Sarana Terkabulnya Doa: Salawat
Tanya: Apa urgensi bersalawat kepada Baginda Nabi? Benarkah pernyataan tentang “Doa yang dipanjatkan di antara dua salawat itu makbul?” [1]
Jawab: Selain hadis yang dibahas dalam pertanyaan, urgensi salawat kepada Baginda Nabi juga diperkuat oleh ayat Al-Qur’an: “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bersalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bersalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya” (QS Al Ahzab: 56).
Dalam banyak hadisnya, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menyampaikan bahwa ketika berdoa hendaknya kita mengirimkan salawat untuk beliau. Beliau juga menyampaikan bahwa salawat adalah sarana terkabulnya doa. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Tirmizi, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Janganlah engkau letakkan aku di posisi tempat minum hewan tunggangan seorang musafir. Kirimkanlah salawat untukku di awal, di tengah, dan di akhir doamu.” (HR Tirmizi Bab salawat 352)
Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Sayyidina Ubay bin Ka’ab r.a., Rasulullah bersabda agar ketika berdo’a seseorang hendaknya mengawali doanya dengan mengirimkan salawat untuk beliau (HR Tirmidzi Bab Da’awat 10). Di kesempatan berbeda, ketika Rasulullah didatangi seorang sahabat yang bercerita bahwasanya dia banyak mengirimkan salawat kepada Baginda Nabi, Beliau menyampaikan bahwa sahabat itu telah melakukan sebuah kebaikan dan memintanya untuk mengirimkan salawat lebih banyak lagi. Ketika seorang itu menambah jumlah salawatnya, Rasulullah pun terus memotivasinya agar membaca salawat lebih banyak lagi.
Demi menjalankan perintah ini, ketika Nama Mulia Baginda Nabi diagungkan, maka kita pun perlu menjawabnya dengan salawat dan kita harus senantiasa memujinya sebanyak mungkin. Leluhur kita telah menyajikan beragam contoh salawat indah sebagai pendamping ayat dan hadis untuk memotivasi kita agar banyak bersalawat. Kitab zikir seperti Dalailul Hayrat dan Dalailun Nur adalah karya penting yang berisi kumpulan contoh salawat yang penuh berkah. Ketika mempelajari karya tersebut, kita dapat menemukan bagaimana Baginda Nabi diingat dengan doa dan pujian paling komplit, mulai dari salawat Munjiyat hingga Misysyisyiyah, dari situ hingga ke Tibbul Qulub. Betapa banyak tokoh yang mengumpulkan beragam salawat dan salam hingga hari ini, disamping merangkum beragam jenis salawat, mereka juga menuliskan fadilah-fadilahnya.
Kata salawat menurut arti bahasa adalah doa. Dengan demikian, salawat yang dibacakan untuk Rasulullah di waktu yang sama juga merupakan doa untuknya. Sebagaimana disampaikan oleh seorang penyair Arab, “Setiap doa membutuhkah salawat dan salam sebagai sayap agar dapat diterima.” Sedangkan salawat, ia adalah sesuatu yang tidak membutuhkan sayap untuk bisa diterima. Dalam menyikapi hal ini, para ulama berkata: “Doa yang diawali dan di akhiri dengan salawat, dikarenakan ia diapit oleh dua doa yang makbul dan pasti diterima maka doa itu pun menjadi doa yang makbul.”
Doa adalah sebuah sir ubudiyah (rahasia penghambaan). Berkat doa, seorang manusia akan dengan jelas menyaksikan kebesaran, keagungan, dan kemuliaan Allah sebagai Sang Musabbibul Asbab yang menerima doa-doa di saat segala sebab diam membisu. Pada prinsipnya manusia dalam doanya meminta kepada Allah subhanahu wa ta'ala segala sesuatu yang berada di luar jangkauan akal, kemampuan, dan kehendaknya. Artinya, dalam doa-doa yang dipanjatkan kita seringkali meminta surga, keabadian di surga, musyahadah jamaliah-Nya, tawajuh Allah subhanahu wa ta'ala kepada kita, maiyah-Nya dalam membersamai kita, meminta-Nya untuk tidak meninggalkan kita, memint-Nya untuk tidak marah dan bermuamalah kepada kita sebagaimana Dia memperlakukan hamba-hamba kesayangan-Nya, serta kita mendukung doa-doa tersebut dengan salawat dan salam.
Dapat dipahami, salawat yang kita kirimkan kepada Baginda Nabi tetap memiliki posisi yang sangat penting, meskipun kita tidak memahami rahasianya dengan detail. Yang paling utama, apabila salawat yang dikirimkan kepada Rasulullah merupakan sarana yang mengantarkan manusia ke dalam keagungan syafaat Baginda Nabi, maka kepekaan manusia terhadapnya akan bermanfaat baginya. Allah juga memerintahkan kita untuk mencari sarana yang dapat mendekatkan diri kita kepada-Nya:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَٱبْتَغُوٓا۟ إِلَيْهِ ٱلْوَسِيلَةَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya...,” (QS Al Maidah 35)
Apabila salawat dan salam kepada Rasulullah merupakan sarana penting dalam pembahasan ini, maka hendaknya lisan manusia tak pernah lepas darinya. Segala jenis keterkaitan dengan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah suatu lutuf (anugerah Ilahi) yang istimewa bagi kita. Ini merupakan sesuatu yang amat penting.
Ya, segala jenis keterkaitan dengan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah suatu lutuf (anugerah Ilahi) yang istimewa bagi kita. Menghilangkan beberapa bagian darinya, untuk kemudian hanya melihatnya sebagai sosok yang memiliki tugas khusus lewat pesan yang diterimanya dari Allah subhanahu wa ta'ala, melucuti sosok Agungnya dengan standar pribadi kita berarti tak lain dan tak bukan merupakan kekurangan dari diri kita sendiri. Tidak Sayyidina Abu Bakar tidak pula Sayyidina Umar; mereka tidak memandang Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sebagai manusia yang hanya melaksanakan tugasnya semata untuk kemudian pergi setelah tugas itu usai. Berdasarkan riwayat dalam beberapa hadis sahih disampaikan bahwasanya Sayyidina Umar menggenggam tangan Sayyidina Abbas untuk kemudian berseru:”Ya Allah, ini adalah tangan paman dari Rasul-Mu” dan memohon agar diturunkan hujan; hujan pun seketika turun. Apabila Sayyidina Umar yang merupakan sosok manusia yang sangat logis saja melakukan hal itu sebagai wasilah, saya berpikir bahwa kita perlu mengevaluasi kembali definisi ifrat dan tafrit dalam pembahasan ini. Apalagi jika dilihat di posisi ini, bagaimana kita bisa menjelaskan perintah yang terdapat dalam Surat Al Ahzab ayat ke 56 “bersalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya“ tersebut? Bukankah ayat ini seakan turun untuk mereka yang menganggap Baginda Nabi shallallahu alaihi wasallam hanya semata-mata sebagai kurir belaka? Bagaimana mungkin ia bisa dijelaskan dalam aqidah Islam? Kesimpulannya, terdapat kewajiban pada diri kita untuk menghormati kemuliaan yang sudah diberikan Allah subhanahu wa ta'ala kepada Baginda Nabi shallallahu alaihi wasallam.
Semoga Allah tidak membuat kita alpa dari inayat sempurna-Nya. Semoga Allah menjadikan kita sebagai penerjemah dari kebenaran, keindahan, dan kebaikan. Semoga Allah menjadikan kita siap untuk menghayati Rasulullah bukan dengan perspektif sempit kita sendiri, melainkan dengan keagungan posisinya di sisi Allah subhanahu wa ta'ala. Wa shallallahu ala Sayyidina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam.
[1] Diterjemahkan dari: https://fgulen.com/tr/eserleri/kursu-akademi-yazilari/2003-kursuleri/duanin-kabulune-vesile-salavat
- Dibuat oleh