Mewujudkan Cita-Cita

Mewujudkan Cita-Cita

Tanya: Bagaimana penggiat hizmet (dakwah dengan berkhidmah di jalan Allah) dapat menjaga keseimbangan antara cita-cita dan realita di tengah-tengah masyarakat yang sedang mengalami perang dahsyat antara beraneka kerusakan melawan nilai-nilai luhur? Apa saja karakteristik dari seseorang yang mampu menjaga keseimbangan tersebut? [1]

Jawab: Adalah fakta bahwasanya terdapat beragam distorsi di mana nilai-nilai kehidupan dalam masyarakat tempat kita hidup telah rusak. Di tengah kekacauan yang demikian, amatlah sulit bagi keteraturan untuk muncul. Karena setiap kekacauan akan melahirkan kekacauan yang baru. Pada umumnya, demikianlah pemahaman-pemahaman ilmiah mengharuskan hal tersebut. Di sini, dapat juga dikatakan bahwa terdapat faktor determinisme[2] dalam struktur fondasi masyarakat. Akan tetapi, determinisme yang ada di sini adalah determinisme bersyarat. Sebab, meskipun menurut akidah kita, sistem-sistem, berbagai keseimbangan, dan harmoni di dunia tempat kita berada ini terdiri dari sebuah jalur kredibilitas atau kepercayaan sekalipun, semuanya senantiasa dirajut di sekitar iradat manusia. Jika kita mengungkapkan manusia ke dalam bentuk mengalirnya peristiwa-peristiwa alam dan pencapaiannya di tingkatan tertentu, dan jika kita mempertimbangkannya hanya pada prinsip-prinsip fisika-astrofisikanya saja, maka berarti kita telah menurunkannya pada pengertian sebagai benda-benda tak bernyawa ataupun makhluk tak berjiwa. Padahal salah satu anugerah Allah SWT yang paling istimewa dan paling penting bagi manusia adalah iradatnya. Dengan iradat, manusia dipisahkan dari semua makhluk lain yang tak memiliki iradat. Karena ada iradat dalam masalah ini, maka segala sesuatu yang berhubungan dengan pembangunan dan pembaharuan pada manusia bisa jadi didahului oleh kekacauan atau chaos. Dalam periode seperti itu, sembari memutus lingkaran keburukan berbagai entropi (transformasi, perubahan, dan keruntuhan) manusia kemudian -berkat inayat dari Allah- menggantinya dengan lingkaran kesalehan, sehingga siklus kemandulan dapat diubah menjadi siklus produktif. Hal ini, jika dilihat dari sisi sejarah umat manusia merupakan bagian siklus pengulangan sejarah dari peristiwa-peristiwa yang sering menggugah diri kita. Misalnya, ketika Bani Israil yang hanya mampu berputar-putar tanpa tujuan di Gurun Tih selama empat puluh tahun[3]. Namun, beberapa orang di dalam perjalanan itu memiliki kebulatan tekad untuk meraih tujuan tertinggi. Pada akhirnya, hari ketika mereka memimpin wilayah itu pun tiba. Setelah itu, Bani Israil yang di masa sebelumnya benar-benar dekat dengan hal-hal materi kemudian dikejutkan dengan pesan-pesan Nabi Isa alaihi salam yang datang bertubi-tubi sehingga akhirnya membuat mereka berbenah, merapikan barisan, dan bangkit menjadi jamaah yang lebih teratur dan terbuka pada pesan-pesan metafisik.

Ada banyak contoh seperti ini di dalam sejarah. Contoh lain misalnya pada zaman jahiliah di mana aturan-aturan moral dihancurkan, pelacuran didukung, dan fondasi keluarga amburadul. Jika menggunakan pendekatan yang dipakai Ustaz Bediuzzaman Said Nursi, adalah sangat mudah bagi Allah SWT untuk menampilkan kumpulan orang yang akan menjadi muallim bagi peradaban umat manusia meskipun dari tengah-tengah komunitas masyarakat yang nilai-nilai moralnya telah mengalami degenerasi dan hancur lebur sekalipun. Semua ini menunjukkan bahwa faktor-faktor yang kita sebut sebagai perasaan, kesadaran, dan kemauan keras bukanlah hal-hal yang dapat diabaikan. Selain membedakan mereka dengan manusia sebangsanya, sobat karibnya, dan dengan makhluk sejenisnya di alam semesta, faktor-faktor tersebut juga memisahkan mereka dari entitas yang tunduk pada perintahnya (hewan, tumbuhan, dan ciptaan lain yang dapat dikelola manfaatnya oleh manusia).

Di masa lalu, sosok-sosok agung seperti Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali dapat lahir dari masyarakat jahiliah yang begitu beringas. Berdasarkan contoh kemunculan dan pembentukan sebuah masyarakat teladan seperti ini, maka dari perspektif sejarah, dengan inayat pertolongan Allah SWT, pada masyarakat kita pun akan dapat ditakdirkan lahirnya generasi baru yang dapat menghadirkan kelapangan bagi harapan-harapan kita. Asalkan kita mampu menanamkan vaksin cinta iman kepada mereka. Karena cintalah yang memberi nutrisi pada keinginan, dan juga pada harapan. Ya, harapan hanya dapat dipelihara oleh iman, mereka yang tak memiliki iman tidak mungkin memiliki harapan. Ustaz Bediuzzaman mengatakan: “Iman selain merupakan cahaya, juga adalah kekuatan. Manusia yang berhasil meraih iman hakiki dapat menantang semesta dan bisa menghadapi segala sesuatu sesuai dengan kekuatan imannya.” Itulah mengapa menanamkan cahaya iman kepada generasi baru dan membantu agar iman itu mengakar kuat dalam dada mereka adalah sebuah hal khusus yang amat penting.

Asas paling penting setelah iman adalah ilmu. Meskipun dewasa ini iman dan sains diperlihatkan bertentangan satu sama lain, pada dasarnya mereka adalah satu kesatuan dengan dua sisi wajah yang saling berhubungan dikarenakan manusia dapat membuka pintu kecintaan pada hakikat melalui iman. Kecintaan pada hakikat adalah kecintaan untuk meneliti pada manusia; sementara cinta pada penelitian akhirnya akan melahirkan cinta kepada ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan harus disukai dengan derajat cinta. Ketika kita mencintai ilmu, kecintaan pada hakikat pun tak boleh dijauhkan. Karena cinta akan hakikat berarti melayani umat manusia. Menurut saya, hampir semua masalah baik material maupun spiritual, bisa mudah diselesaikan dengan menggabungkan keduanya, yaitu cinta ilmu pengetahuan dan cinta pada hakikat kebenaran.

Di sisi lain, kita juga perlu menambahkan rasa cinta pada tanggung jawab dalam prinsip-prinsip ini. Melakukan hizmet (dakwah dengan khidmah) semata-mata hanya demi menunaikan tugas dan menyelesaikan tanggung jawab tanpa ternodai dengan hasrat untuk meraih keuntungan yang bersifat materi maupun immateri, serta memikulkan tugas ini kepada para pemuda, benar-benar merupakan salah satu unsur yang dapat menghentikan segala kekacauan ini. Ketika kita bertindak dengan semangat tanggung jawab seperti ini, maka kemalangan pun akan berbalik menjadi keberuntungan.

Sebagai kesimpulannya, para penggiat dari gagasan dakwah ini tidak boleh sekali pun terjebak pada kemakmuran dan kecintaan akan masa depan, sehingga bersama seluruh bangsa kita akan bisa berjalan menuju hari esok. Ya, mari menihilkan diri hingga kita mampu meraih berbagai manifestasi dari penciptaan. Maka inilah yang disebutkan dalam pertanyaan di atas tadi, inilah indikator terbesar dari keberadaan orang-orang yang masih berusaha mewujudkan cita-cita mereka meski berada di dalam masyarakat yang nilai-nilai prinsipnya telah hancur lebur sekalipun.


[1] Diterjemahkan dari artikel: http://fgulen.com/tr/eserleri/prizma/ideallerin-realize-edilmesi

[2] Determinisme adalah paham yang menganggap setiap kejadian atau tindakan, baik yang menyangkut jasmani maupun rohani, merupakan konsekuensi kejadian sebelumnya dan ada di luar kemauan (KBBI).

[3] Di bawah kepemimpinan Nabi Musa, mereka menjadi kaum yang paling mulia kala itu. Namun, saat hidup baru inilah banyak cerita menarik yang justru membuktikan sifat pembangkangan Bani Israil. Alkisah, setelah menyelamatkan diri dari Mesir, Bani Israil digiring Nabi Musa menuju tanah yang dijanjikan, Palestina. Tentu bukan perjalanan yang singkat, apalagi kala itu tak ada arah jalan dan rutenya pun didominasi padang pasir.

Dengan kekuasaan Allah, bisa saja Allah mempercepat perjalanan mereka. Namun, dengan hikmah-Nya, banyak peristiwa terjadi selama perjalanan. Apalagi, sifat Bani Israil yang suka membangkang pada Nabi Musa membuat Allah geram hingga membuat mereka berputar-putar di padang pasir tak sampai jua ke tempat tujuan. Meski diganjar berpuluh tahun tak jua sampai ke Palestina, Bani Israil masih saja mendapat rahmat Allah yang Maha Kasih dan Sayang. Allah mengutus awan untuk menaungi mereka. Alhasil, mereka tak pernah merasakan panas terik mentari meski di padang pasir yang menyengat sekalipun. Untuk minum, Allah pun memberi mukjizat kepada Nabi Musa. Sang Nabiyullah memukulkan tongkatnya ke sebuah batu hingga mengalirlah 12 mata air. Jumlah mata air tersebut sesuai dengan jumlah kabilah kaumnya. Dengan rahmat Allah tersebut, Bani Israil hidup tenang di sebuah kawasan di Padang Sahara Tih. Meski bertahun-tahun berputar-putar di padang tersebut, mereka tak pernah menderita kesulitan, apalagi penyakit. Sifat membangkanglah yang justru mendera Bani Israil. Mereka tak pernah bersyukur atas rahmat Allah.

Dikisahkan, saat tinggal di sana, tak hanya naungan awan ataupun mata air yang didapatkan Bani Israil. Terdapat satu lagi rahmat Allah yang tak kalah luar biasa. Manna dan salwa, itulah anugerah Allah untuk memenuhi kebutuhan pangan Bani Israil. Manna merupakan makanan yang rasanya amat lezat nan manis layaknya madu. Warnanya pun putih cantik layaknya salju. Makanan ini sangat mudah ditemui Bani Israil. Setiap pagi, mereka membawa keranjang untuk memunguti manna yang selalu ditemui melekat di batu-batu, pohon, ataupun kayu. Adapun salwa merupakan sejenis burung puyuh yang dagingnya empuk nan gurih. salwa yang biasa terbang tinggi diperintahkan Allah untuk terbang rendah dan berbondong-bondong. Dengannya, Bani Israil amat sangat mudah untuk menangkapnya. Dengan anugerah manna dan salwa, maka lengkaplah nikmat Bani Israil. Mereka tak pernah kelaparan meski di tengah padang pasir. Mereka tak pernah dijangkiti penyakit karena dua jenis makanan tersebut juga memiliki kandungan layaknya obat.

Bahkan, di era Rasulullah, kedua jenis makanan ini termasuk dalam thibbun nabawi. Amat banyak manfaat yang dikandung. Keduanya benar-benar anugerah Allah yang banyak bagi Bani Israil. Secara etimologi, manna pun bermakna 'karunia' dan salwa bermakna 'penawar hati'.  Namun, apa yang terjadi pada Bani Israil setelah mendapat anugerah Allah tersebut? Seperti biasa, mereka membangkang. Suatu hari mereka menemui Nabiyullah Musa dan mengajukan protes. Mereka protes akan makanan yang itu-itu saja. Mereka bosan memakan manna dan salwa yang lezat dan penuh manfaat itu.  Mereka berkata, "Hai Musa, kami tak tahan dengan satu macam makanan saja. Sebab itu, mohonkanlah untuk kami kepada Tuhanmu, agar Dia mengeluarkan untuk kami apa-apa yang ditumbuhkan bumi, seperti sayur-mayur, ketimun, bawang putih, kacang adas, dan bawang merah." Mendengar permintaan tersebut, Musa tentu saja naik pitam. Namun, beliau merupakan utusan Allah yang sabar. Nabiyullah pun menjawab dengan sabar, "Maukah kamu mengambil sesuatu yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik? Pergilah kamu ke suatu kota, pasti kamu memperoleh apa yang kamu minta!" jawab Musa menyindir. Namun, sindiran Musa dianggap lalu, Bani Israil tetap saja pergi ke kota. Mereka meninggalkan manna dan salwa demi memilih aneka kacang dan sayur tanpa daging. Di masa lalu, saat menjadi budak, mereka memang terbiasa memakan kacang adas dan bawang atau sayur mayur saja. Tentu saja makanan tersebut tak sebanding dengan manna dan salwa yang penuh manfaat dan amat lezat. Apalagi, kacang adas yang sangat digemari Bani Israil itu justru menyebabkan banyak penyakit alih-alih membuat kenyang. Adas, makanan favorit mereka, mengandung zat yang membahayakan saraf, tak baik untuk pencernaan, berbahaya bagi sistem ekskresi, mengentalkan darah, dan lain sebagainya. Namun, Bani Israil justru merindukan makanan mereka yang banyak mudharat tersebut. Memang begitulah sifat Bani Israil. Mereka gemar membangkang dan melakukan hal sesuka hati mereka. Allah pun berfirman, "Dan Kami naungi kamu dengan awan, dan Kami turunkan kepadamu manna dan salwa. Makanlah dari makanan yang baik-baik yang telah Kami berikan kepadamu; dan tidaklah mereka menganiaya Kami, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri." (Surah al-Baqarah: 57).

Kisah tersebut memang terdapat dalam beberapa ayat Alquran. Allah mengisahkannya sebagai pelajaran bagi Muslimin agar tak mengikuti jejak Bani Israil. Beberapa yang menyebut kisah tersebut yakni Surah al-Baqarah ayat 57 hingga 61, Surah Thaha ayat 80, serta al-A'raf ayat 160.

Sumber: https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-digest/18/02/27/p4sgdo313-mannasalwa-dan-bani-israil-yang-membangkang 

Pin It
  • Dibuat oleh
Hak Cipta © 2024 Fethullah Gülen Situs Web. Seluruh isi materi yang ada dalam website ini sepenuhnya dilindungi undang-undang.
fgulen.com adalah website resmi Fethullah Gülen Hojaefendi.