Bashirah dan Firasat
Dalam pelbagai literatur bahasa dan kamus, kata "bashîrah" berarti: persepsi, kecerdasan, petunjuk, atau saksi. Sementara dalam buku-buku daftar istilah dan definisi, kata ini berarti: terbukanya mata hati, keluasan persepsi, kemampuan melihat hasil sejak awal, atau kemampuan mengukur hari-hari yang akan dapat dan hari yang sedang dijalani.
Dalam dialog di kalangan spiritualis (arbâb al-qulûb), istilah bashirah memiliki kedalaman lain sebagai berikut:
Bashirah adalah satu-satunya sumber 'irfan yang mampu menjadi petunjuk pada ranah ilham dan pikiran. Bashirah adalah alat pertama yang digunakan roh untuk memersepsi esensi dari berbagai hal. Bashirah adalah kesadaran batin yang mampu mendiagnosa dan melihat nilai-nilai rohaniah pada berbagai entitas yang sulit bagi akal untuk menjangkaunya disebabkan ketergantungannya pada warna, bentuk, penampilan, dan kualitas. Bashirah adalah bentuk persepsi yang disinari oleh tajaliyat Ilahiyah dan dihiasi oleh pancaran kelembutan Dzat Allah. Pada saat kemampuan persepsi mengalami kesulitan, atau kelelahan karena harus mengarungi lembah imajinasi; pada saat itu ia akan menyepi bersama berbagai rahasia yang ada di balik entitas, tanpa membutuhkan dalil atau pun saksi. Ia akan mengembara menyusuri tempat-tempat yang pasti akan membuat akal kebingungan. Di situlah ia akan mencapai "Haqîqah al-Haqâiq" (hakikat segala hakikat).[1]
Al-Bashar adalah salah satu sifat nuraniyah (bercahaya)[2] di antara sekian banyak sifat-sifat Allah yang mulia. Sementara "bashîrah" adalah kemampuan manusia yang kualitasnya sesuai dengan bagian untuknya dari sifat Allah ini, dengan mengikuti timbangan "Kami telah menentukan antara mereka (qasamnâ bainahum) penghidupan mereka dalam kehidupan dunia," (QS. al-Zukhruf [43]: 32).
Rasulullah Muhammad s.a.w. adalah manusia yang mendapat bagian paling besar dalam tajalli ini. Beliau juga menjadi manusia yang paling banyak mengambil manfaat dari mata air ketuhanan ini. Itulah sebabnya, beliau menjadi sumber ilham bagi semua orang yang muncul setelah beliau. Rasulullah adalah satu-satunya cermin cemerlang bagi tajalliyat Allah al-Haqq s.w.t. yang tidak ada seorang pun yang mampu menyamai beliau dalam hal ini.
Allah s.w.t. berfirman: "Katakanlah: 'Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata...'." (QS. Yusuf [12]: 108). Ayat ini menjadi penjelasan yang menunjukkan sejauh mana keistimewaan dan keagungan dari apa yang dilakukan Rasulullah s.a.w. dan para pengikut beliau terhadap anugerah Ilahiyah ini.
Berkat adanya kemampuan persepsi nuraniyah ini, maka dalam satu tarikan napas seorang musafir yang melakukan mi'raj ke langit akan dapat melihat berbagai hal yang ada di balik tirai entitas -yang menjadi "kebutaan" bagi mereka yang tidak memiliki persepsi seperti ini. Ia akan mengembara di dalamnya dan menelaahnya seperti layaknya sebuah buku yang terbuka di hadapannya. Ia akan mengarungi kegaiban yang menjadi lembaran ideal bagi Rukun Iman yang selama ini ia yakini. Di situ, ia akan dapat mendengar suara pena takdir yang dapat membuat jantung manusia copot dari dada jika mereka mendengarnya. Ia akan lewat di dekat para bidadari lalu beroleh sambutan di "sejarak dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi)." (QS. al-Najm [53]: 9); di sebuah titik yang di dalamnya terdengar senandung "tak bertempat, tak berwaktu, bukan bumi, bukan langit." Di situlah ia akan mendapatkan banyak hadiah dan pemberian.
Terkadang, rasa musyahadah yang muncul di dalam bashirah mencapai kedalaman lain bersama firasat (al-firâsah). Karena persepsi mampu melihat "takwil mimpi" (maksudnya: menembus dimensi malakut yang terkandung dalam entitas). Di tempat yang memiliki tiga dimensi ini, roh hidup dengan beberapa dimensi sekaligus. Di situlah nurani akan menjadi seperti mata entitas yang mampu melihat, berdegup seperti jantung, dan berpikir seperti akal.
Adapun "firasat" (al-firâsah) yang berarti "intuisi" atau "persepsi", sebenarnya bermakna: perubahan persepsi dan bashirah yang membuatnya semakin dalam. Mata yang memiliki bashirah yang terbuka terhadap tajalliyat cahaya Allah adalah milik orang-orang berwajah seperti rembulan yang tidak pernah tertipu oleh bayangan. Mereka melihat menggunakan cahaya bashirah dengan sangat jelas, termasuk di tempat yang sangat gelap. Mereka mampu melampaui kebingungan, tanpa perlu bergantung pada hal-hal syubhat sama sekali, dan mereka tidak pernah disandera oleh hal-hal parsial. Mereka mampu mencapai hâl dan menyaksikan al-sukr (ekstase) di pangkalnya. Mereka mampu menemukan oksigen dan hidrogen yang terkandung di dalam partikel air. Hati mereka selalu berkelana di dalam dimensi "al-farq".
Sesungguhnya setiap noktah dari diri manusia, penampilan kosmos, setiap kata, atau setiap garis, adalah kata yang mengandung banyak makna. Bahkan semua itu adalah laksana buku terbuka bagi orang-orang yang mengembara di bawah naungan firman Allah: "Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Kami) bagi orang-orang yang memperhatikan tanda-tanda (al-mutawassimûn)[3]." (QS. al-Hijr [15]: 75).
Dengan rahasia hadits: "Takutlah kalian terhadap firasat orang mukmin karena dia melihat menggunakan cahaya Allah,"[4] kita ketahui bahwa orang-orang yang memiliki kedudukan tinggi telah bertahta di titik pengawasan yang di situ mereka dapat melihat seluruh penjuru entitas dan berinteraksi dengan hakikat segala sesuatu. Mereka mampu menelaah wajah entitas yang sebenarnya yang berada di balik tabir. Mereka dapat menebarkan cahaya kepada berbagai kejadian, sembari menatap wajah hakiki dari segala sesuatu sehingga mereka dapat melihat semua itu dengan mata kepala. Di dalam firdaus, mereka terus berlarian dari satu kenikmatan ke kenikmatan yang lain, dan meninggalkan orang-orang yang menghabiskan hidup mereka di sekitar lubang hitam yang gelap.
Dalam pandangan jiwa yang tidak membuka dan menutup matanya kecuali dengan firasat, entitas adalah seperti lembaran-lembaran dalam sebuah buku. Segala sesuatu, baik yang hidup maupun yang mati adalah kata-kata cemerlang yang memiliki seribu satu makna. Sesungguhnya wajah entitas dan perangai manusia adalah penjelasan paling gamblang yang tidak pernah menipu. Para spiritualis (rijâl al-qlûb) mampu melihat ayat-ayat yang terdapat di dalam buku itu, yang tidak dapat dilihat oleh setiap mata, sebagaimana mereka mampu mendengar ayat-ayat yang terdapat di dalam buku itu, yang tidak dapat didengar oleh setiap telinga; termasuk setiap kata di dalamnya yang mengkilap oleh cahaya, yang bahkan tidak dapat dibayangkan oleh akal yang paling cerdas sekalipun. Di setiap saat, mereka selalu merasakan berbagai keajaiban dan memiliki firasat untuk mengantisipasinya -setiap mukmin memiliki kemampuan seperti ini sesuai derajat spiritual mereka. Mereka menikmati semua itu dengan sesuatu yang tidak pernah dilihat mata, tidak pernah didengar telinga, dan tidak pernah terbersit dalam hati manusia.
Wahai Allah, sesungguhnya kami memohon kepada-Mu hati yang gemar mengaduh, luluh, dan mengadu kepadamu. Limpahkanlah selawat dan salam kepada Sayyidina Muhammad sang pembimbing ke jalan-Mu, dan kepada segenap keluarga serta para sahabat beliau.
[1] Haqîqah al-Haqâiq = "Hakikat segala hakikat" adalah sekat tak kasat mata antara Wujud Ilahi dan kosmos. Lihat: Sufi Terminology, Amatullah Armstrong, 1995. Penj-
[2] Nûrâniyyah: berarti "bercahaya". Dalam kosmos, sesuatu yang bercahaya (nurâniy) adalah lawan dari sesuatu yang gelap (zhulmâniy). Lihat: Sufi Terminology, Amatullah Armstrong, 1995. Penj-
[3] Al-mutawassim: Orang yang mengetahui pertanda; ia adalah orang yang mengetahui hal-hal yang ada di dalam relung hati dengan menggunakan petunjuk dan tanda-tanda (al-Qusyairi).
[4] Al-Tirmidzi, Tafsir Surah al-Hijr.
- Dibuat oleh