Surah al-Baqarah [2]: 193

وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لاَ تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ لِلّهِ
“Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah” (QS al-Baqarah [2]: 193).

Perlu diterangkan dalam kesempatan ini bahwa ketika Ibnu ‘Umar ra. menghadapi peperangan di antara sesama umat Islam, yaitu peperangan antara ‘Abdullah ibn Zubair dan kelompoknya melawan Hajjaj ibn Yusuf al-Tsaqafi, maka ia didatangi oleh dua orang lelaki dan keduanya berkata kepadanya, “Wahai ‘Abdullah ibn ‘Umar, engkau termasuk salah seorang sahabat Nabi Saw., tetapi mengapa engkau tidak keluar untuk berperang membela orang-orang yang benar, padahal Allah berfirman, ‘Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah.’” Jawab Ibnu ‘Umar, “Memang Allah berfirman demikian, tetapi menurutku seorang muslim yang memerangi saudaranya sama saja dengan seorang yang menimbulkan fitnah dan melakukan perintah agama tidak karena Allah semata.”[1]

Ketika Nabi Saw. masih berdakwah di kota Mekah, beliau Saw. berpesan kepada kaum muslimin untuk bersikap lemah lembut dan memaafkan perilaku yang kasar dari kaum musyrikin Quraisy terhadap mereka sampai ada perintah yang lain dari Allah. Semua itu beliau Saw. jalankan demi untuk melaksanakan perintah Allah, seperti yang disebutkan dalam firman-Nya berikut, “Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah, dan pelajaran yang baik, sertasanggahlah mereka dengan cara yang baik pula,” (QS al-Nahl [16]: 125).

Berdasarkan firman Allah di atas, maka beliau Saw. dan para sahabatnya bersabar dengan kesabaran yang sempurna ketika menghadapi segala cacian dan tindakan kasar dari kaum musyrikin Quraisy terhadap mereka. Mereka selalu bersikap lemah lembut dan memaafkan perilaku lawannya terhadap mereka. Setelah kaum muslimin yang berada di Mekah cukup bersabar menghadapi perilaku orangorang musyrik, maka datanglah perintah Allah untuk menggunakan kekuatan demi untuk membela diri mereka, membela agama ini, dan demi kelanggengan dakwah Islam serta untuk membela nyawa mereka dari ancaman musuh-musuh mereka.

Perlu diketahui bahwa yang pertama kali yang dilakukan oleh Nabi Saw. dan para sahabatnya adalah bersikap baik dan memaafkan perilaku buruk musuhmusuhnya, kemudian mereka bersikap membela diri dari musuh-musuhnya. Sikap yang demikian itu perlu dilaksanakan untuk membela agama yang bersifat internasional ini ketika musuh-musuh agama ini selalu bersikap kasar dan menyakitkan dan demi untuk mengalahkan kebatilan dan demi menolong hal-hal yang benar.

Perintah untuk menghentikan kekerasan dari musuh-musuh Islam sampai batas tertentu dengan kekerasan yang sama adalah untuk menghentikan kekerasan musuh-musuh Islam saja, untuk mempertahankan diri. Bukan untuk memerangi mereka berdasarkan hawa nafsu dan kesewenang-wenangan terhadap musuhmusuh Islam. Meskipun disebutkan dalam kitab-kitab Allah yang lama bahwa beliau Saw. adalah seorang Nabi yang diizinkan untuk mengangkat senjata demi untuk mempertahankan agama yang diridhai oleh Allah, sehingga beliau Saw. mengetahui kapan masanya berperang dan kapan pula masanya berdamai. Jika beliau Saw. memerangi musuh-musuhnya hanya karena terdorong perasaan dendam dan kesewenang-wenangan, maka tujuan peperangan yang dilakukan oleh beliau Saw. dan kaum muslimin hanyalah untuk menumpahkan darah musuhmusuhnya. Karena itu, beliau Saw. dan umat Islam tidak berperang karena terdorong hawa nafsu amarahnya, sekali lagi tidak demikian. Tetapi beliau Saw. dan umat Islam berperang untuk membela kebenaran dan agama yang benar. Maka dengan cara itu beliau Saw. telah menetapkan tata cara perang untuk membela diri dan kapan waktunya jika waktunya telah memenuhi syarat untuk berperang.

[1] Diriwayatkan oleh Imam Bukhari, dalam bahasan mengenai Tafsir Al-Quran, hadis nomor 30. Lihat lebih lanjut dalam kitab al-Mu’jam al-Ausath, karya Imam ath-Thabrani, Jilid 1, hadis nomor 134.