Takdir Menurut Al-Qur’an dan Al-Sunnah

Takdir Menurut Al-Qur’an dan Al-Sunnah

Berdasar pada keyakinan Ahlu Sunnah wal Jama’ah, seseorang tidak dapat mengenal takdir dengan baik jika ia tidak berpedoman kepada petunjuk yang bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Jika seseorang mendasarkan pengertiannya tentang takdir tanpa sandaran dari Al-Qur’an dan Al-Sunnah, maka pemahamannya itu akan menyimpangkan dirinya menuju pemahaman kaum Mu’tazilah maupun kaum Jabbariyyah. Oleh karena itu, dalam kesempatan yang sangat penting ini kami berusaha sekuat tenaga untuk mengambil kesimpulan tentang makna takdir berdasarkan firman-firman Allah Swt. dan hadis-hadis yang shahîh, seperti yang dituangkan oleh Allah dalam firman-Nya berikut ini, "Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi, dan tidak pula pada diri kalian sendiri, melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh al- Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah," (QS Al-Hadîd [57]: 22).

Maksudnya, apa saja yang telah terjadi di permukaan bumi ini telah ditulis oleh Allah dalam kitab-Nya yang tersimpan rapi di Lauh al-Mahfuzh, bahkan sebelum terjadi ataupun sebelum diciptakannya. Jadi, semua itu telah digariskan oleh Allah Swt. dalam ketetapan-Nya. Pemahaman kelompok yang mengakui bahwa setiap kejadian merupakan takdir yang disandarkan hanya kepada Allah Swt. adalah kelompok yang keimanan mereka sangat sempurna. Adapun kelompok lain yang tidak beranggapan seperti itu, maka mereka adalah kelompok yang menyimpang dan tersesat dari jalan-Nya.

Kalau di atas telah kami sebutkan firman Allah Swt. tentang pengertian takdir, maka di bawah ini kami nukilkan pula sebagian dari hadis yang menafsirkan firman Allah di atas. Di antaranya, Diriwayatkan oleh ‘Abdullâh bin ‘Amru bin al-Âsh ra., bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda, "Allah telah menuliskan berbagai ketetapan atas makhluk-Nya lima puluh ribu tahun sebelum diciptakannya langit dan bumi. Dan pada saat itu, ‘Arsy Allah berada di atas air."[1]

Sebenarnya kami tidak mengetahui seberapa jauh jarak lima puluh ribu tahun yang disebutkan dalam hadis di atas, apakah perhitungan itu didasarkan dengan masa lima puluh ribu tahun di dunia, ataukah lima puluh ribu juta tahun, atau jumlah itu hanyalah kiasan jarak yang jauhnya antara dituliskannya ketetapan Allah Swt. terhadap makhluk-makhluk-Nya dengan diciptakannya langit beserta bumi. Mungkin juga Allah Swt. telah menetapkan berbagai macam kejadian yang akan berlaku jauh-jauh hari sebelum terjadinya.

Adapun arti makna kata yang disebutkan dalam hadis di atas mungkin berasal dari kata al-‘Amâ-u [2] اَلْ مََْا yang berarti awan, atau berasal dari kata al-Atsîru ( اَلْأَثِيْػرُ ) yang berarti asal segala sesuatu atau atom (molekul). Kami tidak mengetahui hakikat sebenarnya tentang unsur yang dimaksud --Allâhu a’lam--. Sebab, pada waktu itu kami dan ayah kami Nabi Adam as. belum tercipta sama sekali. Bahkan alam semesta pun belum tercipta.

Riwayat berikutnya adalah, Sahabat ‘Ubadah bin al-Shamit ra. menegaskan arti kata Iman atas takdir Allah Swt. kepada putranya sebagi berikut, "Wahai putraku, sebenarnya engkau tidak dapat merasakan lezatnya hakikat keimanan, sampai engkau mampu meyakini bahwa musibah apa pun yang telah ditetapkan bagimu pasti tidak akan meleset darimu sedikit pun. Demikian pula musibah apa pun yang ditetapkan tidak akan terkena bagimu pasti tidak akan terkena bagimu sedikit pun. Karena, aku pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda, ‘Sesungguhnya yang pertama kali diciptakan oleh Allah Swt. adalah al-Qalam atau pena, kemudian dikatakan kepadanya, tulislah! Kata al-Qalam atau pena, apa yang harus aku tulis, wahai Rabbku? Firman Allah, tulislah berbagai ketetapan-Ku yang Aku gariskan bagi segala sesuatu, hingga datangnya Hari Kiamat.’ Selanjutnya ‘Ubadah bin ash-Shamit berkata, wahai putraku, aku juga pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda, ‘Siapa pun yang meninggal dunia dengan tidak mempunyai keyakinan seperti ini, maka ia bukan termasuk golonganku.’"[3]

Hadis berikutnya diriwayatkan oleh ‘Abdullâh bin ‘Abbas ra., dan ini sangat besar nilainya berkenaan dengan persoalan takdir. Sebab, hadis ini menafsirkan tentang makna serta penjelasan dari ayat di atas. Adapun hadisnya adalah sebagai berikut, Ibnu ‘Abbas ra. pernah mengatakan, "Pada suatu hari, aku pernah membonceng di belakang keledai Rasulullah Saw.. Pada saat itu, beliau bersabda kepadaku, ‘Wahai anak muda, aku akan mengajari engkau beberapa petunjuk, maka perhatikan baik-baik. Jagalah Allah baik-baik, pasti engkau akan dijaga oleh Allah. Jagalah Allah baik-baik, pasti engkau akan mendapati Allah senantiasa ada di hadapanmu. Jika engkau memohon sesuatu, maka mohonlah kepada Allah. Jika engkau memohon pertolongan terhadap sesuatu, maka ajukanlah permohonanmu itu hanya kepada Allah semata. Ketahuilah, bahwa jika semua orang berkumpul dan bersepakat akan memberi kebaikan kepada dirimu, maka kebaikan itu tidak akan pernah sampai kepadamu sedikit pun, kecuali apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagimu. Dan ketahuilah pula, bahwa jika semua manusia berkumpul serta bersepakat untuk memberimu keburukan, maka keburukan itu tidak sampai kepadamu sedikit pun, kecuali apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagimu. Ketahuilah, bahwa semua tulisan telah dicatat dengan rapi, dan penanya telah diangkat serta tulisannya telah mengering."[4]

Makna hadis di atas adalah, berikan hak atas seluruh perintah Allah Swt., agar engkau mendatangkan kebaikan kepada pihak lain yang dapat pula memberimu kebaikan. Jika engkau memerlukan sesuatu, maka janganlah engkau memintanya kepada seorang pun, selain kepada Allah Swt.. Janganlah engkau merendah diri karena berharap kepada seorang, akan tetapi rendahkan dirimu hanya kepada Allah Swt.. Sebab, segala kebutuhanmu hanya akan dipenuhi oleh Allah Swt., dan hanya Dia yang dapat mengabulkannya. Alhasil, jika engkau membutuhkan sesuatu, maka ajukan permohonanmu itu hanya kepada Allah Swt. semata. Jika engkau mengajukan permohonanmu itu kepada selain Allah Swt., mungkin akan berakibat tidak baik bagimu. Sebab, yang dapat mengabulkan kebutuhanmu hanyalah Allah Swt. semata.

Oleh karena itu, janganlah engkau menyelipkan perantara yang terselip di antara engkau dengan Allah Swt. sedikit pun. Sebaliknya, ajukan semua harapanmu hanya kepada Allah Swt., karena selain Allah adalah makhluk yang sama lemahnya dengan dirimu. Sedangkan pemegang kekuasaan langit maupun bumi hanya berada pada sisi Allah Swt.. Bahkan, jika semua manusia ingin memberimu kebaikan, maka kebaikan itu tidak akan sampai kepada dirimu, kecuali apa yang telah ditetapkan oleh Allah Swt. bagi dirimu. Demikian pula jika semua orang bersepakat untuk mencederai engkau, maka semua tidak akan terjadi bagimu, kecuali apa yang telah ditetapkan oleh Allah Swt. bagimu. Karena, ketetapan yang telah digariskan oleh Allah Swt. dalam kitab yang tersimpan di Lauh al-Mahfuzh telah kering tintanya, dan penanya telah diangkat, sehingga tidak dapat diubah oleh siapa pun.

Hadis di atas sengaja disampaikan oleh Rasulullah Saw. kepada ‘Abdullâh bin ‘Abbas ra., karena ia adalah seorang pemuda yang sangat cerdas di kalangan umat Islam pada saat itu, sehingga ia akan dapat memahami masalah takdir dengan baik.

Demikianlah hendaknya setiap orang memahami masalah takdir dengan baik. Sebab, masalah takdir ini sangat bertalian dengan persoalan keyakinan, hingga setiap orang cenderung mempercayainya menurut keyakinan masingmasing. Oleh karena itu, Rasulullah Saw. banyak menjelaskan mengenai masalah takdir ini dalam sabda-sabda beliau, sehingga masalah tersebut dapat kita pelajari dari sabda-sabda beliau yang tersimpan dalam berbagai kitab hadis yang shahîh.

Kaum Majusi juga meyakini adanya dua kekuatan yang saling mempengaruhi, yaitu; kekuatan kebaikan dan kekuatan keburukan. Menurut mereka, jika kekuatan kebaikan yang menang, niscaya manusia akan berpihak kepada kebaikan. Jika kekuatan keburukan yang menang, maka manusia akan berpihak kepada keburukan. Akidah Islam sangat berbeda dengan akidah kaum Majusi. Islam hanya percaya bahwa semua kejadian di alam semesta ini telah ditakdirkan oleh Allah Swt. semata, bukan yang lain. Sebab, yang berwenang menentukan segala sesuatu hanyalah Allah Swt. semata, bukan yang lain.

Hakikat keyakinan di atas kami pahami dari lafazh dzikir yang dibaca pada setiap pagi maupun petang, yaitu kalimat berikut ini "Tidak ada Tuhan selain Allah Yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya, hanya bagi-Nya segala kerajaan serta pujian, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu."[5]

Berdasarkan hadis di atas kita seharusnya meyakini, bahwa hanya Allah Swt. Rabb kita. Dia Mahaahad dan tiada sekutu bagi-Nya.

Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib ra. pernah meriwayatkan sebuah hadis berikut ini, ‚Ketika kami mengantar jenazah seorang sahabat di pekuburan Baqi’ al-Gharqad, tiba-tiba Rasulullah Saw. datang kepada kami, kemudian beliau duduk dan kami pun duduk bersama beliau. Pada saat itu, beliau memegang sebuah kayu (tongkat), kemudian beliau menggali tanah dengan kayu tersebut, seraya berkata, ‘Tidak seorang pun di antara kalian yang bernafas, kecuali telah ditetapkan kedudukannya di dalam surga atau neraka, dan telah ditetapkan baginya sebagai orang yang celaka atau sebagai orang yang selamat.’ Mendengar ucapan Nabi tersebut, seorang sahabat mengajukan pertanyaan, ‘Ya Rasulullah, apakah sebaiknya kami menyerah kepada ketetapan takdir yang telah digariskan bagi kami, tanpa beramal sedikit pun?’ Beliau Saw. menjawab, ‘Siapa pun yang telah ditetapkan sebagai seorang yang akan mendapatkan kebahagiaan, maka ia akan beramal menurut amalan orang-orang yang ditetapkan akan mendapatkan kebahagiaan. Dan siapa saja yang ditetapkan sebagai seorang yang akan mendapat kesengsaraan, maka ia akan beramal menurut amalan orang-orang yang akan mendapat kesengsaraan. Oleh karena itu, beramalah kalian masing-masing, karena setiap orang akan diberi kemudahan menurut takdirnya masing-masing. Jika ia telah ditetapkan sebagai orang yang bahagia, maka ia akan memperbanyak amal kebajikan yang akan mengantarnya menuju kebahagiaan.[6] Sebaliknya, jika ia telah ditetapkan sebagai orang yang celaka, maka ia akan memperbanyak amal-amal keburukan yang mengantarnya menuju kesengsaraan.’ Kemudian beliau membacakan firman Allah Swt.,

‘Adapun orang yang memberikan hartanya di jalan Allah dan bertakwa, serta membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil, serta merasa dirinya cukup,[7] juga mendustakan pahala terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya jalan yang sulit,’ (QS Al-Laîl [92]: 5-10)."[8]

Siapa pun yang telah ditetapkan sebagai calon penghuni surga oleh Allah Swt., maka qalbunya akan giat untuk beramal shalih dan beribadah, serta ia akan menjauhi segala larangan Allah. Ia akan selalu menuju kepada kebaikan, dan tidak mau menuju ke tempat-tempat maksiat.

Siapa pun yang telah ditetapkan sebagai calon penghuni surga oleh Allah Swt., maka qalbunya akan giat untuk beramal shalih dan beribadah, serta ia akan menjauhi segala larangan Allah. Ia akan selalu menuju kepada kebaikan, dan tidak mau menuju ke tempat-tempat maksiat. "Ya Allah, jadikanlah segala urusanku berakhir dengan kebaikan, dan lindungilah aku dari kesengsaraan di dunia maupun siksa di akhirat kelak."[9]

Selain itu, Nabi Saw. selalu membaca surah Al-Lail mulai dari ayat kelima sampai kesepeluh, sebagai bukti bahwa beliau sangat perhatian kepada amal-amal kebajikan.

Siapa pun yang menafkahkan harta dan jiwanya di jalan Allah Swt., serta mengorbankan segala apa yang dimilikinya untuk menggapai derajat ketakwaan di sisi-Nya, pasti ia akan mendapat imbalan dari Allah, qalbunya akan dipenuhi rasa takwa dan cinta kepada keimanan. Ia akan selalu memohon bantuan Allah Swt., dan akan selalu mencari keridhaan-Nya, serta bersikap pasrah kepada seluruh kehendak Allah. Ia juga akan senantiasa mengucapkan dzikir-dzikir kepada Allah Swt., terutama nama-nama Allah Yang Mahamulia. Dengan demikian, Allah Swt. akan memberinya kemudahan untuk menempuh jalan-jalan kebaikan, sebagaimana lancarnya air yang mengalir ke tempat-tempat di mana ia bermuara. Ia selalu merasakan nikmat ketika mengamalkan (mendirikan) shalat, membayar zakat, menunaikan ibadah haji, dan berjihad di jalan Allah Swt.. Sampai-sampai ada sebagian orang yang menganggap bahwa ia sudah hilang ingatan (gila), karena mereka mendapati orang semacam ini tidak mempunyai perasaan takut dengan kematian sedikit pun. Bahkan, ia tidak memperhatikan kenikmatan-kenikmatan hidupnya sedikit pun; kecuali atas keridhaan Allah Swt.. Dengan ungkapan yang lebih sederhana dapat dikatakan, bahwa orang semacam ini telah menjalankan seluruh rangkaian kehidupannya hanya untuk beribadah, demi meraih keridhaan Allah Swt., dan kesenangan hidup di alam akhirat.

Akan tetapi sebaliknya, jika seseorang telah ditetapkan sebagai calon penghuni neraka, maka ia tidak ingin (enggan) menafkahkan hartanya untuk beramal shalih. Ia merasa tidak butuh kepada Allah Swt. Ia merasa bahwa kekayaannya-lah yang akan menjamin kebahagiaan hidupnya di dunia. Sebagaimana yang dilakukan oleh Qarun, ketika ia mengaku bahwa kekayaannnya diperoleh dari hasil kepandaian dan usaha kerasnya semata. Seperti telah disebutkan oleh Allah Swt. di dalam firman-Nya berikut ini, "Qarun berkata, ‘Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku," (QS Al-Qashash [28]: 78).

Tipe orang semacam ini akan menganggap bahwa orang yang pergi ke masjid itu merupakan orang yang melakukan kesia-siaan. Ia cenderung tidak senang dengan segala bentuk amalan yang baik, tidak beriman kepada Rasulullah Saw. dan Al-Qur’an. Karenanya, Allah Swt. memberinya kemudahan menuju jalan-jalan keburukan. Jika ia mengaku diri sebagai seorang Muslim, adakalanya ia melakukan shalat, puasa, dan lain sebagainya, akan tetapi ia lakukan dengan perasaan yang sangat berat. Terlebih lagi jika harus melakukan shalat Subuh di waktu fajar tengah menyingsing. Ia tidak ingin melakukan shalat berjama’ah dan beribadah di masjid. Bahkan ia meremehkan segala perbuatan baik dan menganggapnya sebagai penghalang untuk menikmati kehidupan duniawi. Ia merasa sebagai seorang yang sedang mendaki sebuah bukit, terasa berat dan melelahkan. Jika ia sedang melakukan amal kebajikan, laksana apa yang disebutkan di dalam firman Allah Swt. berikut ini, "Aku akan membebaninya mendaki pendakian yang memayahkan," (QS Al-Muddatstsir [74]: 17).

Sebagian dari mereka itu ada orang-orang yang berprofesi sebagai penambang batu bara, ada pula yang menambang perak, tembaga, dan ada pula yang menambang emas. Akan tetapi, tidak jarang juga dari mereka yang memilih jenis pekerjaan di tempat-tempat yang kotor. Sebenarnya yang memberi kemudahan kepada seseorang untuk menuju jalan-jalan kebaikan adalah jika qalbunya bersih, jujur, bersungguh-sungguh kepada Allah Swt., mau mengorbankan sebagian dari harta dan jiwanya di jalan Allah, selalu berharap pahala dari sisi Allah. Maka, model orang semacam ini yang akan diberi petunjuk ke jalan menuju surga-Nya. Sebaliknya, seorang yang kikir untuk berbuat kebaikan, maka ia akan ditunjukkan kepada jalan-jalan menuju kesulitan, dan akan berakhir di dalam api neraka --na’ûdzu billâh min dzâlik--.

Pernah pula diriwayatkan, bahwa Suraqah bin Malik ra. bertanya kepada Rasulullah Saw., "Ya Rasulullah, apakah amal perbuatan kami telah ditetapkan oleh Allah menurut kehendak-Nya, sehingga kami tidak dapat berusaha apa pun untuk memperbaiki amalan-amalan kami yang buruk?‛ Beliau Saw. menjawab, ‚Hendaknya kalian senantiasa berbuat kebaikan, karena setiap orang telah ditetapkan oleh Allah mengenai amalannya masing-masing. Wahai Suraqah, mulai sekarang perbaikilah amal-amalmu karena Allah Swt.."[10]

Dalam riwayat lain disebutkan, bahwa ada seseorang bertanya kepada Rasulullah Saw., "Ya Rasulullah, mengapa seseorang harus beramal? Padahal semua telah ditetapkan oleh Allah Swt. menurut takdir masing-masing?" Beliau Saw. menjawab, "Setiap orang telah ditetapkan amalannya masing-masing oleh Allah. Seorang calon penghuni surga akan memperbanyak amalan ahli surga. Demikian pula seorang calon penghuni neraka akan memperbanyak amalan ahli neraka."

Dalam riwayat lain disebutkan, bahwa ‘Umar Ibnul Khaththab ra. pernah mengajukan pertanyaan, "Ya Rasulullah, menurut pendapatmu apakah amal-amal kita ini termasuk usaha kita, ataukah termasuk sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah? Beliau menjawab, ‘Semua amal kalian telah ditetapkan oleh Allah.’ Lanjut ‘Umar, ‘Kalau begitu, kami akan bersungguhsungguh dalam beribadah kepada-Nya.’"[11]

Setelah itu kami dapati para sahabat ra. bersungguh-sungguh dalam beribadah kepada Allah Swt.. Mereka menyibukkan diri masing-masing untuk beribadah kepada Allah ‘Azza wa jalla di waktu malam dan siang. Mereka beranggapan, bahwa setiap jalan yang mereka tempuh pasti akan tiba di tempat yang dituju.

Itulah pemahaman para sahabat Nabi Saw. tentang takdir Allah Swt., sehingga tidak seorang pun di antara mereka yang malas untuk melakukan amal kebajikan. Menurut mereka, perjalanan yang mereka tempuh pasti akan sampai di ujungnya, dimana mereka beranggapan bahwa semua itu telah ditakdirkan oleh Allah Swt. bagi manusia. Oleh karena itu, mereka selalu menempuh jalan-jalan yang baik, demi meraih keridhaan Allah Swt.. Sungguh akan merugi seorang yang enggan menuju ke jalan kebaikan, apalagi jika ia tidak pernah bersujud kepada Allah Swt., meskipun hanya sekali saja seumur hidupnya. Dan, tidak pernah mengikuti jalan orang-orang yang beriman. Alangkah meruginya jika ada seseorang yang menghabiskan waktu-waktu luangnya di tempat-tempat yang tidak berguna, sehingga mereka akan berakhir di api neraka. Seperti telah disebutkan dalam firman Allah Swt. berikut ini, "Aku akan memasukkannya ke dalam neraka Saqar. Tahukah engkau apakah neraka Saqar itu? Saqar itu tidak meninggalkan dan tidak membiarkan. Neraka Saqar adalah pembakar kulit manusia. Dan di atasnya ada sembilan belas malaikat penjaga," (QS Al-Muddatstsir [74]: 26-30).

Kita harus bersyukur sebanyak-banyaknya ke hadirat Allah Swt., Rabb yang telah memberi kemudahan bagi kita menuju jalan-jalan Islam dan berbuat amal kebajikan; sebagaimana Dia Swt. meneteskan air embun di atas dedaunan yang segar. Segala puji bagi Allah Swt. yang telah menjadikan qalbu kita cenderung kepada Al-Qur’an dan mengikuti jejak Rasulullah Saw.. Semoga Allah Swt. senantiasa menyempurnakan karunia-Nya bagi kita, dan semoga kita dapat senantiasa mensyukuri segala karunia-Nya.

Berikutnya, diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin ‘Amru bin al-Âsh ra., ia berkata, "Pada suatu hari, Rasulullah Saw. datang kepada kami sambil membawa dua buah buku. Beliau bertanya, ‘Tahukah kalian tentang kedua buku ini?’ Jawab para sahabat, ‘Tidak, ya Rasulullah, kecuali kalau engkau memberitahukannya kepada kami.’ Kemudian beliau Saw. bersabda, ‘Buku yang ada di tangan kananku ini berisi catatan dari Allah Swt. tentang namanama sejumlah penghuni surga dan nama-nama ayah-ayah mereka serta suku-suku mereka. Semuanya telah dicatat di dalam buku ini dari awal sampai akhir, tanpa ditambah atau dikurangi sedikit pun.’ Kemudian beliau Saw. menyebutkan tentang buku yang berada di tangan kiri beliau, ‘Sedangkan buku ini adalah catatan dari Allah Swt. tentang nama-nama calon penghuni neraka, termasuk juga nama-nama dari ayah-ayah mereka dan suku-suku mereka, sedikit pun tidak pernah ditambah atau dikurangi.’ Para sahabat ra. kemudian mengajukan pertanyaan, ‘Ya Rasulullah, kalau begitu mengapa kami harus beramal, padahal amalan kami telah ditetapkan oleh Allah Swt. di dalam catatan-Nya?’ Beliau Saw. kemudian bersabda, ‚Beramalah kalian baik-baik, karena seorang yang ditetapkan sebagai calon penghuni surga, maka ia akan memperbanyak amal-amal kebajikannya sampai masuk ke dalam surga. Sebaliknya, seorang yang ditetapkan sebagai calon penghuni neraka, maka ia akan memperbanyak amal-amal keburukannya, sampai masuk ke dalam neraka. Sesungguhnya Allah Swt. telah menetapkan para calon penghuni surga dan para calon penghuni neraka."[12]

Berikut ini akan kami terangkan mengenai masalah yang pernah kami alami sendiri, ‚Aku pernah berada di atas kepala sahabat dari kawan dekatku yang tengah mendekati ajalnya, karena menderita penyakit liver, dan ia selalu merasa kesakitan karenanya. Sehingga ia berbalik ke sana sini karena merasakan sakit yang akut. Sampai lisannya keluh dan tidak dapat mengucapkan kalimat apa pun, meski ia berusaha keras mengulangi beberapa kalimat yang ringan diucap. Ketika aku mendekatkan telinga ke dadanya, maka aku seolah mendengar suara bahwa qalbunya mengucapkan kalimat tahlil sebagai ganti dari ucapan dengan lisannya. Ia hidup dengan membersihkan dirinya, dan selalu menjaga kesuciannya. Pada waktu itu ia hidup sebagai seorang yang terasing. Ia mengalami sakit itu di tempat yang sungguh terasing, yaitu ketika sedang dalam perjalanan mengerjakan ibadah haji. Orang-orang yang mencintainya turut berdo’a di sekelilingnya, seolaholah Allah Swt. menyiapkan baginya untuk memasukkannya ke dalam surga.

Ia mengalami sakit saat dalam perjalanan mengerjakan ibadah haji. Setelah pulang, ia beristirahat di sebuah rumah sakit di wilayah Izmir, sebelum akhirnya ia bertemu dengan kaum kerabatnya. Untungnya, ia tidak meninggal dunia sebelum bertemu dengan kaum kerabatnya, seolah-olah ia tengah teraniaya menahan derita sakit yang ia alami. Pada Hari Kiamat kelak aku siap bersaksi atas keimanannya yang sangat kuat, dan kesiapannya untuk mati syahid. Alhamdulillâh, ternyata Allah Swt. memenuhi harapan orang itu sebagai seorang calon penghuni surga, dan ia meninggal dunia dalam keadaan beriman kepada-Nya, setelah ia sempat mengucapkan kalimat syahadat sebelum ia mengembuskan nafas yang terakhir. Semoga Allah Swt. senantiasa mengabulkan amal-amal kebajikan kita, dan menjadikan kita sebagai seorang calon penghuni surga-Nya.

Telah kami jelaskan tentang iradat atau kehendak manusia dan kehendak Allah Swt.. Sebenarnya yang menyebut tentang iradat atau kehendak manusia ini hanyalah sesuatu yang masih misteri. Sebab, kehendak Allah Swt. lebih kuat untuk mewujudkan kehendak manusia. Jadi, Allah Swt. berkehendak memasukkan seseorang ke dalam surga dengan amalamal kebajikannya, dan atau memasukkan seseorang ke dalam api neraka dengan dosa-dosanya. Oleh karena itu, kehendak manusia akan terwujud jika mendapat restu dari kehendak Allah Swt.. Sebagaimana yang tercantum dalam surah al-Infithâr berikut ini, "Sesungguhnya orang-orang yang banyak berbakti benar-benar berada dalam surga yang penuh kenikmatan, dan sesungguhnya orangorang yang durhaka benar-benar berada dalam neraka," (QS Al-Infithâr [82]: 13-14).

Jika demikian, lalu apa fungsi seorang manusia dalam masalah ini? Apa arti kebaikan dan keburukannya? Dan apa pula kadar kehendaknya serta kehendak Allah Swt.? Juga masih ada sejumlah pertanyaan yang kita kembalikan kepada Allah Yang Maha Mengetahui segala yang ghaib.

Sesungguhnya Allah Swt. telah menetapkan semua takdir-Nya di dalam kitab di Lauh al-Mahfuzh, sebelum diciptakan-Nya langit dan bumi. Kemudian setiap ketetapan dikalungkan oleh Allah Swt. pada leher setiap insan. Oleh karena itu, segala kehendak kita tidak akan terwujud tanpa bantuan dari kehendak Allah Swt..

Takdir adalah pandangan Allah Swt. kepada segala sesuatu yang berkaitan erat dengan kehendak kita. Takdir dengan pemahaman seperti itu tidak bertentangan dengan anggapan kaum Mu’tazilah dan kaum Jabbariyyah. Maksudnya, kehendak kita tidak akan mungkin bertentangan dengan kehendak Allah Swt.. Dengan kata lain, apa saja yang dikehendaki oleh manusia, pasti akan terwujud jika sesuatu yang dikehendakinya itu mendapatkan restu dari Allah Swt.. Sebab, tanpa restu dari sisi Allah Swt., maka kehendak manusia apa pun bentuknya, pasti tidak akan mungkin terwujud.

Di atas telah kami sampaikan, bahwa Allah Swt. mencatat segala ketetapan-Nya di alam semesta ini di dalam sebuah kitab di Lauh al-Mahfuzh. Kemudian semua ketetapan itu dikalungkan pada leher setiap orang, dan para malaikat juga mencatat apa yang dilakukan oleh setiap orang di mana pun ia berada. Jadi, ketetapan Allah Swt. yang telah tercantum di Lauh al-Mahfuzh akan dilakukan oleh setiap orang sesuai dengan kehendak-Nya, dimana para malaikat juga mencatat semua perbuatan hamba dalam buku catatannya masing-masing. Seperti telah disebutkan dalam firman Allah Swt. berikut ini, "Dan diletakkanlah kitab, lalu engkau akan melihat orang-orang bersalah ketakutan terhadap apa yang tertulis di dalamnya, dan mereka berkata, ‘Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak pula yang besar, melainkan ia mencatat semuanya.’ Dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis). Dan Rabbmu tidak menganiaya seorang pun," (QS Al- Kahfi [18]: 49).

Di lain kesempatan, Allah Swt. juga berfirman, "[Allah berfirman], ‘Inilah kitab (catatan) Kami yang menuturkan terhadapmu dengan benar. Sesungguhnya Kami telah menyuruh mencatat apa yang telah kalian kerjakan,’" (QS Al-Jâtsiyah [45]: 29).

Allah Swt. juga berfirman, "Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya, melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir," (QS Qâf [50]: 18).

Allah Swt. juga berfirman, "Yang mulia --di sisi Allah-- dan mencatat pekerjaan-pekerjaanmu itu, mereka mengetahui apa yang engkau kerjakan," (QS Al-Infithâr [82]: 11-12).

Antara catatan Allah Swt. yang tertulis di Lauh al-Mahfuzh tidak akan berbeda dengan yang ditulis oleh para malaikat yang mencatat segala perbuatan manusia. Sebab, catatan Allah Swt. di Lauh al-Mahfuzh akan dilaksanakan oleh setiap orang menurut kehendak-Nya, sedangkan para malaikat akan menulis setiap perbuatan manusia seperti yang telah dikehendaki oleh Allah dalam catatan-Nya di Lauh al-Mahfuzh.

Di antara catatan yang ditetapkan oleh Allah Swt. bagi manusia adalah suatu perjanjian yang diadakan oleh Allah dengan umat manusia. Ketika itu, mereka masih berada di alam ruh atau alam misal (molekul). Pada waktu itu, Allah Swt. menetapkan suatu perjanjian bagi umat manusia, dan mereka mengakui dengan keyakinan yang penuh bahwa Allah adalah Rabb bagi seluruh umat manusia. Tentang masalah ini, Allah Swt. telah mengabadikannya dalam firman-Nya, "Dan ingatlah, ketika Rabbmu mengeluarkan keturunan (anak cucu) Adam dari sulbi mereka, dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka, seraya berfirman, ‘"Bukankah Aku ini adalah Rabb kalian?’ Mereka menjawab, ‘Benar, Engkau adalah Rabba kami, dan kami menjadi saksi. Kami (Allah) lakukan yang demikian itu agar di Hari Kiamat kalian tidak mengatakan, ‘Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keahadan Allah).’ Atau agar kalian tidak mengatakan, ‘Sesungguhnya orangorang tua kami telah mempersekutukan Allah sejak dahulu, sedang kami ini adalah anak-anak keturunan yang datang sesudah mereka. Maka apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu?’" (QS Al-A’râf [7]: 172-173).

Maksud dari firman Allah Swt. di atas adalah, Allah telah mengambil perjanjian dari manusia ketika mereka masih berada di sulbi ayah-ayah mereka. Bahkan ketika mereka masih di alam arwah dan belum menjadi janin. Atau, mungkin juga pada saat mereka di dalam perut ibu mereka masing-masing, tepatnya ketika Allah Swt. memerintahkan kepada malaikat untuk meniupkan ruh kepada calon-calon manusia, maka di saat itulah Allah mengambil janji dari setiap orang. Adapun saksi yang menguatkan adanya perjanjian antara manusia dengan Allah Swt. adalah qalbu dan perasaan mereka sendiri.

Firman Allah Swt. di atas menyebutkan kata Rabbuka yang artinya adalah Rabb (Pemilik dirimu). Kata tersebut mengandung berbagai arti. Di antaranya, Dia yang memeliharamu, atau Dia-lah yang menyempurnakan wujudmu, atau Dia-lah yang membentukmu sebagai manusia dari indung telur seorang ibu dan bibit sperma seorang ayah. Maksudnya, Allah-lah yang menyediakan kalian suatu tempat untuk tumbuh sebagai manusia yang sempurna, sehingga janin seseorang dapat bernapas di tempat yang tidak mungkin bisa bernafas di dalamnya. Di tempat itu pula janin seseorang diberi makan dan diberikan aliran darah, sampai ia terlahir dari rahim ibunya setelah mengalami proses sembilan bulan lebih. Kemudian, setelah janin seseorang lahir ke alam dunia, maka ia diberi petunjuk untuk mengenal agama yang dibawa oleh Nabi Saw. Sehingga adakalanya seseorang dapat mencapai kedudukan yang tertinggi di sisi Allah Swt.. Oleh karena itulah Allah ‘Azza wa Jalla menyebutkan kata-kata Rabbuka dalam firman-Nya di atas, karena dengan rahmat-Nya seorang anak manusia dapat mengenal Rabbnya secara baik, sesuai dengan rahmat yang dilimpahkan kepadanya.

Selanjutnya, dalam firman Allah Swt. di atas juga disebutkan kalimat Alastu Birabbikum yang artinya apakah kalian bersaksi bahwa Aku adalah Rabb kalian? Maksudnya, tidak ada Tuhan lain yang dapat berbuat seperti Allah Swt.. Karena, Dia menciptakan manusia dari tanah, kemudian menempatkannya di surga, sehingga kedudukannya lebih mulia dari para malaikat.

Makna firman Allah Swt. di atas secara keseluruhan adalah sebagai berikut, ‚Wahai manusia, perhatikan baik-baik diri kalian mulai dari ubun-ubun sampai telapak kaki kalian. Setelah itu, renungkanlah apakah ada Rabb selain Aku (Allah Swt.) yang dapat menciptakan kalian dengan sempurna? Adakah Tuhan selain-Ku yang dapat menciptakan sejumlah wajah yang masing-masingnya saling berbeda bentuk maupun rupanya? Adakah Tuhan selain Aku yang dapat menciptakan berbagai perbedaan sidik jari dari bermilyar-milyar manusia? Oleh karena itu, Allah Swt. sangat pantas jika bertanya kepada umat manusia, bukankah Aku adalah Rabb kalian yang sebenarnya?‛ Tidak perlu kita perdebatkan, kapankah Allah Swt. mengajukan pertanyaan seperti itu kepada manusia, apakah ketika manusia masih berada di alam ruh, ataukah di alam molekul, atau justru setelah menjadi janin di dalam rahim seorang ibu? Yang terpenting dari jawab yang diberikan oleh para calon manusia itu menyatakan, ‚Engkau adalah Rabb kami.‛

Sesungguhnya Engkau adalah Rabb kami yang sebenarnya, tidak ada Tuhan lain selain Engkau bagi kami, karena hanya Engkau-lah yang mampu menciptakan diri kami dari tanah, kemudian dari setetes sperma, kemudian dari segumpal darah, yang berproses menjadi sekerat daging, hingga kami tercipta sebagai manusia yang sempurna.

Itulah kesaksian yang pernah diberikan oleh manusia terhadap Dzat yang telah menciptakannya, sehingga Rasulullah Saw. pernah menyebutkan dalam sabda beliau, "Tiada seorang bayi yang terlahir ke alam dunia, kecuali ia terlahir dalam keadaan fitrah (suci). Setelah itu, kedua orang tuanya-lah yang menjadikannya sebagai seorang Yahudi, Nashrani atau Majusi."[13]

Maksud dari hadis di atas adalah, setiap bayi yang terlahir ke alam dunia ini akan selalu dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci). Artinya, ia siap untuk percaya kepada Allah Swt. sebagai Rabbnya. Ia bagaikan sehelai kertas berwarna putih yang belum tertulisi huruf apa pun. Karenanya, ia siap untuk ditulisi kalimat apa pun menurut kehendak penulisnya.

Sesungguhnya anak yang baru dilahirkan itu berada dalam keadaan suci, lalu bagaimana selanjutnya? Tentunya, akan tergantung dari kaum kerabatnya sendiri, seperti ayah dan ibunya, paman dan bibinya, bahkan orang-orang yang sejauh apa pun dapat memberinya pengaruh. Sehingga anak bayi yang tadinya suci memungkinkan untuk menjadi seorang Nashrani, Yahudi, atau seorang Majusi. Semuanya bergantung kepada siapa yang memberinya pengaruh. Bahkan, dewasa ini ada pula yang membawanya kepada kepercayaan Komunis, Marksis, ataupun Kapitalis. Sehingga anak bayi yang tadinya suci menjadi orang-orang yang jauh dari pengaruh agama.

Lain halnya dengan seorang anak bayi yang sejak kecil telah dikenalkan dengan Allah Swt. dan ajaran Islam, maka sanubarinya akan condong kepada Allah, agama, dan Nabinya. Sebenarnya alam semesta ini laksana sebuah buku yang dapat mengenalkan kita kepada Allah Swt.. Demikian pula kitab Al-Qur’an bagaikan sebuah kitab induk yang mampu mengenalkan kita kepada Allah Swt.. Sedangkan Rasulullah Saw. adalah seseorang yang dipercaya oleh Allah mengemban tugas membawa petunjuk yang mengenalkan kita kepada-Nya Swt..

Al-Qur’an adalah sebuah kitab induk yang tidak dapat berbicara dan tidak pula dapat berdusta. Walau demikian, kitab induk itu mampu mengajak manusia seperti Kant dan Bergson dan sekelompok ahli filsafat lainnya dari sisi yang amat dalam untuk mengenalkan diri mereka kepada Allah Swt. melalui sejumlah argumentasi dan pemikiran yang matang tentang alam semesta; bahwa yang mengatur alam dunia beserta semesta raya ini pasti merupakan Rabb Yang Mahaahad. Mereka akhirnya berpendapat, bahwa hanya Dia Swt. yang mampu menciptakan, memelihara dan mencukupi segala kebutuhan alam semesta. Dia adalah Allah Yang Mahaahad, tidak berbilang.

Selanjutnya, mari kita membahas lebih dalam lagi tentang pernyataan yang menyatakan bahwa setiap anak bayi yang baru dilahirkan berada dalam keadaan suci. Dengan kalimat lain, ia juga bersaksi bahwa Sang Maha Pencipta adalah Allah Yang Mahaahad. Terdapat pula sebuah hadis yang mengatakan, "Siapa pun yang mengenali dirinya secara baik, maka ia akan mengenali Rabbnya dengan baik pula."[14] Maksud dari pernyataan hadis ini adalah, siapa yang mengenali dirinya dengan segenap qalbu yang ada (tersedia) di dalam dirinya, maka ia akan mengenali Rabbnya secara baik pula. Tentang masalah ini pernah diterangkan oleh seorang ahli filsafat bernama Nayyazi al-Mishri[15] yang mengungkapkannya dalam sebuah bait-bait puisi yang artinya sebagai berikut,

Pada saat aku mencari siapa pencipta diriku,
dan pencipta alam semesta ini,
maka aku tidak menemukannya,
melainkan tersedia di dalam diriku sendiri.

Pemikiran semacam ini telah mencapai pada puncak kematangannya. Demikian pula dengan apa yang diyakini oleh para wali yang mencari jawaban tentang siapa sejatinya Rabb Yang Maha Menciptakan, pasti mereka mendapatkan bahwa Sang Maha Pencipta atas dirinya adalah Allah Yang Maha Esa, dan jawaban itu datangnya dari dalam sanubarinya sendiri.

Sesungguhnya pemikiran untuk menemukan siapa Sang Maha Pencipta alam semesta, ada kalanya diselewengkan oleh nafsu dan setan, sehingga diri seseorang merasa sombong untuk tunduk kepada Sang Maha Pencipta. Akan tetapi, ada kalanya kesombongan qalbu seseorang akan menyebabkan ia justru menemukan jalan petunjuk menuju keridhaan Rabbnya Swt..

Setiap manusia yang dihadirkan ke alam dunia ini, pasti disertai perasaan yang menunjukkan bahwa yang menciptakannya dari tidak ada menjadi ada adalah Rabb Yang Maha Esa. Akan tetapi, kebanyakan manusia dilalaikan oleh kesibukan duniawinya, sehingga mata batinnya tertutupi, sampai ia tidak lagi mengenal pencipta dirinya sendiri.

Adapun pertanyaan yang terdapat dalam firman Allah Swt. di atas, ‚Bukankah Aku ini Rabb kalian?‛ Firman Allah Swt. tersebut telah dijelaskan secara panjang lebar oleh sabda-sabda Nabi Saw. yang diriwayatkan oleh tiga puluh sahabat beliau yang mulia. Di antara mereka itu adalah, Sayyidina ‘Ali, Abu Sa’id al-Khudri, Suraqah bin Malik, Sayyidah ‘Aisyah, ‘Abdullâh bin az-Zubair, ‘Abdullâh bin ‘Abbas, ‘Abdullâh bin Mas’ud, ‘Abdullâh bin ‘Amru bin al-Âsh, serta lainnya ra.

Adapun hadis yang dimaksud adalah sebagai berikut. ‘Umar Ibnul Khaththab ra. pernah mengatakan, ‚Pada suatu kesempatan, aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda, bahwa setelah Allah Swt. menciptakan Adam as., maka Dia mengusap punggung Adam dengan tangan kanan-Nya dan mengeluarkan seluruh anak cucunya dari punggung (sulbi)nya, seraya berfirman, ‘Aku menciptakan mereka untuk menghuni surga. Mereka akan melakukan segala perbuatan baik yang menyebabkan mereka masuk ke dalam surga.’ Kemudian, Allah Swt. mengusap punggung Adam sekali lagi dan mengeluarkan anak cucunya dari punggung (sulbi)nya seraya berfirman, "Aku menciptakan mereka untuk menghuni neraka. Mereka akan melakukan segala perbuatan buruk yang menyebabkan mereka masuk ke dalam neraka.’ Seorang sahabat mengajukan pertanyaan, ‘Ya Rasulullah, kalau Allah Swt. telah menentukan takdir kita seperti itu, mengapa kita harus beramal?’ Rasulullah Saw. menjawab dengan bersabda, ‘Kalau Allah Swt. menciptakan seseorang sebagai calon penghuni surga, maka Dia akan menjadikannya sebagai seorang yang suka berbuat amal-amal kebajikan sampai ia mati, sehingga ia akan dimasukkan ke dalam surga-Nya. Demikian pula jika Allah Swt. menciptakan seorang sebagai calon penghuni neraka, maka Dia akan menjadikannya sebagai seorang yang suka berbuat amal-amal buruk sampai ia mati, sehingga ia akan dimasukkan ke dalam neraka-Nya.’"[16]

Dalam riwayat lain yang pernah disampaikan oleh sahabat Ubai bin Ka’ab ra. juga disebutkan, bahwa pada saat Allah Swt. menurunkan firman-Nya di atas (QS Al-A’râf *7+: 172-173), maka Allah mengumpulkan semua manusia di alam arwah, kemudian mereka ditanya, "Bukankah Aku ini sebagai Rabb kalian?" Jawab mereka, "Benar, Engkau adalah Rabb kami."[17]

Terdapat pula hadis lain yang diriwayatkan oleh ‘Abdullâh bin Mas’ud dan Abu Hurairah ra., bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda, "Seseorang telah ditetapkan sebagai seorang yang sengsara sejak ia berada di dalam perut ibunya. Demikian pula seseorang telah ditetapkan sebagai seorang yang berbahagia sejak ia berada di dalam perut ibunya."[18]

Kebahagiaan dan kesengsaraan seseorang telah ditetapkan oleh Allah Swt. dalam suratan takdir-Nya sejak ia berada di dalam perut ibunya. Meskipun demikian, kebahagiaan dan kesengsaraan yang terjadi pada diri seseorang sangat terkait erat dengan perilaku orang itu sendiri.[19]

Ada hadis lain riwayat Muttafaqun ‘Alaih (Imam Bukhari dan Imam Muslim) yang menyatakan seputar dialog antara Nabi Allah Sayyidina Musa dan Sayyidina Adam as. berikut ini, "Thawus berkata, aku pernah mendengar Abu Hurairah berkata, bahwa Nabi Saw. bersabda, ‘Nabi Allah Sayyidina Adam pernah berdialog dengan Sayyidina Musa as.’ Kata Musa, ‘Wahai Adam, engkau adalah ayah kami, mengapa engkau menyebabkan kami kecewa dan menyebabkan kami keluar dari surga?’ Jawab Adam, ‘Wahai Musa, Allah telah memilihmu untuk kawan berbicara dan telah menetapkan kejadianmu dengan tangan-Nya sendiri, lalu mengapa engkau mencelaku dalam urusan yang telah diputuskan Allah kepadaku, empat puluh tahun sebelum aku dijadikan?’ Nabi Adam mengulang argumentasinya itu sebanyak tiga kali kepada Nabi Musa as."[20]

Para ulama salaf menafsirkan dialog antara Nabi Allah Musa dan Adam as. sebagai berikut,

  • Nabi Musa bertanya kepada Nabi Adam as., karena Adam adalah seorang ayah bagi beliau.
  • Nabi Adam dan Nabi Musa as. diberi syari’at masing-masing oleh Allah Swt., sehingga masing-masing dari keduanya tidak mempunyai dosa atas periodesasi syaria’t antara satu dengan lainnya. Sebab, masing-masing beliau telah diberi risalah sendiri-sendiri.
  • Surga bukanlah tempat untuk beramal. Sedangkan tempat untuk beramal yang sesugguhnya di alam dunia. Nabi Adam as. tidak pernah diberi tugas apa pun saat berada di dalam surga. Sedangkan Nabi Allah Musa as. menyandarkan Nabi Adam menurut tuntutan yang sesuai dengan aturan yang berlaku di alam dunia. Oleh karena itu, bantahan Nabi Adam as. dapat diterima.
  • Nabi Adam as ingin menjelaskan kepada Nabi Musa as., bahwa kebaikan maupun keburukan hanya Allah Swt. yang menentukan, dan hanya Dia Yang Mahabenar. Karenanya, Nabi Adam as. berani memberi argumentasi kepada Musa as.[21]

Sebenarnya kami tidak ingin mempertentangkan makna hadis di atas untuk membenarkan ucapan para ulama salaf. Sebab, masalah ini tidak dapat dijadikan dalil melalui cara seperti itu. Akan tetapi, kami tidak ingin meninggalkan pembahasan ini tanpa mengetahui hikmah hadis di atas. Terlebih lagi hadis tersebut menjelaskan kepada kita bahwa masalah yang tengah didiskusikan antara Nabi Musa dan Nabi Adam as. merupakan masalah takdir yang telah ditetapkan oleh Allah Swt. pada waktu yang sebenarnya. Oleh karena itu, Nabi Allah Adam as. sampai mengulangi ucapan beliau hingga tiga kali. Meskipun maksud beliau, Nabi Musa as. tidak bersalah, dan Nabi Adam as. sendiri juga tidak merasa menyalahi takdir-Nya. Sebab, beliau dikeluarkan dari surga merupakan bagian dari suratan takdir Allah Swt. bagi diri beliau.

Inti dari permasalahan takdir itu sendiri sebenarnya ada dua. Yang pertama, takdir Allah Swt. yang menetapkan atas segala sesuatu sesuai dengan ilmu Allah Yang Mahaluas. Takdir jenis ini ditetapkan oleh Allah Swt. atas seluruh bentuk ciptaan-Nya. Yang kedua, ada takdir yang terkait erat dengan kehendak makhluk (manusia).

Nabi Allah Musa as. telah memahami jenis takdir yang terkait dengan kehendak manusia saja. Karenya, beliau mengajukan argumentasi tentang dikeluarnya Nabi Adam as. dari surga. Sedangkan Nabi Adam as. memandang takdir dari dua sisi, yaitu; dari sisi takdir Allah Swt. itu sendiri, dan dari sisi kehendak manusia. Artinya, beliau as. menilainya dari kedua sisi takdir. Karenanya, beliau berani mengajukan argumentasi kepada Nabi Musa as. bahwa yang menakdirkan beliau keluar dari surga hanyalah Allah Swt.. Sebab, menurut Nabi Adam as., Nabi Musa as. tidak memprotes kepada beliau tentang sisi pandang Nabi Adam dikeluarkan dari surga. Sebab, hal itu telah ditakdirkan oleh Allah Swt. bagi beliau. Jadi, beliau tidak diprotes oleh Nabi Musa atas perkara itu, karena yang berwenang mengeluarkan Nabi Adam as. dari surga hanyalah Allah Swt., dan bukan atas kemauanya sendiri.

Di samping itu, kehendak manusia tidak mempunyai hubungan yang bertalian (struktural) dengan anggota-anggota tubuhnya yang berada di bagian luar. Sebab, kehendak manusia merupakan sumber utama untuk dapat melakukan perbuatan dosa. Setiap orang mempunyai kehendak di dalam sanubarinya, akan tetapi yang melaksanakannya adalah anggota tubuhnya yang berada di bagian luar. Kiranya firman Allah Swt. berikut ini dapat memberikan pengertian yang lebih luas dan mendalam, "Apa saja nikmat yang engkau peroleh adalah dari sisi Allah. Dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari kesalahan dirimu sendiri," (QS Al-Nisâ’ [4]: 79).

Akan tetapi, pada keduanya terdapat kaitan dengan kehendak Allah Swt.. Seperti yang disebutkan dalam firman Allah Swt. berikut ini, "Dan engkau tidak mampu menempuh jalan itu, kecuali jika dikehendaki oleh Allah. Sesungguhnya Allah adalah Dzat Yang Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana," (QS Al-Insân [76]: 30).

Memang, ketetapan dan kehendak Allah Swt. dapat mengalahkan kehendak makhluk-Nya. Karenanya, kehendak manusia sangat kecil jika harus dibandingkan dengan kehendak Allah Swt.. Meski demikian, karena Allah Swt. yang telah menciptakan alam semesta ini, sehingga kehendak manusia tidak bernilai sedikit pun jika dibandingkan dengan kehendak- Nya.

Oleh karena itu, hendaknya kita memahami takdir dengan sudut pandangan yang menyeluruh. Seperti disebutkan dalam firman Allah Swt. berikut ini, "Sekali-kali tidak demikian kondisinya. Sesungguhnya Al-Qur’an itu adalah peringatan. Maka siapa saja yang menghendaki, niscaya ia mengambil pelajaran darinya (Al-Qur’an). Dan mereka tidak akan mengambil pelajaran darinya, kecuali jika Allah menghendakinya. Dia (Allah) adalah Rabb yang patut kita bertakwa kepada-Nya, dan berhak memberi ampunan," (QS Al-Muddatstsir [74]: 54-56).

Pada saat diajukan pertanyaan kepada Imam al-Ghazali, ‚Apabila kita tidak dapat berbuat --dalam arti menetapkan-- apa saja sesuai dengan keinginan (kehendak) kita, meski sesungguhnya kita semua mempunyai kehendak, lalu untuk apa fungsi kehendak itu?‛ Maka jawab Imam al-Ghazali, ‚Kalau Anda berpikiran semacam itu, lalu siapakah yang memberi kehendak kepada manusia untuk menentukan pilihannya?‛

Sesungguhnya kita semua termasuk orang-orang yang diberi taklif atau tugas, dan kita wajib melakukannya dengan baik; hingga seolah-olah kita adalah pelaku yang sekaligus sebagai penetap atau yang menetapkan hasilnya. Akan tetapi, terhadap batasan tugas dan berbagai jenisnya, maka tidak seorang pun yang dapat mengetahui dengan jelas hasil akhirnya, kecuali hanya Allah Swt.. Allah ‘Azza wa Jalla telah memberikan kepada kita segala hal sebagai sumber kebaikan atau keburukan. Namun demikian, kita tidak mungkin mengetahui secara pasti apakah yang menjadi hasil akhir dari pelaksanaan tugas itu, baik pada bagian dalam maupun bagian luarnya? Setiap orang cenderung menilai, bahwa seseorang yang memakai busana yang mewah dan yang memakai mahkota di kepalanya, maka ia akan disimpulkan sebagai seorang penguasa, atau memiliki sesuatu yang sangat mahal nilainya. Akan tetapi, ada pula pihak lain yang menilainya tidak berharga sama sekali. Siapa yang menilainya dari kedua sisi dimaksud, maka ia telah berhasil menghimpun masalah takdir. Sebaliknya, siapa yang tidak berhasil menilainya dari kedua sisi dimaksud, maka ia termasuk kelompok Jabbariyyah atau kelompok Mu’tazilah.

Sesungguhnya Allah Swt. telah menetapkan segala sesuatu dalam takdir-Nya. Namun, di samping takdir-Nya yang tidak mungkin dapat kita ketahui secara pasti, ada pula jenis takdir yang telah dikalung (lilit)kan pada leher kita, dan takdir yang itu juga tidak kita ketahui hasil akhirnya. Allah Swt. menciptakan kebaikan dan keburukan, akan tetapi Dia tidak meridhai seorang yang berbuat keburukan, serta Dia hanya meridhai seorang hamba yang berbuat kebaikan. Meskipun demikian, pada dasarnya manusia tetap tidak ingin berbuat keburukan kepada Allah Swt., dan tidak pula senang menyaksikan orang lain yang senang berbuat keburukan. Walau begitu, pada saat seseorang sedang ingin berbuat keburukan, maka Allah Swt.-lah yang menciptakan-Nya, bukan yang lain.

Sebaiknya kami berikan contoh atau penjelasan tambahan di seputar permasalahan takdir ini, agar lebih komprehensif dalam memahaminya. Pada saat Allah Swt. menurunkan firman-Nya berikut ini, "Sesungguhnya kalian, dan apa saja yang kalian sembah selain Allah, adalah bahan bakar Jahannam, serta kalian pasti masuk ke dalamnya" (QS Al-Anbiyâ’ [21]: 98), orang-orang musyrik menjadi bingung dibuatnya. Sebab, ayat tersebut ditujukan kepada mereka dengan makna, bahwa mereka dan seluruh patung (sesembahan) yang mereka sembah akan di jadikan oleh Allah Swt. sebagai bahan bakar api neraka Jahannam.

Ayat di atas ditujukan yang pertama dan secara langsung kepada patung-patung yang pada waktu itu tengah disembah oleh bangsa Arab di sekitar Ka’bah, yang jumlahnya sebanyak tiga ratus enam puluh buah patung. Firman Allah Swt. tersebut mengancam patung-patung yang dibanggakan oleh kaum musyrik bahwa patung-patung itu akan dijadikan bahan bakar neraka Jahannam. Tentunya mereka tidak diam saja menghadapi ancaman Allah Swt. itu. Mereka menentang firman Allah Swt. tersebut dengan keras, meski sesungguhnya mereka tidak dapat mengetahui jalannya untuk menentang Allah. Yaitu, bagaimana cara menjawab firman Allah Swt. tersebut. Pada saat mereka tidak mampu menjawab firman Allah Swt. itulah mereka memerintahkan kepada ‘Abdullâh bin az-Ziba’ri[22] untuk menjawab firman Allah tersebut dengan pikiran yang mengandung unsur falsafi. Maka ‘Abdullâh bin az-Ziba’ri berkata kepada Rasulullah Saw., ‚Apakah yang engkau maksudkan dengan mengatakan ayat tersebut, padahal sebelum ini mayoritas kita adalah para penyembah matahari, bulan, malaikat, Uzair dan ‘Isa putra Maryam as.? Apakah semua itu akan dijadikan kayu bakar api neraka bersama berhala-berhala kami?‛ Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya sebagai berikut, "Bahwasanya orang-orang yang telah ada untuk mereka ketetapan yang baik dari Kami, mereka itu dijauhkan dari siksa neraka," (QS Al-Anbiyâ’ [21]: 101).[23]

Maksudnya, sesungguhnya orang-orang yang pakaian mereka tidak dikotori oleh debu-debu keduniaan, mereka akan dijauhkan dari sengatan siksa api neraka, termasuk juga para malaikat yang tidak pernah lalai dari bersikap taat kepada Allah Swt. walau sekejap, dimana mereka-mereka ini tidak akan menjadi kayu bahan bakar api neraka Jahannam.

Nabi ‘Isa al-Masih as. adalah ruh dan kalimat Allah Swt., beliau berhasil meniupkan kehidupan pada orang-orang mati dan berhasil menghidupkan qalbu kepada orang-orang yang sudah mati --dengan izin Allah Swt.--. Termasuk juga Uzair adalah seorang Nabi yang agung. Kedua Nabi tersebut sejak dahulu telah ditetapkan akan dijauhkan dari siksa api neraka. Akan tetapi, orang-orang yang mempercayai dengan kepercayaan yang salah, mereka akan mengetahui dampak negatif dari perbuatan mereka sendiri. Sebab, takdir Allah Swt. telah menetapkan bahwa para Nabi dan para malaikat akan ditempatkan pada posisi yang mulia di sisi-Nya. Adapun kalimat as-Sabaqa bil Husna sangat terkait dengan kepercayaan kita terhadap takdir-Nya.

Diriwayatkan dari Ibrahim bin ‘Abdurrahman bin ‘Auf ra., ia mengatakan, "Pada suatu hari ‘Abdurrahman bin ‘Auf pingsan. Setelah tersadar kembali dari pingsannya (siuman) ia menanyakan, ‘Apakah aku tadi telah pingsan?’ Orang-orang di sekitarnya menjawab, ‘Ya, engkau tadi pingsan beberapa saat.’ ‘Abdurrahman bin ‘Auf mengatakan, bahwa tadi ia telah didatangi oleh dua malaikat, dan keduanya berkata kepadanya, ‚Maukah engkau kami ajak untuk menghadap kepada Rabb Yang Mahamulia?’ Lalu salah satu dari keduanya menambahkan, ‘Sesungguhnya laki-laki ini termasuk seorang yang ditakdirkan hidup bahagia sejak ia berada di dalam perut ibunya, dan Allah akan memberikan kepadanya berikut anak-cucunya kebahagiaan sekehendak-Nya.’ Maka ‘Abdurrahman sempat hidup setelah peristiwa itu selama satu bulan tersisa."[24]

Riwayat di atas sangat erat kaitannya dengan sabda Nabi Saw. berikut ini, "Demi Allah, adakalanya seseorang di antara kalian selalu beramal dengan amalan ahli neraka, sehingga antara dirinya dengan neraka hanya sedekat satu hasta. Akan tetapi, ada suratan takdir dari Allah yang menyatakan bahwa ia termasuk calon penghuni surga, sehingga ia kemudian beramal dengan amalan ahli surga, sampai akhirnya ia masuk ke dalam surga. Adakalanya pula seseorang di antara kalian selalu beramal dengan amalan ahli surga, sampai seolah-olah jarak antara dirinya dengan surga hanya tinggal satu hasta. Akan tetapi, kemudian ada takdir dari Allah yang menyatakan bahwa ia termasuk calon penghuni neraka, sampai akhirnya ia masuk ke dalam api neraka."[25]

Perlu diketahui di sini, bahwa sahabat ‘Abdurrahman bin ‘Auf ra. adalah salah seorang dari kesepuluh sahabat yang telah diberitakan oleh Nabi Saw. sebagai calon penghuni surga. Akan tetapi, yang berkaitan dengan pembicaraan kita kali ini adalah adanya takdir Allah Swt. yang telah ditulis sebelum diciptakannya dunia dan alam semesta.

Diriwayatkan dari ‘Amir bin Sa’ad bin Abi Waqqash ra. mengenai sebuah kejadian yang ia dapatkan dari ayahnya, bahwa pada saat Ibnu Abi Waqqash melintasi di suatu jalan, tiba-tiba ada seorang laki-laki sedang mencaci maki ‘Ali, Thalhah, dan al-Zubair ra.. Maka segera Ibnu Abi Waqqash mengatakan kepadanya, ‚Sesungguhnya engkau telah mencacimaki sejumlah orang yang telah ditakdirkan oleh Allah Swt. sebagai calon penghuni surga. Demi Allah, kalau engkau tidak berhenti dari mencaci mereka, maka aku akan berdo’a kepada Allah Swt. untuk kebinasaan dirimu.‛ Orang itu pun kemudian balik menyerang Ibnu Abi Waqqash dengan mengatakan, ‚Mengapa engkau menakuti aku, seolah-olah engkau adalah seorang Nabi.‛ Hingga membuat Sa’ad memohon dalam do’a yang dipanjatkannya, ‚Ya Allah, jika orang ini mencaci sekelompok orang yang telah Engkau takdirkan sebagai calon ahli surga, maka turunkan siksamu baginya.‛ Maka, dengan takdir Allah Swt. ada seekor unta betina yang mengejar laki-laki itu sampai ia terjatuh dan diinjaknya hingga binasa. Setelah peristiwa tersebut, aku (‘Amir bin Sa’ad) menyaksikan orang-orang mengikuti Sa’ad bin Abi Waqqash seraya berkata, ‚Sungguh do’a Sa’ad bin Abi Waqqash (Aba Ishaq) langsung dikabulkan oleh Allah Swt..‛[26]

Sebenarnya para sahabat Nabi itu adalah orang-orang yang telah dipilih oleh Allah Swt. sebagai pendamping beliau Saw. Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib ra. termasuk sahabat Nabi yang paling dekat, menantu beliau, dan orang yang sering dipuji oleh Nabi.

Sahabat Thalhah bin ‘Ubaidillâh ra. adalah seorang sahabat yang membela Rasulullah Saw. pada waktu peperangan Uhud dengan gagah berani, sampai tangannya terluka sangat parah. Sampai beliau Saw. secara khusus mengatakan pada saat itu, ‚Tolong selamatkan Thalhah.‛[27]

Al-Zubair bin al-Awwam ra. juga pernah dijuluki oleh Nabi Saw. sebagai seorang Hawari (julukan bagi para pengikut setia dari Nabi ‘Isa as.-penerj), seperti dikatakan dalam sabda beliau berikut ini, ‚Sesungguhnya pada setiap Nabi diberi kawan setia yang terdekat. Adapun kawan terdekatku adalah al-Zubair bin al-Awwam.‛[28]

Sedangkan Sa’ad bin Abi Waqqash adalah seorang sahabat Nabi Saw. yang tidak pernah rela apabila ia menyaksikan orang lain yang mencaci maki para sahabat beliau. Ia adalah saudara sepupu (misan) dari Nabi. Dan, ia pernah mati-matian membela Nabi di medan peperangan Uhud,[29] sampai beliau Saw. pernah mengangkat kedua tangan sambil berdo’a, ‚Ya Allah, kabulkanlah setiap do’a Sa’ad bin Abi Waqqash.‛[30]

Semua orang dari kalangan sahabat waktu itu paling takut kepada do’a dari Sa’ad bin Abi Waqqash ra. Sebab, setiap do’anya selalu dikabulkan oleh Allah Swt.. Dan, keseluruhan sahabat Nabi Saw. pernah dido’akan oleh beliau menjadi para penempuh jalan menuju surga.

Setiap orang, meskipun ia tengah berbuat suatu amalan, maka hendaknya ia meyakini bahwa di sana tersedia takdir Allah Swt. yang telah menetapkan lebih dahulu sebelum ia berbuat segala sesuatu. Telah kami terangkan di atas, Allah Swt. menetapkan dalam garis takdir-Nya bahwa setiap manusia akan berbuat apa saja yang telah ditetapkan oleh Allah dalam garis takdir-Nya, dan Allah Maha Mengetahui segala perbuatan yang telah maupun akan diperbuat oleh seorang hamba, karena perbuatannya tidak akan pernah bertentangan dengan apa yang ditetapkan oleh Allah dalam takdir-Nya. Dengan kata lain, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu yang belum terjadi maupun yang akan segera terjadi. Semuanya telah ditetapkan oleh Allah Swt. dalam daftar takdir-Nya. Sehingga setiap orang akan berbuat segala sesuatu sesuai dengan takdir yang telah ditetapkan oleh Allah Swt. di Lauh al-Mahfuzh. Kemudian para malaikat akan mencatat setiap perbuatan, sehingga catatan Allah dan catatan para malaikat tidak akan bertentangan.

Ya Allah, kumpulkan kami bersama orang-orang yang telah ditakdirkan sebagai orang-orang yang bernasib baik di sisi-Mu, âmîn.

[1] Diriwayatkan oleh Imam Muslim, pada bahasan mengenai al-Qadaru, hadis nomor 16.
[2] Lihat lebih lanjut penjelasannya dalam kitab Tafsîr Al-Qurân al-‘Azhîm karya Imam Ibnu Katsir, Jilid 4, halaman 240.
[3] Diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dalam bahasan mengenai as-Sunnah, hadis nomor 16.
[4] Diriwayatkan oleh Imam al-Tirmidzi pada bahasan mengenai Kiamat, hadis nomor 159. iriwayatkan pula dalam Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, Jilid 1, hadis nomor 293, dan 303-307.
[5] Diriwayatkan oleh Imam Bukhari pada bahasan mengenai shalat tahajjud, hadis nomor 21. Juga pada bahasan mengenai adzan, hadis nomor 155.
[6] Pada riwayat yang berbeda disebutkan menggunakan tambahan redaksi, ‚Terhadap apa saja yang telah Allah Swt. ciptakan atasnya.‛
[7] Yang dimaksud dengan ‘merasa dirinya cukup’ ialah, tidak memerlukan lagi pertolongan Allâh Subhânahu wa Ta’âla, dan tidak bertakwa kepada-Nya.
[8] Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam bahasan mengenai Qadar, hadis nomor 6-8. Juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari mengenai penafsiran ayat tersebut (surah 92, al-Laîl), hadis nomor 7. Juga pada bahasan seputar Qadar, hadis nomor 6. Dan pada bahasan mengenai Tauhid, hadis nomor 54.
[9] Lihat lebih lanjut dalam Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, Jilid 4, hadis nomor 181.
[10] Lihat lebih lanjut dalam al-Mu’jam al-Ausath, karya Imam al-Thabrani, Jilid 4, hadis nomor 144.
[11] Lihat lebih lanjut dalam al-Mu’jam al-Ausath, karya Imam al-Thabrani, Jilid 7, hadis nomor 326.
[12] Diriwayatkan oleh Imam al-Tirmidzi, pada bahasan mengenai al-Qadaru, hadis nomor 8. Diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad bin Hanbal dalam al-Musnad, Jilid 2, hadis nomor 167.
[13] Diriwayatkan oleh Imam Bukhari, pada bahasan mengenai al-Janâiz, hadis nomor 93. Diriwayatkan pula oleh Imam Abu Dawud pada bahasan mengenai al-Sunnah, hadis nomor 17. Dan oleh Imam al-Tirmidzi, pada bahasan mengenai al-Qadaru, hadis nomor 5.
[14] Lihat lebih lanjut dalam buku Kasyfu al-Khafâ’, karya Imam al-Ajluni, Jilid 2, halaman 343.
[15] Nayyazi al-Mishri merupakan seorang ahli sya’ir dari kalangan sufi yang hidup pada sekitar tahun 1618-1694 Masehi. Ia menyelesaikan pendidikan tingginya di Universitas al-Azhar pada jurusan sya’ir dan jurnalistik. Ia mengawali pendidikan dasarnya di beberapa sekolah di Istanbul, Turki-catatan dari penerjemah edisi Arab.
[16] Lihat lebih lanjut dalam al-Musnad karya Imam Ahmad bin Hanbal, Jilid 1, hadis nomor 272. Lihat pula dalam Tafsîr Al-Qurân al-‘Azhîm, kayra Imam Ibnu Katsir, Jilid 2, halaman 503.
[17] Lihat lebih lanjut dalam Majma’ al-Zawâid, karya Imam al-Haitsami, Jilid 7, hadis nomor 25.
[18] Lihat lebih lanjut dalam Majma’ al-Zawâid, karya Imam al-Haitsami, Jilid 7, hadis nomor 193. Lihat pula dalam al-Mu’jam al-Kabîr, karya Imam al-Thabrani, Jilid 3, hadis nomor 176.
[19] Sebab, ‚ketetapan‛ berbeda maknanya dengan ‚ketentuan‛. Ketetapan adalah putusan akhir atas hasil yang dicapai melalui usah sebelum ditetapkan. Sedangkan ketentuan tidak membutuhkan adanya proses pencapaian menuju ke arahnya-penerj.
[20] Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam pembahasan mengenai tafsir ayat yang berkaitan dengan dikeluarkan-Nya Nabi Adam as dari surga (20), Jilid 1, hadis nomor 30. Juga dalam bahasan mengenai al-Qadaru, hadis nomor 11. Juga berkaitan dengan tafsir surah al-Anbiyâ’ [21] ayat 31. Dan dalam pembahasan mengenai al-Tauhid, hadis nomor 137. Diriwayatkan pula oleh Imam Muslim dalam bahasan mengenai al-Qadaru, hadis nomor 13.
[21] Lihat lebih lanjut keterangan mengenai masalah ini dalam Syarah Shahîh Muslim, karya Imam Al-Nawawi Rahimahullâh, Jilid 16, hadis nomor 201-202.
[22] Mungkin yang dimaksud oleh Penulis adalah ‘Abdullâh bin al-Zubair--penerj, yang kemudian memeluk agama Islam setelah peristiwa tersebut. Lihat lebih lanjut dalam Tafsîr Al-Qurân al-‘Azhîm, karya Imam Ibnu Katsir, Jilid 5, halaman 376--catatan penerjemah edisi berbahasa Arab.
[23] Lihat lebih lanjut dalam Tafsîr Al-Qurân al-‘Azhîm, karya Imam Ibnu Katsir, Jilid 5, halaman 374-375.
[24] Lihat lebih lanjut penjelasannya dalam kita al-Jâmi’, karya Mu’ammar bin Rasyid, Jilid 11, halaman 112.
[25] Diriwayatkan oleh Imam Bukhari, pada bahasan mengenai al-Qadaru, hadis nomor 1. Juga oleh Imam Muslim, pada pembahasan mengenai al- Qadaru, hadis nomor 1.
[26] Lihat lebih lanjut dalam al-Mu’jam al-Kabîr, karya Imam al-Thabrani, Jilid 1, hadis nomor 140. Lihat pula dalam Majma’ al-Zawâid, karya Imam al-Haitsami, Jilid 9, hadis nomor 154. Juga terdapat dalam kitab Hayâtu ash-Shahâbah, karya Imam al-Kandahlawi, Jilid 2, halaman 469.
[27] Lihat lebih lanjut dalam al-Bidâyah wa al-Nihâyah, karya Imam al-Hafizh Ibnu Katsir, Jilid 4, halaman 33-34.
[28] Diriwayatkan oleh Imam Bukhari, pada bahasan mengenai al-Jihâd, hadis nomor 40-41, dan 135. Juga pada pembahasan mengenai Keutamaan Para Sahabat, hadis nomor 13, juga pada bahasan mengenai al-Maghâzî (peperangan), hadis nomor 29. Diriwayatkan pula oleh Imam Muslim, pada bahasan mengenai Keutamaan Para Sahabat, hadis nomor 48.
[29] Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam pembahasan mengenai Jihad, hadis nomor 80. Juga oleh Imam Muslim dalam pembahasan mengenai Keutamaan Para Sahabat, hadis nomor 41-42.
[30] Diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi, pada bahasan mengenai al-Manâqib, hadis nomor 26.