Ikhlas

Ikhlas

Ikhlas adalah sikap sidik dan jernih yang tidak ternoda oleh apapun, serta jauh dari riya. Ikhlas juga adalah menghindari segala hal yang dapat mengotori hari dan menjalani hidup di dalam kejernihan hati, keistiqamahan pikiran, serta jauh dari tendensi duniawiah dalam hubungan dengan Allah, sembari menunaikan penghambaan kepada Allah dengan baik. Demikianlah definisi ikhlas, tapi masih ada sangat banyak pernyataan dari para masyayikh yang akan kami kutip sebagian di bawah ini seputar topik yang sedang kita bahas.

Pengertian ikhlas dalam ibadah dan ketaatan individu adalah: menghindari segala hal yang berada di luar perintah, keinginan, dan kebaikan Allah s.w.t., demi menjaga berbagai rahasia yang ada di antara hamba (al-'abd) dan Dzat yang disembahnya (al-ma'bûd); serta melakukan berbagai amal perbuatan yang semata-mata ditujukan kepada Allah yang Mahamelihat. Dengan kalimat lain, ikhlas adalah: pelaksanaan berbagai kewajiban dan tanggung jawab oleh si hamba, karena Allah memerintahkannya, dan demi meraih ridha-Nya melalui pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab tersebut. Ikhlas juga adalah tawajuh seorang hamba kepada akhirat. Itulah sebabnya ikhlas menjadi sifat terpenting bagi para shadiqin.

Berdasarkan pejelasan ini, maka ketulusan yang benar (al-wafâ` al-shâdiq) dapat dianggap sebagai akar atau sumber, sementara ikhlas adalah sesuatu yang muncul dari sumber tersebut. Rasulullah s.a.w. telah menjelaskan hal ini dalam sabda beliau: "Sesiapa yang ikhlas demi Allah s.w.t. selama empat puluh hari, niscaya mata air hikmah akan terbit dari lidahnya."[1]

Ketulusan yang benar (al-wafâ` al-shâdiq) merupakan sifat pertama yang dimiliki para nabi 'Alahim al-Salâm, sementara ikhlas adalah salah satu elemennya yang paling bercahaya. Sejak dilahirkan, para nabi telah dianugerahi keikhlasan yang selalu ingin diraih oleh semua orang selain mereka di sepanjang hidup mereka. Al-Qur`an selalu mengingatkan kita mengenai hal ini ketika salah satu ayatnya menyebutkan tentang keikhlasan yang dimiliki salah seorang nabi: "Sesungguhnya ia adalah seorang yang mukhlas..." (QS. Maryam [19]: 51).

Sebagaimana halnya ketulusan yang benar dan keikhlasan menjadi sifat para nabi 'Alahim al-Salâm, maka masing-masing dari kedua sifat ini juga menjadi sifat penting seperti layaknya air dan udara bagi siapapun yang melanjutkan dakwah para nabi. Kemampuan untuk memiliki kedua sifat ini dan terbang menggunakan kedua sayap ini merupakan sumber kekuatan terpenting bagi mereka. Karena sebagian dari para pewaris nabi itu meyakini bahwa mereka tidak akan sanggup mengayunkan langkah mereka tanpa keikhlasan, sementara sebagian yang lain meyakinin bahwa mereka tidak sanggup melakukan itu.

Sungguh, ketulusan yang benar dan keikhlasan begitu mendalam hingga mencapai derajat bahwa salah satu ujung kedua sifat ini berada di hati manusia sementara ujung yang lainnya melekat pada pertolongan Allah s.w.t.. Itulah sebabnya tidak pernah ditemukan ada seorang hamba yang akan tersia-sia jika ia membentangkan layar bahtera keikhlasan, menyelami kedalaman keikhlasan, dan terbang menggunakan sayap keinkhlasan. Itu dapat terjadi karena orang yang ikhlas selalu berada dalam tanggungan Allah. Bagi seorang mukhlis, mengejar ridha Allah s.w.t. lebih afdal daripada amal perbuatan dan pahala yang banyak, "karena sebutir benih dari sebuah amal yang ikhlas, lebih afdal bagi Allah daripada berton-ton benih dari amal yang tidak ikhlas."[2]

Ikhlas adalah perbuatan hati. Sesungguhnya Allah menakar kadar amal perbuatan sesuai dengan kecenderungan hati, sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadits: "Sesungguhnya Allah tidak melihat ke tubuh-tubuh kalian, dan tidak melihat ke penampilan kalian, tetapi Dia melihat ke hati kalian."[3]

Ikhlas adalah sebuah entitas andalan yang Allah anugerahkan kepada hati-hati yang suci. Ia adalah sebuah entitas ajaib yang akan membuat sesuatu yang sedikit menjadi banyak, sesuatu yang dangkal menjadi dalam, dan membuat ibadah serta ketaatan yang terbatas menjadi tak terbatas. Sehingga dengan keikhlasan, manusia dapat meminta kepada Allah s.w.t. sesuatu yang paling mahal yang ada di "pasar" dunia dan akhirat, dengan tetap dirinya akan mendapatkan kehormatan meski apa yang dimintanya itu juga banyak diminta oleh manusia lain.

Disebabkan kekuatan rahasia yang terkandung di dalam keikhlasan itulah maka Rasulullah s.a.w. bersabda: "Ikhlaslah dalam agamamu, niscaya akan cukup bagimu amal perbuatan yang sedikit."[4] Beliau juga mengingatkan agar setiap amal perbuatan yang dilakukan haruslah ikhlas demi Allah s.w.t.: "Ikhlaslah dalam semua amal perbuatan kalian, sesungguhnya Allah tidak menerima amal, kecuali amal yang ikhlas."[5]

Jadi, jika amal diumpamakan sebagai tubuh, maka ikhlas adalah rohnya. Jika amal diumpamakan sebagai sebuah sayap, maka ikhlas menjadi sayap pasangannya. Tidak ada jasad tanpa roh, dan tidak ada yang bisa terbang hanya dengan satu sayap.

Maulana Rumi menggubah sebuah syair indah mengenai topik ini:

Hendaklah kau ikhlas di setiap amalmu
Agar Tuhan yang Mulia menerima ketaatanmu
Karena ikhlas adalah sayap bagi burung ketaatan
Jadi bagaimana mungkin ia terbang tanpa sayap.

Sebuah kata-kata indah lain pernah disampaikan oleh Yazid al-Busthami:

Aku telah mengerahkan segenap kemampuanku, dan aku beribadah kepada Allah selama tiga puluh tahun. Kemudian kudengar suara gaib: "Wahai Abu Yazid, sesungguhnya khazanah-khazanah Allah telah penuh dengan ibadah. Jika kau ingin mencapai Dia, maka kecilkanlah dirimu di depan gerbang al-Haqq dan ikhlaslah dalam amalmu", maka aku pun mawas diri.

Bagi sebagian orang, ikhlas adalah: Berhati-hati dari perhatian Allah dalam ibadah dan ketaatan. Sementara sebagian yang lain berkata bahwa ikhlas adalah: Melupakan pandangan terhadap makhluk secara keseluruhan. Sementara sebagian yang lain berkata bahwa ikhlas adalah: Tidak memikirkan keikhlasan itu sendiri.

Ya, bagi orang-orang itu, ikhlas adalah: Menjauhkan amal perbuatan dari segala kotoran dan melupakan semua tendensi baik material maupun non-material, dengan muraqabah yang berkesinambungan.

Tapi definisi ikhlas yang paling tepat adalah: "Rahasia antara hamba dengan Tuhan yang Allah anugerahkan kepada hati hamba-Nya yang Dia cintai."[6]

Dalam pandangan orang yang ikhlas, adalah sama saja baginya pujian atau celaan, penghormatan atau penghinaan, perbuatannya diketahui orang lain atau tidak, bahkan sama saja baginya apakah amalnya akan diganjar pahala atau tidak...karena semua itu tidak penting baginya. Itulah sebabnya kondisi orang-orang seperti itu baik yang tampak maupun yang tidak, selalu sama saja.

Wahai Allah, jadikanlah kami termasuk hamba-hamba-Mu yang mukhlish dan mukhlash, dan limpahkanlah selawat dan salam kepada sang teladan kaum mukhlashin, Sayyidina Muhammad, dan seluruh keluarga serta sahabat beliau yang ikhlas.

[1] Lihat: al-Mushannaf, Ibnu Abi Syaibah 7/80; al-Musnad, al-Dailami 3/564; Hilyah al-Auliyâ`, Abu Nu'aim 5/189, 10/70.
[2] Al-Lam'ât, Badi' al-Zaman Sa'id Nursi 201.
[3] Muslim, al-Birr 33.
[4] Syi'b al-Îmân, al-Baihaqi 5/342; al-Musnad, al-Dailami 1/435.
[5] Al-Sunnah, Dar al-Quthni 1/51; Syi'b al-Îmân, al-Baihaqi 5/336; al-Musnad, al-Dailami 5/271; al-Ahâdîts al-Mukhtârah, Dhiyauddin al-Maqdisi 8/90.
[6] Ada sebuah hadits yang menyatakan bahwa Rasulullah s.a.w. menyampaikan firman Allah s.w.t. dari Jibril a.s., Allah berfirman: "Ikhlas adalah salah satu rahasia di antara rahasia-Ku yang Aku titipkan ke dalam hati hamba-Ku yang Aku cintai." Hadits qudsi ini ditakhrij oleh al-Hafizh al-Iraqi dalam Ihyâ` 'Ulûm al-Dîn, bab II dalam bahasan tentang ikhlas, dari al-Risâlah, al-Qusyairi 330. Lihat pengertian hadits qudsi ini dalam al-Musnad, al-Dailami 3/187.