Yakin
Yakin (al-yaqîn) berarti: Selamat dari keraguan dan syubhat, serta penguasaan atas pengetahuan yang akurat, tepat, dan benar, tanpa mengandung keraguan sama sekali. Itulah sebabnya, al-yaqîn, al-îqân, al-istîqân, dan al-tayaqqun, semuanya adalah maqam maknawi yang di dalamnya penempuh jalan makrifat hidup dalam perjalanan spiritualnya. Maqam yang satu ini termasuk di antara entitas-entitas yang memiliki derajat atau tahapan-tahapan seperti perjalanan menanjak lainnya. Oleh sebab itu, ketika membahas tentang yakin, pikiran kita jangan sampai menganggap bahwa yakin sama seperti pengetahuan Allah yang tidak memiliki tahapan-tahapan dan tingkatan-tingkatan, sebagaimana ia tidak memiliki peningkatan atau pun perluasan. Karena nama-nama Ilahi bersifat tauqifi yang bersifat absolut berdasarkan keyakinan. Semua nama itu diajarkan langsung oleh al-syâri' (pembuat syariat, yaitu Rasulullah, penj-) -sesuai anugerah yang beliau terima- dari kata-kata fasih sang Mahagaib yang kemudian menyampaikan nama-nama itu kepada beliau. Di antara nama-nama itu tidak terdapat nama "al-mûqin" yang akan berkonsekuensi pada posisi Allah sebagai sumber keyakinan. Penyebabbnya adalah karena istilah "yakin" dipakai bagi seseorang yang sempat merasakan keraguan, syubhat, dan kegamangan, padahal Dzat Allah sama sekali terhindar dari segala bentuk keraguan semacam itu.
Bagi para sufi, yang dimaksud dengan "yakin" adalah: Pengetahuan mengenai dasar-dasar keimanan, khususnya tauhid yang menjadi titik sentralnya, dengan tingkat pengetahuan yang sama sekali tidak terkontaminasi oleh lawan dari keimanan tersebut. Yakin juga berarti: Sikap menerima, mengetahui, dan menyadari iman sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari jati diri manusia sehingga ia mencapai tingkat irfân.
Ada pula yang mendefinisikan "yakin" sebagai: Persaksian atas hal-hal gaib, muraqabah atas segala yang ada di balik entitas, dan menyembunyikan pelbagai rahasia dengan menggunakan jalan "al-lathifah al-rabbaniyyah" tanpa menggunakan petunjuk dan dalil dalam keimanan.
Menurut hemat saya, definisi "yakin" yang paling tepat adalah: Pencapaian titik tertinggi yang dapat dicapai dengan menggunakan berbagai sumber makrifat serta jalan musyahadah dan muraqabah, yang di satu sisi menjadi titik awal dan di sisi lain menjadi titik akhir.
Seorang Ahli Hakikat yang telah mencapai titik itu biasanya akan langsung membentangkan layar bahteranya untuk berlayar menuju keabadian yang akan membuatnya dapat melakukan mi'raj dengan hati dan rohnya untuk mencapai ketinggian: "Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya." (QS. al-Najm [53]: 17). Dengan apa yang dilakukannya itu, maka ia pun dapat melanglang-buana di galaksi tajalliyat Ilahi yang dahsyat. Selain itu ia juga akan dimuliakan dengan lidah yang mampu mengucapkan Ayat Agung (al-ayah al-kubrâ) karena ia akan melihat dan mendengar menggunakan "ayat" tersebut.
Dengan kata lain, ia akan mendapat anugerah berupa berbagai hal yang akan menjelaskan berbagai makna dari segenap entitas, baik yang kecil maupun yang besar, sebagai hasil dari aktivitasnya menelaah Kitab Semesta secara sistematis serta ketelatenannya mengulang-ulang gerakannya seperti layaknya seorang pengolah kapas yang mahir. Itulah sebabnya kemudian ia akan menemukan penyingkapan dari hal-hal yang tidak dapat mudah untuk diketahui berupa rahasia yang ada di balik tirai. Itu terjadi karena Allah memberinya kemampuan untuk menyaksikan berbagai pelajaran yang muncul beturut-turut satu demi satu pada cakrawala semesta dan makhluk hidup. Ia juga akan mengalami tajalli atas Khazanah Tersembunyi (al-kanz al-makhfiy) di sepanjang aliran gelombang tanazzul,[1] yang tidak mungkin dapat diputus menggunakan kekuatan manusia dan tidak mungkin untuk dikendalikan, yang dapat dicapai oleh hati dengan menghidupkannya di dalam kawasan ilham yang cemerlang. Selain itu, ia juga akan mengenal apa yang dirasakannya sebagai pendar cahaya kristal hati, yang merefleksikan -tanpa sedikit pun bias- berbagai anugerah yang menjadi inti cahaya dari sumber-sumber ini. Semua itu akan merefleksi pada mata, telinga, dan berbagai lathifah lainnya. Itulah sebabnya, pencapaian, kesadaran, dan kenikmatan atas anugerah ini tidak akan menjadi kehormatan bagi siapapun kecuali hanya mereka yang dekat dengan Allah dalam pengertian yang paling khusus.
Perlu diketahui bahwa keyakinan yang paling sedikit sekalipun sedemikian kuatnya sehingga dapat membuat hati dipenuhi cahaya dan akan menghilangkan debu keraguan serta mengenyahkan kabut ketidakpastian. Meski sedikit, keyakinan mampu mengembuskan kesenangan, ketenangan, dan kesejukan ke dalam dimensi internal manusia.
Seperti yang dikatakan oleh Dzun Nun al-Mishri: Keyakinan akan meletupkan harapan abadi dan hasrat ukhrawi di dalam hati. Perasaan luhur ini akan menumbuhkan semangat zuhud. Tempat persemayaman zuhud adalah kawasan pikiran yang selalu terbuka bagi segala bentuk hikmah-kebijaksanaan. Roh yang telah bertemu dengan zuhud (asketisme) serta mencapai hikmah (kebijaksanaan) pasti akan memusatkan pandangannya pada akhirat dan menjadikannya sebagai pengendali utama bagi dirinya. Orang-orang yang selalu bergerak menuju akhirat tanpa henti adalah orang-orang yang senantiasa "bersama" Allah s.w.t. meski mereka berada di tengah orang banyak.[2]
Sesungguhnya awal dari yakin adalah batas tersibaknya tirai. Dua langkah setelah itu adalah al-mukâsyafah dan sampainya hati pada kondisi yang dipenuhi tajalliyat Ilahi serta tertutupnya pintu hati dari segala bentuk syubhat dan keraguan. Sedemikian tingginya pencapaian ini, sampai-sampai siapapun yang mencapai titik ini akan berkata: "Kalaupun tirai penutup tersingkap, maka keyakinanku tidak akan bertambah lagi."[3] Setelah kawasan ini, yang di dalamnya hakikat dari segala sesuatu dapat terlihat dengan berbagai keindahan dalam dua tarikan napas. Di sinilah musyahadah (kesaksian) akan terjadi, dan ia menjadi tempat pengembaraan di Alam Anugerah yang di dalamnya terdapat segala yang tidak pernah dilihat mata, tidak pernah didengar telinga, dan tidak pernah terlintas dalam hati manusia.
Jika dilihat dari titik awalnya, "keyakinan" adalah bersifat kasbiy (intensional). Tapi dalam pengertian yang lebih dalam, keyakinan adalah: Keterkaitan antara kehendak parsial (al-irâdah al-juz`iyyah) dengan kecenderungan dan aktivitas di dalamnya seperti yang dimiliki para imam Ahlu Sunnah.
Sedangkan jika dilihat dari titik akhir dan hasilnya, maka dapat dipastikan bahwa keyakinan adalah "visa" menuju makrifat, yang akan menampilkan makrifat, dengan mengaitkan antara kebaikan Allah dengan sudut pandang yang benar, niat yang tulus, dan pengetahuan sang salik dengan dalil yang menuntunnya, sehingga akan membuat seluruh kedalaman jati dirinya akan mengkristal dan berpendar.
Ketika cahaya memancar ke arah roh dari empat penjuru; ketika fajar merekah melimpahkan sinar terang ke seluruh entitas; ketika segenap tempat gelap di barat menjadi seterang fajar timur, pada saat itulah setiap individu -sesuai dengan kesiapan mereka masing-masing- akan berubah menjadi seperti noktah yang dikepung cahaya terang di kedalaman jiwanya. Sang salik akan melihat sirnanya gelombang kekacauan dan mengetahui bahwa segala sesuatu telah berubah menjadi satu suara yang disenandungkan, dirasakan, dan dijalaninya.
Ya, pada titik awalnya, keyakinan memang mengandung sedikit ketidakjelasan. Itulah sebabnya, ia akan diguncang oleh kegelisahan dan ketidakstabilan. Tapi jika dilihat dari perspektif hasilnya, maka keyakinan adalah: Kondisi hudhûr[4] dan tenang luar biasa yang melampaui imajinasi manusia. Orang-orang yang tidak mampu melihat perbedaan antara titik awal dan titik akhir ini mungkin akan salah paham dengan menganggap bahwa keyakinan mengandung banyak bahaya, sementara hudhûr mengandung kenyamanan dan keamanan. Padahal yang menjadi masalah di sini hanyalah titik awal dan titik akhir. Adapun "bahaya" yang muncul sebenarnya dapat berasal dari setiap individu, sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadits: "...kecuali sampai Allah melimpahkan rahmat kepadaku."[5] Adapun kenyamanan dan keamanan adalah awal dari pertolongan Allah yang Dia tumbuh-besarkan di dalam tempat khusus milik-Nya.
Berdasarkan isyarat yang disampaikan oleh al-Qur`an, para sufi biasa membahas keyakinan dalam tiga bagian:
1-Ilm al-Yaqîn: Yaitu pencapaian iman dan ketundukan terkuat yang berhubungan dengan hal-hal yang ingin dicapai dengan memperhatikan dalil-dalil dan petunjuk yang jelas.
2-'Ain al-Yaqîn: Yaitu pencapaian makrifat melampaui batasan definisi yang dilakukan oleh roh melalui penyingkapan, musyahadah, persepsi, dan kesadaran.
3-Haqq al-Yaqîn: Yaitu anugerah berupa kebersamaan (ma'iyyah) yang mengandung banyak rahasia, tanpa tirai dan penghalang, yang melampaui imajinasi manusia serta tanpa kammiyyah atau pun kaifiyyah. Sebagian sufi menafsirkan anugerah yang satu ini sebagai fana` sang hamba pada seluruh jati diri, ego, diri, dan kebersamaannya dengan Allah al-Haqq s.w.t..
Kita dapat menyampaikan ketiga poin ini dalam sebuah contoh sederhana sebagai berikut:
-Pengetahuan seseorang atas kematian sebelum kematiannya datang adalah Ilm al-Yaqîn.
-Penglihatan seseorang atas malaikat yang datang untuk mencabut nyawanya setelah tirai yang menutup pandangannya tersibak di saat mengalami sakaratul maut adalah 'Ain al-Yaqîn.
-Cita-rasa yang dirasakan seseorang atas kematian yang ia alami adalah Haqq al-Yaqîn.
Berdasarkan penjelasan ini, maka ilmu apapun yang dimiliki seorang manusia yang didapat melalui kesimpulan ilmiah, dapat disebut sebagai Ilm al-Yaqîn. Sementara pencapaian pengetahuan yang ia lakukan dengan penglihatan, pendengaran, dan berbagai inderanya yang benar dapat disebut sebagai 'Ain al-Yaqîn. Dan pengetahuan (irfân) yang dicapai oleh hatinya secara langsung atau muncul dari hatinya sehingga mengalahkan seluruh panca inderanya, baik yang lahir maupun yang batin, tanpa membutuhkan dalil ataupun petunjuk, itulah yang disebut Haqq al-Yaqîn.
Adapun mengenai konfirmasi keyakinan, apalagi keyakinan jenis "Haqq al-Yaqîn", terhadap Kebenaran Abstrak (al-Haqâiq al-Mujarradah), seperti yang sudah kami sampaikan, itu adalah masalah yang sepenuhnya berhubungan dengan hâl dan dzauq, sehingga sudah keluar dari kawasan pembahasan kita dalam tulisan ini.
Wahai Allah, perlihatkanlah kebenaran kepada kami sebagai kebenaran, dan anugerahilah kami kemampuan mengikutinya, dan perlihatkanlah kebatilan kepada kami sebagai kebatilan, dan anugerahilah kami kemampuan menghindarinya. Limpahkanlah selawat dan salam kepada makhluk-Mu yang paling mulia, Sayyidina Muhammad sang Pemimpin Semesta dan kepada segenap keluarga dan para sahabat beliau yang mulia.
[1] Tanazzul: Turunnya Wujud dengan penyingkapan Tuhan. Yaitu, turunnya sang Mahamutlak dari Kegaiban ke Alam Penampakan melalui berbagai tingkatan perwujudan. Lihat: Sufi Terminology, Amatullah Armstrong, 1995. Penj-
[2] Al-Risâlah, al-Qusyairi 289.
[3] Kata-kata ini dinisbahkan kepada Sayyidina Ali karamallâhu wajhah. Lihat: Hilyah al-Auliyâ`, Abu Nu'aim 10/203; al-Asrâr al-Marfû'ah, Ali al-Qari 286.
[4] Hudhûr: kehadiran hati bersama Allah ketika hati sudah kosong dari yang selain Dia s.w.t.. Lihat: Sufi Terminology, Amatullah Armstrong, 1995. Penj-
[5] Al-Bukhari, al-Raqâiq 18, al-Mardhâ 19; Muslim, al-Munâfiqûn 7178; Ibnu Majah, al-Zuhd 20.
- Dibuat oleh