Hubungan Qadha’ dan Takdir dari Segi Ilmu Allah Swt.

Hubungan Qadha’ dan Takdir dari Segi Ilmu Allah Swt.

Masalah ini sebaiknya kita awali dengan menukilkan salah satu sabda Nabi Saw. berikut ini, "Tidak seorang pun di antara kalian yang hidup, kecuali telah ditulis oleh Allah tempat akhirnya di surga, atau di neraka."[1]

Dengan kalimat lain dapat dijelaskan di sini, bahwa Allah Swt. telah mengetahui tempat akhir setiap hasil ciptaan- Nya, bahkan jauh sebelum mereka itu diciptakan-Nya.

Selanjutnya marilah kita bicarakan hubungan antara qadha’ dan takdir menurut ilmu azali. Sesungguhnya hanya Allah Swt. satu-satunya Dzat Yang Maha Mengetahui tentang segala sesuatu, dan telah menakdirkan semuanya sesuai dengan ilmu-Nya yang dapat meliputi segala sesuatu yang diciptakan oleh-Nya. Telah tersedia berbagai perkara yang telah ditetapkan oleh Allah Swt. kepada kita melalui Al-Qur’an yang mulia, meski sesungguhnya harus diakui bahwa kita kurang mempedulikannya. Meskipun demikian, Allah Swt. tetap memutuskan ketetapan-Nya demi untuk kebaikan umat manusia.

Jadi, apa saja yang telah ditakdirkan oleh Allah Swt. tidak terlepas dari adanya hikmah di balik takdir-Nya itu. Sebab, ilmu Allah Swt. dapat meliputi segala sesuatu, demikian pula dengan kebijaksanaan-Nya yang juga dapat meliputi segala sesuatu. Sehingga tidak sesuatu apa pun yang mampu terlepas dari pengawasan ilmu dan kebijaksanaan Allah Swt..

Segala yang telah ditetapkan oleh Allah Swt. dalam takdir-Nya pasti mengandung hikmah tertentu yang tidak diketahui oleh para hamba-Nya. Bahkan kebanyakan dari hamba-Nya tidak senang dengan sebagian dari ketetapan Allah Swt. tersebut bagi diri mereka. Maklum, karena manusia tidak mengetahui dampak positif yang berada di balik takdir Allah itu. Padahal, jika manusia mengerti kandungan bernilai positif yang tersimpan di balik dampak yang terjadi dan terdapat dalam takdir Allah itu, maka pasti mereka akan merasa sedikit lega. Sebaliknya, jika Allah Swt. melarang kita berbuat keburukan, karena Allah Maha Mengetahui dampak negatifnya bagi diri kita. Adapun firman Allah Swt. yang menerangkan tentang masalah tersebut adalah sebagai berikut, "Diwajibkan atas kalian berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang tidak kalian sukai. Boleh jadi kalian membenci sesuatu, padahal ia amat baik dampaknya bagi diri kalian. Dan boleh jadi pula kalian menyukai sesuatu, padahal amat buruk dampaknya bagi kalian; Allah Maha Mengetahui, sedangkan kalian tidak mengetahui," (QS Al-Baqarah [2]: 216).

Maksud dari firman Allah Swt. di atas adalah, tersedia sejumlah kebaikan yang tidak diketahui oleh sebagian orang, sehingga mereka membencinya. Misalnya, Allah Swt. mewajibkan seorang Mu’min berwudhu’, meskipun udara sangat dingin. Atau, ketika Allah Swt. memerintahkan setiap Mu’min menuju masjid untuk mendirikan shalat berjama’ah, meskipun jaraknya jauh dan menunggu shalat yang satu setelah shalat yang sebelumnya. Tampaknya masalah-masalah seperti itu sangat memberatkan bagi sebagian manusia, sehingga banyak orang yang tidak menyenanginya. Akan tetapi, di balik segala kesulitan itu ada langkah-langkah yang memperdekat seorang hamba menuju ke surga dengan diliputi oleh rahmat Allah Swt.. Selain itu, ada pula beberapa masalah yang cukup disenangi oleh kebanyakan orang, akan tetapi Allah Swt. justru melarang hamba-Nya untuk melakukannya. Sebab, masalah-masalah yang dilarang itu akan menyebabkan seseorang terjerumus ke dalam siksa api neraka, dan dijauhkan dari rahmat Allah Swt. sedikit demi sedikit.

Diriwayatkan, bahwa sahabat ‘Umar Ibnul Khaththab ra. pernah mengatakan, ‚Aku tidak peduli keadaan apa pun yang bakal menimpa pada diriku, apakah yang menyenangkan ataukah justru menyusahkan aku. Sebab, aku tidak menegetahui apa pun yang baik ataupun yang buruk bagi diriku.‛[2]

Dengan bahasa lain dapat dikatakan, bahwa setiap Mu’min harus tunduk kepada qadha’ dan takdir dari Allah Swt.. Mereka tidak perlu merasa risau atas hikmah di balik apa saja yang telah ditakdirkan oleh Allah Swt. bagi diri mereka. Setiap Mu’min diperbolehkan berusaha mendapat kebaikan semampunya, dengan niatan yang baik pula tentunya. Akan tetapi, jangan sampai ia tertipu oleh pandangan secara zhahir dari jenis perintah maupun larangan yang berlaku. Sebaiknya kita bersikap pasrah (tawakal) sepenuhnya kepada ketetapan Allah Swt. bagi kita dalam setiap rangkaian akhir dari usaha maksimal yang telah kita lakukan.

Adapun contoh yang terbaik dalam masalah ini adalah, kisah di seputar perjanjian al-Hudaibiyyah. Yaitu, pada saat terjadinya perjanjian dimaksud, mayoritas umat Islam kala itu menangkap kesan seolah posisi mereka tengah dipaksa oleh kaum musyrik Quraisy untuk menerima suatu perjanjian yang terlihat merugikan kubu umat Islam. Sehingga sebagian besar sahabat Nabi merasa keberatan untuk menerimanya. Akan tetapi, Nabi Saw. mau menerimanya dengan baik, sehingga dampak positifnya diterima oleh umat Islam kemudian, seperti yang disebutkan dalam Al-Qur’an.

Secara lahiriah, dalam perjanjian al-Hudaibiyyah umat Islam terkesan dirugikan oleh kaum musyrik. Padahal, pada waktu yang bersamaan para sahabat Nabi telah rela dan bersiap untuk berperang demi melawan kehendak kaum musyrik Quraisy. Sebab, mereka ingin berthawaf diseputar Ka’bah waktu itu, akan tetapi dihalang-halangi oleh pasukan musyrikin Quraisy.

Meskipun umat Islam sudah menunggu bertahun-tahun untuk dapat melaksanakan thawaf di seputar Ka’bah, namun nyatanya mereka dihalangi oleh pasukan kaum Quraisy. Bahkan lebih dari itu, mereka telah berada di dekat kota Makkah dan mereka ingin sekali diizinkan untuk berthawaf di Ka’bah, akan tetapi dihalang-halangi dengan keras. Yang lebih membuat mereka (para sahabat) merasa heran, dalam perjanjian itu disebutkan satu klausul bahwa siapa saja dari kaum musyrik yang masuk Islam pada saat itu, maka ia harus diserahkan kembali pada keluarganya yang masih musyrik. Sehingga seluruh isi dari perjanjian al-Hudaibiyyah itu dirasa sangat mengecewakan perasaan para sahabat. Akan tetapi, Nabi Saw. justru mau menerimanya dengan lapang dada, meskipun sebagian besar para sahabat merasa kecewa dibuatnya. Pada saat itu, ‘Umar Ibnul Khaththab ra. termasuk yang merasa sangat kecewa karena Nabi mau menerima isi perjanjian al- Hudaibiyyah yang tampaknya sangat merugikan umat Islam. Namun, setelah ia mengetahui dampak positif yang diterima oleh umat Islam melalui perjanjian yang dianggap merugikan umat Islam itu, maka ‘Umar tidak henti-hentinya mohon ampun kepada Allah Swt. untuk menebus segala dosa atas perasaannya ketika itu.

Ternyata, perjanjian al-Hudaibiyyah yang dinilai sangat mengecewakan umat Islam merupakan titik kemenangan tersendiri bagi kaum Muslim secara keseluruhan. Sebab, kaum musyrik Quraisy yang dahulunya tidak menghargai umat Islam sedikit pun, pasca perjanjian itu mereka mau mengadakan perjanjian damai lanjutan dengan umat Islam, asalkan umat Islam mau menunda keinginan ibadah ‘umrah mereka pada tahun depan. Hingga, dengan cara itu pula dapat kita simpulkan bahwa Ka’bah bukan menjadi milik penduduk Makkah saja. Dampak positif yang bisa dipetik dari adanya perjanjian itu menimbulkan semangat Kabilah-kabilah Arab yang lain untuk ikut berthawaf di seputar Ka’bah. Selain itu, di balik perjanjian al-Hudaibiyyah terselip kebaikan tertentu bagi umat Islam untuk menyebarkan agama ini secara luas ke berbagai wilayah. Karena telah disepakati oleh kaum musyrik Quraisy dan umat Islam untuk tidak saling menyerang selama sepuluh tahun ke depan, maka dengan cara itu semakin banyak Kabilah Arab yang berdatangan ke Madinah untuk menyatakan keislaman mereka, setelah mereka menerima dakwah Islam secara gamblang. Alhasil, perjanjian al-Hudaibiyyah benar-benar memberi keuntungan yang sangat besar bagi umat Islam.[3]

Ada contoh lain yang tampaknya menyedihkan bagi Nabi Yusuf as., akan tetapi di balik itu semua tersimpan kebaikan atau kejayaan bagi diri beliau, saudara-saudara, dan ayah ibu beliau. Awal kisah dimulai ketika terselip perasaan cemburu di sanubari saudara-saudara beliau yang berlainan ibu dengan Nabi Allah Yusuf dan saudara beliau (Bunyamin), sehingga kasih sayang Nabi Allah Ya’qub as., sang ayah, sangat berlebihan terhadap kedua putranya yang masih sangat kecil itu. Sampai pada suatu hari saudara-saudara Nabi Allah Yusuf bersepakat ingin menyingkirkan Yusuf atau membuanganya di sebuah sumur. Singkat kisah, mereka minta izin dari sang ayah untuk membawa Yusuf bermain-main dengan mereka. Setelah diberi izin, maka Yusuf diajak oleh mereka ke suatu tempat, kemudian ia dimasukkan ke dalam sebuah sumur. Dan mereka kembali ke rumah orangtua mereka sambil berpura-pura menangis seraya mengatakan, ‚Wahai ayah kami, sesungguhnya kami meninggalkan Yusuf ketika kami tengah bermain-main, akan tetapi tiba-tiba Yusuf diterkam oleh seekor srigala. Tentunya engkau tidak akan percaya kepada kami walaupun kami berkata yang benar.‛

Mereka membawa pakaian Yusuf yang telah dilumuri dengan darah seekor domba yang disembelih di atas pakaian Yusuf. Alhasil, Nabi Allah Yusuf telah dijauhkan dari sisi sang ayah, sehingga sang ayah menjadi sangat sedih karena berpisah dari Yusuf. Akan tetapi, di balik cobaan yang tengah dihadapi oleh Nabi Allah Yusuf pada masa kecil beliau menyebabkan diri Yusuf kecil tumbuh menjadi seorang pembesar yang sangat terkenal di negeri Mesir.

Demikian pula kisah Nabi Allah Muhammad Saw. yang pada saat itu mengalami berbagai intimidasi dan penyiksaan dari kaum musyrik Quraisy. Sehingga persahabatan beliau dan mereka sebelum menjadi Rasul yang berjalan cukup baik tidak dapat menyelamatkan beliau dari berbagai penindasan. Belum lagi, pada saat Muhammad Saw. mengalami berbagai bentuk penyiksaan, beliau mendapat kesusahan yang lebih berat, yaitu wafatnya Sayyidah Khadijah ra., istri tercinta beliau, dan diikuti kemudian dengan meninggal dunianya Abu Thalib paman beliau yang senantiasa melindungi beliau dari ancaman para pembesar Quraisy. Sehingga beliau Saw. tidak mendapat pembelaan dari siapa pun; terlebih lagi pada saat beliau harus menerima perlakuan tidak manusiawi dari penduduk kota Thaif yang sangat menentang ajaran yang beliau sampaikan.[4]

Pada saat yang sangat kritis seperti itu, tiba-tiba datanglah undangan dari Allah Swt. untuk Isra’ dan Mi’raj. Kejadian tersebut merupakan kehormatan tersendiri bagi beliau atas kesabaran yang terpupuk dengan baik pada saat menghadapi tantangan seluruh kaumnya di kota Makkah. Pada saat itu, beliau Saw. diperjalankan naik ke langit seorang diri. Karena, malaikat Jibril as. yang mendampingi beliau tidak diperkenankan naik ke langit bersama beliau. Sehingga malaikat Jibril harus berhenti sampai di suatu batas tertentu di langit sana. Allahu a’lam.[5]

Demikian pula ketika Nabi Allah Musa as. diuji oleh Allah Swt., sejak usia balita beliau telah dipisahkan dari ibunda tercinta, saat sang ibu meletakkan beliau di sebuah keranjang dan menghanyutkan beliau di sungai Nil. Kemudian Nabi Musa as. dimasukkan ke dalam istana Fir’aun yang kelak bakal menjadi musuh utama beliau yang paling besar. Selama hidup di istana Fir’aun, Nabi Allah Musa as. hidup bagaikan orang asing. Sebab, beliau berada jauh dari keluarga sesungguhnya.[6] Sampai pada suatu ketika beliau menempeleng seorang bangsa Mesir sampai terjatuh dan mendapati ajalnya, sehingga beliau dikejar-kejar oleh Fir’aun dan bala tentaranya untuk dihukum mati. Akan tetapi, di balik semua kepahitan peristiwa tersebut terselip kebaikan yang menyebabkan Nabi Musa as. menjadi seorang Rasul Allah yang mulia, terhormat, dan termasuk salah seorag Nabi yang bergelar Ulul Azmi.

Mari kita lihat pula kisah perjalanan hidup Nabi Allah ‘Isa al-Masih as., bagaimana ketika beliau diangkat ke langit? Bukankah beliau telah dipersiapkan untuk disalib setelah mengalami berbagai penderitaan dan tekanan dari Bani Isra’il yang menolak seruan beliau menuju tauhid? Akan tetapi, berkat rahmat Allah Swt., beliau diselamatkan ke langit, sebagaimana ketika beliau dilahirkan dengan cara yang tidak biasa menurut takaran manusia pada umumnya. Yaitu, beliau dilahirkan tanpa seorang ayah, demikian pula ketika beliau diangkat ke langit,[7] semua itu dilakukan oleh Allah Swt. melalui mukjizat-Nya Yang Mahabesar. Kisah serupa telah dialami pula oleh Nabi Allah Muhammad Saw. kelak. Allah Swt. telah menjadikan berbagai macam kebaikan bagi mereka, setelah mereka mengalami berbagai bentuk tekanan dari kaum mereka masing-masing. Allah Swt. telah memberikan kepada mereka kemenangan setelah mereka melalui berbagai macam kejadian mengerikan yang secara lahiriah sungguh sangat menyakitkan.

Kesimpulan yang bisa kita petik adalah, setiap kejadian pada awal dan akhirnya terbentuk berdasarkan atas ilmu dan takdir Allah Swt.. Sedangkan di balik semua peristiwa dimaksud terdapat berbagai kandungan rahasia yang hanya diketahui oleh Allah Swt. semata. Allah Swt. adalah Dzat yang awal dan yang akhir, yang lahir serta batin. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu tentang alam semesta hasil ciptaan-Nya. Takdir hanyalah ketetapan yang mengandung berbagai rahasia, dan takdir adalah catatan Allah Swt. di Lauh al-Mahfuzh.

[1] Diriwayatkan oleh Imam Muslim, pada bahasan mengenai al-Qadaru, hadis nomor 7.
[2] Lihat lebih lanjut penjelasannya dalam kitab az-Zuhd, karya Ibnu al-Mubarak, halaman 143.
[3] Lihat lebih lanjut seputar kisah lengkapnya dalam al-Bidâyah wa al-Nihâyah, karya Imam al-Hafizh Ibnu Katsir Rahimahullâh, Jilid 4, halaman 188-202.
[4] Lihat lebih lanjut seputar kisah lengkapnya dalam al-Bidâyah wa al-Nihâyah, karya Imam al-Hafizh Ibnu Katsir Rahimahullâh, Jilid 3, halaman 151-166.
[5] Lihat lebih lanjut seputar kisah lengkapnya dalam al-Bidâyah wa al-Nihâyah, karya Imam al-Hafizh Ibnu Katsir Rahimahullâh, Jilid 3, halaman 135-145. Malaikat Jibril ‘Alaihissalâm menyampaikan kepada Rasulullah Saw. bahwa tugas mengantarkan beliau hanya berhenti di tempat tersebut, dan tidak tersedia kewenangan untuk melakukan yang lebih dari itu. Lihat lebih lanjut dalam Tafsîr al-Mîzân karya Imam al-Thabathaba’i, Jilid 13,halaman 18.
[6] Lihat lebih lanjut dalam surah Al-Qashash [28] ayat 1-35.
[7] Lihat lebih lanjut dalam surah Al-Nisâ’ [4] ayat 158.