Zikir

Zikir

Kata "zikir" (al-dzikr) berarti "menyebut" atau "mengingat". Bagi para sufi, zikir adalah mengulang nama "Allah" dan sifat-sifat-Nya satu demi satu, atau sebagian darinya secara bersamaan. Zikir dapat dilakukan baik sendirian maupun secara berjamaah dengan menyebut nama apapun. Sebagian orang berzikir dengan menyebut nama "Allah", sementara yang lain merapalkan kalimat "Lâ ilâha illallâh", sementara yang lain lagi mengucapkan asma atau sifat-sifat Allah yang lain. Semua itu dilakukan berdasarkan arahan dari seorang mursyid atau dalil.

Zikir persis sama dengan syukur, yaitu dalam kedudukannya sebagai hutang hamba yang ditunaikan dengan menggunakan seluruh anggota tubuh, lisan, hati, badan, dan nurani.

Yang dimaksud "zikir lisan" (dzikr al-lisân) adalah: zikir yang dilakukan dengan menyebut Allah dengan semua nama-nama-Nya yang baik (al-asmâ` al-husnâ) dan semua sifat-Nya yang mulia serta merapalkan pujian yang membangkitkan emosi menggunakan kalimat tasbih dan tahmid. Zikir lisan juga dapat dilakukan dengan membaca Kitabullah atau dengan membaca Kitab Semesta dalam pengertian yang sebenarnya, serta menyatakan kelemahan dan kefakiran manusia dengan doa dan munajat.

Yang dimaksud "zikir nurani" (dzikr al-wijdân) adalah: sikit yang dilakukan dengan mengingat Allah menggunakan seluruh organ nurani, di mana lathifah rabbaniyah menjadi yang terdepan. Atau: mengingat Allah dalam keadaan berdiri dan duduk dengan mengambil berbagai dalil tentang keberadaan-Nya, serta merenungkan semua al-asma` al-husna dan sifat-sifat Allah yang mulia yang memancar dalam Kitab Semesta serta senantiasa membisikkan berbagai macam bisikan ke telinga kita.

Itulah sebabnya, maka tafakur atas hukum-hukum ketuhanan Allah yang meliputi seluruh semesta; memikirkan masalah-masalah yang berkaitan dengan tanggung jawab kita di hadapan hukum-hukum tersebut baik berupa perintah maupun larangan, baik berupa janji maupun ancaman, baik berupa pahala maupun hukuman; menggali rahasia entitas dan segala yang ada di balik tabirnya melalui napas dan cakrawala, persaksian berulang terhadap keindahan ukhrawi yang terbuka satu demi satu di tengah setiap detik dari pencarian ini di depan penglihatan mata dan penglihatan hati; membayangkan bahwa segala sesuatu dari atom sampai bintang-bintang selalu berdegup menyebut nama Alam Kudus serta menjadi interpretasi dari Alam Lahut yang memancarkan cahaya dan menjadi jendela bagi "Haqîqah al-Haqâiq" (hakikat segala hakikat).[1] Inilah zikir hati (al-dzikr al-qalbiy).

Orang-orang yang mengetahui entitas dan merasakan bahwa ia hidup dan berdegup, orang-orang yang bisa mendengar Alam Lahut sembari berbicara seperti seorang khatib, dan orang-orang yang bergerak untuk menggapai kesaksian (musyahadah) atas berbagai penyingkapan kemuliaan dan keindahan (tajalliyât al-jalâl wa al-jamâl) melalui berbagai jendela ini. Mereka dapat merasakan berbagai cita-rasa (dzauq) rohaniah yang tidak pernah dilihat mata ataupun didengar telinga. Sedemikian hebatnya pencapaian ini sampai-sampai membuat satu jam kehidupan dalam limpahan dzauq seperti ini setara dengan ratusan tahun!

Ya, inilah pengembaraan kudus itu. Dengan kenikmatan tanpa akhir yang selalu dilimpahi berbagai bentuk anugerah maknawiyah dan berlanjut ke lingkaran kesalehan[2] itu. Pada titik yang disinari oleh cahaya dari "subuhât al-wajh" (Tasbih Wajah-Nya)[3] ada ada di segala penjuru, musyahadah yang dialami seseorang akan mengungguli dirinya sendiri. Setiap individu dari kalangan spiritualis (arbâb al-qulûb) selalu menemukan dirinya di kedalaman zikir -baik musyahadah-nya itu sesuai dengan esensi perintah maupun tidak. Ketika ia mengulang-ulang merapalkan nama Ilahi, ia akan merasakan sesuatu baik dengan ikhtiyarnya sendiri maupun tidak.

Terkadang, zikir menjadi begitu berbuih-buih sehingga "menenggelamkan" jati diri sang salik. Dalam kondisi seperti ini, yaitu kondisi ketenggelaman (al-istighrâq),[4] tanda-tanda dan simbol-simbol zikir akan hilang. Sebagian salik akan mengulang kalimat tauhid yang berbunyi "lâ maujûd illâ huwa" (tidak ada yang ada selain Dia), sementara yang lain merapalkan kalimat: "lâ ilâha illallâh" (tidak ada Tuhan selain Allah), sementara yang lain dengan mengandalkan fitrah dan standar umum menyebut nama semua al-asmâ` al-husnâ setelah kata "" (tidak), yang kemudian mereka lanjutkan dengan kalimat "illallâh" (kecuali Allah). Mereka selalu merapalkan kalimat tauhid dengan perasaan dan kesadaran universal seperti ini.

Tampaknya setiap detik yang dilewati dalam atmosfer seperti ini, atmosfer kedekatan (al-qurbah) dan kebersamaan (al-ma'iyyah) -detik-detik yang diterangi kebenaran dan terbuka bagi segala anugerah Ilahi- adalah saat-saat paling berkah karena ia dihadapkan pada keabadian, jika dibandingkan dengan tahun-tahun gelap yang tertutup dari berbagai anugerah Ilahi. Ada sebuah kata-kata bagus dalam sebuah hadits yang menunjuk pada keberkahan ini: "Aku memiliki waktu bersama Allah yang di dalamnya tidak ada tempat lagi bagi satu pun malaikat muqarrab ataupun seorang nabi yang diutus."[5]

Yang dimaksud dengan "zikir badan" (al-dzikr al-badaniy) adalah: mengubah berbagai bentuk perintah dan larangan Ilahi menjadi kehidupan nyata, di mana manusia dapat merasakan di dalam nuraninya segala hal yang di-taklif-kan kepadanya, melaksanakan perintah-Nya dengan kerinduan yang besar, dan meninggalkan larangan-Nya dengan kesadaran penuh terhadap tanggung jawabnya.

Sesungguhnya, kedalaman yang dilakukan secara umum lewat zikir lisan muncul dari jenis zikir yang kedua (zikir badan) ini. Ia muncul dalam bentuk suara yang tidak mati dan terlontar dengan kekuatan yang berasal dari pusat porosnya. Zikir badan biasanya tampil dalam bentuk penyampaian berbagai kebutuhan kita kepada kekuasaan Ilahi, kekuatan Ilahi, dan kekayaan Ilahi dengan cara mengetuk pintu Uluhiyah, demi mencari jalan untuk dapat diterima di tempat luhur tersebut dengan menyampaikan kelemahan dan kefakiran kita sebagai manusia.

Ya, sesungguhnya seorang zakir (pelaku zikir) dan orang yang sering berzikir akan dibawa ke dalam perlindungan Allah serta diselamatkan ke adalam pertolongan-Nya. Firman Allah s.w.t. yang berbunyi: "Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu," (QS. al-Baqarah [2]: 152), telah menjelaskan tetang bagaimana para Pemegang Rahasia (dzû asrâr) berubah dari lemah menjadi kuat dan dari miskin menjadi kaya.

Maksudnya, zikir apapun yang kalian lakukan, baik dengan pikiran maupun dengan ibadah, pasti akan dibalas Allah dengan mengingat kalian. Jika kalian menyenandungkan semua itu dalam doa-doa dan munajat, niscaya Allah akan mengijabah semua itu dengan kelembutan-Nya. Jika kalian mampu menjaga hubungan kalian dengan Allah, dengan segala macam kesibukan duniawi yang kalian lakukan, niscaya Allah akan melimpahkan kebaikan kepada kalian dengan melepaskan kalian dari semua kesulitan di dunia dan akhirat. Jika kalian menghabiskan waktu dengan berduaan dengan Allah, niscaya Allah akan menjadi "teman duduk yang baik" bagi kalian disebabkan kesendirian yang kalian alami. Jika lidah kalian selalu basah dengan zikrullah di saat-saat rehat kalian, maka Allah akan mengembuskan untuk kalian angin rahmat untuk mengenyahkan berbagai kesulitan yang kalian alami. Jika kalian terus berkelana ke seluruh penjuru untuk memperkenalkan Allah kepada umat manusia, niscaya Allah akan memuliakan kalian dengan sesuatu yang tidak pernah dilihat mata, tidak pernah didengar telinga, dan tidak pernah terbersit dalam hati manusia.[6]

Demikianlah seorang ahli zikir akan naik derajatnya; dengan zikir, dengan kegemaran berzikir, dan dengan susah payah dalam berzikir. Pada saat itulah Allah akan memperdalam kelembutan-Nya. Kelembutan dalam bentuk hidayah dan taufiq, serta dengan berbagai kebaikan-Nya yang istimewa. Perintah Allah yang berbunyi: "dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku," (QS. al-Baqarah [2]: 152), mengingatkan lingkaran kesalehan ini; yaitu lingkaran yang mengikat antara zikir dan syukur, atau perjalanan dari zikir menuju syukur, dan dari syukur menuju zikir.

Sesungguhnya zikir dalah inti dari segala bentuk ibadah. Inti dari inti ini adalah al-Qur`an al-Karim. Setelah itu adalah kalimat-kalimat bercahaya yang disabdakan oleh Rasulullah s.a.w.. Zikir dengan segala bentuknya, baik yang jahr (dikeraskan suaranya) maupun khafi (tidak dikeraskan suaranya), adalah sebuah proses transformasi cahaya "subuhât al-wajh" (Tasbih Wajah-Nya) yang memapar ranah panca-indera, tafakur, perasaan, sampai ke badan, dan kemudian merengkuh kedalaman roh.

Zikir adalah tanda untuk mengagungkan asma Allah yang dilakukan manusia dan jin di hadapan semua nikmat-Nya baik lahiriah maupun batiniah. Pengagungan ini tidak akan terputus sampai semua hikmah dari keberadaan bumi dan isinya habis tak tersisa lagi. Bukankah Rasulullah menghubungkan terjadinya Hari Kiamat dengan habisnya penghuni bumi yang merapalkan lafal "Allah... Allah..."[7]

Sesungguhnya jalan zikrullah -dengan berbagai macam bentuknya- adalah jalan yang paling kokoh dan paling selamat untuk mencapai Allah al-Haqq s.w.t.. Tanpa jalan ini, akan sangat sulit bagi kita untuk mencapai Allah. Ya, sesungguhnya zikrullah yang dilakukan oleh nurani, melekatkan segenap lathifah yang kita miliki kepada-Nya di setiap saat, dan lidah yang menjadi juru bicara bagi keterjalinan yang memiliki daya tarik ini; semua itu adalah bekal yang tidak akan habis dan tabungan yang penuh berkah bagi pada penempuh jalan keabadian.

Ya, sesungguhnya zikrullah adalah perjalanan indah dalam pendakian menuju kedekatan dengan Allah, ketika lidah, perasaan, dan hati mulai berzikir mengingat Allah bersama-sama, sang salik pasti akan menemukan dirinya dalam waktu singkat berada dalam perjalanan menanjak yang akan mengantarkannya ke wilayah yang menjadi tempat berkumpulnya para arwah. Di situ ia akan dapat menyaksikan terbukanya seluruh gerbang langit yang akan menyingkap segala hal gaib yang berada di balik entitas.

Zikir tidak memiliki waktu khusus. Shalat yang menjadi ibadah paling utama (sayyid al-ibâdât) dan pilar utama agama Islam, memang harus dilakukan pada waktu-waktu tertentu, karena kita mengetahui adanya waktu-waktu tertentu di mana kita diharamkan shalat di dalamnya. Tapi tidak demikian dengan zikrullah. Ia dapat dilakukan secara bebas di sepanjang perjalanan waktu. Ia tidak tertikat oleh kondisi tertentu. Demikianlah yang difirmankan oleh Allah s.w.t. dalam ayat: "(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring," (QS. Ali Imran [3]: 191). Jadi, zikir memang tidak dibatasi baik oleh waktu maupun oleh kondisi tertentu.

Saya tidak pernah ingat bahwa di dalam al-Kitab, Sunnah, atsar para salaf saleh ada perintah yang lebih banyak disebut-sebut dan ditekankan selain perintah zikir. Pada hakikatnya, zikir memiliki fungsi seperti roh dan darah bagi semua ibadah; dari shalat sampai jihad. Hanya saja, zikir yang dilakukan setiap orang tentu akan berbanding lurus dengan pengaruh yang diterima oleh individu yang bersangkutan dari "sesuatu" yang ia zikirkan itu terhadap perasaannya. Inilah yang oleh para sufi disebut dengan istilah "musyahadah" (persaksian) atau "sakînah al-qalb" (ketenangan hati).

Sebagian suci mencapai Allah dalam hatinya dengan berzikir mengingat-Nya melalui jalan pada Pemegang Rahasia (dzû asrâr). Sebagian dari mereka mencapai Allah dalam nurani mereka sebagai "khazanah" dan mereka selalu berada dalam kebersamaan Ilahiah (al-ma'iyyah al-ilâhiyyah) dengan sikap istinâd dan istimdâd yang bersemayam di dalam hati mereka. Bagi orang-orang yang berada di tingkat ini, segala bentuk ingatan baru adalah bentuk kebodohan, karena itu hanya akan memutuskan zikir mereka kepada Allah. Syair berikut ini tampaknya dapat menggambarkan mereka yang berada di ketinggian ini:

Allah tahu bahwa aku tidak mengingat-Nya, karena bagaimana
aku mengingat-Nya padahal aku tidak pernah melupakan-Nya?!
[8]

Wahai Allah, jadikanlah aku sebagai orang yang banyak berzikir pada-Mu, banyak bersyukur pada-Mu, banyak mengadu pada-Mu, tunduk pada-Mu, mengeluh pada-Mu, dan selalu meratap pada-Mu.

[1] Haqîqah al-Haqâiq = "Hakikat segala hakikat" adalah sekat tak kasat mata antara Wujud Ilahi dan kosmos. Lihat: Sufi Terminology, Amatullah Armstrong, 1995. Penj-
[2] Lingkaran kesalehan (al-dâirah al-shâlihah): kurang lebih menjadi antonim dari istilah "lingkaran setan" dalam Bahasa Indonesia, penj-
[3] Maksudnya: tajalli cahaya hakikat.
[4] Istighrâq: secara literal berarti "memohon agar ditenggelamkan". Penenggelaman ini bisa terjadi dalam ayat-ayat al-Qur`an, dalam Diri Mursyid, dalam Diri Nabi, dan sebagainya, sebelum tenggelam dari diri Allah. Istighrâq menunjukkan keterserapan sang pecinta dalam Cinta Allah. Lihat: Sufi Terminology, Amatullah Armstrong, 1995. Penj-
[5] Al-Asrâr al-Marfû'ah, Ali al-Qari 197; Kasyf al-Khafâ`, al-'Ajaluni 2/226.
[6] Lihat: al-Bukhari, Bad` al-Khalq 8, Tafsir Surah al-Sajdah, al-Tauhid 35; Muslim, al-Îmân 39, al-Jannah 5, 6.
[7] "Hari Kiamat tidak akan terjadi sampai di muka bumi tidak dirapalkan lagi kalimat 'Allah…Allah…'." Muslim, al-Îmân 234.
[8] Syi'b al-Îmân, al-Baihaqi 6/331.