Agama

Tawaduk dan Kerendahan Hati Dalam Pengabdian Iman

Pertanyaan: Allah Ta'ala telah memberikan anugerah kepada para pahlawan dedikasi di hari ini, berupa pelayanan-pelayanan yang begitu besar. Namun, besarnya prestasi pelayanan pada hari ini dapat menjerumuskan mereka pada kebanggaan berlebih. Terkadang ia juga mendorong mereka untuk mengharap balasan. Berkaitan dengan hal tersebut, bagaimanakah kami harus berpikir dan bersikap? Berkenankah Anda memberi nasihat kepada kami?

Jawab: Sebelumnya, seorang tokoh yang mengawali jalan pelayanan ini pernah berkata kepada para sukarelawan dakwah penuh dedikasi; "Kita sedang mempersiapkan pondasi untuk orang-orang suci itu."[1] Maka dari itu saya merasa lebih tepat dan akurat jika kita melihat hakikat yang telah diisyaratkan dari perkataan beliau, dari sudut pandang ini. Selain itu, dengan mengingat satu hal khusus lainnya dan melihat permasalahannya dari sudut pandang tersebut saya kira akan lebih bermanfaat: Mengikatkan diri pada dakwah agung serta visi mulia ini, lalu bersimpuh dan menderita karena kesukaran-kesukaran yang dihadapi ketika berusaha masuk ke dalam jiwa-jiwa manusia yang paling keras, paling kasar, paling ngotot dalam hal keburukan, paling intoleran dan tanpa iman.. Ya, rasa menderita seperti inilah yang akan membawa kita pada iklim toleransi, lalu naik pada tingkatan kelembutan, lalu naik lagi pada tingkatan kita mampu memberikan maaf dan ampunan, hingga sampai pada cakrawala irsyad yang paling berkah dan maju atas nama kasih sayang dan membuat orang lain meraih keselamatan yang abadi.

Ketika melihat masa lalu, kita akan melihat bahwa hampir semua bahan yang digunakan untuk merajut renda suci yang sedang dirajut hingga saat ini adalah toleransi, kelembutan, maaf, dan kasih sayang. Namun, ternyata kita menggunakan bahan-bahan tersebut bukan sebagai potongan-potongan masterplan yang telah direncanakan sebelumnya. Kita sampai di posisi pada hari ini karena mengikuti alur berbagai peristiwa belaka. Maksudnya,  berkat pemikiran khidmah yang telah menyelimuti seluruh aspek dalam kehidupan, tanpa disadari kita telah menyuguhkan pesan-pesan kepada umat manusia masa kini dan generasi masa depan. Tanpa disadari kita telah menjadi pembawa lentera yang menerangi jalan mereka.

Saat ini, nafas-nafas suci khidmah pada umat manusia yang keluar dari ribuan mulut telah menyelimuti atmosfer maknawiyah kita, hingga gelombang berbahaya yang datang menjadi tenang, hingga percikan-percikan api satu persatu meredup dan terbelah-belah. Tentu saja semua ini terjadi sesuai dengan hukum-hukum fitrah layaknya sebuah pucuk yang membesar dan terbentuk secara perlahan. Dan potongan-potongan yang saling berhubungan ini seiring berjalannya waktu akan bersatu sama lain, hingga dapat menjadi satu kesatuan. Pada saat itulah peradaban yang ada dalam impian akan terwujudkan.

Ya. Para pendahulu kita telah melewati berbagai kesulitan dan menunaikan tugas mereka di masa itu. Kini mereka telah pergi dan menyerahkan tongkat estafet amanah tersebut kepada Anda. Anda semua adalah para arsitek dan pemikir di masa kini.  Tanpa disengaja, dengan universalitas yang terdapat dalam jiwa Anda serta aksi yang merupakan hasil kecondongan umum Anda, Anda sedang mendirikan sebuah peradaban di hari ini serta membangun pondasi jembatan yang membentang ke masa depan. Generasi yang akan datang setelah Anda pun akan mengambil amanah ini dan membawanya hingga mencapai titik lainnya. Tentu saja, ketika membawanya, mereka akan melihat pondasi jembatan yang telah dibangun dan mereka akan berkata, "Ternyata mereka melakukannya untuk pekerjaan ini." Anda pun akan mendapatkan posisi pada satu titik khusus dan pintu-pintu akan terbuka untuk Anda dengan inayah Allah Ta'ala, persis sebagaimana terbukanya pintu-pintu para sahabat, para tabiin serta tabiut tabiin setelah ditanya, "Apakah ada di antara kalian yang bertemu Rasulullah?", "Apakah ada di antara kalian yang bertemu seseorang yang telah bertemu Rasulullah?", atau "Apakah ada di antara kalian yang bertemu dengan seseorang yang telah bertemu dengan orang yang bertemu Rasulullah?"

Saya ingin menekankan, khususnya pada hal yang berkaitan dengan pertanyaan tersebut. Kita tidak tahu mungkin generasi ini dapat berumur panjang. Kita pun tak tahu apakah Anda bisa merepresentasikan misi ini dengan semua aspek di masa depan. Namun semua hal tersebut akan terwujudkan sebagai sebuah anugerah dari Allah Ta'ala. Anugerah ini diberikan kepada Anda karena luasnya cakrawala dan prespektif umum Anda ini.

Jika kita mengharapkan adanya suatu balasan dan mendasarkan perilaku kita pada hal ini, maka arti dari semua ini adalah "ketidakikhlasan". Pemikiran seperti "Sayalah yang mengerjakan ini, saya adalah yang membuatnya begini," meskipun harapan untuk mendapat imbalan atau pujian tersebut hanya terbesit sedikit dalam benak kita, namun ia mungkin dapat menghancurkan satu sisi bangunan yang akan kita bangun dengan misi besar di masa mendatang. Bahkan seiring berjalannya waktu, harapan seperti ini akan membuka luka di dalam jiwa kita. Ia mungkin dapat mendorong kita pada keegoisan dan kesombongan. Pada kenyataannya, bisa jadi ada beberapa orang yang berhusnuzan kepada kita. Kondisi tersebut dapat mengantar kita pada harapan bahwa kita akan ditawari beberapa posisi ataupun jabatan. Akan tetapi, saya pikir siapapun jangan sampai berpikir seperti ini demi hawa nafsunya. Bahkan hal ini jangan pernah sekali-kali terbesit dalam benaknya. Ketika ia terbesit sejenak saja, maka bisa dibilang ia telah melakukan langkah mundur. Jika ia tidak bertaubat, seiring berjalannya waktu, pemikiran ini akan terulang kembali hingga membuatnya melakukan langkah salah lainnya. Akan tiba suatu hari dimana ia telah mendekati kesuksesan, namun keadaannya malah terbalik dan justru mengalami kekalahan telak. Seorang pemikir penting pada masa kita sekaligus zat yang menjadi pahlawan keikhlasan, ia bertindak sangat sensitif terkait hal ini.  Beliau menekankan dengan lembut kondisi ini dengan ungkapan seperti, "tanpa kusadari buku-buku dibacakan kepadaku... tanpa kusadari, aku terdorong untuk meninggalkan buku-buku[2]... tanpa kusadari, aku telah bertawajjuh kepada Alqur'an... Tanpa kusadari, Aku telah dibimbing untuk mengabdi pada agama..."[3]

Ya, menjadi orang biasa merupakan sebuah hal yang sangat berharga bagi kita. Ia bagaikan kain Bursa yang amat jarang ada di pasar. Alangkah baiknya jika seorang biasa selalu berdiri di depan pintu Allah sebagai seorang tentara berpangkat rendah dan tidak mengharap pamrih apapun. Nyatanya, kadang seorang prajurit dimampukan untuk menunaikan tugas seorang marsekal. Hal tersebut tentu saja hanya dapat dimampukan oleh Allah. Hal tersebut bukanlah jangkauan kita. Tidakkah Ustaz Badiuzzaman berkata demikian? "Nafsu lebih rendah dari segalanya dan amanah lebih utama dari segalanya."[4] "Kamu harus menganggap dirimu sebagai rajulu fajir[5]."[6] "Janganlah kamu merasa bahwa dirimu layak untuk mendapatkan kebaikan dan keindahan ini. Karena dirimu tidak bisa menirunya, maksudnya, karena dirimu tidak mampu merepresentasikannya dengan sempurna, maka dirimu bukanlah pemiliknya, melainkan hanyalah tempat numpang lewat belaka."[7]

Gelembung-gelembung di atas air mengambil pantulan cahaya dari sinar matahari. Tanpa matahari, apa yang bisa diambil oleh gelembung itu? Jika demikian maka seluruh keindahan adalah hanyalah milik Yang Maha Indah. Ya. Prespektif ini sangatlah penting. Seberapa banyak Allah Jalla Jalaluhu menganugerahkan kepada kita kemampuan untuk mengemban tugas-tugas, maka sebanyak itu juga kita harus meningkatkan kerendahan hati. Seiring dengan hal tersebut, Kita harus mengambil jarak dari berbagai macam pamrih dan klaim. Keselamatan di dunia dan di  akhirat hanya bergantung pada terselamatkannya hati.

"Jangan dikira  mereka minta emas dan perak darimu, wahai haji.
Mereka hanya minta qalbun salim di Yauma La Yanfau nanti."

Betapa indahnya isyarat hakikat dalam syair tersebut!

Ya.. Kita harus menanamkan hakikat ini pada jiwa kita. Selain itu, sebagai seorang yang sederhana dan apa adanya, kita tidak boleh mengharapkan pamrih sedikitpun, baik untuk kepentingan pribadi, maupun untuk kepentingan masyarakat. Di nafas terakhir, kita harus menyerahkan diri kita dalam keadaan terkunci dalam pemikiran tersebut.

Evaluasi

  1. Tantangan apa saja yang dapat datang ketika kita meraih keberhasilan dalam usaha dakwah kita? Bagaimana kita harus menyikapinya?
  2. Bagaimana Bediuzzaman Said Nursi memberikan kepada kita contoh dalam menyikapi bangga diri yang mungkin muncul karena mungkin kita berada di jalan yang benar?
  3. Apa itu rajulu fajir? Mengapa kita harus menganggap diri kita sendiri sebagai rajulu fajir?

(Diterjemahkan dari artikel berjudul ‘İman Hizmetinde Tevazu Ve Mahviyet’ dari Buku Prizma 1)

 



[1] Bediuzzaman Said Nursi, “Maktubat”, Surat ke-28, Risalah Ke-7, Masalah ke-7, Sebab ke-5

[2] Pada masa Said Lama, Ustaz sangat giat mendalami filsafat barat. Namun, satu fase baru kemudian tiba dalam kehidupannya. Ketika itu beliau menemukan bahwa yang dapat memuaskan rasa penasaran dalam otaknya hanyalah Al Quran. Maka dimulailah fase baru dalam kehidupannya untuk melayani Al Quran dan iman.

[3] Bediuzzaman, Maktubat, Surat ke-27, Risalah ke-7, Masalah ke-7

[4] Bediuzzaman, Biografi, Bagian kehidupan Afyon

[5] pendosa

[6] Bediuzzaman Said Nursi, “al Kalimat”, Kata ke-26, khatimah

[7] Bediuzzaman Said Nursi, al Kalimat, Kata ke-18, Makam ke-1, Isyarat ke-1

Pin It
  • Dibuat oleh
Hak Cipta © 2024 Fethullah Gülen Situs Web. Seluruh isi materi yang ada dalam website ini sepenuhnya dilindungi undang-undang.
fgulen.com adalah website resmi Fethullah Gülen Hojaefendi.