Syukur

Syukur

Dalam Bahasa Arab, kata "syukur" (al-syukr) berarti "al-imtinân" (terima kasih), sikap ridha terhadap kebaikan, seperti apapun bentuk kebaikan tersebut. Adapun secara terminologis, "syukur" berarti: Menggunakan anugerah yang diterima manusia berupa perasaan, pikiran, anggota badan, dan organ tubuh sesuai tujuan penciptaannya masing-masing. Sebagaimana halnya syukur dapat dilakukan dengan hati dan lidah, ia juga dapat dilakukan menggunakan semua anggota tubuh.

Syukur dengan lisan; dilakukan dengan mengakui bahwa berbagai macam kelembutan dan nikmat semuanya datang dari Allah ta'ala, serta menafikan semua sumber kekuatan, kekuasaan, dan ihsan yang tidak jelas. Ya, sesungguhnya Allah-lah yang telah menetapkan segenap kebaikan serta menyiapkan jalan sebab (al-sabab) baginya dari awal sampai akhir. Sebagaimana halnya Dia juga yang telah mengirimkannya pada waktu yang tepat. Sesungguhnya Allah-lah yang mendistribusikan, mengalirkan, mewujudkan, dan menciptakan semua itu di tempatnya, lalu Dia menyediakan itu di depan kita sebagai anugerah samawi. Itulah sebabnya, Allah adalah pihak yang paling berhak atas segala bentuk syukur dan terima kasih kita.

Jadi, sikap berpura-pura lupa kepada Allah s.w.t. dan menggantungkan diri hanya pada asbâb (ikhtiyar) untuk kemudian hanya berterima kasih kepada sebab-musabab yang kita tempuh, sebenarnya itu mirip dengan seseorang yang menuduh pelayan yang telah menghidangkan makanan ke hadapannya sebagai pelaku suap atau sogokan, dan melupakan semua yang telah ia siapkan untuk kita. Amat cocoklah baginya isi ayat yang berbunyi: "Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai." (QS. al-Rum [30]: 7).

Ya, orang-orang semacam itu adalah orang-orang dungu, kurang, mengingkari kebaikan, lemah pengetahuan, miskin ilmu tentang penglihatan pada apa yang ada di balik asbâb, sehingga mereka hanya melihat ke satu arah saja.

Syukur dengan hati; merupakan makrifat atas semua bentuk nikmat yang berguna dari Allah s.w.t., baik yang bersifat lahir maupun batin. Dari situlah kemudian hidup diarahkan dan ditegakkan mengikuti pemahaman ini. Di saat yang sama, syukur hati semacam ini juga akan melandasi syukur yang dilakukan dengan lisan dan anggota tubuh lainnya, sebagaimana yang termaktub di dalam ayat: "dan (Allah) menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin." (QS. Luqman [31]: 20). Ayat ini menunjukkan dimensi kualitas nikmat yang Allah berikan, sedangkan ayat yang berbunyi: "Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya." (QS. Ibrahim [14]: 34), menjelaskan dimensi kuantitas nikmat Allah s.w.t. yang tidak terhingga jumlahnya.

Adapun yang dimaksud dengan syukur dengan anggota tubuh adalah: menggunakan setiap anggota tubuh dan setiap lathifah sesuai dengan tujuan penciptaannya, serta melaksanakan semua bentuk ubudiyah dan ketaatan bagi masing-masing anggota tubuh tersebut.

Ada pula yang berpendapat bahwa syukur lisan adalah syukur menggunakan bacaan wirid-wirid dan zikir; syukur hati adalah syukur menggunakan keyakinan serta sikap istiqamah; dan syukur anggota tubuh adalah syukur menggunakan ibadah serta ketaatan kepada Allah. Dan karena syukur berhubungan erat dengan iman dan ibadah, maka para ulama menyatakan tentang komprehensivitas syukur: bahwa syukur adalah setengah dari keimanan, sementara kesabaran adalah setengah bagiannya yang lain; mereka biasa menyandingkan kedua sifat ini bersama-sama.

Allah s.w.t. telah memerintahkan manusia untuk bersyukur melalui firman-Nya yang mulia di banyak tempat dalam kitab-Nya. Bahkan Allah menganggap syukur sebagai tujuan dari perintah dan penciptaan, sebagaimana yang dinyatakan dalam firman-Nya: "...supaya kalian bersyukur."[1]

Allah s.w.t. berjanji kepada orang-orang yang bersyukur akan memberi mereka balasan yang baik, sebagaimana Dia berjanji akan menghukum mereka yang durhaka. Hal ini tercantum di dalam ayat: "...dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur." (QS. Ali Imran [3]: 144). Dan ayat: "Sesungguhnya jika kalian bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepada kalian, dan jika kalian mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih." (QS. Ibrahim [14]: 7). Selain itu, Allah juga telah menyebut diri-Nya sendiri dengan nama "al-Syakûr"[2] serta menghubungkan antara jalan menuju sumber segala nikmat dengan syukur.

Allah s.w.t. bahkan memuji mereka yang menjadi juara dalam perkara syukur ini seperti dengan menyebut Sayyidina Ibrahim a.s. sebagaimana termaktub dalam firman-Nya: "yang mensyukuri nikmat-nikmat Allah." (QS. al-Nahl [16]: 121); dan menyebut Sayyidina Nuh a.s. dengan firman-Nya: "Sesungguhnya dia adalah hamba (Allah) yang banyak bersyukur." (QS. al-Isra [17]: 3).

Meskipun syukur merupakan perbuatan mulia dan menjadi semacam modal yang berharga, tapi orang-orang yang mengamalkannya dengan pengertiannya yang hakiki tidaklah banyak. Hal ini dinyatakan oleh Allah s.w.t. dalam firman-Nya: "Dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang berterima kasih." (QS. Saba` [34]: 13). Dan meskipun orang-orang yang menjadikan syukur sebagai kebiasaan mereka selalu melakukannya, bahkan mereka selalu menghabiskan umur mereka dengan bersyukur, seperti yang disabdakan oleh Rasulullah s.a.w.: "Tidakkah aku suka kalau aku menjadi hamba yang banyak bersyukur",[3] hanya saja jumlah mereka sangatlah sedikit.

Ya, Rasulullah yang menjadi pemimpin kesyukuran kepada Allah dan sekaligus menjadi kebanggaan alam semesta memang selalu menjadi yang terdepan dalam mempraktikkan hal ini. Sebuah tindakan yang sangat mulia, tetapi sangat sedikit yang mengamalkannya. Semasa hidupnya Rasulullah s.a.w. selalu bersyukur dalam kondisi apapun; di saat berdiri atau pun duduk. Beliau selalu berpesan kepada siapapun yang mendatangi beliau untuk bersyukur. Bahkan doa yang selalu beliau panjatkan saban pagi dan petang isinya berbunyi: "Tuhanku tolonglah aku untuk dapat mengingat-Mu, bersyukur pada-Mu, dan melaksanakan ibadah pada-Mu dengan baik."[4]

Dan karena syukur berarti sikap terima kasih seorang manusia kepada sang Pemberi nikmat yang telah menganugerahkan banyak nikmat kepadanya, yang diiringi dengan tawajuh kepada-Nya dengan penuh cinta serta pengakuan bahwa semua anugerah berasal dari Allah s.w.t., maka sabda Rasulullah s.a.w. tersebut di atas menjadi kalimat paling singkat dan sekaligus tepat untuk menjelaskan tentang syukur.

Ya, ada orang yang bersyukur atas anugerah roti dan makanan, atau atas anugerah anak dan keluarga, atau atas anugerah tempat tinggal. Ada pula orang yang bersyukur atas semua yang sudah dialaminya, atau atas kesehatan dan kesejahteraan. Bahkan ada orang-orang yang selangkah lebih maju dari yang lain, yaitu mereka yang bersyukur atas nikmat iman, irfan, rasa spiritual (al-dzauq al-rûhâniyyah), dan ketenangan. Ada pula orang yang bersyukur kepada Allah berkat anugerah-Nya berupa perasaan yang dimilikinya. Seseorang dengan pemahaman terakhir ini, jika ia masuk ke dalam wilayah syukur yang berkesinambungan (al-dâirah al-shâlihah) dengan menjadikan kelemahan dan kefakirannya sebagai modalnya yang utama, maka ia akan menjadi salah satu di antara orang-orang yang berhasil bersyukur dengan sebenar-benarnya.

Telah diriwayatkan dalam sebuah hadits bahwa Sayyidina Daud a.s. bertanya kepada Allah: "Wahai Tuhanku, bagaimana aku bersyukur kepada-Mu kalau bahkan syukurku pada-Mu saja juga adalah merupakan nikmat dari-Mu?" Allah menjawab: "Sekarang kau sudah bersyukur kepada-Ku."[5]

Yakinlah bahwa inilah yang dimaksud oleh ungkapan yang berbunyi: "Kami belum bersyukur kepada-Mu dengan syukur yang sebenar-benarnya, wahai Dzat yang harus disyukuri."

Sesungguhnya syukur yang sebenar-benarnya hanya dapat terwujud jika diiringi dengan pengetahuan yang sempurna atas nikmat. Karena sumber nikmat dan pujian yang baik bagi sang Pemberi Nikmat biasanya berhubungan erat dengan pengetahuan atas nikmat. Yang selalu menegaskan hal itu adalah anugerah dari-Nya berupa iman, Islam, dan penjelasan tentang al-Qur`an yang menjadi garis penghubung antara pengetahuan atas nikmat dengan sikap menerima nikmat dengan baik; sebagaimana ia juga menjadi garis penghubung antara orang yang bersangkutan dengan Allah s.w.t..

Ya, sesungguhnya kelembutan Allah s.w.t. terhadap kita akan lebih mudah diketahui dan lebih jelas dengan adanya cahaya iman serta dengan pelaksanaan ajaran Islam. Maka semua itu akan berubah kepada suatu kondisi yang lebih mudah dirasakan. Ketika itu terjadi, maka akan jelas terlihat bahwa semua itu adalah anugerah Allah s.w.t. sebagai rahmat atas kelemahan dan kefakiran kita, serta diberikan disebabkan kebutuhan kita, sebagai anugerah hanya dari Allah s.w.t. tanpa ada yang lain. Pada tahap selanjutnya, semua ini tentu akan memicu munculnya kesadaran untuk memuji sang Pemberi Nikmat disebabkan berbagai nikmat yang telah Dia berikan itu. Kita pun akan melaksanakan kewajiban untuk bersyukur dan memuji yang secara emosional muncul di kedalaman jiwa kita demi mengimplementasikan esensi dari perintah Ilahi: "Dan terhadap nikmat Tuhanmu maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur)." (QS. al-Dhuha [93]: 11).

Pada hakikatnya, di dalam diri tiap-tiap insan terdapat kesadaran untuk berterima kasih kepada siapapun yang berbuat baik padanya. Akan tetapi manusia sering kali tidak dapat merasakan nikmat yang berlimpah datang kepadanya, sehingga membuat dirinya "tenggelam" dalam nikmat-nikmat itu. Hal ini dapat diumpamakan dengan ikan yang berenang di dalam air, sampai datang saat ketika kesadaran itu muncul barulah ia akan menghadapkan wajahnya kepada sang Pemberi Nikmat. Alih-alih bersyukur, justru yang banyak terjadi adalah ketika berbagai nikmat yang melimpah itu langsung tidak terlihat disebabkan berbagai hal remeh yang ada di sekitarnya. Jadi, jika kita menyebut ketidakmampuan melihat nikmat yang melimpah di sekitar ini dengan istilah buta, bisu, atau tidak berperasaan, maka perubahan dari nikmat tak terhitung yang kita terima itu menjadi penyebab kebutaan dan kebisuan yang tidak ada lagi perasaan di dalamnya -tidak perlu diragukan lagi- adalah sebuah penyimpangan dari kebenaran.

Sabda Rasulullah s.a.w. yang berbunyi: "Siapapun yang tidak mengsyukuri yang sedikit, niscaya tidak akan mensyukuri yang banyak;"[6] atau "Siapapun yang tidak bersyukur kepada manusia, maka ia tidak bersyukur kepada Allah azza wa jalla;"[7] menunjukkan bagian pertama serta mengingatkan betapa pentingnya syukur. Adapun bagian yang kedua dijelaskan oleh beberapa ayat suci yang mengingatkan pada tauhid yang sejati: "dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat) -Ku." (QS. al-Baqarah [2]: 152), dan "dan sembahlah Dia dan bersyukurlah kepada-Nya." (QS. al-Ankabut [29]: 17).

Berdasarkan penjelasan di atas, kita dapat mengetahui bahwa jika kita tilik dari beberapa elemen yang membentuknya, syukur terkandung di dalam ketiga bagian berikut ini:

1-Syukur terhadap nikmat yang diterima oleh semua orang, baik yang awam maupun yang khas, baik yang muslim maupun yang non-muslim, dan mereka semua menyukai nikmat itu. Inilah jenis syukur yang sangat jelas dan tidak ada sesuatu apapun yang akan menunda-nunda pelaksanaannya.

2-Syukur terhadap hal-hal yang secara lahir tampak tidak disukai, atau secara lahiriah hal-hal tersebut terasa berat dan tidak menyenangkan. Untuk bersyukur terhadap hal-hal semacam ini amatlah sulit, kecuali bagi orang-orang yang pandangannya mampu menembus ke balik tirai semua kejadian, karena ini adalah bagian dari kasih sayang Ilahi yang akan mewarnai siapapun yang mampu mensyukurinya dengan sifat ridha dan siap menerima apapun dari-Nya.

3-Syukur yang dilakukan orang-orang yang mencurahkan seluruh hidup mereka dalam orbit cinta kepada Allah. Mereka tidak pernah melihat nikmat, selain dari perspektif Dzat yang telah memberi nikmat tersebut. Mereka sangat peka terhadap kasih sayang-Nya dan nikmat-Nya dengan segala keagungan-Nya. Orang-orang ini hidup di kedalaman kesaksian para Allah, sehingga ibadah yang mereka lakukan menjadi senandung dari dzauq yang mereka miliki. Kehidupan spiritual mereka menjadi laksana gelombang badai kerinduan dan cinta kepada Allah. Hubungan mereka dengan Allah al-Haqq s.w.t. sangat erat, di dalam kesaksian mendalam di tengah keteguhan yang kokoh. Mereka selalu mengikat segala yang maujud, dan mereka selalu memburu yang mereka rasa hilang. Mereka selalu mewarnai setiap waktu yang mereka lakukan dengan limpahan kudus yang mereka terima. Mereka meraih kedalaman di tengah perjalanan yang mereka tempuh. Pandangan mereka kian tajam untuk melihat limpahan nikmat Allah, sehingga mereka mampu meraih nikmat yang berlimpah.

Wahai Allah, jadikanlah kami termasuk hamba-hamba-Mu yang mukhlash, dicintai, dan didekatkan kepada-Mu. Limpahkanlah selawat kepada sang pemimpin orang-orang yang mukhlash, dicintai, dan didekatkan kepada-Mu, dan kepada segenap keluarga dan para sahabat beliau.

[1] Lihat: QS. al-Baqarah [2]: 185, 56, 52; QS. Ali Imran [3]: 123; QS. al-Maidah [5]: 89, 6; QS. al-Anfal [8]: 26; QS. al-Nahl [16]: 78, 14; QS. al-Hajj: 36; QS. al-Qashash: 73; QS. al-Rum: 46; QS. Fathir: 12; dan QS. al-Jatsiyah: 12.
[2] Lihat: QS. Fathir: 34, 30; al-Syura: 23; al-Taghabun: 17.
[3] Al-Bukhari, al-Tahajjud 6; Muslim, al-Munafiqin 79 - 81; al-Tirmidzi, al-Shalah 187.
[4] Al-Nasa`i, al-Sahw 60.
[5] Al-Jâmi' li-Ahkâm al-Qur`ân, al-Qurthubi 1/398; 9/343; Tafsir al-Qur`an al-Azhim, Ibnu Katsir 2/541, 3/350.
[6] Al-Musnad, Imam Ahmad 4/278, 375.
[7] Abu Daud, al-Adab 11; al-Tirmidzi, al-Birr 35; al-Musnad Imam Ahmad 2/258, 295, 388, 3/32, 74.