Membantu Mereka yang Membutuhkan tanpa Ternodai Kepentingan Kelompok

Tanya: Salah satu sifat pembeda insan hizmet adalah dimilikinya karakter “membantu sesama”. Kegiatan apa saja yang bisa kita kembangkan untuk mempraktikkannya?[1]

 

Jawab: Membantu sesama adalah undangan yang paling fasih untuk mengajak orang lain menuju inayat Allah. Rasulullah bersabda: 

مَنْ نَـفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُـرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا ، نَـفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُـرْبَةً مِنْ كُـرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ عَلَـى مُـعْسِرٍ ، يَسَّـرَ اللهُ عَلَيْهِ فِـي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ ، وَمَنْ سَتَـرَ مُسْلِمًـا ، سَتَـرَهُ اللهُ فِـي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ ، وَاللهُ فِـي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ

 

“Barangsiapa yang melapangkan satu kesusahan dunia dari seorang Mukmin, maka Allâh akan melapangkan darinya satu kesusahan di hari Kiamat. Barangsiapa memudahkan (urusan) orang yang kesulitan (dalam masalah hutang), maka Allâh Azza wa Jalla memudahkan baginya (dari kesulitan) di dunia dan akhirat. Barangsiapa menutupi (aib) seorang Muslim, maka Allâh akan menutup (aib)nya di dunia dan akhirat. Allâh senantiasa menolong seorang hamba selama hamba tersebut menolong saudaranya (HR Muslim no. 2699; Ahmad II/252, 325; Abu Dâwud no. 3643).”

 

Dalam hadisnya yang lain beliau bersabda bahwasanya sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi sesamanya (HR Thabarani, al-Mu’jamul Awsat, 6/58). Dari sini, jika Anda berlari untuk menolong umat manusia, Allah tidak akan membiarkan Anda sendiri tanpa bantuan. Apabila Anda mengulurkan tangan, akan ada tangan lain yang membantu dari arah yang tidak disangka-sangka. 

 

Jenis-Jenis Uluran Tangan

Hingga hari ini organisasi “Kimse Yok Mu” telah berhasil mengisi kekosongan di bidang ini. Namun, kita tidak boleh mencukupkan diri dengan semua kegiatan yang sudah mereka kerjakan. Semua orang harus membuat “Kimse Yok Mu” versinya masing-masing dan turut berkontribusi dalam usaha tolong-menolong ini. Bahkan jika kita menganalisis semua jenis aktivitas tolong-menolong yang telah diselenggarakan, dapat kita katakan bahwa kegiatan ini hanya terbatas pada kegiatan pemberian bantuan materi semata. Padahal memberi bantuan materi hanyalah salah satu jenis dari kegiatan tolong-menolong. 

 

Dari sisi ini, kita tidak boleh mencukupkan diri dengan uluran bantuan untuk masalah-masalah materi saja. Kita harus memberikan bantuan kepada mereka yang memiliki kabut-kabut maknawi, menggeliat karena stres, merintih dengan kram perut akibat serangan panik, dan juga kepada mereka yang tak mampu keluar dari depresi. Kita harus menunjukkan jalan hidup yang tenteram serta memenuhi dada mereka dengan harapan, ketenangan, dan kelapangan jiwa. 

 

Apabila kita memandang permasalahannya dari perspektif yang lebih luas, akan ditemui kebutuhan yang berbeda-beda, tergantung situasi dan kondisi dalam masyarakat. Misalnya, sebagaimana orang dengan keluasan rezeki dapat memberi bantuan kepada mereka yang tak berpunya, para dokter pun dapat mengulurkan tangan untuk mengobati rasa sakit yang diderita manusia. Begitu juga orang-orang yang memahami prosedur dan jalannya dunia juga bisa memberikan bantuan konsultasi kepada mereka yang membutuhkan. Para ahli yang memahami psikologi manusia dapat memberikan bimbingan kepada mereka yang mengalami depresi. 

 

Di antara semua bantuan itu, yang terpenting adalah bantuan untuk meruntuhkan penghalang antara manusia dan Allah, pertolongan untuk mempertemukan kalbu insan dengan Sang Pencipta, dan membantu khalayak meraih kehidupan ukhrawi. Orang-orang yang telah mewakafkan dirinya kepada Allah dan mendedikasikan hidupnya untuk menunaikan li i'lai kalimatillah harus mengulurkan tangan kepada mereka yang tidak tahu jalan kebenaran, orang-orang yang tertinggal di tengah perjalanan, serta kepada insan yang merangkak di gang kecil ketika seharusnya berjalan di jalan raya. Oleh karena salah satu penghalang utama bagi hati dan pikiran untuk bisa bertemu dengan Allah adalah masalah-masalah duniawi, maka segala daya dan upaya yang diletakkan untuk meruntuhkannya dapat dianggap sebagai upaya untuk mempertemukan kalbu dan pikiran manusia dengan Sang Pencipta. Memenuhi kebutuhan materi dan maknawi umat manusia akan menyelamatkan mereka dari kesibukan pada perkara-perkara yang sepele. Ini merupakan jembatan penting yang dapat mengantarkan bani adam menuju Allah. Dukungan yang disuguhkan kepada orang-orang yang berada dalam kondisi sulit akan mempermudah penerimaan mereka terhadap undangan menuju jalan Allah. 

 

Pada prinsipnya, menyuguhkan bantuan materi dan maknawi merupakan profesi para nabi. Jika kita amati kehidupan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam maka kita akan menemukan banyak contohnya. Beliau sebagai utusan Allah yang mulia dan terpuji telah menggunakan umur kehidupannya untuk menolong umat manusia. Beliau senantiasa mengayomi para pengikutnya. Beliau tidak pernah meninggalkan mereka dengan tangan kosong. Ketika memiliki sesuatu, Beliau akan selalu memberi bantuan yang dibutuhkan. Ketika tidak ada sesuatu hal yang bisa diberi, Beliau berjanji untuk memberinya di kemudian hari. Pada waktu yang sama, ketika meruntuhkan penghalang antara manusia dengan Allah dan mempertemukan kalbu-kalbu insan kepada Sang Pencipta, Beliau mengerjakannya tanpa cela. Pada khutbah wada, beliau bertanya kepada orang-orang yang hadir: أَلاَ هَلْ بَلَّغْتُ “Apakah aku telah menyampaikannya?” Para hadirin menjawab serentak seperti paduan suara: “Ya, Anda telah menyampaikannya!” Beliau kemudian bersabda: “Ya Allah, saksikanlah!” 

  

Dengan meresapi semangat tanggung jawab yang sangat serius, Anda dapat memahami pertanyaan tersebut sebagai berikut: “Apakah aku telah menunaikan tugas kenabian dengan baik? Apakah aku telah menyampaikan risalahku? Apakah aku telah menolong kalian? Apakah aku telah menunjukkan kebenaran dengan sangat jelas?” Demikianlah, semua orang berkewajiban melakukan muhasabah sesuai situasi dan posisi yang dimilikinya, apakah tanggung jawabnya telah ditunaikan dengan baik atau belum. Misalnya, sesorang yang bertugas sebagai penceramah selama 10 atau 20 tahun lamanya, maka ia harus meminta tanggapan dari orang-orang yang telah menerima ceramah-ceramahnya dengan bertanya: “Apakah aku telah menunaikan tugasku kepadamu? Apakah Anda bersedia menjadi saksinya?”.  Sikap seperti ini sangat penting supaya bisa selamat dari konsekuensi tanggung jawab kita. Hendaknya hal yang demikian tidak ditunda-tunda. Seorang manusia harus berdiskusi dengan nuraninya ketika mereka masih hidup di dunia. Ia harus merasakan keprihatinan dari telah tunai atau tidaknya sebuah tugas. Ia harus menyampaikan perasaan ini kepada masyarakatnya, mengambil persaksian mereka dalam kriteria tertentu, lalu  bersama-sama melanjutkan perjalanan menuju Sang Pencipta.  

 

Ya, sikap mengulurkan tangan kepada semua orang sesuai kebutuhan dan tidak menolak permohonan bantuan selain selaras dengan nilai-nilai kemanusiaan ia juga merupakan akhlak seorang mukmin. Sebagaimana ia bisa dilaksanakan oleh usaha-usaha individu, ia juga bisa diselenggarakan melalui program-program institusi kemanusiaan seperti Kimse Yok Mu. Mereka yang jatuh bisa digenggam tangannya, mereka yang fakir dan membutuhkan bisa dibantu, mereka yang sebatang kara bisa disokong. Apabila orang-orang yang membutuhkan tersebut dibantu, maka Sang Yatim shallallahu alaihi wasallam akan membantu di tempat dan waktu yang paling kita butuhkan. Aktivitas dan kegiatan bantuan tersebut bisa diselenggarakan oleh para relawan hizmet hingga hari ini. Insya Allah kegiatan ini akan terus berlanjut berkat izin dan inayat Allah.

 

Meninggalkan Kepentingan Kelompok

Berikutnya aku ingin fokus membahas hal yang kupikir penting. Semua kegiatan tolong-menolong dan kebajikan-kebajikan serupa hendaknya dikerjakan dengan tujuan meringankan kesusahan orang-orang yang membutuhkan dan sebagai hasilnya adalah diraihnya rida ilahi. Kita harus melepaskan diri dari pemikiran selain dua hal tadi. Bantuan-bantuan yang diberikan tidak sepatutnya digunakan untuk meraih manfaat pribadi dan menaikkan popularitas.  

 

Apakah ketika mengerjakan tugas ini kita telah cukup ikhlas sesuai kriteria ini? Ataukah terkadang kita mengorbankan keindahan pekerjaan ini demi nama baik, penghargaan, dan pujian? Saya tidak ingin bersuuzan terhadap siapapun. Namun, tak dapat dipungkiri bahwasanya terkadang kita berpeluang melakukan kesalahan terkait hal ini. Sayangnya, beberapa pekerjaan kebajikan yang menjanjikan manfaat-manfaat penting bagi umat manusia bisa diklaim oleh rasa kepemilikan. Hal tersebut sebagaimana bisa memicu jantung berdebar pada orang-orang yang tidak menyukai agama, ia juga bisa memantik perasaan ghibtah dan hasad pada sebagian kaum muslim abangan yang belum berhasil meraih iman tahqiqi.  

 

Apakah pengabdian-pengabdian indah yang dilakukan tak bisa dijalankan tanpa disematkan kepada individu-individu tertentu? Apabila kita berpikir bahwasanya pengabdian tersebut hanya bisa berjalan dengan disematkan kepada pihak tertentu, berarti kita telah membuat kesalahan pada prinsip dan cara pelaksanaannya. Kesalahan ini dapat mendorong orang-orang yang memusuhi kita untuk melakukan kekerasan kepada manusia. Kesalahan ini juga dapat menstimulasi ahli iman untuk hasad. Itulah mengapa terdapat beberapa orang yang hari-harinya penuh dengan perasaan kebencian, kedengkian, dan tak mampu berlapang dada yang amat serius. Mereka selalu berusaha menyiapkan skenario-skenario untuk melenyapkan pengabdian-pengabdian yang secara kontinu yang berlangsung di seluruh penjuru dunia.

 

Andai kita bisa bekerja secara anonim. Biarlah pekerjaan yang dihasilkan ditunaikan melebihi ekspektasi, tanpa perlu disematkan nama atau gelar apapun. Pada prinsipnya dapat kita lihat bahwasanya pekerjaan-pekerjaan atas nama agama yang ditunaikan di masa-masa awal diselesaikan secara anonim. Pada saat itu, meskipun umat Islam hidup di puncak kezuhudan, kesalehan, iman, dan hidup penuh kesederhanaan yang dekat dengan kefakiran, tidak ada institusi, lembaga, tarekat, atau gerakan yang mewakili mereka. Hingga abad ketiga hijriah tidak ada tarekat-tarekat Naqsyabandi, Qadiriyah, ataupun Rifaiyah. Mereka mentaati perintah Allah dengan amat detail. Kalbu dan rohnya hidup dengan segala kedalaman dan kehalusan, tanpa perlu menyebut dirinya sebagai sufi, menjalankan metode tasawuf dan tarekat tertentu, serta tanpa perlu mendaftarkan diri ke zawiyah dan majelis zikir tertentu.  

 

Saya tidak bermaksud mengatakan bahwasanya tokoh-tokoh yang mendirikan tarekat tersebut telah melakukan bid’ah. Sebaliknya, setiap diri mereka telah menggenggam jalan dan metodenya masing-masing setelah mengambil spesifikasi-spesifikasi khusus dari Rasulullah dan para Khulafaur Rasyidin sebagai prinsip. Dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi di masa mereka hidup, sebagiannya memilih khalwat, sebagian lagi memilih jalwatiyah.[2] Sebagiannya memilih jahr, sedangkan yang lain memilih khafi

 

Pekerjaan yang tadinya anonim hingga abad ketiga hijriah, ketika semakin populer tanpa disadari timbullah pemikiran-pemikiran untuk mengklaimnya. Di tengah masyarakat kemudian muncullah kelompok-kelompok dan semangat partisan. Meskipun sebutan ini tidak berlaku bagi tokoh-tokoh agung yang kita hormati, tetapi tak dapat dipungkiri bahwasanya sebagian tokoh mulai melingkupi pekerjaan yang ditekuninya dengan rasa kepemilikan. Hal ini kemudian membawa perpecahan dan disintegrasi di tengah-tengah masyarakat. Karena semua orang sudah mulai mengatakan "kami", "milik kami", dan saat mengevaluasi orang, kriteria utamanya adalah apakah mereka berasal dari faksi-nya atau bukan. Tidak diragukan lagi bahwa bias seperti itu akan membawa beberapa ketidakadilan dan kezaliman.

 

Apabila Anda tidak memiliki level seperti yang dimiliki oleh Syekh Abdulqadir Jailani, Maulana Khalid Al-Baghdadi, dan Syekh Naqsyabandi, pemikiran “kelompok fulan” dan “kelompok fulanah” berpotensi menimbulkan bahaya yang serius bagi Anda. Bahkan apabila hal tersebut tidak diperhatikan dengan baik, ia akan berubah menjadi racun pembunuh bagi seorang manusia. Meskipun tokoh-tokoh agung tidak akan jatuh pada jenis kesalahan yang seperti ini,  bagi orang awam seperti kita, menjalankan pengabdian agama yang diliputi oleh rasa fanatisme kelompok semacam ini dapat melempar kita ke beragam bahaya yang tak terbayangkan. Cara untuk tetap selamat dari bahaya ini adalah orang yang berjalan di jalan mana pun atau mengikuti sistem apa pun hendaknya dapat membuka hati mereka secara setara kepada semua orang, mencintai semua orang secara setara, dan menghargai pekerjaan baik yang dilakukan oleh setiap orang.

 

Namun, menurutku jalan yang paling aman dan selamat sekali lagi adalah beramal secara anonim. Seandainya saja kita dapat menunaikan pengabdian-pengabdian agama secara anonim sehingga orang-orang tidak menjaga jarak dari karya yang sudah ditunaikan hanya karena ia ditunaikan oleh nama atau kelompok tertentu. Pada prinsipnya, inilah pemahaman yang paling sesuai dengan hakikat pengabdian agama. Semua kebaikan dan kebajikan yang ditunaikan atas nama pengabdian agama pada hakikatnya tidak dikerjakan oleh si A ataupun si B; semua itu terjadi karena yang merencanakan, melakukan, dan yang menciptakannya adalah Allah semata. Dia menggunakan sebagian manusia sebagai figuran untuk merealisasikan rencana dan proyeknya di tataran takdir. Untuk itu, tidak ada satu orang pun yang berhak mengklaim secara sepihak kebaikan-kebaikan ini. 

 

Apakah kita terlalu terobsesi dengan nama? Tak bisakah kita menarik diri dari sana? Apakah kita sudah cukup memperhatikan surat Al Kahfi ayat 20: إِنَّهُمْ إِنْ يَظْهَرُوا عَلَيْكُمْ يَرْجُمُوكُمْ أَوْ يُعِيدُوكُمْ فِي مِلَّتِهِمْ وَلَنْ تُفْلِحُوا إِذًا أَبَدًا yang artinya “Sesungguhnya jika mereka dapat mengetahui tempatmu, niscaya mereka akan melempari kamu dengan batu, atau memaksamu kembali kepada agama mereka, dan jika demikian niscaya kamu tidak akan beruntung selama-lamanya.”? Apakah kita sudah cukup hati-hati untuk tidak memicu permusuhan ataupun tidak mendorong kawan-kawan dekat untuk hasad? Kita harus memperhatikan poin-poin ini serta mengevaluasinya kembali.  

 

Kesimpulannya, apabila kita ingin mengabdi di jalan Allah sembari mengokohkan monumen jiwa kita, maka syaratnya adalah menjauhi segala sesuatu yang dapat menghalangi kita darinya. Apabila pendekatan berbau rasa kepemilikan dapat membahayakan pengabdian agama, maka pemikiran seorang mukmin yang harus kita praktikkan adalah sebagai berikut: jangankan rasa kepemilikan, andaikata nyawa kita, kehidupan orang-orang yang kita cintai, serta harta kita dapat membentuk penghalang, semoga Allah mengambil semua itu asal pengabdian agama tidak berhenti. Hingga hari ini, pemikiranku senantiasa berada pada arah tersebut. Aku selalu mengangkat tangan dan berdoa kepada Sang Pencipta: “Ya Allah, apabila karena diriku kemudian pengabdian-pengabdian ini diserang dan diterjang, saya siap untuk mengundurkan diri.”

 

Hal yang terpenting adalah keberlanjutan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat bagi agama, negara, dan semua umat manusia di dunia. Setelah semua pekerjaan ditunaikan, penampakan iman telah berhasil dikirim ke hati manusia, serta angin kasih dan toleransi bertiup sepoi-sepoi di antara umat manusia, tak penting lagi dikenalnya nama kita, demikian juga dengan tepuk tangan dan puji-pujian. Jika tidak, itu artinya kita telah menempatkan tepuk tangan manusia di atas takdir ilahi. Ini adalah salah satu bentuk syirik. Jalan untuk terbebas dari syirik adalah melakukan pengabdian secara tenang tanpa keributan, jauh dari menonjolkan diri, dan berjalan menuju Allah dalam hening. Inilah jalan kita. Namun, apakah kita telah bergerak sesuai rukun dan adab jalan ini, aku tak dapat mengetahuinya. Barangkali kadang-kadang kita melakukan kesalahan karena keamatiran dan kurangnya pengalaman kita. 

 

Selamat dari Bentuk Lahiriah dan Turun ke Kedalaman Jiwa

Sayangnya, dalam banyak urusan-urusan agama saat ini, nama jauh lebih diterima. Segala sesuatu mengalir dengan nama tertentu. Dalam keadaan yang demikian, kita pun tak mampu melepaskan diri dari hal-hal yang sifatnya lahiriah. Kita tak mampu menangkap intisari dan jiwanya. Misalnya, kita berbicara tentang salat, puasa, zakat, dan kita mencoba menunaikan ibadah-ibadah ini sedemikian rupa. Tak ada seorang pun yang layak untuk meremehkan persoalan tersebut. Mereka yang meremehkannya berarti telah melakukan kesalahan yang amat serius. Allah telah menyematkan nilai tertentu pada ibadah-ibadah tersebut. Namun, mereka yang hanya menunaikannya secara lahiriah tidak akan mampu meraih yang batin, menangkap makna yang diungkapkan olehnya, menyimak kedalaman kesadaran ibadah dalam nuraninya. Jadi, selama mereka tidak memahami bahwasanya ibadah-ibadah tersebut merupakan jembatan yang mengantarkannya menuju hakikat, mereka tidak akan melewati nama dan tak akan sampai ke puncak peribadatan. Mereka tidak akan bisa bertransformasi dari muslim yang lahiriah menuju muslim yang batiniah. Apalagi sir, khafi, dan akhfa, mereka tak akan pernah mampu menyimaknya. Karena ibadah-ibadah seperti salat, puasa, zakat, dan haji merupakan selubung yang membungkus sebuah esensi. Hal yang sebenarnya ingin kita capai dari menunaikan ibadah-ibadah tersebut adalah berjalan menuju ke arahnya untuk kemudian menyimak dan merepresentasikannya.

 

Ya, pekerjaan sebenarnya adalah berusaha untuk hidup sebagai seorang muslim dalam makna yang hakiki, tulus dan jujur dalam menjalaninya, serta menjadi contoh bagi orang lain. Apabila jantungnya senantiasa mampu mendetakkan suara “rida” serta ia mampu menindaklanjuti semua pekerjaan berdasarkan kehendak Allah, maka di waktu tersebut berarti ia telah benar-benar hidup sebagai seorang muslim yang sejati. Sebenarnya, inilah yang ingin dilakukan oleh gerakan dan institusi yang direpresentasikan secara sistematis oleh individu-individu tertentu. Tujuan yang sebenarnya ingin dicapai oleh nama-nama ini adalah dijalankannya kehidupan Islam secara paripurna, jika boleh disampaikan dengan istilah lain, kehidupan islami yang paripurna adalah yang dijalankan ala Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali. Apabila kita melihat di masa-masa awal pelaksanaan kehidupan islami, terdapat  banyak sosok yang menunaikan salat malam sebanyak 100 rakaat setiap malam, berpuasa daud, mengkhatamkan Al-Qur’an seminggu bahkan 3 hari sekali, maka dapat dikatakan bahwasanya fungsi dari institusi-institusi tersebut telah terlaksana. 

 

Seiring berjalannya waktu, nama mulai diprioritaskan. Intisari kehidupan Islam dikorbankan atas nama label, roh dikorbankan demi jasad, makna dikorbankan demi bungkus belaka. Ketika label nama semakin diprioritaskan, rasa kepemilikan umat manusia berubah menjadi fanatisme. Masing-masing individu pun mulai memamerkan jiwa partisannya. Ketika cara hidup dan merepresentasikan agama dilakukan dengan cara yang berbeda-beda di mana identitasnya sebagai aliran tertentu semakin kuat, mereka pun mulai mengevaluasi segala sesuatu sesuai nilai yang mereka anut dan hanya pelaksanaan kehidupan beragama yang sesuai dengan mereka saja yang dianggap benar. Dengan demikian mereka menutup mata, telinga, dan hati pada hal-hal yang sifatnya otentik dan makna. Ketika fanatisme ini dievaluasi, jawaban yang diberikan: “Hanya mereka yang berpikir dan bergabung bersama kita saja yang akan selamat. Mereka yang tidak mengikuti jalan kita tidak akan beruntung.” Demikianlah mereka mempersekusi inti agama diakibatkan pemikiran yang sempit, tertutup, dan fanatik.       

 

Di sisi lain, bergerak dengan pemikiran fanatisme terhadap golongan tertentu akan menyebabkan mereka menisbatkan keberhasilan kepada individu atau kelompok tertentu. Hal ini merupakan sebab bagi dilupakannya Allah. Ketika seharusnya semua yang dilihat, dirasakan dan didengar menjadi sarana untuk melangkah lebih dekat kepada Allah; di saat harusnya kita mampu melihat tangan Maha Qudrat Allah berada di balik semua peristiwa, tatkala harusnya kita mampu menihilkan diri dan menyeru “Hanya Dia”, orang-orang dengan fanatisme kelompok tak akan bisa menyerukannya. Ia pun mulai menjauh dari perkara-perkara inti. 

 

Kondisi paling membahayakan dari “jauh” adalah tidak sadar bahwasanya dirinya telah menjauh. Ini karena apabila seseorang sadar jika dia telah menjauh, maka ia akan mengambil langkah untuk memperbaiki ketertinggalannya, beristigfar, bertobat, dan kembali kepada Allah. Namun, amat sulit bagi seseorang untuk bisa berpaling dari kesalahannya apabila ia tak menyadarinya. Terutama jika dia merasa bahwa kebenaran hanya ada pada kelompok yang diyakini dan tidak membuka kemungkinan bahwa ada juga kebenaran di kelompok lainnya. Apalagi jika semua urusan baik pemerintahan, agama, maupun perkara lainnya dikaitkan dengan pemahaman golongan tertentu saja, maka tanpa disadari ia telah terseret ke ujung jurang. Dengan kata lain, jalan menuju Allah itu ada sebanyak jumlah nafas makhluk-makhluknya. Apabila ada seseorang yang hanya melihat jalan yang dititinya saja yang benar lalu menyalahkan jalan selainnya, bahkan menganggap jalan lain itu batil, maka - semoga Allah melindungi kita - hal tersebut akan menjadi sebab bagi datangnya musibah dan kehancuran untuknya. 

 

Jalan untuk menjauh dari bahaya ini adalah dengan senantiasa memperbaharui iman, memperkuat hubungan dengan Allah, dan memprioritaskan rida-Nya di atas segalanya. Di samping itu, seorang manusia tidak boleh terpaku hanya pada pengabdian agama yang dilakukannya saja. Ia harus bisa memuji kebajikan-kebajikan yang dilakukan orang lain. Seorang insan tidak boleh mengabaikan orang lain yang menggunakan berbagai cara untuk melakukan pengabdian-pengabdian di seluruh penjuru dunia. Sebaliknya, mereka harus bekerjasama. Mereka harus mencari jalan supaya bisa berjalan beriringan demi mencapai tujuan yang sama. 

 

Yang kedua, orang-orang yang melakukan promosi dan memberi pujian atas kegiatan dan program yang menjanjikan manfaat bagi umat manusia sebaiknya tidak turut langsung dalam kegiatan tersebut. Jika ia ingin terlibat langsung dan programnya memang memiliki sisi yang layak untuk dibesarkan, hendaknya orang lain saja yang mempromosikannya. Lebih dari itu, semua kebaikan dan keindahan dari program yang dikerjakan pertama-tama harus disematkan kepada Pemilik aslinya, yaitu Allah subhanahu wa ta’ala. Apabila terdapat seseorang yang perlu disebut sebagai prasyarat dari suatu perencanaan, maka suara berikut harus muncul secara tulus dari sanubari kita: “Tidak ada andil kami dalam keberhasilan ini. Apabila pondasi programnya serta para stakeholdernya belum mereka siapkan, tak mungkin kami meraih keberhasilan ini.” Keyakinan seperti ini harus eksis dalam hati kita. Sikap yang seperti ini merupakan prasyarat bagi para pencari hakikat. Ia merupakan sikap takzim di hadapan Allah. Selain itu, pendekatan yang demikian juga mencegah terpicunya rasa iri dan dengki yang bisa saja muncul di hati manusia. Jika tidak, maka keikhlasan bisa runtuh, demikian juga dengan keselamatan jalan ini.  

 

Virus-Virus Pembunuh Manusia

Ketika terdapat hembusan angin oposisi, orang-orang yang belum meraih level maknawi tertentu dan belum memiliki pijakan yang kokoh akan beterbangan kesana-kemari layaknya dedaunan di musim gugur. Terdapat beragam jenis fitnah yang dapat membuat kaki manusia tergelincir. Misalnya, apabila kekuatan yang seharusnya digunakan untuk menyadarkan orang-orang zalim, mengurangi penderitaan korban kezaliman, mengulurkan tangan kepada mereka yang membutuhkan, dan memuliakan kebenaran justru digunakan untuk menindas, meraih keuntungan pribadi, menutup mata pada kebenaran dan hakikat, maka kekuatan yang demikian merupakan virus musibah bagi umat manusia. 

 

Demikian juga dengan reputasi, nama baik, dan pamor yang seharusnya bisa digunakan untuk menjelaskan kebenaran dan hakikat kepada umat manusia serta menunjukkan jalan yang benar kepada mereka hanya digunakan untuk kepentingan pribadi dan memuaskan nafsu belaka demi meraih pujian dan popularitas, maka ia juga akan menjadi bencana bagi umat manusia. Al-Ustaz Badiuzzaman Said Nursi menyebutnya dengan istilah “madu beracun”. Sayangnya kita berulang kali menyaksikan orang-orang yang teracuni oleh reputasi yang seperti ini. 

 

Seperti halnya kekuatan dan reputasi, syahwat bagi manusia merupakan nikmat sekaligus berpotensi menjadi virus pembunuh. Apabila anugerah yang diberikan kepada manusia tersebut digunakan untuk melestarikan keberlangsungan hidup generasi berikutnya secara tunai dan dipakai di wilayah yang halal lagi legal, maka anugerah tersebut akan menjadi nikmat yang sangat penting. Namun, apabila manusia tidak merasa cukup dengan kenikmatan dan kelezatan yang halal lalu menjalani hidup layaknya bohemian dan melakukan hal-hal yang tidak halal,  maka syahwat tersebut akan berubah menjadi musibah baginya. Beberapa orang memanfaatkan kelemahan ini, menjebak dan memperbudak mereka, untuk kemudian mengarahkannya ke tujuan yang diinginkan.

 

Serupa dengan itu, adalah sebuah nikmat ketika kekayaan yang diraih melalui jalan yang halal lagi legal digunakan untuk meninggikan agama Islam dan membantu orang-orang yang membutuhkan di tengah masyarakat. Sementara itu, harta yang dikumpulkan dengan cara yang tidak legal serta membuat manusia menjadi angkuh dan jemawa merupakan bencana. Jika melihat kondisi mereka yang menggunakan kapasitasnya di pemerintahan untuk mendapatkan komisi tender demi kepentingan pribadi, dalam waktu singkat mereka berubah dari orang yang tadinya tinggal di gubuk akhirnya menjadi pemilik kekayaan. Perhatikan juga seperti apa orang-orang yang merugi ini menggunakan kekayaannya untuk memuaskan nafsu yang tak bertepi, niscaya hal itu akan membuat Anda memahami dengan baik bagaimana kekayaan telah berubah menjadi sebuah musibah. Kekayaan sebagaimana mampu menjadi sarana yang melejitkan sosok-sosok agung seperti Sayidina Usman secara vertikal, ia juga bisa menjadi sebab bagi orang seperti Qarun untuk terbenam di bawah tanah. 

 

Demikian juga dengan egoisme kelompok dan fanatisme golongan. Ia merupakan benih bagi tumbuhnya virus-virus bencana. Sebenarnya berkumpul dan bersatunya manusia dari latar belakang pemikiran yang berbeda di bawah suatu tujuan serta visi misi yang sama maka ia merupakan sebuah nikmat besar ketika digunakan untuk kebaikan. Namun, seperti diulas oleh Al-Ustaz Badiuzzaman Said Nursi, rasa kepemilikan berlebih pada kelompok akan memperkuat egoisme individu. Ia kemudian membesar dan menjadi sarana bagi perpecahan dan disintegrasi di antara jamaah-jamaah, tarekat-tarekat, serta gerakan-gerakan. Ketika rasa hasad menjangkiti orang-orang yang berebut pengaruh, maka di saat itulah kebanggaan kelompok berubah menjadi musibah bagi masyarakat.  

 

Perpecahan dan disintegrasi semacam ini telah menjadi musibah bagi beragam masyarakat dan negara hingga sekarang. Ia meluluhlantakkan kerajaan-kerajaan besar. Kita semua harus sadar bahwa perkara-perkara tersebut cukup untuk membenamkan umat manusia. Kita harus berjuang melawan virus dan mikroba-mikroba ini. Kita harus berusaha mengubahnya menjadi kebaikan. Apabila usaha ini berhasil, kita akan meraih banyak kebaikan. Sebaliknya, ia akan menghadang kita dengan jalan menjadi penyebab bagi dimulainya kehancuran, baik secara pribadi maupun bagi masyarakat yang lebih besar.  

 

[1]  Diterjemahkan dari artikel :

https://fgulen.com/tr/eserleri/istikamet-cizgisi/aidiyet-mulahazasina-takilmadan-muhtaclara-yardim-etme 

 

[2] Nama Jalwatiyah berasal dari kata jala-yajli-jalwan yang bermakna keluarnya hamba dari khalwat dengan membawa dan memakai sifat-sifat ilahiyah (ketuhanan). Dalam Tarekat Jalwatiyah, salik harus melaksanakan amal sesuai dengan hukum syariat sampai akhir hayatnya, karena ahli hakikat dalam pelaksanaan syari’at menganut pada ahli syariat. Sehingga salik tetap bergaul dengan manusia umum, berdagang, bertani, menikah, dan berbagai macam muamalah dan ibadah. Tarekat ini dinisbatkan kepada Syaikh ‘Aziz Mahmud Hada’i (w.1628 M).

 

Pin It
  • Dibuat oleh
Hak Cipta © 2024 Fethullah Gülen Situs Web. Seluruh isi materi yang ada dalam website ini sepenuhnya dilindungi undang-undang.
fgulen.com adalah website resmi Fethullah Gülen Hojaefendi.