
Iman Kepada Akhirat
Tanya: Mengapa iman kepada hari kebangkitan itu penting? Apa manfaatnya bagi kita?[1]
Jawab: Di antara seluruh makhluk yang diciptakan, manusia adalah titik pusat pancaran nama-nama indah (asmaul husna) dari Yang Maha Kuasa. Manusia adalah makhluk sempurna yang menjadi tempat perwujudan tertinggi dari tiap-tiap nama Allah. Seluruh permukaan bumi yang diliputi oleh mawar, bebungaan, kebun dan taman, maupun langit yang diperindah dengan hamparan bulan, matahari, galaksi, dan gugusan gemintangnya akan tampak redup bila dibandingkan dengan hakikat yang terkandung dalam diri manusia. Mehmet Akif pernah berkata, “seluruh alam semesta direpresentasikan dalam esensi manusia. Ya, daftar isi segenap alam terangkum dalam esensi manusia. Hal ini menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala memberikan perhatian khusus terhadap penciptaan manusia. Berkat pancaran nama-Nya yang Maha Bijaksana, yaitu Al-Hakim, manusia dijadikan sebagai prasasti hikmah kebijaksanaan yang paripurna. Dengan kata lain, alam semesta ini ibarat sebuah kitab di mana manusia merupakan daftar isinya.
Kini, apabila makhluk yang hakikatnya sedemikian luhur ini tidak dibangkitkan kembali setelah kematiannya, maka itu seperti mengabaikan sesuatu yang telah diciptakan dengan penuh perhatian di mana Allah subhanahu wa ta’ala Mahasuci dan Maha Tinggi dari perbuatan sia-sia semacam itu. Ya, manusia pasti akan dibangkitkan kembali setelah kematian. Saat dibangkitkan kembali itulah manusia akan menemukan nilainya yang sejati.
Hakikat ini juga bisa dijelaskan dengan paparan yang berbeda: Allah subhanahu wa ta’ala senantiasa mentajalikan asma dan sifat-sifat-Nya untuk menunjukkan keindahan dan kesempurnaan-Nya yang terdapat di alam semesta. Bahkan bisa dikatakan bahwasanya alam semesta ini tak lain merupakan perwujudan nyata dari pancaran-pancaran tersebut. Bentuk kitab paling ringkas dan padat dari pancaran-pancaran ini, yang bisa dilihat dan dipahami oleh semua orang, yang bisa dirasakan oleh para malaikat, yang bisa ditelaah oleh bangsa jin dan makhluk-makhluk rohani lainnya adalah manusia. Maka dari itu, keberadaan manusia sangatlah penting. Bukankah Allah subhanahu wa ta’ala setiap tahun menghidupkan kembali banyak hal (seperti misalnya biji-bijian yang terlepas dari pokok pohonnya, rerumputan yang tersapu kemarau, dan pepohonan yang meranggas saat musim gugur atau musim kemarau, penerj.) setelah mereka menemui kematiannya? Apakah mungkin Allah menghidupkan kembali biji-bijian yang remeh, tetapi tidak memberikan perhatian kepada manusia yang merupakan cermin dari nama-nama dan sifat-sifat-Nya yang mulia? Lalu, mungkinkah Allah tidak menjadikan manusia yang di dunia ini telah menjadi cermin paripurna bagi nama-nama dan sifat-sifat-Nya sebagai cermin dengan hakikat serupa di akhirat nanti? Tentu saja hal-hal tersebut bertentangan dengan tindakan Allah yang selalu penuh hikmah dalam setiap urusan-Nya. Mungkinkah Allah subhanahu wa ta‘ala yang menciptakan segala sesuatu dengan penuh kebijaksanaan dan tidak pernah melakukan sesuatu yang sia-sia kemudian setelah melengkapi manusia dengan begitu banyak hikmah lalu membiarkannya begitu saja untuk membusuk dan lenyap?
Masih banyak hal lain yang bisa disampaikan terkait urgensi kebangkitan kembali para makhluk dari sisi ketuhanan. Untuk itu, Risalah Kebangkitan (yang ditulis oleh Badiuzzaman Said Nursi, penerj.) bisa dijadikan rujukan. Ya, makhluk-makhluk lain di alam semesta akan dibangkitkan kembali di akhirat masing-masing satu untuk setiap jenis atau golongan mereka. Namun manusia akan dibangkitkan satu per satu, seakan-akan masing-masing manusia merupakan satu jenis tersendiri. Manusia secara mutlak pasti akan diciptakan kembali sebagai individu dengan seluruh karakter khas, perasaan, dan kelembutannya sebagai mukjizat kekuasaan Ilahi yang mencerminkan seluruh ciri khas kehidupan akhirat.
Dari bahasan tersebut maka sisi yang berkaitan dengan kita adalah sebagai berikut: Sanksi paling kuat dan konsisten yang menjamin kelangsungan kehidupan sosial secara tertib dan harmonis, yang menciptakan ketenteraman dalam keluarga serta mewujudkan ketenangan pada setiap individu di setiap usia dan keadaan adalah keyakinan atau iman kepada kebenaran kebangkitan setelah kematian. Ya, di tempat di mana akidah tentang hari kebangkitan dan pembalasan tidak ada, di sana tidak akan ada ketenteraman. Bisa dikatakan bahwasanya orang yang tidak meyakini atau mengimaninya tidak akan bisa merasa tenteram. Suatu masyarakat yang tidak dibangun di atas akidah ini tak bisa disebut sebagai masyarakat yang tenteram.
Ya, iman kepada hari kebangkitan dan pembalasan mencakup hal-hal penting seperti kebangkitan setelah kematian, mempertanggungjawabkan amal perbuatan kita selama di dunia kepada Tuhan, menerima catatan amal dengan tangan kanan untuk kemudian masuk surga, serta menjadi sosok yang layak untuk menyaksikan Jamaliyah-Nya di surga-Nya kelak. Semua itu adalah prinsip-prinsip yang sangat penting demi hidup yang penuh harapan dan ketenteraman. Jika seseorang percaya pada anugerah-anugerah akhirat tersebut, maka ia akan menjalani hidup sesuai dengan kehendak Tuhan dan akan senantiasa berada dalam ketenangan batin. Maksudnya, apabila dalam hati seseorang tertanam keyakinan bahwa ia akan dibangkitkan setelah mati dan ia melakukan amal saleh di jalan iman tersebut, kelak di akhirat ia akan memperoleh kehidupan abadi dalam keadaan muda. Di akhirat nanti, segala dimensi rohani yang ia pupuk di dunia akan dikembalikan kepadanya. Demikian juga dengan seluruh usaha serta perjuangan yang ia lakukan demi keridaan Tuhannya selama hidup di dunia nanti akan dibalas dalam bentuk beragam nikmat surgawi. Inilah perwujudan sejati dari ayat: "Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya." (QS. An-Najm [53]: 39).
Ya, iman kepada hari kebangkitan adalah satu-satunya sumber kedamaian sejati bagi seorang manusia. Para Sahabat Nabi yang mulia sangat memahami hal ini. Selama hidup, mereka menjalaninya dengan penuh ketenangan. Ketika menghadapi kematian pun mereka menyambutnya dengan gembira. Misalnya, dalam sebuah masa perjuangan dan pertempuran besar demi Islam, seorang sahabat sedang bersandar pada batang pohon kurma sambil memakan buah kurma. Tiba-tiba terdengar suara Rasulullah yang menggema dan berukir harapan: 'Barangsiapa yang pada hari ini gugur dengan hanya mengharapkan pahala dari Allah, maka ia akan masuk surga dari pintu mana pun yang ia kehendaki.' Mendengar sabda ini, sahabat tersebut langsung melemparkan kurma yang ada di tangannya dan berkata, 'Wah, wah! Jika aku bisa masuk surga lewat tangan mereka (yaitu lewat tangannya orang-orang kafir), maka dengan senang hati aku akan mempersembahkan jiwaku.' Ya, faktor yang membuat seseorang bahkan bisa mencintai kematian adalah iman kepada hari kebangkitan. Dan inilah salah satu sumber kedamaian yang paling penting bagi manusia.
Di sisi lain, satu-satunya hal yang dapat digunakan untuk mengendalikan hasrat dan nafsu manusia khususnya di masa muda, masa di mana keinginan sedang menggelegak hebat adalah iman kepada hari kebangkitan. Dengan iman ini, seorang pemuda akan mengevaluasi dirinya sendiri sesuai nasihat: "Hisablah dirimu sebelum datang hari ketika kamu dihisab." Ia pun akan berhati-hati supaya tidak melangkah ke jalan yang salah. Hal ini berdampak langsung pada ketenangan dan kedamaian diri, keluarga, dan masyarakat secara luas. Terkait hal ini, kisah Nabi Yusuf yang saat itu sebenarnya belum diangkat menjadi nabi tetapi sudah mampu berkata: "Aku berlindung kepada Allah" (QS Yusuf: 12/23) saat dihadapkan pada godaan Zulaikha tampaknya sudah cukup menjadi pengingat.
Peristiwa serupa terjadi pada masa Khalifah Umar bin Khattab. Terdapat seorang pemuda yang saat hampir terjerat oleh tipu daya seorang wanita yang datang menggodanya di mana ia nyaris terjatuh ke dalam kubangan dosa tiba-tiba tersadar dan segera membaca ayat berikut ini: "Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa, jika mereka dibayang-bayangi pikiran jahat (berbuat dosa) dari setan, mereka pun segera ingat (kepada Allah). Maka, seketika itu juga mereka melihat (kesalahan-kesalahannya)."(Q.S. Al-A’raf: 201). Dengan membaca ayat ini, ia pun tersadar dari kesalahannya. Namun, antusiasme yang dipancarkan oleh ayat tersebut kepada jiwa sang pemuda kemudian mengantarkannya menuju alam barzah.
Menurut Badiuzzaman Said Nursi, keberlanjutan pikiran-pikiran bahagia dari anak-anak juga sangat bergantung kepada iman akan adanya hari kebangkitan. Tanpa keyakinan itu, jiwa-jiwa mereka yang lemah, rapuh, dan polos akan terus dirundung kesedihan saat menyaksikan orang-orang di sekitar mereka meninggal dunia. Luka-luka batin akibat kehilangan akan terus membekas yang bisa menyebabkan anak-anak tak lagi bisa merasakan ketenangan sejati.
Ya, satu-satunya penghibur hati anak-anak ketika menghadapi peristiwa kematian adalah keyakinan bahwa terdapat kehidupan setelah kematian. Ketika menghadapi kematian orang-orang terdekatnya, mereka akan menghibur diri seraya berkata: "Memang benar, orang-orang yang kami sayangi, teman-teman kami, saudara-saudara kami telah meninggal. Namun, Allah telah memindahkan mereka ke tempat yang jauh lebih indah. Mereka kini hidup lebih baik daripada kami. Mungkin mereka sedang berjalan-jalan di taman dan kebun surga, bermain di tepian sungai-sungai surga, dan meminum air dari telaga-telaga yang indah." Keyakinan seperti ini akan menumbuhkan daya tahan dalam jiwa-jiwa mereka yang lembut. Dengan itu pula, mereka akan mampu menghadapi berbagai musibah, bencana, dan kematian dengan keteguhan yang tak mudah goyah.
Hal yang serupa juga dapat dikatakan terhadap masa muda. Masa muda adalah masa di mana dorongan-dorongan naluriah manusia datang begitu kuat. Di masa ini, pemuda cenderung menyukai kebebasan, penuh semangat, dan ingin mencoba apa pun yang mereka inginkan. Dengan kekuatan, vitalitas, dan sifat suka kebebasan yang mereka miliki, kehormatan, martabat, bahkan integritas bangsa bisa berada dalam bahaya. Padahal, menjaga hal-hal ini merupakan prinsip dasar dari hampir setiap sistem sosial. Maka dari itu, di sinilah iman kepada kehidupan setelah mati memainkan peranan penting. Iman ini akan menjadi penahan yang kuat bagi para pemuda yang ingin hidup semaunya. Perhatikan saja, semenjak iman akan adanya kebangkitan setelah mati mulai tercabut dari jiwa generasi muda kita, kekuatan potensial yang ada pada mereka secara perlahan berubah menjadi potensi kekacauan. Banyak dari mereka yang kemudian menjadi unsur-unsur anarki yang mengancam ketenteraman masyarakat. Oleh karena itu, jika kita ingin membentuk generasi baru yang sehat secara spiritual dan sosial, langkah pertama dan paling penting yang harus dilakukan adalah menanamkan kepada mereka keimanan terhadap kebangkitan setelah mati.
Di Eropa, pada masa setelah Abad Pertengahan, tokoh-tokoh seperti Rousseau dan Ernest Renan menolak agama. Mereka tidak mengakui keberadaan Tuhan, kenabian, maupun kehidupan setelah kematian. Namun, ketika tiba masa di mana masyarakat di segala lini terjerat oleh kekacauan dan kehilangan kedamaian, mereka dan beberapa pemikir lain mencoba memunculkan konsep “agama fitrah” untuk meredam keresahan generasi yang telah mereka jauhkan dari agama yang hakiki. Makna dari semua pendekatan itu adalah: “Jika manusia tidak diberi keyakinan meski hanya dengan keyakinan yang semu akan adanya kekuatan yang lebih tinggi dari manusia, maka tidak mungkin mereka dapat dikendalikan.” Namun, upaya tanpa dasar ini sama sekali tidak membuahkan hasil.
Jika demikian, maka siapa pun yang ingin membangun sebuah tatanan dunia baru harus kembali merujuk kepada sumber-sumber iman. Hal-hal seperti memberi makan generasi muda, memakaikan mereka pakaian yang layak, membangun sumur minyak di mana-mana, dan mengalirkan kekayaan saja tidak akan cukup untuk memuaskan mereka. Itu karena manusia diciptakan untuk keabadian. Ia tidak akan pernah puas kecuali dengan sesuatu yang berasal dari keabadian dan bersumber dari Zat Yang Maha Kekal itu sendiri. Bukankah Allah telah berfirman: "Ingatlah, bahwa hanya dengan mengingat Allah hati akan tenteram.." (Ar-Ra’d, 13:28)
Sumber kedamaian yang paling mendasar dalam keluarga pun tak lain adalah iman kepada kehidupan setelah kematian. Jika suami dan istri meyakini adanya kehidupan setelah kematian, maka kehilangan masa muda ataupun kesehatan tidak akan merenggut kebahagiaan mereka. Mereka akan berkata: “Sejauh ini, kami telah menjalani kehidupan yang indah dan menyenangkan. Insya Allah kehidupan kami akan berlanjut di alam berikutnya dengan keindahan yang serupa.” Dengan begitu, semangat dan kebahagiaan yang mereka rasakan di hari-hari pertama masa mudanya akan tetap hidup dalam batin mereka.
Singkatnya, hal yang membuat manusia mencintai kehidupan dan keindahan alam, yang membuka jalan menuju Tuhan, yang mengangkat derajat jiwa, dan yang menunjukkan bahwa manusia adalah calon penghuni keabadian, adalah iman kepada Allah dan akan adanya hari kebangkitan setelah kematian. Iman inilah sumber kedamaian, ketenangan, dan rasa aman. Lihatlah, meskipun banyak negara di dunia saat ini hidup dalam kelimpahan materi dan kekayaan, tetap saja keresahan dan kekacauan merajalela. Di sebagian negara, 60–70% penduduknya adalah pecandu alkohol. Penggunaan narkoba juga sangat tinggi. Moralitas dan akhlak telah runtuh. Masih banyak lagi kondisi menyedihkan lainnya. Akar dari semua masalah ini adalah karena generasi muda tidak mendapatkan kepuasan batin. Akibatnya, mereka terus berganti arah hidup tanpa arah spiritual yang jelas. Setiap langkah yang mereka ambil untuk mencari solusi, justru membuka pintu krisis baru dan menyeret mereka ke dalam tekanan jiwa yang semakin dalam. Itu karena sejak awal, mereka telah memilih titik tolak yang salah.
Ya, siapa pun yang sungguh-sungguh memikirkan kesejahteraan dan kedamaian suatu bangsa, ia harus terlebih dahulu membuka jalan menuju akhirat dan meyakinkan generasi mudanya tentang adanya kehidupan setelah mati. Dengan keyakinan ini, para pemuda yang sebelumnya tidak beragama dan bersifat anarkis bisa berubah secara drastis menjadi pribadi-pribadi yang bahkan tidak tega menginjak seekor semut sekalipun. Mereka akan menjadi sosok tidak yang sanggup menyakiti serangga. Ringkasnya, mereka akan menjadi insan-insan yang menyerupai malaikat. Dalam sejarah, ada orang-orang yang begitu tersentuh hatinya hingga mereka terus-menerus mencari cara untuk menebus kesalahan hanya karena telah membunuh seekor semut secara tidak sengaja. Seseorang yang memiliki kesadaran dan kepekaan hati sedalam ini mustahil menjadi sumber kekacauan dalam keluarga, apalagi menciptakan masalah besar di tengah masyarakat.
[1] Diterjemahkan dari artikel: https://fgulen.com/tr/eserleri/prizma/ahiret-inanci
- Dibuat oleh