Malu

Dalam Bahasa Arab, "malu" disebut "al-hayâ`", "al-khajal", atau "al-hisymah". Dalam istilah sufi, yang dimaksud dengan malu (al-hayâ`) adalah: Menjauhi segala yang tidak diridhai Allah karena takut dan segan kepada-Nya. Ketika sikap ini berpadu dengan perasaan malu yang telah ada secara naluriah di dalam watak manusia, maka ia akan membentuk orang yang bersangkutan memiliki hubungan erat dan jalinan kuat yang sesuai dengan nilai-nilai adab dan kehormatan. Tidak diragukan lagi bahwa munculnya rasa yang satu ini, yaitu rasa malu, amatlah sulit bagi orang-orang yang sejak awal memang tidak punya rasa malu, atau tinggal di tengah lingkungan yang membuatnya tidak tahu malu, atau pada diri orang-orang yang sengaja membuang rasa malu yang dimilikinya.

Berdasarkan beberapa indikator yang tercantum dalam uraian di atas, kita dapat membagi rasa malu menjadi dua macam, yaitu:

1-Malu yang bersifat naluriah (al-hayâ` al-fithriy atau al-hayâ` al-nafsiy), yaitu rasa malu yang menghalangi manusia melakukan hal-hal yang akan menjadi aib atau kehinaan baginya.

2-Malu yang tumbuh dari iman, yaitu malu yang membentuk kedalaman dalam melaksakan ajaran Islam.

Ketika rasa malu yang bersifat naluriah itu menyerap nutrisi dari malu yang terkandung di dalam ajaran Islam, maka ia akan bertumbuh kuat menjadi benteng yang kokoh untuk menghadapi segala bentuk aib dan cela. Sementara jika seseorang hanya memiliki salah satu di antara kedua jenis rasa malu ini, maka bisa jadi ia akan ragu-ragu ketika menghadapi suatu kondisi tertentu sehingga ia akan berbalik badan atau bahkan terperosok pada kebinasaan.

Ya, sesungguhnya segala yang terdapat di dalam tabiat seseorang dalam bentuk perasaan sempit dan ingin menghindar tidak akan terus berlanjut jika dirinya dididik dengan keimanan seperti yang dijelaskan dalam ayat: "Tidakkah dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat segala perbuatannya?" (QS. al-'Alaq [96]: 14), dan dengan pemahaman tentang ihsan yang dinyatakan oleh ayat: "Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kalian." (QS. al-Nisa` [4]: 1); semua itu terjadi karena keberadaan, pertumbuhan, dan kesinambungan rasa malu berhubungan dengan iman.

Dikatakan dalam sebuah hadits shahih: Suatu ketika Rasulullah s.a.w. lewat di dekat seseorang yang sedang mengecam saudaranya karena saudaranya itu tidak tahu malu. Ia berkata: "Sesungguhnya engkau malu..." Sampai-sampai sepertinya ia berkata: "Ia telah membahayakan disebabkan dirimu..." Tapi Rasulullah lalu bersabda: "Biarkanlah ia, karena malu adalah sebagian dari iman."[1]

Dalam hadits lain dikatakan bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda: "Iman memiliki tujuh puluh lebih cabang, dan malu adalah satu cabang dari iman."[2]

Berdasarkan uraian ini maka kita dapat mengatakanbahwa malu yang ditimbulkan oleh naluri, sebagaimana halnya benih yang bagus dan tersembunyi, yang ada di dalam tabiat manusia, akan bertumbuh dan kuat batang-cabangnya jika ia diberi nutrisi dan diperkuat dengan makrifat atau pengetahuan yang akan membuat manusia menjadi manusia sejati. Sampai ketika rasa malu itu menjadi bagian dari kehidupan spiritual-rohaniah orang yang bersangkutan. Pada saat itu, rasa malu akan menjadi benteng kokoh dari segala bentuk dorongan nafsu yang muncul.

Sebaliknya, jika rasa malu itu tidak dibesarkan dengan iman dan makrifat, tidak diperkokoh dengan ihsan, lalu justru didorong ke arah kekeringan, kebutaan, dan keterperukan dalam hawa nafsu, maka tidak mustahil ia akan terperosok jatuh baik pada tataran individu maupun pada tataran masyarakat. Rasulullah s.a.w. yang menjadi kebanggaan alam semesta dan teladan bagi rasa malu, mengingatkan kita kepada masalah ini melalui sabda beliau: "Jika kau tidak merasa malu, maka berbuatlah sesukamu."[3]

Kata "hayâ`" (malu) dan "hayâh" (kehidupan) adalah dua kata yang serupa. Disebabkan kemiripan ini, maka kita tahu bahwa kehidupan hati tidak akan dapat terwujud kecuali hanya dengan adanya kekuatan rasa malu yang muncul dan tumbuh di bawah cucuran hujan keimanan dan makrifat. Ya, kehidupan memang hanya akan berlanjut jika ditegakkan di atas pondasi yang benar, sebagaimana halnya rasa malu juga akan hidup jika didirikan di atas pondasi yang benar. Karena tanpa adanya pondasi yang kuat, maka bukan tidak mungkin kedua hal ini akan runtuh.

Suatu ketika Junaid ditanya tentang rasa malu. Ia lalu menjawab: "Melihat nikmat Allah dan melihat kurangnya amal. Dari kedua hal itulah akan muncul sesuatu yang disebut rasa malu."[4] Dengan kata lain, Junaid menyatakan bahwa malu adalah sebuah kondisi gelisah yang muncul setelah kita melihat nikmat-nikmat Allah s.w.t. baik berupa materi maupun non-materi, sementara kita menyadari kekurangan kita dalam beribadah kepada-Nya.

Menurut Dzun Nun al-Mishri, yang dimaksud dengan "malu" adalah: Adanya perasaan keji di dalam hati secara terus-menerus disebabkan adanya kondisi yang tidak tepat untuk kemudian kembali kepada muraqabah atas arahan kami.[5]

Bagi ulama lain, malu adalah: Pengaturan yang dilakukan seseorang terhadap hidupnya sesuai dengan ilmunya dengan kesadaran terhadap Allah secara batin maupun lahit, serta menjadikan interaksi dengan Allah sebagai landasan utama bagi hidupnya.

Dalam sebuah atsar disebutkan: Sulaiman al-Darani berkata: Allah azza wa jalla berfirman: "Sesungguhnya jika engkau malu kepada-Ku, maka kau akan membuat orang lain melupakan aibmu."[6]

Tampaknya ada gunanya pula jika kami sebutkan di sini sebuah firman Allah s.w.t. kepada Isa a.s.: "Wahai Isa, nasehatilah dirimu. Jika ia mendengarkan nasehat itu, maka nasehatilah orang lain. Tapi jika tidak, maka malulah engkau pada-Ku."[7]

Selain itu, maka ada beberapa klasifikasi lain yang berhubungan dengan masalah rasa malu ini. Berikut ini adalah beberapa di antaranya:

-Hayâ` al-Zullah (malu akibat kesalahan); adalah rasa malu seperti yang terjadi pada Nabi Adam a.s. ketika datang perintah untuk memohon ampunan.

-Hayâ` al-Taqshîr (malu akibat kekurangan); adalah rasa malu seperti yang dimiliki para malaikat yang selalu bertasbih siang dan malam tanpa henti, tapi ternyata mereka berkata kepada Allah: "Kami belum menyembah-Mu dengan sebenar-benarnya."[8]

-Hayâ` al-Ijlâl (malu karena keagungan Allah); adalah rasa malu yang dimiliki para ahli makrifat yang berkata kepada Allah: "Kami belum mengenal-Mu dengan sebenar-benarnya", yang juga diiringi dengan sikap takzim luar biasa yang mereka tunjukkan kepada Allah s.w.t..

-Hayâ` al-Haibah (malu karena segan); adalah rasa malu yang dimiliki para spiritualis (arbâb al-qalb wa al-rûh) yang merasa malu kepada Allah sehingga mereka terus mengembara di cakrawala al-tajarrud sembari menafikan segala bentuk hasrat pribadi.

-Hayâ` al-Minnah (malu karena kebaikan Allah); adalah rasa malu yang dimiliki para Ahlul Yaqin yang senantiasa hidup dalam dinamika "kedekatan dalam kejauhan" dan "kejauhan dalam kedekatan", sehingga mereka merasa kedekatan yang sangat dengan Allah, meski sebenarnya mereka jauh dari-Nya.

-Hayâ` 'Adam al-Wafâ` (malu karena tidak mampu memenuhi); adalah rasa malu yang muncul dari rasa gelisah disebabkan ketidakmampuan memenuhi hak mahabah yang layak kepada sang Kekasih Sejati, yaitu Allah s.w.t..

-Hayâ` al-Ikhlâl bi al-Ikhlâsh (malu karena tidak mampu bersikap ikhlas); adalah rasa malu yang muncul pada diri orang-orang yang merasa gundah karena tidak mampu menentukan pilihan terbaik ketika berdoa dan memohon kepada Allah.

-Hayâ` al-Ghirah (malu karena cemburu); adalah rasa malu yang muncul pada jiwa-jiwa luhur yang menyadari bahwa mereka adalah makhluk terbaik, tapi mereka tidak mampu mengimbangi kedudukan itu dengan amal perbuatan yang seusi.

Tingkatan malu yang pertama, adalah rasa malu yang lahir dari pandangan manusia terhadap dirinya sendiri berdasarkan pandangan Allah s.w.t.. Muhasabah yang dilakukan manusia terhadap dirinya dengan menggunakan standar dan tolok ukur yang Allah tetapkan, pasti akan melahirkan rasa malu yang diiringi dengan kehati-hatian. Dari situ, orang yang bersangkutan akan selalu hidup dengan kesadaran dan pikirannya.

Tingkatan malu yang kedua, adalah rasa malu yang berbanding lurus dengan kesadaran akan kedekatan (al-qurbah) dan kebersamaan (al-ma'iyyah) Ilahiah. Rasa malu seperti ini biasanya dimiliki mereka yang selalu mengembara di tengah cakrawala firman Allah: "dan Dia selalu bersama kalian di mana pun kalian berada" (QS. al-Hadid: 4). Rasulullah s.a.w. bersabda: "Malulah kalian kepada Allah dengan malu yang sebenar-benarnya." Para sahabat bertanya: "Wahai Rasulullah, sungguh kami semua malu. Alhamdulillah." Rasulullah menyahut: "Bukan itu. Tetapi malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya, yaitu ketika kepala menjaga apa yang disadarinya, perut menjaga apa yang mengisinya, dan mengingat kematian serta kebinasaan. Siapapun yang menginginkan akhirat, maka ia akan meninggalkan perhiasan dunia. Siapapun yang melakukan itu, maka sesungguhnya dia telah malu kepada Allah dengan malu yang sebenar-benarnya."[9]

Tingkatan malu yang ketiga, adalah ketika Anda mampu menggunakan intuisi di kedalaman kesaksian terhadap kehidupan spiritual-rohaniah, lalu Anda terus seperti itu sampai selama-lamanya, di bawah naungan sayap perjalanan rohani di jalan yang menghantarkan ke tujuan "dan bahwasanya kepada Tuhanmulah kesudahan (segala sesuatu)," (QS. al-Najm [53]: 42), yaitu ketika manusia meraih kemanusiaannya yang sejati sebagaimana halnya rasa malu yang memang menjadi bagiannya.

Jika seorang penempuh jalan kebenaran tidak mampu bertawajuh (bergerak ke arah) dan mengatur jalannya di semua keadaannya, baik yang positif maupun negatif, sesuai dengan tujuan akhirat, dan dia juga tidak mampu melakukan fana` secara sempurna dengan menafikan dirinya sendiri dari kehidupan dalam adab yang baik, maka keberadaannya adalah aib -dari satu sisi- bagi dirinya sendiri, di samping ia juga akan menjadi beban berat bagi orang lain. Atas dasar inilah kemudian muncul sebuah syair berikut ini:

Jangan! Demi Allah dalam hidup tidak ada kebaikan
Sebagaimana juga di dunia, jika rasa malu sudah hilang.
[10]

Rasa malu adalah salah satu akhlak Ilahi dan salah satu rahasia di antara sekian banyak rahasia yang Allah miliki. Kalau seseorang sudah mengetahui di manakah letak rasa malu, maka semua gerak dan diamnya pasti akan dilakukan secara lebih cermat dan teliti. Berikut ini kami ingin menukil sebuah cerita sebagai bahan pelajaran bagi kita semua:

Diriwayatkan bahwa pada Hari Kiamat Allah menghisab seorang kakek tua. Allah bertanya kepada si kakek: "Kenapa kau melakukan dosa-dosa ini?" Si kakek menyangkal dengan mengatakan bahwa dia tidak pernah melakukan semua dosa itu. Allah lalu berkata kepada para malaikat: "Kalau begitu, bawalah dia ke dalam surga." Pada saat itu malaikat berkata kepada Allah: "Wahai Allah, bukankah Engkau jauh lebih tahu tentang dosa-dosa yang dilakukan orang ini?" Allah pun menyahut: "Ya. Tapi dia termasuk umatnya Muhammad. Aku melihat uban di kepala dan jenggotnya, maka Aku malu menyampaikan dosa-dosanya."

Di dalam Kanz al-'Ummâl disebutkan sebuah riwayat seperti berikut ini:

Suatu ketika Malaikat Jibril a.s. menyampaikan sebuah kabar kepada Rasulullah s.a.w. sehingga membuat beliau menangis. Seseorang pun bertanya kepada Rasulullah: "Wahai Rasulullah, kenapa engkau menangis?" Rasulullah menjawab: "Aku menangis untuk orang yang Allah merasa malu kepadanya, tapi dia tidak merasa malu kepada Allah."[11]

Ringkasan:

Sesungguhnya Mahapemalu adalah salah satu asma Allah
Perintah untuk berakhlak dengan akhlak-Nya sudah ada, maka lakukanlah.
[12]

Wahai Allah sesungguhnya hamba berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak bisa khusyuk, dari doa yang tidak didengar, dan dari nafsu yang tidak ada kenyangnya.

Wahai Allah, limpahkanlah selawat kepada makhluk-Mu yang terbaik, Muhammad, dan kepada segenap keluarga serta sahabatnya. Amin.

[1] Al-Bukhari, al-Îmân 16; Muslim, al-Îmân 59; Abu Daud, al-Adab 6.
[2] Muslim, al-Îmân 57, 58; al-Nasa`i, al-Îmân 16. Lihat: Dengan sedikit perbedaan: al-Bukhari, al-Îmân 3; Abu Daud, al-Sunnah 14.
[3] Al-Bukhari, al-Anbiyâ` 54, al-Adab 78; Abu Daud, al-Adab 6; Ibnu Majah, al-Zuhd 17.
[4] Al-Risâlah, al-Qusyairi 345.
[5] Al-Risâlah, al-Qusyairi 342: "Malu adalah adanya persaan segan dan keji di dalam hati atas apa yang sudah engkau lakukan kepada Tuhanmu."
[6] Syi'b al-Îmân, al-Baihaqi 6/150; Târîkh Dimasyq, Ibnu Asakir 34/150.
[7] Al-Zuhd, Ibn Abi Ashim 54; Hilyah al-Auliyâ`, Abu Nu'aim 2/382; al-Musnad, al-Dailami 1/144.
[8] Al-Mu'jam al-Kabîr, al-Thabrani 2/184; al-Mustadrak, al-Hakim 4/629; Syi'b al-Îmân, al-Baihaqi 1/183.
[9] Al-Tirmidzi, al-Raqâiq 24; al-Musnad, Imam Ahmad 1/387.
[10] Dîwân al-Hamasah, Abu Tamam 2/26.
[11] Kanz al-'Ummâl, Ali al-Mutaqi 15/673, al-Hadits 42680.
[12] Lihat: Abu Daud, al-Hamam 1, al-Witr 23; al-Nasa`i, al-Ghusl 7. Rasulullah s.a.w. bersabda: "Sesungguhnya Tuhan kalian tabaraka wa ta'ala Mahapemalu lagi Mahapemurah. Dia merasa malu kepada hamba-Nya jika si hamba mengangkat kedua tangannya kepada-Nya lalu kedua tangan itu kembali dengan keadaan kosong."