Islam dan Menjadi Manusia Sebagai Sense Sebenarnya

Tugas Melakukan Irsyad dan Mulayamah

Tanya:  فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللَّهِ لِنتَ لَهُمْ  وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ "Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka.  Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu."[17] Bisakah Anda menjelaskan hubungan yang terdapat antara tugas melakukan irsyad dan mulayamah, dilihat dari sisi ayat ini?

Jawab: Ayat tersebut diturunkan pada saat Perang Uhud. Sebagaimana kita ketahui bahwa di Uhud telah terjadi sebuah kekalahan sementara, namun pada akhirnya berujung dengan sebuah kemenangan meski di awal  terjadi kekalahan yang bersifat nisbi dan qismi.

Sebelumnya mari kita lihat makna pendek dari ayat tersebut. Pertama, Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ ٱللَّهِ لِنتَ لَهُمْ . Jika huruf jar 'ba' dalam lafadz فَبِمَا kita maknai dengan mushabah (kedekatan) maka bisa dikatakan: "Kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka, adalah berkat rahmat, inayah, riayah, dan perlindungan Allah Subhanahu Wa Ta'ala." Dari sini kita fahami bahwa Allah Ta'ala memberitahukan Rasulul Akram Shallallahu Alaihi Wasallam berada dalam sebuah inayah dan riayah ilahi khusus. Allah telah menghancurkan kemungkinan adanya sebuah kekurangan apapun di benak manusia sejak awal mula.

Dalam hal ini, untuk bisa memahami posisi istimewa dan kekhususan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, mungkin kita perlu mengingat kembali perkataan Nabi Musa Alaihissalam dan Nabi Harun Alaihissalam dalam hal melakukan irsyad. Dalam bentuk ucapan "لِنتَ لَهُمْ " "Kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka" kepada Rasulullah, Allah Subhanahu Wa Ta'ala sejak awal telah mengingatkan kepada kita bahwa hal ini merupakan akhlaq mulia Beliau. Dalam bentuk yang sama Allah telah memerintahkan berlaku lemah lembut dengan firman, "فَقُولَا لَهُۥ قَوْلًا لَّيِّنًا" "Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut."[18] kepada Nabi Musa dan Harun Alaihimassalam.

Allah Ta'ala berfirman "وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ ٱلْقَلْبِ لَٱنفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ" "Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu," setelah memunculkan akhlaq Sulthanul Anbiya, ayat ini mengisyaratkan kepada kita bahwasanya kemuliaan dan ketinggian akhlaq dari junjungan kita Nabi Muhammad menjadi wasilah akan keindahan-keindahan lainnya.  Lalu setelahnya dengan firman, "فَٱعْفُ عَنْهُمْ وَٱسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى ٱلْأَمْرِ ""Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu" perintah-peritah untuk memaafkan, memohonkan ampunan bagi mereka, dan tidak meninggalkan musyawarah pun Allah turunkan.

Eliksir Pengubah Kekalahan Menjadi Kemenangan

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam telah melakukan musyawarah dengan para sahabat sebelum berangkat ke Uhud. Beliau bergerak lurus searah dengan pendapat-pendapat mereka demi tertanamnya pondasi kedisiplinan untuk bermusyawarah. Namun pada akhirnya tetap menghadapi sebuah kekalahan yang sementara. Meski begitu kita mengalami kehilangan yang serius dalam kekalahan sementara ini. Allah Subhanahu Wa Ta'ala, sebagai sebuah jawaban atas kemungkinan Rasulullah mengalami sebuah rasa marah di hadapan tablo yang seperti ini, Dia meminta Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam untuk memberikan ampuan dan maaf, melakukan istighfar untuk mereka, dan yang ketiga meminta beliau untuk melakukan sebuah musyawarah lagi dengan mereka berkenaan dengan hal-hal yang perlu dilakukan.

Memang pada waktu itu kaum Musyrik sedang kembali ke Mekkah sambil berlagak dan sombong dengan sebuah kemenangan. Sedangkan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam mengumpulkan para sahabat dan menganjurkan saran untuk mengikut orang-orang musyrik tersebut. Para sahabat pun menerima pendapat Beliau. Bahkan tidak ada satupun dari para sahabat yang ikut dalam perang Uhud itu mundur.[19] Dari tabel ini bisa dipahami bahwa betapa musyawarah itu menghasilkan sebuah hasil yang penuh berkah. Karena para Ashabul Kiram telah menyaksikan sebuah bencana yang mereka alami sebab perlakuan keras kepala meski itu kecil pada musyawarah yang telah dilakukan sebelum Perang Uhud. Bahkan mereka yang tidak mampu berjalan sekalipun tetap ikut mengejar pasukan orang musyrik, dengan bantuan bahu-bahu sahabat yang lain. Pada akhirnya mereka segera berhasil membentuk satu pasukan yang dapat meraih kemenangan -meskipun mereka adalah sebuah pasukan yang baru saja mendapatkan kekalahan-  dan mengusir orang-orang Mekkah sampai ke daerah Hamraul Asad.

Artinya, jika kita ingin menjadi sebuah pusat yang memiliki daya tarik di mata para pendengar, kita tidak boleh meninggalkan tavr-ı leyyin (perilaku lemah lembut), hal-i leyyin (hal lemah lembut), dan kavl-i leyyin (perkataan lemah lembut). Karena -sebagaimana yang telah diisyaratkan dalam ayat tersebut-  perilaku dan sikap yang tidak sopan dan kasar akan membuat orang-orang di sekeliling kita kabur.

Ada beberapa macam kekasaran dan kekakuan. Perkataan seorang khatib yang tidak cocok dan tepat, penyampaian kata-kata kepada khalayak tanpa mengatur suara, menganggat suara secara tidak teratur sebagaimana sebuah ungkapan yang kasar, mengkritik orang lain seolah meremehkannya, atau memalingkan punggung dan meninggalkan seseorang; semua itu adalah contoh-contoh sifat kasar. Semua hal itu adalah sikap dan perilaku yang dapat membuat orang-orang di sekeliling kita kabur.

Dalam hal ini, yang murni adalah akhlaq İlahi dan teladan dari para Anbiya' A'zam. Jika Allah Subhanahu Wa Ta'ala pun memerintahkan Nabi Musa dan Harun untuk menggunakan uslub yang lembut kepada Fir'aun yang menganggap dirinya sebagai tuhan, dan memuji dan menghargai Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam sebab sikap dan perkataan Beliau yang lembut, berarti ini adalah sebuah disiplin İlahi dasar yang perlu digunakan di setiap periode. Oleh karena itu orang-orang Mukmin, walau apapun yang terjadi, harus memperlakukan orang-orang di sekitarnya dengan mulayamah.

Batas Mulayamah Demi Sang Haq

Selain itu, mengambil sebuah sikap terhadap orang-orang yang selalu melakukan kesalahan dan kekhilafan yang sama tanpa punya rasa malu dan orang-orang yang sukar dikekang tidak mau menerima nasehat, adalah sebuah ungkapan meninggikan rasa hormat kita kepada Sang Haq. Jika kita perjelas lagi, orang yang mengulurkan tangannya pada segala hal tanpa memikirkan halal-haram suatu hal, orang yang terbiasa hidup layaknya bohemian, dan orang yang akan membahayakan orang lain dengan kondisi mereka yang seperti ini, mereka harus dinasehati dengan cara yang lembut. Jika mereka tidak mengerti akan hal ini, maka harus diambil sebuah sikap tertentu terhadap mereka. Seperti diketahui, وَعَلَى الثَّلَاثَةِ الَّذِينَ خُلِّفُوا حَتَّىٰ إِذَا ضَاقَتْ عَلَيْهِمُ الْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ وَضَاقَتْ عَلَيْهِمْ أَنفُسُهُمْ وَظَنُّوا أَن لَّا مَلْجَأَ مِنَ اللَّهِ إِلَّا إِلَيْهِ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ لِيَتُوبُوا  "Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka. Hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa merekapun telah sempit (pula terasa) oleh mereka. Serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja."[20] Adalah sebuah ayat yang diturunkan tentang tiga orang yang tidak berpartisipasi dalam Perang Tabuk.[21] Karena ada sebuah ujian yang sedang mereka jalani. Tidak terjadi sebuah perang di Perang Tabuk yang merupakan berkah rahmat dari Allah. Andai saja terjadi sebuah perang, maka mereka akan dianggap sebagai orang-orang yang kabur dari peperangan dan melakukan sebuah dosa yang besar. Oleh karena, setelah lima puluh hari Allah Ta'ala menganugerahkan ampunan kepada mereka sebagai ungkapan kasih sayangNya. Namun selama lima puluh hari ini Rasulullah Shallallau Alaihi Wasallam tidak berjumpa dengan mereka dan melarang para sahabat untuk menemui mereka. Karena mereka benar-benar tidak ikut berpartisipasi dalam sebuah perjalanan di jalan Allah. Pada hari itu pun orang-orang munafik tidak ikut dalam perang. Oleh karena itu orang-orang Mukmin yang tidak ikut dalam Perang Tabuk pun sementara waktu dipandang dalam kategori ini. Sikap yang seperti itu diambil terhadap mereka karena mereka telah menodai jalan. Tidak ada seorang pun mengucapkan salam kepada mereka. Tidak ada yang berbicara dengan mereka. Ya. Ini adalah sebuah sikap yang dilakukan demi meninggikan junjungan Sang Haq.

Pada dasarnya akhlak seorang Mukmin adalah mulayamah dan kelembutan. Mereka adalah orang-orang yang menjadi teladan kelembutan di setiap perkataan, sikap, dan perlakuan. Secara tidak langsung mereka akan mengajak orang-orang untuk datang kepada mereka. Setiap orang dan siapapun itu, seberapa banyak kelayakan perilaku baiknya, maka sebanyak perlakuan baiknya itu tidak perlu dikembalikan. Tentu saja, pada umumnya situasi semua orang akan berbeda. Namun menurut keistmewaan garis dimanapun seseorang berada, maka ia perlu mendapatkan perlakuan baik dari Anda. Dengan seorang pejuang hati, juga dengan seorang mukmin lain, dan dengan seseorang yang bergerak dalam garis yang lebih berbeda harus memiliki jalan-jalan dekat.

Satu-satunya Jalan Untuk Membangun Jembatan Hati

Ya. Seluruh manusia di dalam masyarakat harus bisa dicapai dengan menggunakan cara yang berbeda-beda. Dada kita harus lapang kepada siapapun. Sebenarnya, pada hal inilah dasar daripada dialog itu sendiri. Jalan untuk terhubung dengan orang-orang adalah perilaku lembut terhadap mereka. Yaitu dengan sikap hâl-i leyyin, tavr-ı leyyin dan kavl-i leyyin. Anda tanpa melakukan hal ini, tidak akan dapat menjelaskan pemikiran Anda dengan sempurna. Jika Anda ingin agar orang-orang memiliki nasib daripada penjelasan Anda baik secara keseluruhan ataupun sebagian, juga agar Anda mendapatkan simpati atau setidaknya mereka tidak berseberangan dengan Anda dan agar mereka menghalangi orang-orang yang bergerak secara berseberangan terhadap Anda, maka Anda harus membangun sebuah jembatan antara Anda dan mereka dengan kelembutan dan mulayamah, hingga mereka dapat mengenal Anda dengan benar.

Jika Anda ingin melakukan i'la'i kalimatullah, memperdengarkan Asma Mulia Nabi Muhammad kepada semua orang, memunculkan wajah cemerlang Agama İslam, dan menuangkan air sari dari akar-akar ruh dan maknawi kepada dada-dada semua orang, maka Anda harus melentangkan kedua tangan dan memeluk semua orang tanpa membedakan siapa pun. Untuk dapat menuangkan pikiran dan perasaan Anda ke dalam jiwa manusia, bahkan jika Anda perlu meletakkan kepala Anda di bawah kaki mereka sekali pun itu bukanlah suatu hal yang luar biasa. Karena hal ini merupakan perbuatan yang dilakukan demi Allah Ta'ala, demi Sang Kebanggaan Alam Semesta Shallallahu Alaihi Wasallam, demi orang-orang yang menghidupkan Agama Islam yang Haq.

Mari kita kembali ke topik utama, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam telah menunjukkan rahmat yang jelas dengan perkataan, sikap dan perilaku yang telah dicontohkan oleh beliau selama hidup. Ayat, وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ "Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam."[22] adalah isyarat akan hal ini.

Kita dapat melihat manifestasi beliau di berbagai sudut dari kehidupan beliau. Misalnya, Ketika Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam masuk ke Mekkah, beliau berkata seperti yang telah dikatakan Nabi Yusuf, قَالَ لَا تَثْرِيبَ عَلَيْكُمُ الْيَوْمَ يَغْفِرُ اللَّهُ لَكُمْ وَهُوَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ "Pada hari ini tak ada cercaan terhadap kamu, mudah-mudahan Allah mengampuni (kamu), dan Dia adalah Maha Penyayang diantara para penyayang".[23] kepada orang-orang yang telah melakukan segala macam hal buruk hingga hari itu, bahkan kepada orang-orang yang berusaha menghalangi beliau masuk ke Mekkah. Beliau telah menunjukkan titik paling tinggi dari mulayamah, pengampunan, kasih sayang, dan toleransi.[24]

Rahmat Yang Nyata

Efek dari mulayamah dan kelembutan yang telah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam suguhkan ini adalah sangat sempurna. Sebagaimana yang telah dikatakan dalam surat An-Nasr bahwa manusia berbondong-bondong untuk masuk Islam.[25] Jika permasalahan ini kita lihat sebagai sebuah peristiwa yang menjadi pengulangan sejarah di setiap periode, maka kita bisa mengatakan: Apapun yang menjadi faktor-faktor yang mempengaruhi umat manusia masuk ke dalam Islam di hari kemarin, maka esok pun faktor-faktor yang sama akan berpengaruh juga. Sebagaimana yang telah disampaikan oleh Ustadz Bediuzzaman Said Nursi, jika kita dapat menunjukkan akhlak Islam yang mulia dan hakikat-hakikat iman yang agung di dalam sikap dan perilaku kita, maka seluruh pengikut agama-agama yang ada akan masuk menjadi jamaah Agama Islam. Mungkin beberapa benua dari permukaan bumi pun akan masuk ke dalam Islam.[26]

Ya. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam adalah rahmat nyata yang sebenar-benarnya.  Tidak ada siapapun yang mampu mencapai makam dan kedudukan ini, jika dilihat dari keistimewaan yang dimiliki oleh Beliau. Tapi kedua mata kita harus selalu berada dalam cakrawala ini. Kita harus bisa memiliki sifat-sifat seperti yang Beliau miliki ini. Kita harus berdoa kepada Allah agar kita dapat memiliki kasih sayang dan rahmat seperti ini. Karena pada waktu yang sama hal ini merupakan sebuah perantara penting kita untuk meraih kasih sayang Allah Ta'ala. Karena dalam sebuah hadist Rasulullah bersabda, "Barangsiapa yang tidak mengasihi sesama manusia, maka Allah pun tidak akan mengasihinya!"[27] Di dalam hadist yang lain beliau bersabda, "Kasihilah segala sesuatu yang ada di bumi, niscaya ahli samawat pun akan mengasihimu!"[28]

Dalam hal ini, kedua mata orang-orang yang mengabdikan diri di jalan Allah hari ini harus selalu mengharapkan ufuk menjadi rahmat yang nyata dan selalu berjalan pada jalan ini. Seberapapun kemampuan yang dimiliki oleh mereka, selama mereka berada dalam kaidah untuk mencapai tujuan yang seperti ini, maka jalan yang sedang mereka tempuh akan bersama dengan Manusia Ufuk Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dan mencapai ma'iyyah-Nya.

(Diterjemahkan dari buku Kırk Testi, artikel berjudul ‘İrşad Mesleği Ve Mülâyemet’



[17] QS Al Imran, 03:159.

[18] QS. Thaha, 20:44.

[19] İbnu Hisyam, as-Siratun-nabawiyyah 4/52, İbnu Katsir, al-Bidâyah wan-Nihâyah 4/49.

[20] QS Taubah, 9/118.

[21] Bukhâri, maghâzi 79; Muslim, taubat 53.

[22] QS Al-Anbiya’, 21/106.

[23] QS. Yusuf, 12/92.

[24] An-Nasâî, as-Sünanul-kubrâ 6/382; al-Baihakî, as-Sunanul-kubrâ 9/118.

[25] QS. AnNasr, 110/2.

[26] Bediüzzaman, Tarihçe-i Hayat hlm 80 (Kehidupan Pertama).

[27] Bukhâri, adab 18; Muslim, fadhâil 65.

[28] Tirmizî, birr 16; Abû Dâud, adab 58.