Surah Maryam [19]: 23

يَا لَيْتَنِي مِتُّ قَبْلَ هَذَا وَكُنتُ نَسْيًا مَّنسِيًّا
“Aduhai, alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi barang yang tidak berarti, lagi dilupakan.” (QS Maryam, 23)

Firman Allah di atas menerangkan bahwa di sana ada sejumlah ungkapan yang digunakan setiap orang untuk menerangkan segala masalah yang dinilainya sangat berbahaya, sangat besar dan sangat penting, contohnya disebutkan bahwa Abu Bakar Ash-Shiddiq ra meskipun ia lemah dalam segi ilmu hadits, tetapi ia minta kepada Allah agar diberi badan yang besar, sehingga neraka Jahannam hanya cukup baginya, bukan untuk tempat orang lain atau seperti yang diucapkan oleh Ustadz Badiuz Zaman An-Nursi, “Andaikata aku dapat melihat keselamatan iman umatku, maka aku rela dibakar di dalam api neraka jahannam, karena di samping tubuhku yang terbakar, tetapi aku masih mempunyai kalbu yang merasa bergembira dan bahagia.”[1]

Permasalahan seperti itu dapat mempengaruhi pikiran dan perasaannya, apalagi Maryam dikenal sebagai orang yang menjaga dirinya dan kehormatannya, maka kini berita itu menjadikan ia selalu berpikir dan berperasaan. Ia takut jika dirinya dijadikan bahan pembicaraan orang lain, sampai ia berharap jika ia mati sehingga ia dilupakan orang.

Karena Maryam selalu menjaga diri dan kehormatannya, sehingga tidak seorang lelakipun yang dapat menggodanya, maka bagaimanakah jika ia dituduh bahwa dirinya pernah mengandung tanpa suami, sehingga ia berharap jika ia dimatikan sebelum kejadian tersebut sehingga namanya tidak lagi disebut-sebut orang lain. Karena kematian yang menjadikan seorang tidak pernah disebut-sebut lagi oleh orang lain.

Sebenarnya permisalan ucapan seperti itu adalah seperti ucapan Abu Bakar Shiddiq ra ketika ia melihat seekor burung yang berada di sebuah pohon. Ketika itu ia berkata, “Alangkah senangnya jika aku menjadi buah dari pohon itu, sehingga aku dimakan oleh burung itu.” Ucapan seperti itu pernah juga dikatakan oleh Umar Ibnu Khottob ra yang ingin menjadi sebuah pohon yang dipotong oleh banyak manusia. Tentunya ucapan-ucapan semacam itu tidak lain hanyalah ucapan sesaat ketika seorang merasa dirinya mendapat tekanan yang sangat berat dan ia tidak dapat menanggung perasaan itu.

[1] As-Sirotu, Adz-Dzadiyatu, Badiuz Zaman Sa’id An-Nursi halaman 457.