Kriteria dalam Memahami Agama dengan Benar

        Menerapkan kehidupan baginda Nabi ('ashr as-sa'adah) di kehidupan zaman ini secara harfiah kata demi kata dan mili demi mili serta berusaha menerapkannya tanpa perubahan sebagaimana hal tersebut dapat menyebabkan terjadinya benturan, ia juga tidak sesuai semangat agama. Yang seharusnya dilakukan adalah memahami dengan baik  filosofi dasar Sunah Nabi dengan sebaik-baiknya dan menemukan solusi yang tepat atas setiap permasalahan kontemporer berdasarkan petunjuk-petunjuk yang ditinggalkan oleh agama berdasarkan situasi dan kondisi pada masa kita hidup saat ini. Jika dilihat dari sisi ini, sebenarnya dari sirah nabi kita dapat mengambil banyak prinsip dan nilai penting yang dapat diaplikasikan untuk periode zaman kita saat ini, mulai dari strategi perang dan perdamaian, metode pendidikan dan tablig, pemahaman akan manajemen dan pemerintahan, hingga metode penarikan fatwa dan hukum.[1] 

         Tidak ada keraguan bahwasanya di tangan kita telah terdapat nilai-nilai universal. Namun, yang paling penting adalah kemampuan menafsirkannya sesuai dengan konteks. Hidup yang ingin kita jalani pada hari ini bisa saja sudah pernah dijalankan pada masa lalu meskipun memiliki garis yang berbeda. Namun, jika Anda tidak mendefinisikan garis hari itu dan garis hari ini dengan baik dan jika Anda mengabaikan perbedaan di antara keduanya, Anda tidak akan dapat mewujudkan apa yang Anda inginkan. Kita tidak boleh lupa bahwasanya terdapat kebutuhan akan perbedaan format.  Selain itu, beberapa solusi yang sudah jadi dan siap di hadapan kita harus dipertimbangkan kembali.

        Tentunya pekerjaan memahami nilai-nilai dasar yang telah diwariskan kepada kita serta mempraktikkannya sesuai konteks dan kondisi saat ini bukanlah pekerjaan yang mudah. Sepatutnya kita tidak lupa bahwasanya beberapa kesalahan besar telah terjadi dalam pelaksanaannya. Terlebih lagi, ketika sebuah permasalahan diupayakan penyelesaiannya melalui inisiatif pribadi dan pertimbangan individu. Cara untuk meminimalkan kemungkinan kesalahan adalah dengan menyerahkan urusan ini kepada sebuah tim untuk ditelaah dan dimusyawarahkan. Sebab, melalui pertukaran pikiran dan musyawarahlah kebenaran akan terungkap.

        Meskipun ada beberapa persoalan yang kita kuasai dengan baik, di dunia yang semakin kompleks saat ini tidak mungkin bagi kita untuk mengetahui segalanya. Terkadang kemampuan pandang terbatas sehingga kita tidak mampu melihat suatu kejadian dengan pandangan yang holistik. Kita mungkin tidak memiliki pengetahuan memadai tentang semua bidang yang terkait dengan topik yang sedang kita evaluasi. Lebih dari itu, terkadang kita bisa terjebak pada diri sendiri, hawa nafsu, dan keinginan-keinginan pribadi kita. Kita mungkin tidak selalu mampu mendekati peristiwa dengan logika yang diajarkan oleh Al-Qur'an. Atau mungkin saja kita tidak selalu mampu menilai setiap masalah yang dihadapi berdasarkan neraca yang paling akurat, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah. Bisa jadi sesuatu yang menurut kita rasional dan dianggap memberi maslahat, malah tergolong sebagai perkara al-mashlahah al-mardudah (maslahat yang ditolak agama meskipun sebagian orang menganggapnya sebagai maslahat, tetapi ternyata ia tergolong pada perkara-perkara buruk oleh agama Islam) atau kemaslahatan yang ditolak agama. Dengan demikian, kita bisa saja melakukan kesalahan setiap waktu ketika menetapkan hukum yang berseberangan dengan hakikat dan jiwa dari agama.

        Cara untuk mencegah berbagai kendala ini adalah dengan menghidupkan kembali kesadaran kolektif. Meskipun seseorang berpikir bahwa suatu permasalahan sebenarnya dapat ia selesaikan sendiri, tetapi hendaknya ia tidak membuat keputusan kecuali setelah melakukan musyawarah terlebih dahulu. Jika keputusan dan pendapat telah melewati filter musyawarah serta Anda telah selesai mengkalibrasi pikiran pribadi melalui sudut pandang orang lain, maka ketika itulah Anda dapat menemukan suara dan langkah yang benar. Dalam hal ini, Sang Penghulu para Nabi  bersabda, "Tidak akan merugi orang yang melakukan musyawarah.[2]

        Di sisi lain, ketika membahas perkara-perkara agama hendaknya seseorang mengetahui batasan-batasan yang dicontohkan oleh para Sahabat dan Salafus Salih. Meskipun kita mengemukakan hasil mutalaah pribadi dan menyampaikan penafsiran yang sesuai dengan kondisi zaman pada wilayah urusan yang terbuka untuk ditafsirkan sekalipun, kita tetap harus berhati-hati supaya tidak melanggar ketentuan-ketentuan agama yang sifatnya muhkamat (yang sudah baku dan tidak berubah). Kegiatan pemikiran dan intelektual yang kita lakukan dalam rangka menyelesaikan berbagai problematika kehidupan jangan sampai membuat kita kehilangan rasa hormat kepada para ashabul kiram dan salafus saleh. Sebab, sekali kehilangan kendali maka berikutnya akan sulit untuk kembali. Seandainya hari ini Anda mulai meragukan para sahabat, maka nauzubillah, jangan-jangan besok Anda akan terjerumus pada sikap tak hormat kepada Sang Kebanggaan Alam Semesta yaitu dengan menganggapnya hanya sebagai “kurir” atau “pengantar pesan” belaka. Bahkan tidak cukup sampai di sini, bisa saja setelahnya Anda terjerumus pada penistaan Al-Qur’an. Sangat disayangkan, pada saat ini kita menemui banyak sekali orang-orang yang memandang Al-Qur'an hanyalah teks sejarah belaka; menganggap isinya hanya ditujukan kepada pemahaman orang-orang yang hidup empat belas abad yang lalu, dan karena alasan tersebut mereka berusaha mengubah sebagian hukum-hukum Islam yang baku (Al-Muhkamat) sesuai hawa nafsunya.

        Berbagai kebiasaan, kemewahan dan khayalan tanpa batas, serta keinginan menonjolkan diri dengan latar belakang tertentu dapat mendorong manusia kepada sebagian pendapat marginal yang berlawanan dengan semangat Al-Qur’an. Pun melihat gaya hidup yang dipaksakan dunia modern sebagai sesuatu yang tak bisa dihindari ataupun diubah; anggapan bahwa beberapa praktik yang telah menyimpang dari asalnya tidak mungkin lagi dikembalikan ke orbitnya; atau menganggap bahwa mustahil bagi kita untuk dapat menghidupkan kembali nilai-nilai yang telah ditinggalkan atau terlupakan dalam masyarakat, semua itu dapat dianggap sebagai alasan lain di balik terjadinya penyimpangan dan pergeseran pandangan.  

        Di balik pemikiran tersebut terdapat beberapa faktor penyebab seperti tidak meyakini adanya inayah dan riayah ilahi sebagaimana mestinya atau tidak cukupnya kepercayaan seseorang pada nilai-nilai luhur yang dimiliki serta hakikat-hakikat yang diyakini. Padahal, keteladanan Rasulullah seharusnya sudah cukup memadai. Sebab, Nabi telah berhasil mematangkan sebuah umat yang tadinya merupakan anggota masyarakat jahiliyah yang kala itu diselimuti berbagai kezaliman dan kebiadaban untuk menjadi umat yang mampu mentarbiah akal dan kalbu masyarakat. Nabi telah berhasil meninggikan derajat orang-orang jahil lagi tak berpengalaman menjadi guru peradaban.

          Jika kita menyangka bahwa persoalan saat ini hanya bisa diselesaikan dengan usaha dan upaya kita sendiri; atau berpendapat bahwa jalan menuju 'ba'tsu ba'dal maut' cukup dengan mengandalkan kekuatan dan kemampuan kita, maka itu artinya kita sedang dalam kekeliruan yang nyata. Tugas kita adalah melakukan tanggung jawab dengan sebaik-baiknya tanpa mencampuri urusan rububiyyah Allah ta'ala. Setelah menunaikan apa yang menjadi tanggung jawab kita, berikutnya adalah bersandar kepada kekuatan hakikat dan meyakini inayat ekstra dari Allah ta'ala. Yakinlah, Allah yang menunjukkan kudrah dan kuasa-Nya melalui pengaturan alam semesta yang sangat mengagumkan akan memberkahi usaha kita yang kerdil dan membimbing langkah ini tatkala kita berada pada posisi tak mampu. Dari sisi ini kita tidak boleh bermain-main dengan hakikat dengan dalih kita lemah dan tidak berdaya untuk kemudian menjauh dari nilai-nilai yang kita miliki demi menyesuaikan diri dengan kehidupan modern. Kita harus yakin pada kekuatan Al-Qur’an, memegangnya dengan teguh, serta tidak menyimpangkan hukum-hukum yang terdapat di dalamnya dengan dalih mencari solusi atas masalah pelik yang dihadapi.

        Perlu diingat bahwa sebagaimana tidak ada kebaikan dan pahala yang sepele, tidak ada juga keburukan dan dosa yang kecil dan remeh. Sebagaimana tersenyum kepada orang lain dan menyingkirkan batu atau sesuatu yang mengganggu dari jalanan bisa menjadi sarana keselamatan seperti dibahas dalam hadis, begitu pula dengan kesalahan kecil yang dianggap remeh ia dapat mengantarkan kita kepada kehancuran. Besar atau kecilnya suatu amalan hendaknya ditakar dari akibatnya. Terkadang, sudut kecil pada suatu titik pusat apabila darinya ditarik garis lurus akan menghasilkan keliling yang sangat besar. Ijtihad kurang tepat dari para pemanah yang meninggalkan bukit Uhud menyebabkan banyaknya nyawa yang gugur. Kesalahan yang dilakukan oleh beberapa orang berjiwa petualang bisa saja menyebabkan datangnya masalah besar yang harus ditanggung akibatnya oleh seluruh bangsa. Begitu pula kesalahan yang dilakukan oleh tokoh agama yang berada pada posisi untuk memahami dan menafsirkan agama dapat mengarah pada kesalahan yang sulit diperbaiki di masa mendatang.

         Dalam permasalahan ini, sikap, perilaku, dan pendekatan dari para pemimpin dan pemandu masyarakat sangatlah penting. Sebab orang-orang yang berada di belakang akan mengikuti langkah mereka. Jika mereka berjalan dengan benar, maka orang-orang di belakangnya akan melakukan hal yang sama. Namun, jika orang yang ditokohkan itu melakukan kesalahan, maka kesalahan itu tidak hanya berdampak pada dirinya sendiri, ia akan membesar dan berimbas kepada khalayak yang lebih luas. Sayangnya, salah satu faktor penyebab bagi munculnya permasalahan serius yang menimpa kita saat ini terjadi sebab sebagian orang yang berada di baris terdepan tidak mampu memberikan hak semestinya dari tanggung jawab mereka, atau mereka tidak berpikir dengan cakrawala yang dibutuhkan oleh posisi yang mereka duduki. Ketika kesalahan berpikir tersebut turun ke lapisan masyarakat yang ada di bawahnya, maka hal itu akan menyebabkan kerusakan besar. Dengan demikian, penting bagi setiap orang, khususnya para pemimpin dan pemandu masyarakat yang ada di posisi depan, untuk berpikir dan bertindak secara mustakim dan benar.

 

***

[1]  Artikel ini diterjemahkan dari:

https://fgulen.com/tr/eserleri/kirik-testi/dinin-mustakim-yorumu-adina-olculer 

 

 

 

[2] HR. At-Thabarani, Mu'jam Al-Awsath, (6627); Ad-Dailami, fil firdaus (6230);Al-Qadha'i, musnad As-syihab (774)

 

 

 

Pin It
  • Dibuat oleh
Hak Cipta © 2025 Fethullah Gülen Situs Web. Seluruh isi materi yang ada dalam website ini sepenuhnya dilindungi undang-undang.
fgulen.com adalah website resmi Fethullah Gülen Hojaefendi.