat tergantung pada besarnya apresiasi”. Jika Anda mengapresiasi, mereka pun akan bersemangat menunjukkan capaian makrifatnya.  

 

Sebenarnya saya memiliki keberatan terhadap kata-kata bijak tersebut. Sebab hal yang lebih penting adalah skala apresiasi yang harusnya bergantung pada dimensi capaian makrifat. Maksudnya, semua usaha tidak boleh dilakukan karena adanya pamrih materi, melainkan harus dilakukan dengan harapan demi meraih rida ilahi. Namun, tidak semua orang memiliki kebijaksanaan pada level tersebut. Tidak semua orang memiliki tujuan seperti itu. Tidak semua orang merupakan salik[6] di jalan keridaan. Oleh karena itu, umat manusia harus dimotivasi untuk meneliti, mengkaji, dan melakukan giat produksi dengan tambahan tunjangan, insentif, pujian, dan penghargaan. Kita tidak boleh lupa bahwa mayoritas manusia membutuhkan rangsangan semangat dan dorongan motivasi. Jika interpretasi berikut tepat, maka dapat dikatakan bahwa orang-orang yang memiliki potensi harus diberikan energi dengan jalan memasangi mereka dinamo. Dengan demikian mereka dapat diisi ulang dan digerakkan."   

 

Apresiasi materi dan rohani memiliki posisi yang sangat penting agar pemikiran yang benar dan penarikan kesimpulan yang tepat bisa dihasilkan; ilmu dapat diwariskan ke generasi berikutnya dalam level yang lebih tinggi; membuka cakrawala baru dalam ilmu pengetahuan dan penelitian; serta mempersiapkan lingkungan berpikir yang lebih mendalam bagi generasi yang akan datang. Kita tidak akan bisa tiba di tempat tujuan dengan mengendarai pemikiran yang tergadai oleh ideologi-ideologi materi, sekularisme, dan egoisme. Yang terpenting adalah penanaman cita-cita mulia kepada umat manusia serta pemberian segala bentuk dukungan kepada mereka supaya bisa mewujudkannya. Jika Anda mempersiapkan lingkungan yang sesuai dengan kerangka ini dan menunaikan tanggung jawab Anda, generasi yang berwawasan luas, berkualitas, dan berkemampuan tinggi akan terlahir. Jika yang terjadi sebaliknya, maka kita tak akan mampu mencetak para ilmuwan yang mencintai hakikat serta terus stagnan di posisi kita saat ini.

 

[1] Diterjemahkan dari artikel: https://fgulen.com/tr/eserleri/kirik-testi/hakikat-asigi-ilim-adamlari-yetistirme 

 

[2] Dalam istilah Eropa, Timur Jauh (bahasa Inggris: Far East) adalah istilah yang digunakan untuk menunjuk wilayah Asia Timur, Rusia Timur Jauh, dan Asia Tenggara. 

 

[3]  adalah seorang wazir atau perdana menteri Kesultanan Seljuk dan cendekiawan keturunan Persia. Ia menjabat wazir pada masa pemerintahan Alp Arslan dan Malik Syah I. Pada masa Nizham al-Mulk inilah aliran Asy'ariyah menjadi kuat berkembang karena dijadikan aliran resmi negara. Pengajaran Imam Al-Ghazali mendapat dukungan penuh darinya. Ia menjabat sebagai wazir Seljuk Sultan Alp Arslan dan putranya Sultan Malik-Shah I selama 29 tahun.

 

[4]  Takwini adalah perintah Allah yang terdapat pada alam semesta. Melalui perintah ini, manusia diminta untuk membaca dengan tepat tanda-tanda kebesaran-Nya di alam semesta; menemukan, mempelajari, dan menjalankan hukum-hukum Allah yang terdapat di buku alam semesta. Perintah tasyri adalah perintah Allah yang dituangkan dalam hukum syariah. 

[5]Gangguan tidur berjalan atau somnabulisme (sleepwalking) adalah salah satu kondisi gangguan tidur di mana seseorang bangun dan berjalan saat sedang tidur

[6]  Salik adalah orang yang melakukan suluk, yaitu perjalanan spriritual.

Pin It
  • Dibuat oleh
Hak Cipta © 2024 Fethullah Gülen Situs Web. Seluruh isi materi yang ada dalam website ini sepenuhnya dilindungi undang-undang.
fgulen.com adalah website resmi Fethullah Gülen Hojaefendi.