Surah âli ‘Imrân [3]: 102

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam” (QS Âli ‘Imrân [3]: 102).

Bertakwa kepada Allah dengan sebenar-benar takwa terkait erat dengan pengenalan diri seorang mukmin kepada Allah. Karena itu, kami boleh mengatakan bahwa segala jenis pengenalan yang tidak membantu kita untuk menambah pengenalan tersebut, maka pengenalan tersebut tidak lain hanyalah pengenalan diri kita kepada Allah secara lahiriyah saja. Demikian pula, segala majelis atau setiap mudzakarah atau setiap tanya jawab yang tidak menambah luasnya pengenalan kita kepada Allah, maka majelis-majelis itu merupakan perbuatan yang sia-sia. Tentang masalah ini, Rasulullah Saw. telah menyebutkan hakikat ini, seperti yang disebutkan dalam hadits berikut, “Sesungguhnya Allah membenci bagi kalian tiga perkara.” Atau dalam riwayat lain disebutkan bahwa Allah mengharamkan atas kalian tiga perkara.[1]

Selanjutnya beliau Saw. menyebutkan bahwa banyak bertanya, termasuk juga bertanya, “Siapa yang menjadikan ini dan itu dan siapa pula yang menjadikan Allah ?”[2]

Ada beberapa orang berkata kepada kami tentang berbagai sebab yang menunjukkan bahwa seolah-olah Allah itu lemah. Sungguh Allah Maha Suci dari hal itu, karena adanya sesuatu adalah karena adanya sebab dan penyebabnya. Ketika mereka menyebut penyakit kanker, maka mereka berkata bahwa penyakit tersebut tidak ada obatnya. Demikian pula, ketika mereka menyebutkan penyakit aids, maka mereka berkata bahwa penyakit ini tidak dapat disembuhkan. Keyakinan semacam itu menyebabkan kalbu seorang mukmin hanya berpasrah dan menyerah, seolaholah pandangan seperti itu telah menyeluruh di kalbu setiap mukmin. Tetapi menurutku, sikap yang harus kita lakukan adalah keyakinan bahwa Allah-lah yang menyebabkan datangnya suatu penyakit dan Allah pula yang dapat menyembuhkannya, sebab telah kami terangkan secara berulang kali bahwa Allah mampu menciptakan segala sesuatu di luar sebab musabab dan kami harus memperbaharui terus menerus pikiran dan iman kita.

Sesungguhnya berusaha untuk bertakwa kepada Allah dengan sungguhsungguh mengandung arti kita harus selalu takut kepada Allah dalam segala keadaan kita dan kita harus berusaha mencari sebab yang menimbulkan perasaan takwa dengan sungguh-sungguh, sehingga kita tidak boleh memberi kesempatan apapun dalam hidup kita, baik secara perbuatan maupun tutur kata yang melemahkan ketakwaan kita. Kita harus selalu ingat dan bersyukur kepada Allah atas segala karunia-Nya kepada kita yang tidak terhitung banyaknya, sehingga perasaan syukur itu dapat mendorong kita untuk bertakwa dengan sungguhsungguh. Maksudnya, takwa yang sungguh-sungguh itu akan menyebabkan seorang mukmin mati dalam keimanan dan dalam keridhaan Allah. Perasaan tersebut telah dimiliki oleh para nabi dan rasul dan para pewarisnya, yaitu kaum ulama. Termasuk juga sahabat-sahabat Nabi Saw., mereka beribadah kepada Allah sampai telapak kaki mereka menjadi bengkak dan sampai jiwa mereka melayang demi untuk mencapai takwa kepada Allah yang sesungguhnya, meskipun mereka diberi kesempatan untuk mengamalkan segala perintah Allah menurut kemampuannya masing-masing, seperti yang disebutkan dalam firman Allah berikut, Artinya, “Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” (QS At-Taghaabuun,16)

Kesungguhan mereka untuk mencapai ketakwaan yang sungguh-sungguh merupakan perjuangan mereka sepanjang hidupnya.

[1] Diriwayatkan oleh Imam Bukhari, pada bahasan mengenai Zakat, hadis nomor 53. Juga oleh Imam Muslim, pada bahasan mengenai Akidah, hadis nomor 10, 13, dan 14. Lihat pula dalam kitab al-Muwaththa’, karya Imam Malik bin Anas, pada bahasan mengenai al-Kalâm, hadis nomor 20. Juga dalam kitab al-Musnad, karya Imam Ahmad bin Hanbal, Jilid 2, hadis nomor 227, dan 360.
[2] Diriwayatkan oleh Imam Bukhari, pada bahasan mengenai Awal Mula Ciptaan, hadis nomor 11. Juga oleh Imam Muslim, pada bahasan mengenai Iman, hadis nomor 214.